Anda di halaman 1dari 6

MENAKAR RELASI AGAMA DAN NEGARA

Hubungan agama dan negara telah menjadi suatu perdebatan yang cukup
hangat dalam wacana sejarah dan peradaban umat manusia. Agama yang
memiliki sifat sakral dan negara yang memiliki sifat profan dalam
perumusannya telah mengalami ketegangan. Ketegangan itu bersumber pada
pertanyaan bagaimanakah sesuatu yang sakral dan ekslusif bersanding dengan
negara yang bersifat profan. Atau bagaimanakah agama yang sakral itu menjadi
hukum positif di dalam negara yang bersifat profan. Oleh karena itu perdebatan
seputar penerapan agama dalam negara ini merupakan salah satu kajian yang tak
pernah kehilangan daya tariknya dan selalu aktual (Azyumardi Azra: 2005).
Apalagi jika dihadapkan dengan masalah warga negaranya yang plural, baik
agama, suku, dan golongan, seperti Indonesia, salah satu contohnya.

Kajian relasi agama dan negara di Indonesia telah banyak dilakukan


termasuk oleh peneliti dari Barat. Di Indonesia seperti tulisan Deliar Noer,
Endang Saefuddin, Harun Nasution, M. Natsir bahkan Soekarno sendiri dengan
bukunya Di Bawah Bendera Revolusi telah mengkaji posisi agama dan negara.
Adapun di antara peneliti Barat seperti tulisan B.J. Boland yang mengatakan bahwa
Indonesia bukanlah suatu Negara Islam sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok
nasionalis Islam, dan juga bukan negara sekuler yang memasukkan agama dalam
wilayah pribadi terpisah dari negara (B.J Boland: 1985). Dalam pengamatan Boland,
Indonesia adalah negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan dan bersikap
positif terhadap agama pada umumnya dan Indonesia adalah suatu negara yang ingin
memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap pembangunan
nations character buildings. Pada dasarnya Indonesia adalah Negara Pancasila, yang
maknanya bukan Negara agama dan bukan Negara sekuler.

Diskursus Relasi Agama dan Negara

Vol: XV, No. 1, Juni


Di zaman 2012
modern, perdebatan tentang relasi agama dan negara 1terus
Halaman
menjadi wacana yang menarik. Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah
negara menunjukkan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam dan
negara. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan konsep dan kultur
masyarakat muslim. Dalam perspektif ini, jika melihat sejarah Islam,
sesungguhnya perdebatan tentang relasi Islam dan Neegara sudah berlangsung
di antara para pemikir politik Islam. Realitas memang menunjukkan bahwa isu
ini menjadi salah satu isu hangat dan diskursif.
Dalam konteks negara-negara Islam, memasuki abad ke-20,
sebagaimana disinyalir J.N.D. Anderson, terdapat tiga sistem hukum yang
berlaku hingga sekarang ini, yaitu (1) Sistem yang mengakui hukum (syariat)
Islam sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara
utuh; (2) Sistem yang meninggalkan hukum Islam dan menggantinya dengan
hukum yang sama sekali sekular; dan (3) Sistem yang mengkompromikan kedua
pandangan tersebut.
Untuk protipe pertama terdapat pandangan bahwa Islam adalah ajaran
yang lengkap dan sempurna yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Islam
adalah agama yang tidak memisahkan antara agama dan dunia. Inilah yang
dikenal dengan konsep Islam din wa daulah. Paham demikian ini dapat dilacak
dari pemikiran Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), Hasan al-Banna ( 1906-
1949), Sayyid Quthub (1906-1966), dan Abu A’la al-Maududi ( 1903-1979).
Paham universalisme ajaran Islam juga diakui oleh sosiolog Max Weber. Islam
sebagai sebuah world view yang dibawa Muhammad Saw. dan terkandung dalam
Al-Quran, telah menciptakan orientasi keagamaan baru yang melibatkan sistem
teologis dan ajaran etis yang komprehensif. Dalam hubungan dengan politik,
bahkan Weber menunjukkan keunikan Islam, bahwa tidak ada agama dunia lain
yang menghadirkan hubungan-hubungan erat antara agama dan politik
sebagaimana halnya Islam (Ralph Schroeder: 2002).

Protipe kedua

Dalam kaitan ini, Abdullah Ahmed Na’im mengajukan argumen bahwa


aturan-aturan agama tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh
negara sebagai
Vol: XV, No. 1, hukum
Juni 2012dan kebijakan publik (Abdullah Ahmad Naim:2008).
2
Halaman
Namun hal itu bukan berarti Islam harus dikeluarkan dari perumusan kebijakan
publik dan perundang-undangan atau dari kehidupan publik pada umumnya. Al-
Na’im sebenarnya sedang berusaha menjelaskan dan menyokong upaya penting
dan sulit untuk menjembatani paradoks pemisahan kelembagaan Islam dan
negara dengan tetap memperhitungkan adanya keterkaitan yang niscaya antara
Islam dan politik dalam masyarakat Islam saat ini.
Di sisi lain,

Adanya pemikiran-pemikiran di atas, memang berkaitan erat dengan


fenomena sistem hukum yang terjadi di dunia Islam memasuki abad ke-20. Pada
saat itu, sebagaimana disinyalir J.N.D. Anderson, terdapat tiga sistem hukum
yang berlaku hingga sekarang ini, yaitu (1) sistem-sistem yang masih mengakui
hukum (syariat) Islam sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih
menerapkannya secara utuh; (2) sistem-sistem yang masih meninggalkan hukum
(syariat) Islam dan menggantinya dengan hukum yang sama sekali sekular; dan
(3) sistem-sistem yang mengkompromikan kedua pandangan (sistem) tersebut.1
Untuk konteks Negara Indonesia, hubungan antara Negara (Indonesia)
dan agama (Islam) menjadi unik, yang mengandung pengertian bahwa Indonesia
bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekuler secara utuh, sebagaimana
telah dituliskan oleh B.J. Boland bahwa Indonesia bukanlah suatu Negara Islam
sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok nasionalis Islam, dan juga bukan
negara sekuler yang memasukkan agama dalam wilayah pribadi terpisah dari
negara.2 Dalam pengamatan Boland, Indonesia adalah negara yang ingin
mengakui suatu asas keagamaan dan bersikap positif terhadap agama pada
umumnya dan dalam berbagai perwujudannya. Indonesia adalah suatu negara
yang ingin memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap
pembangunan nations character buildings. Pada dasarnya Indonesia adalah
Negara Pancasila, yang maknanya bukan Negara agama dan bukan Negara
sekuler. Negara Pancasila adalah merupakan jalan tengan bagi hubungan antara
agama dan Negara. Adanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
merupakan bukti bahwa agama di Indonesia tidak dipinggirkan, yang dibuktikan
dengan keberadaan institusi Departemen Agma. Akan tetapi eksistensi institusi
ini Vol: XV,
tidak
No.membuat
1, Juni 2012Negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini menjadi
3
Halaman
Negara Islam.

1
James Norman Dalrymple Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (Terj.),
(Surabaya: C.V. Amarpress, 1991), Cet. Ke-1, h. 91. Dalam bab sebelumnya telah dibahas
seputar tiga paradigma ini.
2
B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Graffit, 1985), h. 39-
42.
Kajian yang mutaakhir yang dipublikasikan oleh M. B. Hooker dalam
”Indonesian Syaria: Defining a National School of Islamic Law” (2008),
menjelaskan bahwa Syariah di Indonesia memiliki karakter yang khas dan
berbeda dengan negara- negara lain yang ada di Timur Tengah, Afrika Utara
atau Asia Tenggara lainnya. Menurutnya Syariah di Indonesia ditentukan oleh
berbagai factor, yaitu kebijakan Negara melalui perundang- undangan, lembaga
peradilan, lembaga pendidikan (khususnya fakultas Syariah), dan wilayah public
lainnya. Oleh karena itu, hukum positif tidak tergantung pada inspirasi
ketuhanan (wahyu), melainkan tergantung pada otoritas lain, yaitu konstitusi
yang merancang kriteria keabsahan hukum dan peraturan. Hooker mendapatkan
temuan bahwa positivisasi syariah di Indonesia telah berhasil menghindari
kesulitan menempatkan hukum positif yang berbasis syariah sebagai hukum
yang Islami. Temuan ini dibuktikan dengan masuknya aspek-aspek syariah yang
cocok untuk Indonesia.3 Inilah yang Hooker sebut sebagai fikih baru yang
ditemukan di hukum positif negara. Dalam level yang paling mendasar, fikih
baru adalah syariah dalam pengertian negara.4

Indonesia bagaimana?

Mengelola Konflik Keagamaan

Vol: XV, No. 1, Juni 2012 4


Halaman

3
M. B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National Shool of Islamic Law (Singapura:
ISEAS, 2008), h. 289-290.
4
M. B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National Shool of Islamic Law…., h. 77
batasan- batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam
urusan agama.

Perdebatan ini biasanya berujung pada ketegangan-ketegangan


politik dan ideologi.

Hal ini dapat dimaklumi dikarenakan beberapa hal. Pertama,


hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk
menentukan batasan- batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur
dalam urusan agama. Hubungan agama dan negara ini memperlihatkan
tingkat otonomi dan pengakuan agama sebagai hak azasi individual
yang urusannya diserahkan pada lembaga-lembaga agama yang bebas
dan otonom. Hubungan ini memperlihatkan tingkat otoritas individu dan
kelompok- kelompok dalam masyarakat untuk mengatur sendiri
peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal ini sangat
penting dikaji dalam

konteks Indonesia yang memiliki dasar-dasar berpikir


berbeda dalam melihat peran dan fungsi negara dalam
kehidupan publik.

Kedua, perdebatan mengenai hubungan negara dan


agama menjadi penting karena persoalan ini merupakan gejala
masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya gerakan
sekularisasi dalam sejarah pemikiran Barat. Dalam konteks
keindonesiaan perdebatan ini juga mendapat perhatian yang
serius, terutama di awal pembentukan negara bangsa (nation
state) Indonesia oleh para pendiri bangsa (founding father).

Vol: XV, No. 1,Ketiga,


Juni 2012masalah kontekstualisasi tipe negara merupakan 5
Halaman
suatu hal yang penting dalam hubungan negara dan
agama di Indonesia, dikarenakan Indonesia merupakan
negara dengan komposisi masyarakat paling mejemuk di dunia.
Selain itu, tingkat sentiment primordial dalam masyarakat
Indonesia juga sangat tinggi, apalagi kalau hal ini dikaitkan
dengan persoalan pluralitas agama. Keberagamaan hidup dalam
beragama juga menjadi permasalahan penting dalam
kehidupan bernegara. Meskipun agama Islam merupakan
agama mayoritas, namun dalam kehidupan bernegara format
hubungan negara dan agama oleh pendiri negara dirumuskan
dalam tipe negara yang berlandaskan pada Pancasila.

Untuk konteks kontemporer masalahnya adalah sejauhmana mana negara


dapat ikut campur dalam urusan agama. Atau dengan kata lain

Vol: XV, No. 1, Juni 2012 6


Halaman

Anda mungkin juga menyukai