Anda di halaman 1dari 9

Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar

Baru Algesindo, 2008), h. 57

BAB III

MENGAJAR DALAM PRAKTEK

Mengajar pada hakikatnya bermaksud mengantarkan siswa mencapai


tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam praktek, perilaku
mengajar yang dipertunjukkan guru sangat beraneka ragam, meskipun
maksudnya sama. Aneka ragam perilaku guru mengajar ini bila
ditelusuri akan diperoleh gambaran tentang pola umum interaksi
antara guru, isi atau bahan pelajaran dan siswa. Pola umum ini oleh
Dianne Lapp dan kawan-kawan diistilahkan “Gaya Mengajar” atau
teaching style (Lapp, dkk. 1975:1).

Gaya mengajar yang dimiliki oleh seorang guru mencerminkan pada


cara melaksanakan pengajaran, sesuai dengan pandangannya sendiri.
Disamping itu landasan psikologis, terutama teori belajar yang
dipegang serta kurikulum yang dilaksanakan juga turut mewarnai gaya
mengajar guru yang bersangkutan.

Sebagai bahan ilustrasi, misalnya seorang guru berpandangan bahwa


mengajar itu adalah menyampaikan bahan pelajaran, maka perilaku
mengajar yang tampak adalah guru itu seolah-olah menganggap
bahwa siswanya hanya sekedar bejana kosong yang harus diisi ilmu
pengetahuan. Di sini kegiatan belajar mengajar didominasi oleh guru.
Sedangkan siswa hanya mendengarkan atau menerima apa saja yang
disampaikan oleh guru. Proses pengajaran semacam ini biasanya
dipengaruhi pula oleh teori belajar yang dipegang. Misalnya, teori
transfer yang bersifat mutlak. Artinya, siswa akan dapat mengalihkan
kemampuan yang telah dipelajari di sekolah ke dalam situasi
kehidupan, bila dia telah mampu mendisiplin mental (seperti melatih
kemampuan berpikir). Demikian pula kurikulum yang digunakan. Bila
kurikululm yang digunakan diorganisasi dalam bentuk mata pelajaran
terpisah, biasanya baik
h. 57

guru maupun siswa menggunakan suatu buku teks pelajaran tertentu


sebagai acuan utama. Dengan demikian guru menyampaikan bahan
pelajaran sesuai dengan sistematika sebagaimana tertera pada teks
tersebut. Demikian juga siswa mempelajarinya sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh guru.

Contoh di atas hanya menggambarkan betapa pandangan seorang


guru tentang mengajar menjadi penentu bagi gaya mengajar yang
dimilikinya. Demikian pula teori belajar dan kurikulum yang digunakan
dapat mewarnai gaya itu sendiri. Dengan demikian, oleh sebab adanya
aneka ragam pandangan, juga teori dan cara pengorganisasian bahan
pelajaran dalam kurikulum yang digunakan, maka gaya mengajar pun
beraneka ragam.

Berbagai Gaya Mengajar

Di muka telah dikemukakan bahwa proses interaksi dalam mengajar


terjadi antara unsure guru, isi pelajaran dan siswa. Proses interaksi itu
dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Pola interaksi sebagaimana digambarkan oleh bagan di atas masih


bersifat pola dasar. Artinya, belum dapat terlihat unsure mana dari
ketiga unsure di atas mendominasi proses interaksi dalam pengajaran.
Pola dasar ini dapat dijadikan dasar dalam mengkaji berbagai gaya
mengajar yang dimiliki oleh seorang guru. Sebab bila kita amati
praktek pengajaran yang dewasa ini telah dijalankan, ternyata kita
dapat membeda-bedakan gaya mengajar yang beraneka ragam. Di sini
tampak bahwa adakalanya guru mendominasi proses interaksi,
adakalanya isi mendominasi proses interaksi, adakalanya siswa
mendominasi proses interaksi, dan adakalanya baik guru maupun
siswa berinteraksi secara seimbang.

h. 59
Atas dasar kajian di atas, gaya-gaya mengajar dapat dibedakan ke
dalam empat macam, yaitu:

1. Gaya mengajar klasik

Proses pengajaran dengan gaya klasik berupaya untuk memelihara


dan menyampaikan nilai-nilai lama dari generasi terdahulu ke generasi
berikutnya. Isi pelajaran berupa sejumlah informasi dan ide yang
paling popular dan dipilih dari dunia yang diketahui anak. Oleh
karenanya isi pelajaran bersifat objektif, jelas dan diorganisasi secara
sistematis-logis. Proses penyampaian bahan tidak didasarkan atas
minat anak, melainkan pada urutan tertentu. Peran guru di sini sangat
dominan, karena dia harus menyampaikan bahan. Oleh karenanya
guru harus ahli (expert) tentang pelajaran yang dipegangnya. Dengan
demikian proses pengajaran bersifat pasif, yakni siswa diberi pelajaran.

2. Gaya mengajar teknologis

Focus gaya mengajar ini pada kompetensi siswa secara individual.


Bahan pelajaran disesuaikan dengan tingkat kesiapan anak.

h. 60

peranan isi pelajaran adalah dominan. Oleh karena itu bahan disusun
oleh ahlinya masing-masing. Bahan itu bertalian dengan data objektif
dan keterampilan yang dapat menuntun kompetensi vokasional siswa.
Peranan siswa di sini adalah belajar dengan menggunakan perangkat
atau media. Dengan hanya merespons apa yang diajukan kepadanya
melalui perangkat itu, siswa dapat mempelajari apa yang dapat
bermanfaat bagi dirinya dalam kehidupan. Peranan guru hanya
sebagai pemandu (guide), pengarah (director), atau pemberi
kemudahan (facilitator) dalam belajar; karena pelajaran sudah
deprogram sedemikian rupa dalam perangkat, baik lunak (software)
maupun keras (hardware).

3. Gaya mengajar personalisasi

Pengajaran personalisasi dilakukan berdasarkan atas minat,


pengalaman dan pola perkembangan mental siswa. Dominasi
pengajaran ada di tangan siswa. Dalam hal ini, siswa dipandang
sesuatu pribadi.

Perkembangan emosional dan penyesuaian diri dalam lingkungan


social merupakan sesuatu yang vital, sebagaimana perkembangan
kecerdasannya. Peranan guru adalah menuntun dan membantu
perkembangan itu melalui pengalaman belajar. Oleh karena itu guru
harus mempunyai kemampuan dalam mengasuh, ahli dalam psikologi
dan metodologi, serta bertindak sebagai nara sumber (resource
person). Adapun bahan pelajaran disusun dan muncul berdasarkan
atas minat dan kebutuhan siswa secara individual.

4. Gaya mengajar interaksional

Peranan guru dan siswa di sini sama-sama dominan. Guru dan siswa
berupaya untuk memodifikasi berbagai ide atau ilmu pengetahuan
yang dipelajari untuk mencari bentuk baru berdasarkan kajian yang
bersifat radikal. Guru dalam hal ini menciptakan iklim saling
ketergantungan dan timbulnya dialog antar siswa. Siswa belajar
melalui hubungan dialogis. Dia mengemukakan pandangannya tentang
realita, juga mendengarkan pandangan siswa lain. Dengan demikian
dapat ditemukan pandangan baru hasil pertukaran fikiran tentang apa
yang dipelajari. Apapun isi pelajar-

h. 61

an difokuskan kepada masalah-masalah yang berkenaan dengan sosio-


kultural terutama yang bersifat kontemporer.

Pengajaran Klasik dan Landasannya

Gaya mengajar klasik mempunyai dua macam aliran, yaitu:

1. Aliran Perenialism yang menekankan pada penyampaian budaya


yang berpusat pada kemanusiaan (humanity).
2. Aliran Essentialism yang menekankan pada penyampaian budaya
yang berkenaan dengan science.
Alliran perenialisme berpandangan bahwa setiap generasi harus dididik
dengan budaya yang dianggap benar dan sahih (valid). Isi pelajaran
lebih banyak mengenai dasar penbentukan intelek dan komunikasi
dengan dunia luar. Karena hal ini dianggapnya sebagai upaya
“memanusiakan manusia”. Manusia dibedakan dari jenis makhluk
hidup lain karena ia mempunyai intelek. Oleh karenanya upaya
memanusiakan manusia dilakukan dengan mengembangkan
inteleknya. Pelajaran dasar yang dianggap paling penting adalah “The
three R’s” untuk tingkat SD yakni reading (membaca), writing
(menulis), dan arithmetic’s (berhitung).

Kaum perenialis memandang tingkatan social seperti pyramid. Kelasa


social tertinggi adalah mereka yang memperoleh pendidikan tinggi;
makin rendah tingkatan pendidikan, makin banyak. Oleh karena itu
orang berpendidikan tinggi dipandang sebagai kaum intelektual yang
termasuk kaum elit.

Tujuan pendidikan perenialism adalah memperbaiki intelek dengan


mendisiplinkan mentalnya. Cara ini ditempuh melalui tiga tingkatan.
Tingkatan dasar adalah dengan mempelajari pelajaran yang terhimpun
dalam 3 R’s; tingkat berikutnya adalah mempelajari filsafat dan
rumpun the seven liberal arts (tujuh mata pelajaran yang dapat
mengembangkan kemampuan berpikir bebas), baik di tingkat sekolah
menengah maupun perguruan tinggi; sedangkan tingkat tertinggi
mempelajari penerapan metafisik ke dalam pekerjaan tertentu seperti
kedokteran, hukum, dan semacamnya di tingkat universitas.

Berbeda dengan perenialism, aliran essentialism lebih realistis, tidak


filosofis. Budaya yang disampaikan dalam pengajaran hanya

h. 62

berisi informasi yang bersifat praktis, dengan tujuan mendidik


keterampilan yang esensil dan berguna untuk hidup produktif. Oleh
karenanya menekankan pada science dan keterampilan produktif.

Pandangan penganut aliran essentialism adalah bahwa tujuan


pendidikan diarahkan agar siswa dapat bekerja dengan baik. Ini
dijadikan ukuran penilaian kebaikan pendidikan. Disamping itu
pendidikan juga bertujuan mengantarkan siswa untuk dapat bergaul
pada semua lapisan masyarakat dan memperoleh sukses financial.
Mereka menganggap pendidikan adalah jalan menuju sukses.
Sedangkan sukses itu sendiri diukur dari segi materi.

Pendidikan klasik berisi mata pelajaran yang disusun dan ditentukan


oleh para ahli. Mulanya isi pelajaran berpusat pada agama. Namun
akhirnya berkembang menjadi separated subject seperti terhimpun
dalam the seven liberal arts. Untuk menilai, evaluasi dilakukan dengan
tujuan mengukur dan memprediksi keberhasilan, bukan mendiagnosa
atau merencanakan kurikulum yang sesuai. Oleh karenanya digunakan
Penilaian Acuan Patokan (PAP).

Pendidikan klasik lebih menekankan guru sebagai model. Siswa


dituntut meniru guru. Hal ini berdasarkan teori bahwa anak akan
menirukan apa yang diamati dan telah memperoleh reinforcement.
Jadi, anak akan meniru guru. Proses peniruan terutama terjadi melalui
bahasa. Oleh karenanya belajar dilakukan secara verbal, dan guru
berusaha mengajarkan bagaimana melatih kemampuan berpikir
melalui bahasa.

Tentang motivasi belajar, lebih banyak bersifat ekstrinsik melalui


achievement oriented motives. Sedangkan masalah transfer dalam
belajar, sebagaimana teori daya, dipandang terjadi secara mutlak bila
siswa telah menguasai pelajaran atau tercapainya mental disiplin.

Pengajaran Teknologis dan Landasannya

Teknologi mulai diterapkan dalam pendidikan terutama di Amerika,


pada lembaga pendidikan militer tahun 1940-an. Tahun 1950-an mulai
digalakan secara meluas, karena adanya pandangan:

h. 63

1. Science makin diyakini dapat meningkatkan kualitas hidup.


2. Makin membengkaknya populasi anak usia sekolah dan makin
sedikit orang yang berminat dalam bidang keguruan.

Pada decade 1970-an kecenderungan banyaknya anak usia sekolah


dan makin sedikitnya orang menekuni profesi keguruan mendorong
digunakannya alat teknologi (hardware), juga dikembangkannya
software yang memadai untuk belajar seperti dengan makin
digalakannya penggunaan pengajaran berprograma atau programmed
instruction.

Para penganut aliran teknologis yakin bahwa pendidikan merupakan


cabang terpenting dari scientific technology. Pendidikan teknologis
memandang manusia dari tingkah lakunya yang dapat diamati.
Tingkah laku ini dijadikan dasar perumusan tujuan. Dengan demikian
tinggallah dipikirkan bagaimana memanipulasi lingkungan agar anak
dapat mencapai tujuan itu. Untuk ini dapat digunakan perangkat baik
hardware (seperti mesin, tv, dan sebagainya) ataupun software
(seperti programa, modul, dan sebagainya). Perangkat itu dapat
berfungsi sebagai guru. Dengan demikian guru bukan lagi dipandang
sebagai elemen sentral dalam pengajaran, juga dalam proses belajar
siswa.

Isi atau bahan pelajaran merupakan bahan belajar yang diambil dari
subject matter. Bahan itu dipecah ke dalam unit kecil, selanjutnya
deprogram sesuai dengan ware atau perangkat yang digunakan.

Perkembangan penggunaan istilah teknologi pendidikan ini melalui 3


fase atau tiga kategori:

1. Penggunaan audio visual aids atau AVA di kelas untuk


memperjelas informasi dan merangsang berpikir.
2. Penggunaan bahan-bahan terprogram.
3. Penggunaan computer dalam pendidikan.

Pendidikan teknologi berfokus pada teori S-R Bond dari Thorndike;


berkembang dengan munculnya teori Classical Conditioning dari
Pavlov, dan teori Operant Conditioning dari Skinner. Keyakinan bahwa
manusia akan melanjutkan atau mengembangkan perilaku setelah
memperoleh reinforcement merupakan dasar teori bagi penyusunan
dan pengembangan programa untuk belajar.

h. 64

Pengajaran Personalisasi dan Landasannya

Gaya pengajaran personalisasi bersifat child centered (berpusat pada


anak didik). Ini didasarkan pada teori pendidikan yang menyatakan
bahwa pendidikan sesungguhnya berpusat pada anak serta
pengalaman yang disadarinya. Kegiatan pendidikan didasarkan atas
minat dan kebutuhan atau keinginan siswa.

Ada dua aliran personalisasi, yakni progressive dan romantic.


Golongan progressive memandang bahwa situasi mengajar berfungsi
menentukan disiplin dan arah pengalaman belajar yang dapat
menuntun atau menentukan struktur inteligensi. Dalam
pelaksanaannya pendidikan membimbing dan mengarahkan kegiatan
anak dalam memenuhi kebutuhan yang tidak disadarinya. Tokoh
progressivism ialah John Dewey.

Golongan romantic (tokohnya J.J. Russeau) memandang bahwa anak


harus bebas (ide tentang kembali ke alam). Pendidikan harus
mengisolasi anak dari lingkungan masyarakat. Karena pendidikan
merupakan proses individual, bukan proses sosial. Juga pendidikan
bukan hanya sekedar memberi informasi atau keterampilan, tetapi
merupakan proses perkembangan pribadi sepanjang hayat. Peranan
guru adalah menyiapkan lingkungan agar anak dapat memperoleh
pengalaman.

Pelaksanaan kurikulum dilakukan dengan sistem Non-graded (tanpa


jenjang kelas) atau system kontrak. Tujuan utama pengajaran
personalisasi mengembangkan pribadi siswa secara utuh, sehingga dia
dapat menangani masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Oleh
karenanya pengembangan kemampuan berpikir sebagai suatu sarana
dalam mematangkan pribadi mempunyai maksud luas, dan dilakukan
melalui kegiatan yang kompleks, seperti melalui metode discovery.
Masalah yang dipelajari pun menyangkut segi kehidupan yang real
yang dihadapi. Dengan demikian dapat terpenuhi minat dan
kebutuhan psikologis siswa.

Anda mungkin juga menyukai