Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAPASAN

DIAGNOSA MEDIS BRONCHOPNEUMONIA


DIRUANGAN PERAWATAN PALEM DI BLUD RSUD
H.PADJONGA DAENG NGALLE

Disusun Oleh
Nama : Musdalifa
Nim : 17CP1010
Kelompok : 6
Preceptor
Preceptor Institusi Preceptor Lahan

(Suardi, S.kep, Ns, M.Kep) (Ramlah S.kep, Ns)

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PROGRAM PENDIDIKAN S1 KEPERAWATAN
STIKES TAWALI PERSADA TAKALAR
2020/2021

1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.K DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERNAPASAN DIAGNOSA MEDIS BRONCHOPNEUMONIA
DIRUANGAN PERAWATAN PALEM DI BLUD RSUD
H.PADJONGA DAENG NGALLE

Disusun Oleh
Nama : Musdalifa
Nim : 17CP1010
Kelompok : 6
Preceptor
Preceptor Institusi Preceptor Lahan

(Suardi, S.kep, Ns, M.Kep) (Ramlah S.kep, Ns)

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PROGRAM PENDIDIKAN S1 KEPERAWATAN
STIKES TAWALI PERSADA TAKALAR
2021

2
LAPORAN PENDAHULUAN
STEVEN JOHNSON SYNDROME (SJS)

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan
pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura[CITATION Mut13 \l 1057 ].
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik
dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium. Sindrom
Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal juga
dengan sebutan eritema multiforme mayor[ CITATION Dar14 \l 1057 ].
Menurut Sharma and Sethuraman (1996) dalam [ CITATION Kar13 \l 1057 ],
Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang dari ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,
disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh,
terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh, serta
melibatkan lebih dari satu membran mukosa.
2. Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan etiologi pasti
belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat secara
sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi
radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen[ CITATION Ram11 \l
1057 ].
Menurut Darmawan (2014), penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi)
terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko
penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia, kasus
lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.
3. Manifestasi Klinis
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan pada mata
berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis, serta
kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh makula dan papula yang segera
3
diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi
ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu
putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah
mengalami perdarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak
terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah
lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring, saluran
pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi oral yang hebat dapat
menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan, sedangkan lesi pada saluran pernafasan
bagian atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas[ CITATION Ram11 \l 1057 ].
4. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III
dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi Kegagalan
fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, Stres hormonal diikuti peningkatan
resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat, Kegagalan termoregulasi,
Kegagalan fungsi imun, Infeksi.
1.      Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan
kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus
antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen
antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi
pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2.      Reaksi Hipersensitif Tipe IV

4
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
5. Komplikasi
Saat “onset” terjadi, penderita Steven Johnson Syndrome mengalami demam, nyeri
otot, gejala traktus respirasi atas dan bawah. Pada membran mukosa mata, bibir, dan
genetalia akan terjadi lesi berupa “bulla” dengan pembentukan mambran atau
pseudomembran. Komplikasi lanjut pada membran mukosa mata karena pembentukan
jaringan sikatrik sehingga menyebabkan conjunctival shinkage, trikiasis, dan defisiensi air
mata. Pada kornea terutama pada fase lanjut dapat terjadi epitheliopathy kronis, defek epitel
yang tidak sembuh, pembentukan pannus fibrovaskular, sikatrik subepitelial dan
neovaskularisasi strome, sikatrik dan penipisan kornea[ CITATION Lut07 \l 1057 ].
Berikut adalah beberapa penyulit dari penyakit Steven Johnson Syndome menurut
Djuanda (2015).
a. Sepsis
b. Pneumoni
c. Gagal ginjal
6. Pemeriksaan Diagnostik/penunjang
Diagnosis Steven Johnson Syndrome ditegakkan berdasarkan hal berikut [ CITATION
Dju15 \l 1057 ].
a. Anamnesis yang cermat untuk mengetahui penyebab SJS terutama obat yang diduga
sebagai penyebab .
b. Pemeriksaan klinis, berupa pemeriksaan gejala prodromal, kelainan kulit dan kelainan
mukosa serta mata.
c. Pemeriksaan adanya infeksi yang mungkin sebagai penyebab SJS.
Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian
sehingga perlu penanganan cepat dan tepat/optimal, mengenali dan menghentikan segera obat
yang bertanggung jawab (pada kasus yang meragukan, menghentikan semua obat yang
dikonsumsi dalam 8 minggu sebelum onset) dan merawat pasien di rumah sakit. Pasien
dengan SCORTEN 0–1 (lihat tabel 1.1) dirawat dibangsal dan yang lebih berat (≥2) dirawat
di unit rawat intensif [ CITATION Tha09 \l 1057 ].
7. Penatalaksanaan

5
Penegakan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai macam
bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosis sindrom Stevens-Johnson
terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Perawatan pada penderita sindrom Stevens-Johnson lebih ditekankan pada perawatan
simtomatik dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti[ CITATION
Ram11 \l 1057 ]. Penanganan simptomatik suportif yaitu mempertahankan keseimbangan
hemodinamik, dan mencegah terjadi komplikasi yang mengancam jiwa[ CITATION Tha09 \l
1057 ].
Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan
penyakit yang secara umum meliputi[ CITATION Ram11 \l 1057 ]:
a. Rawat Inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan
penderita.
b. Penggunaan preparat kortikosteroid
merupakan tindakan life saving.Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis
biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak
timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5mg
secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari kemudian diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian
diturunkan menjadi 10mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama
pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
c. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas
penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang
diberikan hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain
siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600mg
intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
d. Infuse dan Transfusi Darah
Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau
elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman
akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang
6
diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan
penderita belum menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita dapat
diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, khususnya pada kasus
yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.
e. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium
atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral.
f. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks adrenal
akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1
mg.
g. Agen Hemostatis
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen
hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
h. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada
penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita
mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi
protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita
selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang
lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan[ CITATION Ram11 \l 1057 ].
i. Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks
diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau
1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas
sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler

Berikut adalah tatalaksana perawatan pada organ penderita Steven Johnson Syndrome
[ CITATION Ram11 \l 1057 ].
1) Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih nyaman
jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri
seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi
kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak,
7
larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk
perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit
kulit dan kelamin sangat diperlukan.
2) Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres dengan larutan salin
serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis,suplemen
air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal epithelial breakdown.
Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.
3) Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita.
Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami gangguan buang air kecil
akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk
memperlancar buang air kecil.
4) Perawatan pada Oral
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anastetik topical
dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Campuran 50% air dan
hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa
pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada
mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral
pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid.
Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa
digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur
karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu
kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh
saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum sehingga
tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan
pekerjaan, alamat, dan nomor register.
b. Riwayat Kesehatan
-          Keluhan Utama
8
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan
-          Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven Johnson
biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala, batuk, pilek, dan
sakit tenggorokan.
-          Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat penyakit
yang sebelumnya dialami klien.
-          Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.

2. Diagnosa Keperawatan
 Kerusakan integritas kulit b.d. lesi dan reaksi inflamasi lokal.
 Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. intake tidak adekuat respons
sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
 Nyeri b.d. kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lemak.
 Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
 Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d perubahan struktur kulit, perubahan peran
keluarga.
 Kecemasan b.d kondisi penyakit , penurunan kesembuhan
3. Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


DX Keperawatan Hasil
1. Kerusakan  Integritas kulit 1. Kaji TTV
integritas kulit b.d. yang baik bisa 2. Kaji kulit akan
lesi dan reaksi dipertahankan adanya kemerahan
inflamasi lokal (sensasi,elastisitas 3. Jaga kebersihan
,temperatur,hidras kulit agar tetap
i,pigmentasi) bersih dan kering
tidak luka atau 4. Anjurkan pasien
lesi pada kulit untuk
 Perfusi jaringan menggunakan

9
baik pakaian yang
 Mampu longgar
melindungi kulit 5. Kolaborasi
dan pemberian
mempertahankan pemberian terapi
kelembaban kulit medis
dan perawatan
alami
2. Ketidakseimbangan  Adanya 1. Kaji adanya alergi
nutrisi, kurang dari peningkatan berat makanan
kebutuhan b.d. badan sesuai 2. Kaji adanya
intake tidak dengan tujuan penurunan berat
adekuat respons  Berat badan ideal badan
sekunder dari sesuai dengan 3. Anjurkan pasien
kerusakan krusta tinggi badan untuk
pada mukosa  Mampu meningkatkan
mulut. mengidentifikasi protein dan vitamin
kebutuhan nutrisi C

 Tidak ada tanda- 4. Ajarkan pasien

tanda malnutrisi bagaimana

 Tidak terjadi membuat catatan

penurunan berat makanan harian

badan yang 5. Kolaborasi dengan

berarti ahli gizi untuk


menentukan jumlah
kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan
pasien
3. Nyeri b.d.  Mampu 1. Kaji TTV
mengontrol nyeri 2. Kaji tipe dan
kerusakan jaringan
(tahu penyebab sumber nyeri utuk
lunak, erosi nyeri ,mampu menentukan
menggunakan intervensi
jaringan lemak
teknik 3. Atur posisi klien
nonfarmakologi senyaman mungkin
untuk mengurangi 4. Ajarkan tentang
nyeri ,mencari teknik

10
bantuan) nonfarmakologi
 Melaporkan 5. Berikan analgetik
bahwa nyeri untuk mengurangi
berkurang dengan nyeri
menggunakan
manajemen nyeri
 Menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang
4. Defisit perawatan  Perawatan diri 1. Memantau
diri (mandi) b.d ostomi : tindakan integritas kulit
kelemahan fisik pribadi pasien
secara umum mempertahankan 2. Mnyediakan
ostomi untuk lingkungan yang
eliminasi terapeutik dengan
 Perawatan diri memastikan
mandi : mampu hangat,santai,penga
untuk laman pribadi,dan
membersihkan personal
tubuh sendiri 3. Memfasilitasi diri
secara mandiri mandi pasien
dengan atau tanpa 4. Memberikan
alat bantu bantuan sampai
 Membersihkan pasien sepenuhnya
dan dapat
mengeringkan mengasumsikan
tubuh perawatan diri

 Mengungkapkan 5. Menentukan

secara verbal jumlah dan jenis

kepuasan tentang bantuan yang

kebersihan tubuh dibutuhkan

dan hygiene oral


5. Gangguan  Body image 1. Kaji secara verbal
gambaran diri (citra  Mampu dan non verbal
diri) b.d perubahan mengidentifikasi respon klien
struktur kulit, kekuatan personal terhadap tubuhnya
perubahan peran 2. Jelaskan tentang
11
keluarga.  Mendiskripsikan pengobatan,perawa
secara faktual tan,kemajuan dan
perubahan fungsi prognosis penyakit
tubuh 3. Dorong klien
mengungkapkan
perasaannya
6. Kecemasan b.d  Klien mampu 1. Identifikasi tingkat
kondisi penyakit , mengidentifikasi kecemasan
penurunan dan 2. Jelaskan semua
kesembuhan mengungkapkan prosedur dan apa
gejala cemas yang dirasakan
 Vital sign dalam selama prosedur
batas normal 3. Gunakan
 Postur pendekatan yang
tubuh,ekspresi menenangkan
wajah,bahasa 4. nstruksikan pasien
tubuh dan tingkat menggunakan
aktivitas teknik relaksasi
menunjukkan 5. Berikan obat untuk
berkurangnya mengurangi
kecemasan kecemasa

12
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, H. (2014). Sindrom Stevens-Johnson Diduga Akibat Siprofloksasin.


CDK 217/Vol. 41 No. 6, 432-435.
Djuanda, A. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Nanda Nic-Noc,2015 Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis,MediAction,jogja
Nettina,Sandra M.2001.Pedoman Praktik Keperawatan. Edisi 4.Jakarta:EGC

13

Anda mungkin juga menyukai