First Draft - Mti - Omnibuslaw
First Draft - Mti - Omnibuslaw
perundang undangan yang ada di Indonesia karena dinilai sudah terlalu banyak, dan saling tumpang tindih. Salah satu usaha
pemerintah untuk merealisasikan hal tersebut adalah dengan menyusun sebuah draft Rancangan Undang Undang Cipta
Lapangan Kerja (“RUU CIPTA KERJA”) yang akan menjadi payung hukum dari beberapa sektor usaha. Selain itu RUU CIPTA
KERJA juga bertujuan untuk memberikan serangkaian kebijakan dan tindakan yang komprehensif dan strategis untuk menciptakan
lebih banyak peluang kerja bagi pekerja Indonesia dan diharapkan akan membangun kesejahteraan yang lebih baik untuk
masyarakat di Indonesia secara umum.
Sejak diajukan pada tanggal 12 Februari 2020, RUU Cipta Kerja mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak terutama
kaum buruh yang merasa paling dirugikan karena dinilai RUU Cipta Kerja sangat berpihak kepada pemberi kerja atau investor.
Banyak pekerja buruh yang merasa hak haknya yang sebelumnya diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(“UU NAKER”) akan dipangkas jika RUU CIPTA KERJA diberlakukan, salah satu peraturan di dalamnya yang dinilai akan
merugikan kaum pekerja buruh adalah pemberi kerja diperbolehkan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) berdasarkan
kesepakatan dengan pekerja, kecuali dengan alasan tertentu yang belum dijelaskan lebih lanjut mengenai alasan tersebut dalam
draft RUU CIPTA KERJA.
Pada bagian selanjutnya RUU CIPTA KERJA juga mengatur mengenai penyederhanaan perizinan berusaha sektor serta
kemudahan dan persyaratan investasi di dalam Pasal 27, pada pasal tersebut terdapat 15 sektor yang perizinan berusahanya
diatur dalam RUU ini, salah satunya adalah sektor transportasi. Perubahan peraturan dalam RUU CIPTA KERJA yang terjadi
dalam sektor transportasi beririsan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang undangan sebelumnya yaitu Undang Undang
Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), Undang Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian (“UU KA”), Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (“UU PELAYARAN”), dan Undang Undang
Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU PENERBANGAN”). DPR bermaksud dengan dilakukannya penghapusan dan
perubahan ketentuan tersebut dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan
perizinan dan kemudahan persyaratan investasi di sektor transportasi.
Tulisan ini merupakan tanggapan Masyarakat Transportasi Indonesia (“MTI”) terhadap RUU CIPTA KERJA terkhusus paragraf 10 dan
bertujuan untuk menjadi pedoman bagi masyarakat untuk dapat memahami perubahan apa saja yang akan terjadi apabila peraturan ini nantinya
1
disahkan. MTI akan terus melakukan pembaruan atas tulisan ini menyesuaikan dengan perkembangan dan pendalaman pemahaman terhadap
RUU CIPTA KERJA. Dengan adanya tulisan ini kami berharap dapat berperan secara aktif dan positif dalam perancangan RUU CIPTA KERJA
demi keamanan dan kenyaman industri transportasi di Indonesia.
Berikut merupakan penjelasan atas paragraf 10 RUU CIPTA KERJA yang nantinya akan merubah ketentuan dalam UU KA, UU
LLAJ, UU PELAYARAN dan UU PENERBANGAN:
1. Undang Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
Tujuan dari pembuatan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan diantaranya
a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda
angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan
kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa
c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan asas transparan, akuntabel, berkelanjutan, partisipatif,
bermanfaat, efisien dan efektif, seimbang, terpadu, dan mandiri. Namun asas ini kurang tergambar dalam RUU Cipta Kerja.
Urgensi dalam revisi UU LLAJ dikarenakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. UU LLAJ perlu ditinjau kembali dan
disesuaikan dalam menghadapi perubahan dan perkembangan yang terjadi di masa mendatang serta dapat menjadi acuan dalam
pembangunan berkelanjutan. UU LLAJ belum dapat mengakomodir dan menyelesaikan masalah kemacetan, belum mengatur
moda transportasi umum berbasis teknologi informasi (ojek online), dan tidak ada pasar bagi transportasi ramah lingkungan
Catatan terkait perubahan pasal-pasal UU Lalu Lintas Angkutan Jalan dalam RUU Cipta Kerja diantaranya
1. Adanya sentralisasi perizinan. Terdapat 5 pasal terkait perizinan yang berasal dari Pemerintah Pusat pada RUU Cipta Kerja
yaitu Pasal 43, Pasal 60, Pasal 78, Pasal 165, dan Pasal 173. Hal ini menunjukkan adanya kekuasaan penuh yang diberikan
2
pada Pemerintah Pusat (eksekutif). Kewenangan persetujuan perizinan berusaha menjadi sentralistik. Namun keuntungan
yang akan didapat dari perubahan pada pasal tersebut yaitu penyederhanaan perizinan berusaha.
2. Adanya pasal yang menghilangkan kewenangan pemerintah daerah. Hal ini tergambar dari Pasal 60 RUU Cipta Kerja yang
berbunyi : “Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat”Perizinan berusaha yang pada awalnya berasal dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi
dari Kepolisian Negara Republik Indonesia diubah menjadi Pemerintah Pusat. Pemangkasan peran pemerintah daerah
berujung pada sentralisasi dan kewenangan pemerintah pusat semakin absolut. Hal ini juga kurang menggambarkan asas
transparan dan partisipatif pada UU LLAJ.
3. Ada beberapa aturan yang belum diatur dalam UU LLAJ dan dirasa penting untuk menyesuaikan dengan perkembangan
zaman. Namun ternyata aturan ini juga belum diatur pada RUU Cipta Karya diantaranya
● Belum ada aturan yang menyelesaikan masalah kemacetan. Dalam kondisi eksisting, kemacetan menjadi masalah penting
dalam transportasi Indonesia. Keberadaan UU LLAJ belum mampu menciptakan lalu lintas yang lancar seperti tujuan UU
LLAJ poin pertama
● Belum mengatur kendaraan roda 2 dan roda 3 yang berperan sebagai moda transportasi umum, baik konvensional
maupun berbasis teknologi seperti ojek online. Aturan ini menjadi penting mengingat banyak “ojek” yang memiliki
kendaraan dengan kondisi kurang baik sehingga dapat membahayakan keselamatan penumpang. Selain itu, apabila motor
dijadikan angkutan umum maka akan terus menciptakan keruwetan lalu lintas, pemborosan BBM, meningkatnya polusi
udara dengan kapasitas angkut yang terbatas, serta kemacetan tentunya. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pertama UU
LLAJ. Oleh karena itu, aturan ini penting diatur dalam RUU untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Apakah ojek
online cocok untuk diterapkan sebagai angkutan umum atau tidak.
● Belum mengatur transportasi ramah lingkungan seperti transportasi menggunakan listrik.
3
III, dan jalan khusus. kelas berdasarkan fungsi dan
intensitas Lalu lintas, dan daya
dukung untuk menerima muatan
sumbu terberat
4
Jakarta ditetapkan dengan dikerjasamakan dengan pihak lain.
Peraturan Daerah Provinsi.
5) Perubahan Pasal 40 UU LLAJ Pasal 57 Tidak mengatur mengenai Tata cara pembangunan terminal,
penyerahan pembangunan terminal dapat dikerjasamakan dengan pihak
kepada pihak ketiga. ketiga.
6) Perubahan Pasal 43 UU LLAJ Pasal 57 Tidak mengacu pada sistem Penyediaan fasilitas parkir untuk
Perizinan Berusaha Pemerintah umum hanya dapat diselenggarakan
Pusat. di luar Ruang Milik Jalan setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat Yang dapat
melakukan adalah Perseorangan,
usaha khusus perparkiran atau
penunjang usaha pokok
7) Perubahan Pasal 50 UU LLAJ Pasal 57 Terdapat pengklasifikasian Uji tipe Uji tipe kendaraan bermotor dapat
yaitu Pengujian fisik dan penelitian dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
rancang bangunan dan rekayasa dapat dikerjasamakan dengan pihak
Kendaraan bermotor. ketiga. Ketentuan lebih lanjut diatur
dalam PP.
8) Perubahan Pasal 53 UU LLAJ Pasal 57
Kegiatan pemeriksaan dan Pengujian berkala kendaraan
pengujian fisik Kendaraan Bermotor bermotor dalam pasal 49 UU LLAJ
sebagaimana dimaksud pada ayat dapat dilakukan pemerintah dengan
(2) huruf a dilaksanakan oleh: kerjasama dengan pihak ketiga.
5
pemegang merek yang mendapat
izin dari Pemerintah; atau
10) Perubahan Pasal 78 UU LLAJ Pasal 57 Pendidikan dan pelatihan Pendidikan dan pelatihan mengemudi
mengemudi diselenggarakan oleh harus mempunyai Perizinan
lembaga yang mendapat izin dan Berusaha dari Pemerintah Pusat
terakreditasi dari Pemerintah.
6
Pemerintah oleh pengembang untuk
mendapatkan izin pembangunan.
(d) Melewati jaringan jalan selain (d) Melewati jaringan jalan selain
yang ditentukan dalam izin trayek. yang ditentukan dalam izin trayek
yang telah disetujui dalam Perizinan
Berusaha.
7
mendapat izin dari Pemerintah. harus perizinan berusaha dari
Pemerintah Pusat.
8
Pemerintah Daerah. tertentu.
9
penyelenggaraan angkutan (Pasal menyelenggarakan angkutan orang
173) dan/atau barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1)
tanpa memiliki Perizinan Berusaha,
dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) bulan atau
denda paling banyak Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah).
10
2. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Perkeretaapian sebagai salah satu bagian dari angkutan darat, merupakan salah satu elemen terpenting dalam perkembangan
transportasi massal di Indonesia. Seiring dengan perkembangan tersebut, proses modernisasi dan pengembangan sarana
prasarana harus terus ditingkatkan baik dari segi kualitas pelayanan maupun kuantitas bangunan stasiun. Perkeretaapian adalah
salah satu moda transportasi yang memiliki karakteristik dan keunggulan terutama dalam kemampuannya mengangkut, baik
penumpang maupun barang secara massal, hemat energi, hemat dalam penggunaan ruang, mempunyai faktor keamanan yang
tinggi dan tingkat pencemaran yang rendah serta lebih efisien dibandingkan dengan moda lainnya.
Dalam dua dekade kereta merupakan salah satu moda transportasi yang menjadi perhatian besar oleh pemerintah, sebelum
dilakukan perombakan besar besaran pada tahun 2009 wajah dunia perkeretaapian di Indonesia sangatlah buruk. Perubahan yang
dilakukan oleh PT KAI merupakan bukti langkah serius kepedulian Pemerintah terhadap dunia Transportasi di Indonesia
khususnya di Jakarta sebagai ibukota dan kota kota besar lainnya.
Perubahan mulai dari kenaikan gaji karyawan, perbaikan struktur organisasi yang menjadi lebih efisien dalam menjalankan
pelayanan bisa dijadikan contoh bagi industri transportasi lain untuk meningkatkan kualitas baik dari segi pelayanan maupun
internal perusahaan transportasi dari masing masing sektor.
Melihat dari urgensinya perubahan yang dilakukan dalam UU Perkeretaapian rasanya bukan menjadi sifat yang perlu karena tidak
ada alasan kuat yang harus menyegerakan hal tersebut dilakukan selain melakukan integrasi perizinan.
11
No. Perihal Pasal Ketentuan
UU Perikanan RUU CIPTA KERJA
1) Perubahan Pasal 24 Pasal 58
Badan Usaha yang 3 izin sebelumnya dihilangkan dan
menyelenggarakan prasarana diganti menjadi Perizinan Berusaha
perkeretaapian umum sebagaimana yang diatur lebih lanjut dalam PP.
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
wajib memiliki:
1. izin usaha;
2. izin pembangunan; dan
3. izin operasi.
2) Perubahan Pasal 24 Pasal 58
Penyelenggara Sarana Perkereta- Penyelenggara Sarana Perkereta-
apian yang mengoperasikan sarana apian yang mengoperasikan sarana
perkeretaapian tidak memenuhi perkeretaapian tidak memenuhi
standar kelaikan operasi sarana standar kelaikan operasi sarana
perkeretaapian sebagaimana perkeretaapian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27, dikenai dimaksud dalam Pasal 27, dikenai
sanksi administratif berupa teguran sanksi administratif.
tertulis, pembekuan izin, dan
pencabutan izin operasi.
12
memiliki: Pemerintah Pusat, ketentuan lebih
1. izin usaha; dan lanjut diatur dalam Peraturan
2. izin operasi. Pemerintah.
Diterbitkan oleh Pemerintah.
13
izin operasi.
14
operasi.
15
(enam) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah).
16
(1) mengakibatkan kecelakaan mengakibatkan kecelakaan kereta api
kereta api dan kerugian bagi harta dan kerugian bagi harta benda
benda, dipidana dengan pidana dipidana dengan pidana penjara
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 paling lama 18 (delapan belas) bulan
(enam) bulan dan pidana denda dan pidana denda paling banyak
paling banyak Rp500.000.000,00 Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
(lima ratus juta rupiah). rupiah).
17
3. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Sebagai negara maritim, laut Indonesia merupakan wilayah penting yang harus dapat dijaga dan dimanfaatkan sebaik mungkin
untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Pelayaran merupakan salah satu bentuk pemanfaatan dari wilayah laut
Indonesia, berdasarkan ketentuan umum UU Pelayaran, pelayaran sendiri memiliki arti berupa satu kesatuan sistem yang terdiri
atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan serta perlindungan lingkungan maritim.
Secara umum tujuan dibuatnya UU Pelayaran adalah untuk mengakomodir kepentingan masyarakat dan negara yang meliputi
setidaknya angkutan laut, kepelabuhanan dan jasa maritim lainnya. Dalam poin d pertimbangan UU Pelayaran dijelaskan bahwa
bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan pelayaran yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah, dan akuntabilitas
penyelenggara negara, dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan nasional
Kegiatan pelayaran di Indonesia yang diatur dalam UU Pelayaran harus memperhatikan beberapa asas antara lain adalah, asas
manfaat, asas usaha Bersama dan kekeluargaan, asas persaingan sehat, asas adil dan merata tanpa diskriminasi, asas
keseimbangan, keserasian dan keselarasan, asas kepentingan umum, asas keterpaduan, asas tegaknya hukum, asas
kemandirian, asas berwawasan lingkungan hidup, asas kedaulatan negara, dan asas kebangsaan.
Sedangkan bila melihat tujuannya berdasarkan Pasal 3 UU Pelayaran, Pelayaran sendiri mempunyai 7 tujuan utama yaitu:
1. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan
di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
2. Membina jiwa kebaharian;
3. Menjunjung kedaulatan negara;
4. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional;
5. Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan Nasional;
6. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan
7. Meningkatkan ketahanan nasional.
18
Saat ini praktek pelayaran di Indonesia masih jauh dari kata sempurna, penerapan peraturan yang kurang maksimal, fungsi
pengawasan yang masih minim dan oknum yang bermain untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu masih menjadi
masalah utama. Pemerintah yang seharusnya berperan penting dalam menjaga dan memanfaatkan sistem pelayaran seakan
setengah hati melakukan tugasnya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kecelakaan baik itu tenggelamnya kapal atau kebakaran
kapal yang diakibatkan kelebihan penumpang dan/atau lemahnya proses pemeriksaan kelayakan kapal untuk berlayar, hal ini juga
dipertegas dengan adanya beberapa peraturan yang justru membatasi ruang gerak perusahaan pelayaran nasional untuk dapat
bersaing dengan kapal asing.
Pada saat masyarakat dan pelaku usaha pelayaran berharap agar Pemerintah melakukan pembenahan dalam sistem peraturan
pelayaran di Indonesia, Pemerintah justru datang dengan barang baru yang bernama RUU Cipta Kerja yang berdasarkan isinya
justru menambahkan aturan aturan baru yang tidak berpihak pada masyarakat pada umumnya.
19
No. Perihal Pasal Ketentuan
UU Pelayaran RUU CIPTA KERJA
1) Pasal 59
Terdapat penjelasan mengenai Penghapusan mengenai penjelasaan
pengaturan, pengendalian, dan terhadap pengaturan, pengendalian,
pengawasan serta prinsip kehati dan pengawasan dalam pembinaan
hatian yang harus dilakukan selama pelayaran.
pembinaan pelayaran.
2) Penambahan Pasal 8A Pasal 59
- Kapal Asing dapat melakukan
kegiatan lain yang tidak termasuk
kegiatan mengangkut penumpang
dan/atau barang dalam kegiatan
angkutan laut dalam negeri di
wilayah perairan Indonesia
sepanjang kapal berbendera
Indonesia belum tersedia atau
belum cukup tersedia. Ketentuan
lebih lanjutnya diatur di dalam
Peraturan Pemerintah.
3) Perubahan Pasal 9 Pasal 59
Dihapusnya ketentuan bahwa Jaringan trayek tetap dan teratur
jaringan trayek harus sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memperhatikan beberapa hal yaitu: ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
21
Angkutan perairan harus memiliki
Perizinan Berusaha, persetujuan
trayek, dan persetujuan
pengoperasian kapal.
22
sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 32 ayat (1) wajib memiliki izin 32 ayat (1), wajib memenuhi
usaha. Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
24
18) Perubahan Pasal 96 Pasal 59
Izin pembangunan pelabuhan laut Pelabuhan laut dapat dioperasikan
berdasarkan persetujuan Menteri setelah selesai dibangun dan
dan Gubernur. memenuhi persyaratan teknis dari
Pemerintah Pusat.
26
atau menjadi pelabuhan.
25) Perubahan Pasal 111 Pasal 59 Ketentuan mengenai pelabuhan Pelabuhan dan terminal khusus yang
yang terbuka bagi perdagangan luar terbuka bagi perdagangan luar negeri
negeri ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
27
29) Perubahan Pasal 129 Pasal 59
Mekanisme mengenai Badan Mekanisme mengenai Badan
Klasifikasi Nasional kapal yang Klasifikasi Nasional kapal yang
berada dibawah pengawasan berada dibawah pengawasan
Menteri. Pemerintah Pusati.
29
dan berlayar di laut diberikan Surat Pemerintah Pusat.
Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia
(“STKKI”) oleh Menteri. Penghapusan klasifikasi ukuran kapal
yang akan diberikan STKKI.
30
Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
tata cara audit dan penerbitan cara audit dan penerbitan sertifikat
sertifikat manajemen keselamatan manajemen keselamatan dan
dan pencegahan pencemaran pencegahan pencemaran Peraturan
Peraturan Menteri. Pemerintah.
31
43) Perubahan Pasal 171 Pasal 59
Setiap orang yang melanggar Merubah beberapa pasal yang dapat
ketentuan sebagaimana di maksud dikenakan sanksi dan menghilangkan
dalam Pasal 125 ayat (1), Pasal 129 jenis jenis sanksi menggantinya
ayat (1) atau ayat (4), Pasal 130 hanya dengan “sanksi
ayat (1), Pasal 132 ayat (1) atau administratif”
ayat (2), Pasal 137 ayat (1) atau
ayat (2), Pasal 138 ayat (1) atau
ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau
ayat (2), Pasal 152 ayat (1), Pasal
156 ayat (1), Pasal 160 ayat (1),
Pasal 162 ayat (1), atau Pasal 165
ayat (1) dikenakan sanksi
administratif, berupa:
● peringatan;
● denda administratif;
● pembekuan izin atau
pembekuan sertifikat;
● pencabutan izin atau
pencabutan sertifikat;
● tidak diberikan sertifikat; atau
● tidak diberikan Surat
Persetujuan Berlayar.
32
dan pekerjaan pengerukan alur- pekerjaan pengerukan alur-
pelayaran dan kolam pelabuhan, pelayaran dan kolam pelabuhan,
serta reklamasi wajib mendapat izin serta reklamasi wajib memenuhi
Pemerintah. Pekerjaan pengerukan Perizinan Berusaha dari
alur-pelayaran dan kolam Pemerintah Pusat.
pelabuhan serta reklamasi
dilakukan oleh perusahaan yang Ketentuan lebih lanjut mengenai
mempunyai kemampuan dan desain dan pekerjaan pengerukan
kompetensi dan dibuktikan dengan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan
sertifikat yang diterbitkan oleh reklamasi serta sertifikasi pelaksana
instansi yang berwenang sesuai pekerjaan diatur dengan Peraturan
dengan ketentuan peraturan Pemerintah.
perundang- undangan.
45) Perubahan Pasal 204 Pasal 59
Setiap kegiatan salvage dan Setiap kegiatan salvage dan
pekerjaan bawah air harus pekerjaan bawah air harus memenuhi
memperoleh izin dan memenuhi Perizinan Berusaha dari
persyaratan teknis keselamatan dan Pemerintah Pusat.
keamanan pelayaran dari Menteri.
33
dengan Peraturan Menteri. Pemerintah.
● Peringatan;
● Denda administratif;
● Pembekuan izin; atau
● Pencabutan izin.
34
ketentuan sebagaimana dimaksud ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dalam Pasal 272 ayat (1) dapat
dikenakan sanksi administratif, dikenai sanksi administratif.
berupa:
● peringatan;
● pembekuan izin; atau
● pencabutan izin.
50) Perubahan Pasal 282 Pasal 59
Dalam pelaksanaan tugasnya Penambahan ketentuan mengenai
pejabat pegawai negeri sipil tertentu wewenang PPNS dan PPNS harus
sebagaimana dimaksud pada ayat melaporkan saat dimulai dan
(1) berada di bawah koordinasi dan berakhirnya penyidikan kepada
pengawasan penyidik polisi Negara Penuntut Umum dan Kepolisian RI.
Republik Indonesia.
35
kapal pada angkutan cara pengenaan sanksi administratif
penyeberangan tanpa memiliki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
persetujuan pengoperasian kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (6) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
36
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
37
Ketentuan lama tetap Ketentuan lebih lanjut mengenai
dipertahankan. pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
38
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
39
Setiap orang yang mengoperasikan
kapal tanpa dilengkapi dengan Setiap orang yang mengoperasikan
perangkat komunikasi radio dan kapal tanpa dilengkapi dengan
kelengkapannya sebagaimana perangkat komunikasi radio dan
dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) kelengkapannya sebagaimana
dipidana dengan pidana penjara dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2)
paling lama 2 (dua) tahun dan dikenai sanksi administratif.
denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
40
dalam pasal 135 dipidana dengan dalam Pasal 135 dikenai sanksi
pidana penjara paling lama 2 (dua) administratif.
tahun dan denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
41
68) Perubahan Pasal 321 Pasal 59
Pemilik kapal yang tidak Pemilik kapal yang tidak
menyingkirkan kerangka kapal menyingkirkan kerangka kapal
dan/atau muatannya yang dan/atau muatannya yang
mengganggu keselamatan dan mengganggu keselamatan dan
keamanan pelayaran dalam batas keamanan pelayaran dalam batas
waktu yang ditetapkan Pemerintah waktu yang ditetapkan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 203 ayat (1) dipidana dengan Pasal 203 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
rupiah) miliar rupiah).
42
banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
43
4. Undang Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan
Tujuan dari UU Penerbangan adalah mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang
wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang
melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian
nasional, membina jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing dengan mengembangkan
teknologi dan industri angkutan udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan
nasional, memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan
ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil
dan merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kepentingan umum, keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, anti
monopoli dan keterbukaan, berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, serta kenusantaraan.
1. Penghapusan pasal 118 ayat 2 UU No.1 Tahun 2009 yang berisi ketentuan kepemilikan jumlah pesawat bagi maskapai
dengan penerbangan berjadwal. Dengan demikian, maskapai penerbangan berjadwal tidak perlu memiliki jumlah minimal
pesawat untuk menjalankan bisnisnya.
2. Adanya sentralisasi perizinan dan pemangkasan peran Menteri Perhubungan. Terdapat 20 perubahan pasal terkait
perizinan/persetujuan yang pada awalnya berasal dari Menteri diubah menjadi Pemerintah Pusat yaitu Pasal 46, 63, 85, 91, 95,
109, 118, 205, 222, 224, 233, 247, 249, 250, 254, 275, 294, 389, 418, dan 428. Hal ini menunjukkan adanya kekuasaan penuh
yang diberikan pada Pemerintah Pusat (eksekutif). Kewenangan yang sebelumnya diperankan oleh Menteri menjadi
sentralistik karena menjadi kewenangan pemerintah pusat.
3. Terdapat 24 pasal yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Menteri berubah menjadi diatur dengan Peraturan Pemerintah
yaitu Pasal 30,40, 45, 51, 60, 66, 96, 100, 114, 120, 130, 137, 139, 208, 221, 225, 238, 242, 252, 255, 277, 295, 317, dan 392.
Adanya beberapa sanksi administratif yang diatur dengan Peraturan Pemerintah akan memberikan kewenangan dan
kekuasaan besar terhadap Pemerintah.
44
4. Pada Pasal 130 yang berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi
dan angkutan udara perintis serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dengan
peraturan pemerintah. Dengan diatur oleh PP, maka ketentuan akan berlaku lebih lama. Namun proses pembentukan PP
akan lebih kompleks dan memakan waktu lama karena melibatkan beberapa kementerian dan lembaga.
5. Berpotensi timbulnya ketidakpastian hukum. Hal ini tergambar dari penghapusan bentuk sanksi administratif pada 9 pasal
yaitu Pasal 28, 50, 63, 113, 119, 138, 219, 233, dan 403. Penghapusan bentuk sanksi administratif ini menggambarkan hukum
yang bersifat sangat umum. Tidak ada lagi ketegasan dalam UU terkait bentuk dari sanksi akibat pelanggaran.
45
Sertifikat tipe sebagaimana dimaksud Menghilangkan ayat 2 dalam Pasal ini.
pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan
pemeriksaan kesesuaian terhadap
standar kelaikudaraan rancang bangun
(initial airworthiness) dan telah
memenuhi uji tipe.
46
rancang bangun pesawat udara, rancang bangun pesawat udara,
sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe
diatur dengan Peraturan Menteri. diatur dengan Peraturan Pemerintah.
47
Proses sertifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dikenakan biaya. -
12) Perubahan Pasal 28 Pasal 60 Setiap orang yang mengaburkan Pengubahan pada ayat 2 : tidak ada
identitas tanda pendaftaran dan bentuk dari sanksi administratif
kebangsaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. peringatan; dan/atau
b. pencabutan sertifikat.
13) Perubahan Pasal 30 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Ketentuan diatur dengan Peraturan
cara dan prosedur pendaftaran dan Pemerintah.
penghapusan tanda pendaftaran dan
tanda kebangsaan Indonesia serta
pemberian sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Menteri.
14) Penghapusan Pasal 31 Pasal 60 Proses sertifikasi pendaftaran pesawat -
udara sebagaimana dimaksud dalam
48
Pasal 26 ayat (2) dan penghapusan
tanda pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan
oleh lembaga penyelenggara pelayanan
umum.
15) Penghapusan Pasal 32 Pasal 60 Proses sertifikasi pendaftaran pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam
-
Pasal 31 dikenakan
biaya.
16) Penghapusan Pasal 33 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai
lembaga penyelenggara pelayanan
-
umum, serta proses dan biaya sertifikasi
diatur dalam Peraturan Menteri.
17) Perubahan Pasal 37 Pasal 60 Ayat 3 menjelaskan standar lanjutan Ayat 3 dihapus
pesawat udara dalam memperoleh
sertifikat kelaikudaraan
18) Perubahan Pasal 40 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Ketentuan diatur dengan Peraturan
cara dan prosedur untuk memperoleh Pemerintah
sertifikat kelaikudaraan dan pemberian
sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri.
19) Perubahan Pasal 41 Pasal 60 Ayat 3 menjelaskan ketentuan Ayat 3 dihapus
pemberian sertifikat yaitu diberikan
setelah lulus pemeriksaan dan pengujian
serta pemohon mendemonstrasikan
kemampuan pengoperasian pesawat
udara.
20) Penghapusan Pasal 42 Pasal 60 Pasal 42 menjelaskan ketentuan yang -
harus dipenuhi operator untuk
49
memperoleh sertifikat operator
pesawat udara
21) Penghapusan Pasal 43 Pasal 60 Pasal 43 menjelaskan persyaratan yang -
harus dipenuhi operator untuk
memperoleh sertifikat pengoperasian
pesawat udara
22) Perubahan Pasal 45 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Ketentuan diatur dengan Peraturan
cara dan prosedur memperoleh sertifikat Pemerintah
operator pesawat udara atau sertifikat
pengoperasian pesawat udara dan
pemberian sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Menteri.
23) Perubahan Pasal 46 Pasal 60 Ayat 2 : Dalam perawatan pesawat Ayat 2 diubah : program perawatan
udara, mesin pesawat udara, baling- pesawat udara disahkan Pemerintah
baling pesawat terbang, dan Pusat
komponennya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setiap orang harus
membuat program perawatan pesawat
udara yang disahkan oleh Menteri.
24) Perubahan Pasal 47 Pasal 60 Ayat 2 : Sertifikat organisasi perawatan Ayat 2 dihapus
pesawat udara dan lisensi ahli
perawatan pesawat udara diberikan
setelah lulus pemeriksaan dan
pengujian.
25) Penghapusan Pasal 48 Pasal 60 Pasal 48 berisi persyaratan yang harus -
dipenuhi untuk mendapatkan sertifikat
organisasi perawatan pesawat udara
26) Perubahan Pasal 49 Pasal 60 Pasal 49 merujuk pada Pasal 47 ayat (1) Pasal 49 merujuk pada Pasal 47 huruf b
huruf b
50
27) Perubahan Pasal 50 Pasal 60 Setiap orang yang melanggar ketentuan Merujuk pada pasal 47 dan tidak ada
perawatan pesawat udara sebagaimana bentuk sanksi administratif
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pembekuan sertifikat; dan/atau
b. pencabutan sertifikat.
28) Perubahan Pasal 51 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Ketentuan diatur dengan Peraturan
cara, prosedur, dan pemberian sertifikat Pemerintah
organisasi perawatan pesawat udara dan
lisensi ahli perawatan pesawat udara
dan pemberian sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Menteri.
29) Perubahan Pasal 58 Pasal 60 Ayat 3 tentang persyaratan yang harus Ayat 3 dan 4 dihapus
dipenuhi dalam pemberian lisensi oleh
menteri
Ayat 4 tentang sertifikat kompetensi
diperoleh melalui pendidikan dan/atau
pelatihan yang diselenggarakan lembaga
yang telah diakreditasi.
30) Perubahan Pasal 60 Pasal 60 Lisensi personel pesawat udara yang Pengesahan oleh Pemerintah Pusat
diberikan oleh negara lain dapat diakui
melalui proses pengesahan oleh
Menteri.
31) Perubahan Pasal 61 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketentuan diatur dengan Peraturan
persyaratan, tata cara dan prosedur Pemerintah
memperoleh lisensi, atau sertifikat
kompetensi dan lembaga pendidikan
dan/atau pelatihan diatur dengan
51
Peraturan Menteri.
32) Perubahan Pasal 63 Pasal 60 Ayat 2 : Dalam keadaan tertentu dan Ayat 2 : Persetujuan didapat dari
dalam waktu terbatas pesawat udara Pemerintah Pusat
asing dapat dioperasikan setelah
mendapat izin dari Menteri. Ayat 4 : persyaratan kelaikudaraan
ditetapkan pemerintah pusat
Ayat 4 : Pesawat udara sipil asing yang
akan dioperasikan harus memenuhi Ayat 5 : tidak ada bentuk sanksi
persyaratan kelaikudaraan. administratif
52
umum, serta proses dan biaya sertifikasi
diatur dalam Peraturan Menteri.
35) Perubahan Pasal 67 Pasal 60 Setiap pesawat udara negara yang Penambahan keterangan pada ayat 1 :
dibuat dan dioperasikan harus ditetapkan oleh pemerintah pusat
memenuhi standar rancang
bangun, produksi, dan kelaikudaraan.
36) Perubahan Pasal 84 Pasal 60 Angkutan udara niaga dalam negeri Dilakukan badan usaha yang telah
hanya dapat dilakukan oleh badan usaha memenuhi Perizinan Berusaha dari
angkutan udara nasional yang telah Pemerintah Pusat
mendapat izin usaha angkutan udara
niaga.
37) Perubahan Pasal 85 Pasal 60 Badan usaha angkutan udara niaga Ayat 2 : persetujuan didapat dari
berjadwal dalam keadaan tertentu dan Pemerintah Pusat
bersifat sementara dapat melakukan
kegiatan angkutan udara niaga tidak
berjadwal setelah mendapat
persetujuan dari Menteri.
38) Perubahan Pasal 91 Pasal 60 Ayat 1 : Angkutan udara niaga tidak Ayat 1 : dapat dilakukan jika telah
berjadwal dalam negeri hanya dapat memenuhi Perizinan Berusaha dari
dilakukan oleh badan usaha angkutan Pemerintah Pusat
udara nasional yang telah mendapat
izin usaha angkutan udara niaga tidak Ayat 3 : persetujuan didapat dari
berjadwal. Pemerintah Pusat
Ayat 3 tentang kegiatan angkutan udara
berjadwal yang dapat dilakukan badan
usaha angkutan udara niaga tidak
berjadwal dalam negeri setelah
mendapat persetujuan dari menteri
39) Perubahan Pasal 93 Pasal 60 Kegiatan angkutan udara niaga tidak Persetujuan didapat dari Pemerintah
53
berjadwal luar negeri wajib mendapat Pusat
persetujuan terbang dari Menteri
40) Perubahan Pasal 94 Pasal 60 Ayat 3 tentang prosedur dan tata cara Penghapusan ayat 3
pengenaan sanksi yang diatur dalam
Peraturam Pemerintah mengenai
penerimaan negara bukan pajak
41) Perubahan Pasal 95 Pasal 60 Ayat 1 tentang larangan kepada Pengubahan pada ayat 1 terkait izin
perusahaan angkutan udara niaga tidak yang diperoleh dari Pemerintah Pusat
berjadwal asing untuk tidak mengangkut
kargo dari Indonesia kecuali atas izin Penghapusan ayat 3
Menteri
55
direksi badan usaha angkutan udara
niaga
56
angkutan udara niaga dan pengangkatan
direksi perusahaan angkutan udara
niaga diatur dengan Peraturan Menteri.
52) Perubahan Pasal 118 Pasal 60 Ayat 1 : Ayat 1 : pengubahan pada poin f, g, dan
f. menyerahkan laporan kegiatan h menjadi kepada Pemerintah Pusat
angkutan udara, termasuk
keterlambatan dan pembatalan Ayat 2 dihapus
penerbangan, setiap bulan paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan Ayat 3 pada UU Penerbangan
berikutnya kepada Menteri; (menjadi ayat 2 pada RUU Cipta Kerja)
g. menyerahkan laporan kinerja diubah dari Menteri menjadi Pemerintah
keuangan yang telah diaudit oleh Pusat. Ayat ini terkait kewajiban
kantor akuntan publik terdaftar yang pemegang izin kegiatan angkutan udara
sekurang-kurangnya memuat bukan niaga yang dilakukan oleh
neraca, laporan rugi laba, arus kas, Pemerintah, pemerintah daerah, badan
dan rincian biaya, setiap tahun paling usaha, dan lembaga tertentu
lambat akhir bulan April tahun
berikutnya kepada Menteri; Ayat 4 pada UU Penerbangan (menjadi
h. melaporkan apabila terjadi ayat 3 pada RUU Cipta Kerja) diubah
perubahan penanggung jawab atau dari Menteri menjadi Pemerintah Pusat.
pemilik badan usaha angkutan udara Ayat ini terkait kewajiban pemegang izin
niaga, domisili badan usaha kegiatan angkutan udara bukan niaga
angkutan udara niaga dan pemilikan yang dilakukan oleh orang perseorangan
pesawat udara kepada Menteri;
57
udara niaga yang melanggar ketentuan pada ayat 2 dan 3
dikenakan sanksi administratif berupa
peringatan dan/atau pencabutan izin Ayat 4 dihapus
serta denda.
58
kegiatan usaha penunjang angkutan
udara.
(2) Kegiatan usaha penunjang angkutan
udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mendapat izin dari Menteri.
57) Penghapusan Pasal 132 Pasal 60 Berisi persyaratan yang wajib dipenuhi
untuk mendapatkan izin usaha -
penunjang angkutan udara
58) Penghapusan Pasal 133 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan, tata cara, dan prosedur
pemberian izin kegiatan usaha -
penunjang angkutan udara diatur dengan
Peraturan Menteri.
59) Perubahan Pasal 137 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketentuan lebih lanjut mengenai
prosedur dan tata cara pengenaan prosedur dan tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri. diatur dengan Peraturan Pemerintah
60) Perubahan Pasal 138 Pasal 60 Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat Penghapusan bentuk sanksi administratif
udara, atau pengirim, badan usaha pada ayat 3
bandar udara, unit penyelenggara
bandar udara, badan usaha
pergudangan, atau badan usaha
angkutan udara niaga yang melanggar
ketentuan pengangkutan barang
berbahaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan
59
dan/atau pencabutan izin.
61) Perubahan Pasal 139 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara prosedur pengangkutan barang cara prosedur pengangkutan barang
khusus dan barang berbahaya serta khusus dan barang berbahaya serta
pengenaan sanksi administratif diatur pengenaan sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Menteri. dengan Peraturan Pemerintah
62) Perubahan Pasal 205 Pasal 60 Ayat 2 : Pemanfaatan daerah lingkungan
Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar udara harus
kepentingan bandar udara harus mendapatkan persetujuan dari
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat
Menteri.
63) Penghapusan Pasal 215 Pasal 60 (1) Izin mendirikan bangunan bandar -
udara ditetapkan oleh Pemerintah
setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah.
(2) Izin mendirikan bangunan bandar
udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan setelah memenuhi
persyaratan:
a. bukti kepemilikan dan/atau
penguasaan lahan;
b. rekomendasi yang diberikan oleh
instansi terkait terhadap utilitas dan
aksesibilitas dalam penyelenggaraan
bandar udara;
c. bukti penetapan lokasi bandar udara;
d. rancangan teknik terinci fasilitas
pokok bandar udara; dan
60
e. kelestarian lingkungan.
64) Perubahan Pasal 218 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketentuan lebih lanjut mengenai
keselamatan dan keamanan keselamatan dan keamanan
penerbangan, pelayanan jasa bandar penerbangan, pelayanan jasa bandar
udara, serta tata cara dan prosedur udara, serta tata cara dan prosedur
untuk memperoleh sertifikat bandar untuk memperoleh sertifikat bandar
udara atau register bandar udara dan udara atau register bandar udara dan
pengenaan sanksi administratif diatur pengenaan sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Menteri. dengan Peraturan Pemerintah.
65) Perubahan Pasal 219 Pasal 60 (2) Setiap fasilitas bandar udara Penghapusan ayat 2, 3, dan 4
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perubahan pada ayat 5 pada UU
diberi sertifikat kelaikan oleh Menteri. Penerbangan
(3) Untuk mempertahankan kesiapan
fasilitas bandar udara, badan usaha (2) Setiap orang yang melanggar
bandar udara, atau unit penyelenggara ketentuan sebagaimana dimaksud pada
bandar udara wajib melakukan ayat (1) dikenakan sanksi administratif
perawatan dalam jangka waktu tertentu
dengan cara pengecekan, tes, verifikasi,
dan/atau kalibrasi.
(4) Untuk menjaga dan meningkatkan
kinerja fasilitas, prosedur, dan personel,
badan usaha bandar udara atau unit
penyelenggara bandar udara wajib
melakukan pelatihan penanggulangan
keadaan darurat secara berkala.
(5) Setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (3), dan ayat (4)
61
dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat; dan/atau
c. pencabutan sertifikat.
66) Perubahan Pasal 221 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengoperasian fasilitas bandar udara pengoperasian fasilitas bandar udara
serta tata cara dan prosedur pengenaan serta tata cara dan prosedur pengenaan
sanksi administratif diatur dengan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri. Peraturan Pemerintah
67) Perubahan Pasal 222 Pasal 60 (2) Personel bandar udara yang terkait Penghapusan ayat (2) dan (3)
langsung dengan pelaksanaan
pengoperasian dan/atau pemeliharaan Pengubahan ayat (4) UU Penerbangan
fasilitas bandar udara wajib memiliki menjadi :
lisensi yang sah dan masih berlaku. (2) Sertifikat kompetensi
(3) Lisensi sebagaimana dimaksud pada sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah diperoleh melalui pendidikan dan/atau
memenuhi persyaratan: pelatihan yang diselenggarakan lembaga
a. administratif; yang telah diakreditasi oleh Pemerintah
b. sehat jasmani dan rohani; Pusat
c. memiliki sertifikat kompetensi di
bidangnya; dan
d. lulus ujian.
(4) Sertifikat kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh
melalui pendidikan dan/atau pelatihan
yang diselenggarakan lembaga yang
telah diakreditasi oleh Menteri.
62
68) Perubahan Pasal 224 Pasal 60 Lisensi personel bandar udara yang Lisensi personel bandar udara yang
diberikan oleh negara lain dinyatakan diberikan oleh negara lain dinyatakan
sah melalui proses sah melalui proses
pengesahan atau validasi oleh Menteri. pengesahan atau validasi oleh
Pemerintah Pusat
69) Perubahan Pasal 225 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan, tata cara dan prosedur persyaratan, tata cara dan prosedur
memperoleh lisensi, lembaga pendidikan memperoleh lisensi, lembaga pendidikan
dan/atau pelatihan, serta pengenaan dan/atau pelatihan, serta pengenaan
sanksi administratif diatur dengan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri. Peraturan Pemerintah
70) Perubahan Pasal 233 Pasal 60 (1) Pelayanan jasa kebandarudaraan (1) Pelayanan jasa kebandarudaraan
dapat diselenggarakan oleh: dapat diselenggarakan oleh:
a. badan usaha bandar udara untuk a. badan usaha bandar udara untuk
bandar udara yang diusahakan secara bandar udara yang diusahakan secara
komersial setelah memperoleh izin dari komersial setelah memenuhi Perizinan
Menteri; atau Berusaha dari Pemerintah Pusat atau
b. unit penyelenggara bandar udara b. unit penyelenggara bandar udara
untuk bandar udara yang belum untuk bandar udara yang belum
diusahakan secara komersial yang diusahakan secara komersial yang
dibentuk oleh dan bertanggung jawab dibentuk oleh dan bertanggung jawab
kepada pemerintah dan/atau kepada Pemerintah Pusat
pemerintah daerah.
(2) Izin Menteri diberikan setelah Ayat 2, 3, dan 4 UU Penerbangan
memenuhi persyaratan administrasi, dihapus
keuangan, dan manajemen.
(3) Izin Menteri tidak dapat (3) Badan usaha bandar udara yang
63
dipindahtangankan. memindahtangankan Perizinan
(4) Pelayanan jasa terkait dengan Berusaha dikenakan sanksi
bandar udara dapat diselenggarakan administratif
oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia.
(5) Badan usaha bandar udara yang
memindahtangankan izin dikenakan
sanksi administratif berupa
pencabutan izin.
71) Perubahan Pasal 237 Pasal 60 (2) Pengusahaan bandar udara yang Pemerintah Pusat mengembangkan
dilakukan oleh badan usaha bandar usaha kebandarudaraan melalui
udara, seluruh atau sebagian besar penanaman modal sesuai dengan
modalnya harus dimiliki oleh badan ketentuan peraturan perundang-
hukum Indonesia atau warga negara undangan di bidang penanaman modal
Indonesia.
64
sanksi administratif diatur dengan prosedur dan tata cara pengenaan
Peraturan Menteri. diatur dengan Peraturan Pemerintah
73) Perubahan Pasal 242 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketentuan lebih lanjut mengenai
tanggung jawab atas kerugian serta tata tanggung jawab atas kerugian serta
cara dan prosedur pengenaan sanksi sanksi administratif termasuk prosedur
administratif diatur dengan Peraturan dan tata cara pengenaan diatur dengan
Menteri. Peraturan Pemerintah
74) Perubahan Pasal 247 Pasal 60 (1) Dalam rangka menunjang kegiatan (1) Dalam rangka menunjang kegiatan
tertentu, Pemerintah, pemerintah daerah, tertentu, instansi Pemerintah Pusat,
dan/atau badan hukum Indonesia dapat pemerintah daerah, dan/atau badan
membangun bandar udara khusus hukum Indonesia dapat membangun
setelah mendapat izin pembangunan bandar udara khusus setelah mendapat
dari Menteri. izin pembangunan dari Pemerintah
Pusat
(2) Izin pembangunan bandar udara
khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 UU Penerbangan dihapus
ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. bukti kepemilikan dan/atau
penguasaan lahan;
b. rekomendasi yang diberikan oleh
pemerintah daerah setempat;
c. rancangan teknik terinci fasilitas
pokok; dan
d. kelestarian lingkungan.
75) Perubahan Pasal 249 Pasal 60 Bandar udara khusus dilarang melayani Bandar udara khusus dilarang melayani
penerbangan langsung dari dan/atau ke penerbangan langsung dari dan/atau ke
luar negeri kecuali dalam keadaan luar negeri kecuali dalam keadaan
tertentu dan bersifat sementara, setelah tertentu dan bersifat sementara, setelah
65
memperoleh izin dari Menteri. memperoleh persetujuan dari
Pemerintah Pusat
76) Perubahan Pasal 250 Pasal 60 Bandar udara khusus dilarang digunakan Bandar udara khusus dilarang digunakan
untuk kepentingan umum kecuali dalam untuk kepentingan umum kecuali dalam
keadaan tertentu dengan izin Menteri, keadaan tertentu dengan persetujuan
dan bersifat sementara. dari Pemerintah Pusat
77) Perubahan Pasal 252 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai izin Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembangunan dan pengoperasian persetujuan pembangunan dan
bandar udara khusus, serta perubahan pengoperasian bandar udara khusus,
status menjadi bandar udara yang dapat serta perubahan status menjadi bandar
melayani kepentingan umum diatur udara yang dapat melayani kepentingan
dengan Peraturan Menteri. umum diatur dengan Peraturan
Pemerintah
78) Perubahan Pasal 253 Pasal 60 (3) Izin mendirikan bangunan tempat Penghapusan ayat 2 dan 3
pendaratan dan lepas landas helikopter
diberikan oleh pemerintah daerah
setempat setelah memperoleh
pertimbangan teknis dari Menteri.
66
landas helikopter yang telah memenuhi landas helikopter yang telah memenuhi
ketentuan keselamatan penerbangan ketentuan keselamatan penerbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan register oleh Menteri diberikan tanda pendaftaran oleh
Pemerintah Pusat
80) Perubahan Pasal 255 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara dan prosedur pemberian izin cara dan prosedur pemberian izin
pembangunan dan pengoperasian pembangunan dan pengoperasian
tempat pendaratan dan lepas landas tempat pendaratan dan lepas landas
helikopter diatur dengan peraturan helikopter diatur dengan Peraturan
Menteri Pemerintah
81) Perubahan Pasal 275 Pasal 60 (1) Lembaga penyelenggara pelayanan Perubahan pada ayat (1) menjadi :
navigasi penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib (1) Lembaga penyelenggara pelayanan
memiliki sertifikat pelayanan navigasi navigasi penerbangan sebagaimana
penerbangan yang ditetapkan oleh dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib
Menteri. memiliki sertifikat pelayanan navigasi
penerbangan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat
82) Perubahan Pasal 277 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara dan prosedur pembentukan dan cara dan prosedur pembentukan dan
sertifikasi lembaga penyelenggara sertifikasi lembaga penyelenggara
pelayanan navigasi penerbangan, serta pelayanan navigasi penerbangan, serta
biaya pelayanan jasa navigasi biaya pelayanan jasa navigasi
penerbangan diatur dengan Peraturan penerbangan diatur dengan Peraturan
Menteri. Pemerintah
83) Perubahan Pasal 292 Pasal 60 (3) Lisensi sebagaimana dimaksud pada Penghapusan ayat 3 dan 4
ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah
67
memenuhi persyaratan:
a. administratif;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. memiliki sertifikat kompetensi di
bidangnya; dan
d. lulus ujian.
68
Pemerintah
87) Perubahan Pasal 389 Pasal 60 Setiap personel di bidang penerbangan Setiap personel di bidang penerbangan
yang telah memiliki sertifikat kompetensi
yang telah memiliki sertifikat kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388
dapat diberi lisensi oleh Menteri dapat diberi lisensi oleh Pemerintah
setelah memenuhi persyaratan. Pusat setelah memenuhi persyaratan.
88) Perubahan Pasal 392 Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat
kompetensi dan lisensi serta
kompetensi dan lisensi serta
penyusunan program pelatihan diatur penyusunan program pelatihan diatur
dengan Peraturan Menteri. dengan Peraturan Pemerintah
89) Perubahan Pasal 399 Pasal 60 (1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu
Pengubahan pada akhir ayat 1 menjadi
di lingkungan instansi yang lingkup tugas
dalam Kitab Undang-Undang Hukum
dan tanggung jawabnya di bidang Acara Pidana untuk melakukan
penerbangan diberi wewenang khusus penyidikan tindak pidana
sebagai penyidik tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam undang- Penambahan ayat 2 yang berisi tentang
undang ini. kewenangan Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu
(2) Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat
pegawai negeri sipil tertentu Penambahan ayat 3 berisi penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lanjutan kedudukan Pejabat Pegawai
berada di bawah koordinasi dan Negeri Sipil tertentu
pengawasan penyidik polisi Negara
Republik Indonesia. Penambahan ayat 4 berisi penjelasan
lanjutan tentang penyidik Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu
69
Dalam melaksanakan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
dapat meminta bantuan kepada aparat
penegak hukum
90) Penghapusan Pasal 400 Pasal 60 Ayat 1 berisi kewenangan penyidik -
pegawai negeri sipil
92) Perubahan Pasal 418 Pasal 60 Setiap orang yang melakukan kegiatan Setiap orang yang melakukan kegiatan
angkutan udara niaga tidak berjadwal angkutan udara niaga tidak berjadwal
luar negeri tanpa persetujuan terbang luar negeri tanpa persetujuan terbang
dari Menteri sebagaimana dimaksud dari Pemerintah Pusat sebagaimana
dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1)
pidana penjara paling lama 1 (satu) dipidana dengan pidana penjara paling
70
tahun atau denda paling banyak lama 1 (satu) tahun atau denda paling
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
rupiah). juta rupiah).
93) Perubahan Pasal 423 Pasal 60 (1) Personel bandar udara yang Perubahan rujukan menjadi Pasal 222
mengoperasikan dan/atau memelihara
fasilitas bandar udara tanpa memiliki (1) Personel bandar udara yang
lisensi atau sertifikat kompetensi mengoperasikan dan/atau memelihara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal fasilitas bandar udara tanpa memiliki
222 ayat (1) dipidana dengan pidana lisensi atau sertifikat kompetensi
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal
denda paling banyak Rp200.000.000,00 222 dipidana dengan pidana penjara
(dua ratus juta rupiah). paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
94) Perubahan Pasal 428 Pasal 60 Setiap orang yang mengoperasikan Setiap orang yang mengoperasikan
bandar udara khusus yang digunakan bandar udara khusus yang digunakan
untuk kepentingan umum tanpa izin dari untuk kepentingan umum tanpa izin dari
Menteri dipidana dengan pidana penjara Pemerintah Pusat dipidana dengan
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga atau denda paling banyak
miliar rupiah). Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
71