Hubungan agama dan negara telah menjadi suatu perdebatan yang cukup
hangat dalam wacana sejarah dan peradaban umat manusia. Agama yang
memiliki sifat sakral dan negara yang memiliki sifat profan dalam
perumusannya telah mengalami ketegangan. Ketegangan itu bersumber pada
pertanyaan bagaimanakah sesuatu yang sakral dan ekslusif bersanding dengan
negara yang bersifat profan. Atau bagaimanakah agama yang sakral itu menjadi
hukum positif di dalam negara yang bersifat profan. Oleh karena itu perdebatan
seputar penerapan agama dalam negara ini merupakan salah satu kajian yang tak
pernah kehilangan daya tariknya dan selalu aktual (Azyumardi Azra: 2005).
Apalagi jika dihadapkan dengan masalah warga negaranya yang plural, baik
agama, suku, dan golongan, seperti Indonesia, salah satu contohnya.
Protipe kedua
1
James Norman Dalrymple Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (Terj.),
(Surabaya: C.V. Amarpress, 1991), Cet. Ke-1, h. 91. Dalam bab sebelumnya telah dibahas
seputar tiga paradigma ini.
2
B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Graffit, 1985), h. 39-
42.
Kajian yang mutaakhir yang dipublikasikan oleh M. B. Hooker dalam
”Indonesian Syaria: Defining a National School of Islamic Law” (2008),
menjelaskan bahwa Syariah di Indonesia memiliki karakter yang khas dan
berbeda dengan negara- negara lain yang ada di Timur Tengah, Afrika Utara
atau Asia Tenggara lainnya. Menurutnya Syariah di Indonesia ditentukan oleh
berbagai factor, yaitu kebijakan Negara melalui perundang- undangan, lembaga
peradilan, lembaga pendidikan (khususnya fakultas Syariah), dan wilayah public
lainnya. Oleh karena itu, hukum positif tidak tergantung pada inspirasi
ketuhanan (wahyu), melainkan tergantung pada otoritas lain, yaitu konstitusi
yang merancang kriteria keabsahan hukum dan peraturan. Hooker mendapatkan
temuan bahwa positivisasi syariah di Indonesia telah berhasil menghindari
kesulitan menempatkan hukum positif yang berbasis syariah sebagai hukum
yang Islami. Temuan ini dibuktikan dengan masuknya aspek-aspek syariah yang
cocok untuk Indonesia.3 Inilah yang Hooker sebut sebagai fikih baru yang
ditemukan di hukum positif negara. Dalam level yang paling mendasar, fikih
baru adalah syariah dalam pengertian negara.4
Indonesia bagaimana?
3
M. B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National Shool of Islamic Law (Singapura:
ISEAS, 2008), h. 289-290.
4
M. B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National Shool of Islamic Law…., h. 77
batasan- batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam
urusan agama.