Anda di halaman 1dari 5

Peran Perekonomian China Terhadap Perekonomian

Indonesia
Indonesia sudah sejak lama memiliki sejarah hubungan bilateral dengan China terutama pada
sektor perdagangan. Hubungan Indonesia-China selalu rumit sejak hubungan diplomatik
keduanya pertama kali didirikan pada tahun 1950, dan lebih daripada dengan negara lain,
hubungan dengan China pada tingkat yang lebih rendah atau lebih besar terus mempengaruhi
urusan dalam negeri, karena salah satu alasannya adalah pengaruh signifikan dari warga
China-Indonesia.

Di awal tahun 2020 bukan merupakan tahun yang mudah bagi Tiongkok untuk
mengembalikan keadaan perekonomiannya yang terus mengalami penurunan. Setelah
sebelumnya di akhir tahun 2019 Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi akibat perang
dagang dengan AS.

Perlambatan tersebut kian hari membaik dengan adanya penandatanganan oleh Wakil
Perdana Menteri Liu He pada 15 Januari lalu tentang kesepakatan dagang tahap pertama
dengan Presiden AS Donald Trump. Langkah tersebut menjadi langkah awal dalam
penyelesaian perang dagang di antara kedua negara.

Belum cukup sampai disitu Tiongkok kembali mengalami masalah yang serius dengan
merebaknya wabah virus corona. Akibat wabah tersebut negara-negara di dunia mengalami
kekhawatiran dengan penyebaran wabah yang begitu cepat.

Bukan hanya itu saja dampak wabah virus corona juga dikhawatirkan mengancam
pertumbuhan laju ekonomi dunia, karena Tiongkok selama ini menyumbang 17 persen dari
produk domestik bruto (PDB) global. sehingga gangguan terhadap perekonomian negara
tersebut akan dirasakan oleh negara-negara lain.

Perekonomian Hong Kong diperkirakan paling terdampak, dengan potensi penurunan


pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 1,74 persen. Negara lainnya adalah Korea Selatan yang
diprediksi akan terdampak sebesar 0,41 persen, Brasil 0,32 persen, Australia 0,29 persen, dan
Indonesia 0,26 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan level 3 persen terancam lambat akibat wabah virus
corona. Bahkan menurut asumsi Morgan Stanly dalam skenario 1, Jika wabah virus corona
belum mampu terselesaikan antara februari sampai maret maka PDB global akan
berkontraksi 15-50 basis point. Hingga saaat ini wabah virus corona sudah masuk dalam
kawasan Asia tenggara, Namun belum teridentifikasi jika wabah virus corona positif masuk
ke Indonesia.

Belum lagi fluktiasi harga komoditas yang dari waktu ke waktu turun naik menjadi
pemicu pertumbuhan ekonomi dunia. Faktor hambataan tersebut sangat sulit diatasi karena
tidak mampu diprediksi kemunculannya terutama bagi negara-negara berkembang yang
memungkinkan terjadinya.

Lantas seberapa besar faktor tersebut mampu mempengaruhi keadaan laju perekonomian
Indonesia?. Menurut data GDP yang ada Indonesia memiliki 10 komoditas utama yaitu pada
sektor bahan bakar mineral yang mencapai nilai USD 16,8 miliar serta disusul oleh lemak
dan minyak hewan USD 12,4 miliar dan mesin atau peralatan listrik USD 6,28. Dari ke-10
komoditas utama nasional tahun 2019 mengalami penurunan 3,86 persen dari periode tahun
sebelumnya.

Lalu, faktor apakah yang sebenarnya membuat keadaan ekonomi Indonesia selalu mengalami
pasang surut di periode 2018 hingga sampai tahun ini. Untuk tahun 2020 sektor ekspor non
migas yang mengalami surplus yang menjadi awal yang bagus untuk pertumbuhan ekonomi
Indonesia.

Namun, ada yang perlu disoroti dari kegiatan ekspor Indonesia yaitu pada sektor Migas yang
mengalami defisit sebesar 7,16 persen dibanding ekspor bulan sebelumnya desember 2019.
Ekspor Januari tercatat sebesar USD 13,41 miliar sedangkan pada bulan sebelumnya ekspor
sebesar USD 14,45 miliar. Penurunan ekspor migas tersebut karena penurunan ekspor
minyak mentah, ekspor hasil minyak, dan gas.

Dari fakta yang dapat dipaparkan tersebut dapat diidentifikasikan bahwa Indonesia masih
belum menemui titik terang dalam perkembangan perekonomian. Lalu apa yang menjadi
faktor terhambatnya laju ekspor tersebut. Jika ditinjau ulang bahwa sektor Migas merupakan
komoditi yang paling berpengaruh terhadap Indonesia yang sebenarnya mampu menjadi nilai
tambah, namun keterbatasan teknologi kita belum mampu mengolahnya secara optimal juga
menjadi faktor penghambat.

Menurut data BPS Tiongkok dan As merupakan pasar ekspor terbesar bagi Indonesia.
Meskipun Tiongkok menjadi tujuan ekspor terbesar akan tetapi Indonesia selalu mengalami
defisit. Hal ini tidak dapat dipungkiri dikarenakan kegiatan impor dari Tiongkok sendiri yang
sering tidak balance dengan kegiatan ekspor.

Faktor tersebut belum mampu diatasi pemerintah dikarenakan kekurangan teknologi yang
belum memadai sebab mayoritas kegiatan impor merupakan barang modal dan bahan baku
untuk industri manufaktur nasional yang belum mampu diproduksi secara mandiri oleh
Indonesia. Hal itu menjadi faktor utama yang membuat terhambatnya pertumbuhan
perekonomian Indonesia.

Jadi meskipun Tiongkok dan AS yang sudah mengakhiri masa perang dagang yang membuat
perekonomian dunia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akan tetapi selalu ada
faktor lain yang menjadi penghambat. Wabah virus corona merupakan ancaman serius karena
mampu melumpuhakan pasar ekspor terbesar Indonesia.

Jika tujuan ekspor terbesar Indonesia mengalami penurunan permintaan, maka tidak heran
jika kegiatan perekonomian di Tiongkok lumpuh akan menjadi faktor nilai ekspor Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa ketergantungan impor-ekspor terhadap Tiongkok mampu menjadi
faktor penghambat kemajuan perekonomian di Indonesia.

Lalu kebijakan apakah yang tepat untuk mengatasi defisit ekspor tersebut. Beberapa kajian
ini sedang di finalkan seperti yang disampaikan Bapak Presiden (Jokowi) kemarin mengenai
masalah diskon terhadap wisatawan daerah-daerah yang akan terkena dampak langsung
karena wisatawan turun sangat drastis.
Kebijakan tersebut diambil untuk mengatasi perlambatan ekonomi yang disusul oleh wabah
virus corona, karena berkurangnya wisatawan asing untuk liburan di tengah wabah tersebut.
Meskipun untuk saat ini belum terealisasikan secara langsung, namun hal ini menjadi awal
pencegahan terjadi perlambatan ekonomi yang cukup serius.

Jika identifikasi dari data yang ada saat ini, sebenarnya Indonesia mampu menjadi negara
mandiri jika saja mampu mengoptimalkan sumber daya mentah. Hal ini menjadi faktor serius
dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena jika Indonesia berhasil mengatasi faktor
tersebut maka perekonomian Indonesia tidak terlalalu terpaku akan keadaan global.

Meskipun tahun ini Indonesia mengalami surplus ekspor di sektor non migas, namun terdapat
fakta yang mengejutkan sehingga membuat terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut data BPS Indonesia selalu mengalami defisit jika dilihat dari selisih Nilai ekspor
Indonesia Januari 2020 mencapai USD 13,41 miliar sedangkan nilai impor Indonesia Januari
2020 mencapai USD 14,28 miliar, Sehingga memunculkan selisih atau defisit sebesar USD
0,87 miliar.

kurangnya daya minat konsumsi masyarakat terhadap hasil produk industri lokal juga
menjadi permasalahan yang sampai saat ini masih menjadi momok bagi pertumbuhan industri
di Indonesia. Karena selain barang impor dari Tiongkok memiliki nilai jual yang dibawah
harga produk lokal, produk impor tersebut juga memiliki kualitas yang cukup baik yang tak
jauh beda dengan produk lokal.

Jika ditinjau dari faktor Industri lokal sendiri, Indonesia juga belum mampu menyediakan
bahan baku bagi Industri lokal dan harus melakukan impor. Andai Indonesia melakukan
boikot atau penetrasi terhadap impor maka akan muncul permasalahan baru mulai dari harga
bahan pokok akan ikut melambung disusul dengan kelangkaan bahan baku bagi Industri yang
menyebabkan Industri gulung tikar dan akan meperpuruk keadaan malah menambah jumlah
penganguran.

Solusi{empety}

Opsi yang kemungkinan dapat diterapkan sebagai langkah untuk menetralisir perlambatan
pertumbuhan ekonomi dunia yang diakibatkan wabah virus corona di Tiongkok adalah
dengan pemerataan sasaran pasar ekspor. Karena ketergantungan tersebut dapat
mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara drastis jika wabah
tersebut masih belum dapat diatasi. Jika Indonesia mampu menjalin kerja sama dengan baik
pada sektor perdagangan dengan negara secara global, maka kemungkinan terjadinya depresi
ekonomi akan berkurang.

Cina merupakan salah satu kekuatan utama ekonomi dunia, dan bersama dengan dua negara
Asia Timur lainnya yaitu Jepang dan Korea Selatan telah menjadi mitra dagang terpenting
Indonesia dan juga ASEAN dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan hubungan perdagangan
dengan Cina, ASEAN, di mana Indonesia menjadi salah satu anggota-telah menyepakati
kerjasama perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).
Dalam kerangka perjanjian tersebut, negara-negara yang menjadi anggota perjanjian saling
memberikan preferential treatment di tiga sektor: sektor barang, jasa dan investasi dengan
tujuan memacu percepatan aliran barang, jasa dan investasi diantara negara-negara anggota
sehingga dapat terbentuk suatu kawasan perdagangan bebas. Preferential treatment adalah
perlakuan khusus yang lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan yang diberikan kepada
negara mitra dagang lain non anggota pada umumnya. Dalam kesepakatan di sektor barang,
komponen utamanya adalah preferential tariff.

Proses menuju kesepakatan perjanjian ACFTA diawali dengan dilakukannya pertemuan


tingkat kepala negara antara negara-negara ASEAN dan Cina di Bandar Seri Begawan,
Brunei pada tanggal 6 Nopember 2001 yang kemudian disahkan melalui penandatanganan
“Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-
negara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat Cina” di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal
4 Nopember 2002. Perjanjian di sektor barang menjadi bentuk konkrit kerjasama ekonomi
pertama di pihak ASEAN dan Cina, yang ditandai dengan ditandatanganinya kesepakatan
Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29
November 2004 di Vientiane, Laos.

Data statistik perdagangan (IMF, 2012) menunjukkan bahwa Indonesia selaku negara
anggota ASEAN dengan populasi dan pasar terbesar memiliki hubungan perdagangan yang
erat dengan Cina, terlebih setelah berlakunya kesepakatan perdagangan ASEAN-China FTA.
Cina merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia setelah ASEAN. Total nilai
perdagangan Indonesia dan Cina mencapai US$ 36,2 miliar (2010) dan jumlah tersebut
merupakan 12,4% dari total perdagangan Indonesia. Sementara itu, nilai perdagangan antara
kedua negara selama periode 2006-2010 mencatat pertumbuhan positif rata-rata sebesar 30%.

Ekspor Indonesia ke Cina mencapai US$ 15,6 miliar (fob) dan impor Indonesia dari Cina
mencapai US$ 20,6 miliar (cif), sehingga surplus perdagangan dimiliki Cina sebesar kurang
lebih US$ 5 miliar. Angka defisit tersebut meningkat sebesar US$ 2,9 miliar dibandingkan
defisit tahun 2009 yang tercatat sebesar US$ 2,2 miliar, sehingga menimbulkan kepanikan
banyak pihak di Indonesia yang kemudian menyampaikan desakan kepada pemerintah untuk
melakukan renegosiasi dengan Cina.

Untuk mengevaluasi dampak ACFTA, perlu dilakukan evaluasi atau impact assessment
terhadap perjanjian perdagangan barang ACFTA mengingat implementasinya telah berjalan
lebih dari lima tahun (Kompas, 2011). Penilaian dampak suatu FTA perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah tujuan suatu FTA dapat dipenuhi (Plummer, Cheong dan Hamanaka,
2010).

Salah satu indikator penting untuk menilai dampak suatu FTA adalah pendapatan nasional.
Pendapatan nasional merupakan salah satu dari tiga indikator untuk menghitung dampak dari
suatu FTA terhadap suatu negara dari aktivitasnya dalam perdagangan internasional (Llyoid
dan Mclaren, 2004: 451). Sementara itu, salah satu komponen pendapatan nasional dalam
model Keynesian empat sektor adalah kontribusi ekspor. Perubahan kontribusi ekspor
terhadap pendapatan nasional Indonesia dan Cina dalam konteks berlaku efektifnya
perjanjian perdagangan barang ACFTA dapat mengindikasikan dampak dari ACFTA
terhadap kedua negara.

Tulisan ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis pengaruh atau dampak dari
keikutsertaan Indonesia dan Cina dalam perjanjian perdagangan barang ASEAN-China FTA
(ACFTA) dari sisi kontribusi ekspor dan peningkatan pertumbuhannya. Indikator dampak
secara makro tersebut menjadi penting, mengingat kontribusi ekspor akan berdampak
terhadap kesejahteraan ekonomi suatu negara. Pendekatan kuantitatif dengan ekonometrika
digunakan untuk mengukur nilai dari dampak dari suatu FTA.

Alasan preferensi produk. China melihat bahwa konsumen di negara-negara


ASEANmenunjukkan preferensi yang lebih terhadap produk dengan harga murah,
dan tidakmenuntut standard produk dan kualitas teknik yang tinggi. Selain itu, China,
Jepangdan Korea Selatan tampaknya saling bersaing di pasar Internasional untuk
mencaripasar-pasar baru akan tetapi pengaruh China di kawasan Asia Tenggara
lebihdominan daripada Jepang dan Korea Selatan

Terkait dengan defisit perdagangan, Xi Jinping menjanjikan untuk mendorong lebih banyak
impor dari Indonesia, termasuk produk pertanian seperti crude palm oil (CPO) atau minyak
kelapa sawit. Selain soal bisnis, JK dan Xi Jinping juga membahas hal lain yaitu pendidikan.

1. RCEP
2. WTO

Anda mungkin juga menyukai