Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

“Laporan Pendahuluan Penurunan Kesadaran"

DISUSUN OLEH:

EGA FITRI 191440108

DOSEN PENGAMPU:

Ns. Abdul Kadir Hasan, M.Kes

PRODI DIII KEPERAWATAN PANGKALPINANG

POLTEKKES KEMENKES RI PANGKALPINANG

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


A. DEFINISI
Ketidaksadaran adalah kondisi dimana fungsi serebral terdepresi, direntang dari stupor sampai
koma. Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Penurunan kesadaran
adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga atau tidak terbangun
secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus.
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal atau
mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.
B. KLASIFIKASI
1. Kesadaran Menurun
Kesadaran menurun adalah keadaan dengan kemampuan persepsi, perhatian dan pemikiran
yang berkurang secara keseluruhan (secara kuantitatif), kemudian muncullah amnesia
sebagian atau total. Beberapa tingkat dalam menurunnya kesadaran yaitu:
a) Apati mulai mengantuk, acuh-tak acuh terhadap stimulus, untuk menarik perhatiannya
diperlukan stimulus yang sedikit lebih keras
b) Somnolen sudah mengantuk, untuk menarik perhatiannya dibutuhkan stimulus yang
lebih keras
c) Sopor Ingatan, orientasi dan pertimbangan sudah hilang. Hanya berespon dengan
rangsangan yang keras
d) Subkoma dan koma tidak ada respon terhadap stimulus yang kuat/keras, pupil melebar,
reflek muntah hilang.
2. Kesadaran Meninggi
Kesadaran meninggi adalah keadaan dengan respon yang meninggi terhadap stimulus,
biasanya disebabkan pengaruh berbagai zat yang menstimulus otak (psikosimultan) atau
oleh faktor psikologi.
3. Selain kesadaran menurun, terdapat beberapa sistem yang digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam keawasan dan keterjagaan, istilah-istilah tersebut antara lain:
a) Terjaga = normal
b) Sadar dapat tidur lebih dari biasanya atau sedikit bingung saat pertama kali terjaga,
tetapi berorientasi sempurna ketika bangun. Dapat berorientasi dan berkomunikasi
c) Letargi/somnolen adalah mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang
d) Stupor sangat sulit dibangunkan, tidak konsisten dapat mengikuti perintah sederhana
atau berbicara satu kata atau frase pendek. Menjawab secara refleks terhadap
rangsangan nyeri. Pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Non verbal
dengan menganggukkan kepala.
e) Semikomatosa adalah gerak bertujuan ketika dirangsang; tidak mengikuti perintah atau
berbicara koheren
f) Koma dapat berespon dengan postur secara refleks ketiak distimulasi atau dpat tidak
berespon pada setiap stimulus.
4. Berdasarkan kwalitas kesadaran, yaitu pengkajian mutu mental seseorang terhadap dunia
luar:
a) Composmentis bereaksi secara adekuat
b) Abstensia/kesadaran tumpul/drowsky tidak tidur dan tidak megitu waspada, perhatian
terhadap sekeliling berkurang, cenderung mengantuk
c) Bingung/confused disorientasi waktu, tempat dan orang
d) Delirium mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai dengan
kekacauan pikirannya
e) Apatis tidak tidur, tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa
C. ETIOLOGI
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan penyebab
penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “ yaitu :
1. S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung, Syok (shock) adalah kondisi medis tubuh yang
mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan sistem sirkulasi darah dalam
mempertahankan suplai darah yang memadai. Berkurangnya suplai darah mengakibatkan
berkurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh. Jika tidak teratasi maka dapat menyebabkan
kegagalan fungsi organ penting yang dapat mengakibatkan kematian. Kegagalan  sistem
sirkulasi dapat disebabkan oleh Kegagalan jantung memompa darah, terjadi pada serangan
jantung. Berkurangnya cairan tubuh yang diedarkan. Tipe ini terjadi pada perdarahan besar
maupun perdarahan dalam, hilangnya cairan tubuh akibat diare berat, muntah maupun luka
bakar yang luas. Shock bisa disebabkan oleh bermacam-macam masalah medis dan luka-
luka traumatic, tetapi dengan perkecualian cardiac tamponade dan pneumothorax, akibat
dari shock yang paling umum yang terjadi pada jam pertama setelah luka-luka tersebut
adalah haemorrhage (pendarahan).
Shock didefinasikan sebagai ‘cellular hypoperfusion’ dan menunjukan adanya
ketidakmampuan untuk memelihara keseimbangan antara pengadaan ‘cellular oxygen’ dan
tuntutan ‘oxygen’. Progress Shock mulai dari tahap luka hingga kematian cell, kegagalan
organ, dan pada akhirnya jika tidak diperbaiki, akan mengakibatkan kematian organ tubuh.
Adanya peredaran yang tidak cukup bisa cepat diketahui dengan memasang alat penerima
chemosensitive dan pressure-sensitive pada carotid artery. Hal ini, pada gilirannya dapat
mengaktivasi mekanisme yang membantu mengimbangi akibat dari efek negative, termasuk
pelepasan catecholamines (norepinephrine dan epinephrine) dikarenakan oleh hilangnya
syaraf sympathetic ganglionic; tachycardia, tekanan nadi yang menyempit dan hasil batasan
disekeliling pembuluh darah (peripheral vascular) dengan mendistribusi ulang aliran darah
pada daerah sekitar cutaneous, splanchnic dan muscular beds. Dengan demikian, tanda-
tanda awal dari shock tidak kentara dan mungkin yang tertunda hanyalah pemasukkan dari
pengisian kapiler, tachycardia yang relatip dan kegelisahan.
2. E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik atau sepsis yang mungkin melatar
belakanginya atau muncul secara bersamaan.
3. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum. Etiologi
hipoglikemia pada DM yaitu hipoglikemia pada DM stadium dini, hipoglikemia dalm rangka
pengobatan DM yang berupa penggunaan insulin, penggunaan sulfonil urea, bayi yang lahir
dari ibu pasien DM, dan penyebab lainnya adalah hipoglikemia yang tidak berkaitan dengan
DM berupa hiperinsulinisme alimenter pos gastrektomi, insulinoma, penyakit hati yang
berat, tumor ekstrapankreatik, hipopitiutarism.
Gejala-gejala yang timbul akibat hipoglikemia terdiri atas 2 fase. Fase 1 yaitu gejala-gejala
yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga dilepaskannya hormon
efinefrin. Gejalanya berupa palpitasi, keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar
dan mual. gejala ini timbul bila kadar glukosa darah turun sampai 50% mg. Sedangkan Fase 2
yaitu gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya gangguan fungsi otak , karena itu
dinamakan juga gejala neurologi. Gejalanya berupa pusing, pandang kabur, ketajam mental
menurun, hilangnya keterampilan motorik halus, penurunan kesadaran, kejang-kejang dan
koma.gejala neurologi biasanya muncul jika kadar glukosa darah turun mendekati 20% mg.
Pada pasien ini menurut gejalanya telah memasuki fase 2 karena telah terjadi gangguan
neurologik berupa penurunan kesadaran, pusing, dan penurunan kadar glukosa plasma
mendekati 20 mg% dan menurut stadiumnya pasien telah mengalami stadium gangguan
otak karena terdapat gangguan kesadaran.
Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis hipoglikemia dapat di
tegakan bila didapatkan gejala-gejala tersebut diatas. Keadaan tersebut dapat di
konfirmasikan dengan pemeriksaan glukosa darah. Bila gejalanya meragukan sebaiknya
ambil dulu darahnya untuk pemeriksaan glukosa darah. Bila dengan pemberian suntik bolus
dekstrosa pasien yang semula tidak sadar kemudian menjadi sadar maka dapat dipastiakan
koma hipogikemia.sebagai dasar diagnosis dapat digunakan trias whipple, yaitu gejala yang
konsisten dengan hipoglikemia, kadar glukosa plasma rendah, gejala mereda setelah kadar
glukosa plasma meningkat.
Prognosis dari hipoglikemia jarang hingga menyebabkan kematian. Kematian dapat terjadi 
karena keterlambatan mendapatkan pengobatan, terlalu lama dalam keadaan koma
sehingga terjadi kerusakan jaringan otak.
4. E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan. Diare akut karena infeksi dapat disertai
muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut.
Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah
kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan
biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan cairan akan
merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih
menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat
berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan
sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul).
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena
kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan tekanan
darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila
keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti
suatu keadaan gagal ginjal akut.
5. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis, Muntah : gejala muntah terdapat pada 30%
kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala. Lebih sering dijumpai pada tumor di fossa
posterior, umumnya muntah bersifat proyektil dan tak disertai dengan mual. Kejang :
bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus, dan lebih
dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan kejang adalah
tumor otak. Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak di korteks, 50% pasien dengan
astrositoma, 40% pada pasien meningioma, dan 25% pada glioblastoma.
Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK) : berupa keluhan nyeri kepala di daerah frontal dan
oksipital yang timbul pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dan penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan ditemukan papil udem.
6. I : Intoksikasi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya
pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batangotak,
terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon Pada
penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat (kuantitas,
arousal wake fulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness alertness kesadaran).
Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakahlesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan manajemen penderita.
Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat ditentukan apakah akibatkelainan
struktur, toksik atau metabolik. Pada koma akibat gangguan struktur mempengaruhi fungsi
ARAS langsung atau tidak langsung. ARAS merupakan kumpulanneuron polisinaptik yang
terletak pada pusat medulla, pons dan mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran
karena kelainan metabolik terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya
aktivitas membran neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan melalui
pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasisaraf kranial dan respons motorik
terhadap stimuli.
7. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan subdural,
dapat pula trauma abdomen dan dada. Cedera pada dada dapat mengurangi oksigenasi dan
ventilasi walaupun terdapat airway yang paten. Dada pasien harus dalam keadaan terbuka
sama sekali untuk memastikan ada ventilasi cukup dan simetrik. Batang tenggorok (trachea)
harus diperiksa dengan melakukan rabaan untuk mengetahui adanya perbedaan dan jika
terdapat emphysema dibawah kulit. Lima kondisi yang mengancam jiwa secara sistematik
harus diidentifikasi atau ditiadakan (masing-masing akan didiskusikan secara rinci di Unit 6 -
Trauma) adalah tensi pneumothorax, pneumothorax terbuka, massive haemothorax, flail
segment dan cardiac tamponade. Tensi pneumothorax diturunkan dengan memasukkan
suatu kateter dengan ukuran 14 untuk mengetahui cairan atau obat yang dimasukkan
kedalam urat darah halus melalui jarum melalui ruang kedua yang berada diantara tulang
iga pada baris mid-clavicular dibagian yang terkena pengaruh. Jarum pengurang tekanan
udara dan/atau menutupi luka yang terhisap dapat memberi stabilisasi terhadap pasien
untuk sementara waktu hingga memungkinkan untuk melakukan intervensi yang lebih pasti.
Jumlah resusitasi diperlukan untuk suatu jumlah haemothorax yang lebih besar, tetapi
kemungkinannya lebih tepat jika intervensi bedah dilakukan lebih awal, jika hal tersebut
sekunder terhadap penetrating trauma (lihat dibawah). Jika personalia dibatasi melakukan
chest tube thoracostomy dapat ditunda, tetapi jika pemasukkan tidak menyebabkan
penundaan transportasi ke perawatan yang definitif, lebih disarankan agar hal tersebut
diselesaikan sebelum metransportasi pasien.
8. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari berbagai macam
gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular
activating system secara langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang
kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang
masing-masing merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
1. Disfungsi otakdifus
a) Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.
b) Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh pelepasan
general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau molekuler, atau lesi-lesi
mikroskopik yang tersebar.
c) Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan thalamus yang
berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal atau destruksi neuron-
neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau
perdarahan otak bilateral).
d) Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik sel- sel
neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral ensefalitis,
hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung.
e) Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan penurunan aliran
darah otak atau metabolisme otak.
2. Efek langsung pada batang otak
a) Lesidi batang otak dan di ensefalon bagian bawah yang merusak/menghambat reticular
activating system.
b) Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana neuron-
neuron ARAS terlibat langsung.
c) Lebih jarang terjadi.
d) Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi arteri
basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumaticinjury.
3. Efek kompresi pada batang otak
a) Kausa kompresi primer atau sekunder
b) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah.
c) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan intraserebral,
subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai sebagian dari korteks
serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini
mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma karena efek pendesakan
(kompresi) ke lateral dari struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial
lobus temporal yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di seluruh
hemisfer.
d) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular batang
otak atas dan menggesernya maju ke depan dan keatas.
e) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi seluruh
bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.
Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam:
 Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron pengemban
kewaspadaan terganggu fungsinya.
 Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial, kombinasi
supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron penggalak kewaspadaan
tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.
Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui secara pasti. Dalam
eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan inti intralaminar talamik atau jika
substansia grisea di sekitar akuaduktus sylvii dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden
nonspesifik yang terhambat sehingga terjadi koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi
dan Damasio melaporkan bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan koma.

Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak kewaspadaan
maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan neuron- neuron tersebut
tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu bereaksi terhadap pacuan dari luar
maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya gangguan fungsi pada neuron pengemban
kewaspadaan, menyebabkan koma kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan
pada neuron penggalak kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial
atauinfratentorial. Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan
patologik yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi
sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang menyebabkan
destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme, infeksi)
dan kompresi pada substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei intralaminaris)
dan gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan gangguan kesadaran hingga
koma. Derajat kesadaran yang menurun secara patologik bisa merupakan keadaan tidur
secara berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya
bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan letargia,
mutismus akinetik, stupor dankoma. Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang
kontinyu dari batang otak ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini
bisa dilihat jika batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara
mesensefalon dan serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang
ireversibel. Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal
somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada area
eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera akan sangat
menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.

E. PATHWAYS
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :
1. Penurunan kesadaran secara kwalitatif
2. GCS kurang dari 13
3. Sakit kepala hebat
4. Muntah proyektil
5. Papil edema
6. Asimetris pupil
7. Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif
8. Demam
9. Gelisah
10. Kejang
11. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
12. Retensi atau inkontinensia urin
13. Hipertensi atau hipotensi
14. Takikardi atau bradikardi
15. Takipnu atau dispnea
16. Edema lokal atau anasarka
17. Sianosis, pucat dan sebagainya

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab penurunan kesadaran
yaitu :
1. Laboratorium darah meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea
darah (BUN), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol,
obat-obatan dan analisa gas darah (BGA).
2. CT Scan pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
3. PET (Positron Emission Tomography) untuk menilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak,
stroke dan tumor otak
4. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) untuk mendeteksi lokasi kejang
pada epilepsi, stroke.
5. MRI untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.
6. Angiografi serebral ntuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi
arteriovena.
7. Ekoensefalography untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral
yang disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas
dan neoplasma.
8. EEG (elektroensefalography) untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor,
abses, jaringan parut otak, infeksi otak
9. EMG (Elektromiography) untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat
penyakit lain.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian yaitu tahapan awal dari proses keperawatan, data dikumpulkan secara sistematis
yang digunakan untuk menentukan status kesehatan pasien saat ini. Pengkajian harus
dilaksanakan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Ada dua jenis pengkajian pada penurunan kesadaran :
1. Pengkajian Primer
a) Airway
 Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas
 Terjadi penurunan kesadaran
 Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
 Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
 Gelisah
 Sianosis
 Kejang
 Retensi lendir / sputum di tenggorokan
 Suara serak
 Batuk
b) Breathing
 Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
 Sianosis
 Takipnu
 Dispnea
 Hipoksia
 Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi
c) Circulation
 Hipotensi / hipertensi
 Takipnu
 Hipotermi
 Pucat
 Ekstremitas dingin
 Penurunan capillary refill
 Produksi urin menurun
 Nyeri
 Pembesaran kelenjar getah bening
2. Pengkajian Sekunder
a) Riwayat penyakit sebelumnya
Apakah klien pernah menderita :
 Penyakit stroke
 Infeksi otak
 DM
 Diare dan muntah yang berlebihan
 Tumor otak
 Intoksiaksi insektisida
 Trauma kepala
 Epilepsi dll.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
 kesulitan dalam beraktivitas
 kelemahan
 kehilangan sensasi atau paralysis.
 Mudah lelah
 Kesulitan istirahat
 Nyeri atau kejang otot
Data obyektif:
 Perubahan tingkat kesadaran
 Perubahan tonus otot  ( flasid atau spastic),  paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan umum.
 Gangguan penglihatan
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
 Riwayat penyakit stroke
 Riwayat penyakit jantung
 Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung ,       endokarditis bacterial.
 Polisitemia.
Data obyektif:
 Hipertensi arterial
 Disritmia
 Perubahan EKG
 Pulsasi : kemungkinan bervariasi
 Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
3. Eliminasi
Data Subyektif:
 Inkontinensia urin / alvi
 Anuria
Data obyektif
 Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh )
 Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
4. Nutrisi
Data Subyektif:
 Nafsu makan hilang
 Nausea
 Vomitus menandakan adanya PTIK
 Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan
 Disfagia
 Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
 Obesitas ( faktor resiko )
5. Sensori neural
Data Subyektif:
 Syncope
 Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral  atau perdarahan sub arachnoid.
 Kelemahan
 Kesemutan/kebas
 Penglihatan berkurang
 Sentuhan  : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada muka
 Gangguan rasa pengecapan
 Gangguan penciuman
Data obyektif:
 Status mental
 Penurunan kesadaran
 Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis, menyerang)
 Gangguan fungsi kognitif
 Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan tidak imbang,berkurangnya
reflek tendon dalam
 Wajah: paralisis / parese
 Afasia  ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan
berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari
keduanya. )
 Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli taktil
 Kehilangan kemampuan mendengar
 Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
 Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya positif / negatif, ukuran pupil
isokor / anisokor, diameter pupil
6. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
 Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
 Tingkah laku yang tidak stabil
 Gelisah
 Ketegangan otot
7. Respirasi
Data Subyektif : perokok ( faktor resiko )
8. Keamanan
Data obyektif:
 Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
 Perubahan persepsi terhadap tubuh
 Kesulitan untuk melihat objek
 Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
 Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
 Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
 Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan
 Berkurang kesadaran diri
9. Interaksi sosial
Data obyektif:
 Problem berbicara
 Ketidakmampuan berkomunikasi

C. PEMERIKSAAN CGS
Penilaian pada Glasgow Coma Scale
1. Respon motorik
 Nillai 6 :    Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan,
menunjukkan jumlah jari-jari dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa,
melepaskan gangguan.
 Nilai 5:      Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan seperti
tekanan pada sternum, cubitan pada M. Trapezius
 Nilai 4 :     Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak mampu
menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan tangannya
 Nilai 3 :     fleksi abnormal bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi
pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decorticate rigidity )
 Nilai 2 :     ekstensi abnormal bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah,
fleksi pergelangan tangandan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate
rigidity )
 Nilai 1 :     Sama sekali tidak ada respon
Catatan : Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat dan tidak ada  trauma spinal, bila hal
ini ada hasilnya akan selalu negatif
2. Respon verbal atau bicara
Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini tidak berlaku
bila pasien dispasia atau apasia, mengalami trauma mulut, dan dipasang intubasi trakhea
(ETT)
 Nilai 5 :     pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara .     orientasi waktu,
tempat , orang, siapa dirinya , berada dimana,  tanggal hari.
 Nilai 4 :     pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
 Nilai 3 :     bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak menyambung
dengan apa yang sedang dibicarakan
 Nilai 2 :     bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya (“ngrenyem”),
suara-suara tidak dapat dikenali makna katanya
 Nilai 1 :     tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri
3. Respon membukanya mata
Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau kedua matanya
Catatan mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.
 Nilai 4 :  Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
 Nilai 3 :Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau diperintahkan
membuka mata
 Nilai 2 :     Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
 Nilai 1 :     Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri
4. Menilai reflek-reflek patologis
 Reflek Babinsky apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda
yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan jari-
jarinya ke daerah plantar
 Reflek Kremaster dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada
bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontrkasi
M.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya atau mengerutnya testis.
Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus
corticulspinal.
5. Uji syaraf kranial
 NI.N.Olfaktorius: penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau, wangi-
wangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup
 N.II. N.opticus : Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata . digunakan
optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus ditentukan dengan
kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada
 N.III/ okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN : Diperiksa bersama dengan
menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala arah , diameter pupil , reflek
cahaya dan reflek akomodasi.
 N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik, sensorik diperiksa pada permukaan
kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang bawah serta goresan kapas dan mata tertutup.
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus muskulusmasketer 
saat diperintahkan untuk gerak menggigit
 N.VII/ dasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan
dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi depan )bersiul ,
menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah
yang dijulurkan (gula , garam , asam)
 N.VIII/   Vestibulo - acusticus: fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber ,
Schwabach dengan garpu tala.
 N.IX/Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan
kemampuan menelan pasien
 N.XI /Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan
( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala
 N.XII/hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus ,
gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan
peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d  obstruksi jalan nafas oleh sekret
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder
terhadap hipoventilasi

E. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI


1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan
peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema
a) Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 jam.
b) Kriteria hasil :
 Tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK
 Tanda – tanda vital dalam batas normal
 Tidak adanya penurunan kesadaran
c) Intervensi
Mandiri :
 Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat
menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK
 Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart
 Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
 Pantau tekanan darah
 Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan
penglihatan kabur
 Pantau suhu lingkungan
 Pantau intake, output, turgor
 Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
 Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
 Tinggikan kepala 15-45 derajat
Kolaborasi :
 Berikan oksigen sesuai indikasi
 Berikan obat sesuai indikasi
 
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d  obstruksi jalan nafas oleh sekret
a) Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1
jam.
b) Kriteria hasil:
 Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
 Ekspansi dada simetris
 Bunyi napas bersih saat auskultasi
 Tidak terdapat tanda distress pernapasan
 GDA dan tanda vital dalam batas normal
c) Intervensi
Mandiri :
 Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
 Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan
memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
 Penghisapan sekresi
 Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
Kolaborasi :
 Berikan oksigenasi sesuai advis
 Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
 
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
a) Tujuan :
      Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
b) Kriteria hasil:
 RR 16-24 x permenit
 Ekspansi dada normal
 Sesak nafas hilang / berkurang
 Tidak suara nafas abnormal
c) Intervensi :
      Mandiri :
 Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
 Auskultasi  bunyi nafas.
 Pantau penurunan bunyi nafas.
 Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
 Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
 Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
      Kolaborasi :    
 Berikan oksigenasi sesuai advis
 Berikan obat sesuai indikasi
   
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder
terhadap hipoventilasi
a) Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
b) Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
 Bunyi paru bersih
 Warna kulit normal
 Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
c) Intervensi
Mandiri :
 Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
 Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan
tinmgkat kesadaran pada dokter.
 Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan
dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
 Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau
PEEP.
 Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
 Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau
penyimpangan
 Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
 Pantau irama jantung
Kolaboraasi :
 Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
 Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
 
F. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan, evaluasi dapat berupa evaluasi
struktur, proses, dan hasil evaluasi terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif
menghasilkan umpan balik selama program berlangsung, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan
setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektifitas pengambilan keputusan.
Evaluasi yang dilakukan pada asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk Subjektif,
Objektif, Assessment, Planning (SOAP).
  

DAFTAR PUSTAKA

Carolyn M. Hudak. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume II. Alih Bahasa : Monica E.
D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997
Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998

Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2001

Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Volume 2. Alih bahasa :
Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical – surgical nursing. 8th Edition.
Alih bahasa : Waluyo, A.  Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli
diterbitkan tahun 1996)

Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih
bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun
1993)

Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University Press, 1996 )

Padmosantjojo, Keperawatan Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf FKUI, 2000

Markum, Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis, Jakarta, Pusat Informasi  dan Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2000

Anda mungkin juga menyukai