Bab Iii 5 - 2
Bab Iii 5 - 2
LQHUMD3HPEDQJXQDQ3HUWDQLDQ
PENDAHULUAN
Agribisnis sapi perah sebagai salah satu usahatani dengan produksi susu
selama ini berkembang dengan lamban. Hal ini disebabkan rendahnya keuntungan
yang diperoleh para peternak. Menurut Priyanti HW DO (2009) hasil analisis
menunjukkan harga pokok produksi susu atau titik impas di tingkat peternak sudah
mencapai Rp. 2.200,-/liter jika produksi per ekor adalah 13 liter/hari. Oleh sebab itu,
untuk memacu perkembangan agribisnis sapi perah harus dapat meningkatkan
keuntungan yang diterima peternak. Untuk itu, diperlukan suatu tuntutan bagi setiap
peternak sapi perah agar diperoleh usaha agribisnis yang efisien dan ekonomis
sehingga dapat meningkatkan keuntungan (Djaja HWDO, 2009).
Kelembagaan peternak bedasarkan sifatnya, dapat dibedakan antara
kelembagaan sosial budaya (QRW SURILW RUJDQL]DWLRQ dan kelembagaan yang bersifat
ekonomi (Firman dan Tawaf, 2008). Kelembagaan sosial budaya biasanya
organisasinya tidak terstruktur dengan mapan sebagai contoh adalah "gotong royong"
dan arisan. Kelembagaan ekonomi yang berkembang di pedesaan antara lain koperasi.
Mempertimbangkan informasi di atas dapat ditegaskan bahwa terdapat
peluang untuk meningkatkan produksi sapi perah yang seharusnya segera dapat
diwujudkan. Meskipun kualitas genetik sangat menentukan tingkat produksi ternak,
tetapi dalam waktu yang relatif sempit perbaikan pengelolaan pemeliharaan sapi perah
termasuk pakan, reproduksi, kebersihan ternak dan kandang, serta perlakuan terhadap
hewan (DQLPDOZHOIDUH) tampaknya akan lebih mudah diterapkan.
Sejak jaman dahulu manusia telah menggunakan susu sebagai bahan pangan.
Manusia mengambil susu dari hewan yang memiliki kelenjar susu, seperti sapi, kuda
dan domba. Masyarakat Indonesia sendiri baru mengenal susu sapi dari para penjajah
Hindia Belanda pada abad ke 18. Tidak mengherankan apabila konsumsi susu sapi
masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Tren permintaan susu nasional diperkirakan akan terus meningkat. Kebutuhan
susu nasional terus naik lantaran pertumbuhan populasi dan makin membaiknya
kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi, khususnya protein hewani (Agrina,
2014). Selain itu, bertambahnya pendapatan rumah tangga akan mendorong
peningkatan konsumsi susu masyarakat sebagai sumber protein hewani. Tren
peningkatan konsumsi susu penduduk Indonesia dapat diihat pada (Gambar 1).
Walaupun sempat mengalami penurunan konsumsi pada medio pertengahan tahun
1990-an yang dipicu oleh krisis ekonomi, secara berangsur-angsur konsumsi susu
kembali meningkat mengikuti tren awalnya.
Data Pusdatin (2013) juga menunjukkan adanya tren peningkatan konsumsi
susu. Pada tahun 2008 konsumsi susu per kapita per tahun penduduk Indonesia
adalah 9,51 kg. Angka konsumsi susu nasional menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Pada tahun 2011 konsumsi susu penduduk Indonesia sempat mencapai
angka 14,26 kg/kapita/tahun, tetapi pada tahun berikutnya kembali menurun menjadi
11,01 kg/kapita/tahun. Konsumsi susu Indonesia tersebut jauh di bawah negara lain.
Malaysia, misalnya, tingkat konsumsi susu segarnya telah mencapai 36,2 kg,
sementara Thailand 22,2 kg/kapita/tahun dan Philipina 17,8 kg/kapita/tahun
(REPUBLIKA, 2 Juni 2014).
Produk susu yang dikonsumsi masyarakat tidak terbatas pada susu segar,
tetapi juga produk susu yang telah diolah menjadi berbagai bentuk turunan. Kajian
profil konsumsi susu di Indonesia menunjukkan bahwa susu segar hanya memberikan
kontribusi sebesar 17,9% dari total konsumsi susu nasional, sisanya sebesar 82,1%
merupakan konsumsi susu bubuk (Tawaf HWDO, 2009). Sejalan dengan perkembangan
teknologi, jenis susu yang dikonsumsi masyarakat menjadi semakin beragam. Dalam
lima tahun terakhir, susu dan produk turunan yang paling banyak diminta adalah susu
kental manis, disusul oleh susu cair pabrik dan susu bayi (Tabel 1).
Diferensiasi produk susu yang diminta masyarakat juga tergambar dari impor
susu dan produk turunannya yang semakin beragam (Gambar 2). Jika diperhatikan
lebih mendalam, masyarakat kita kurang menyukai untuk mengkonsumsi susu segar
dibandingkan dengan susu olahan. Secara konsisten, produk susu yang banyak
diimpor dari waktu ke waktu adalah susu bubuk. Volume produk susu yang diimpor
untuk mencukupi kebutuhan masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu,
misalnya, pada tahun 2006 ke 2010 terjadi peningkatan kebutuhan sekitar 64,95%.
Impor susu dari beberapa negara dilakukan karena produksi dalam negeri
tidak mencukupi kebutuhan, walaupun berbagai upaya peningkatan produksi sudah
dilaksanakan oleh pemerintah. Gap antara produksi dalam negeri dengan kebutuhan
riil masyarakat dapat dilihat pada (Gambar 3). Upaya yang dilaksanakan memang
dapat meningkatkan produksi. Namun demikian peningkatan produksi susu domestik
tidak dapat mengejar laju peningkatan permintaan susu yang dipenuhi dari impor.
Kesenjangan kapasitas produksi dan permintaan susu dan produk turunannya terus
meningkat dari waktu ke waktu. Kusmaningsih HWDO., (2008) menyatakan bahwa pada
tahun 2005 kebutuhan produk susu Indonesia mencapai 1,3 juta ton. Dari jumlah
kebutuhan susu Indonesia tersebut, 70% diantaranya harus diimpor dari manca
negara karena produksi domestik baru mencapai 0,4 juta ton. Soehadji (2009)
menyatakan bahwa setelah kenaikan produksi susu yang cepat pada periode 1979-
1984, sampai dengan tahun 2007 dengan produk nasional 1,2 juta liter/hari kontribusi
susu dalam negeri hanya 25% dari kebutuhan.
Di tengah-tengah impor susu dan produk turunannya yang terus meningkat,
sebenarnya sejak akhir tahun 1980an, Indonesia juga telah mengekspor produk susu
dan turunannya ke berbagai negara (Gambar 4). Namun demikian volume dan nilai
ekspor produk susu ini masih jauh dari volume dan nilai impornya, sehingga pada
hakekatnya Indonesia merupakan QHWLPSRUWHU susu.
Gambar 2. Impor susu dan produk turunan susu ke Indonesia tahun 1961-2011
(Sumber: FAOSTAT, data diolah).
Sebagaimana halnya dengan komoditas lain, secara umum importasi susu dan
produk turunannya dimungkinkan oleh adanya disparitas harga susu di pasar
internasional dan di pasaran domestik. Perkembangan harga susu Indonesia, New
Zealand, dan Australia sebagai negara pengekspor susu dan harga susu di Indonesia
dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perkembangan harga susu segar di Indonesia, Australia, dan Selandia Baru,
1991-2011 (Sumber: FAOSTAT, data diolah).
Gambar 6. Perkembangan nilai ekspor dan impor susu dan produk turunannya
di Indonesia, 1961-2011 (Sumber: FAOSTAT, data diolah).
yang terjadi di tingkat peternak adalah tingkat kualitas susu yang dihasilkan masih
sangat rendah, belum sesuai dengan persyaratan SNI 01-3141-1998 ( Murti, HW DO
2009), baik dari sisi total bakteri (TPC) ataupun 7RWDO6ROLG(TS).
Pengembangan industri sapi perah di Indonesia dipandang mempunyai
prospek strategis bagi pembangunan sumber daya manusia (Bamualim, 2009) karena
merupakan penghasil susu sebagai sumber protein hewani. Wawasan pembangunan
peternakan sapi perah dipandang sebagai industri biologis yang dikendalikan oleh
manusia dengan 4 aspek (Soehadji, 2009), yaitu: (1) peternak sebagai subjek
pembangunan yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak
sebagai objek pembangunan yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya,
(3) lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan budidaya yang harus
diamankan, dan (4) teknologi sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan
peternakan.
Menyadari nilai strategis pengembangan usaha sapi perah, pemerintah
berupaya keras untuk meningkatkan produksi dan produktivitas susu sapi (Bamualim,
2009), yang sebagian besar berasal dari Peternakan Sapi Perah Rakyat (PSPR).
Menurut Subandriyo dan Adiarto (2009), ciri usaha peternakan sapi perah rakyat
adalah: (1) skala usaha kecil, motif produksi rumah tangga, (2) dilakukan sebagai
usaha sambilan (VXEVLVWHQFH), (3) menggunakan teknologi sederhana, (4) bersifat
padat karya dan berbasiskan anggota keluarga, dan (5) kualitas produknya bervariasi.
Perlu diketahui bahwa usaha peternakan sapi perah tidak secara merata menyebar di
Indonesia. Tabel 2 menampilkan sebaran populasi sapi perah di Indonesia berdasarkan
survei nasional tahun 2011 menurut kepulauan. Usaha sapi perah berpusat di Pulau
Jawa (99,21%).
Menurut provinsi, populasi sapi perah terbesar adalah Jawa Timur sekitar
296,3 ribu ekor atau 49,61 persen dari total populasi sapi perah Indonesia. Provinsi
lain yang memiliki populasi sapi perah cukup besar adalah Jawa Tengah dan Jawa
Barat masing-masing 149,9 ribu ekor atau 25,11 persen dan 140 ribu ekor atau 23,44
persen dari total populasi sapi perah Indonesia. Sementara itu beberapa provinsi
Menurut Agrina (2014), situasi populasi sapi perah di Indonesia dalam lima
tahun terakhir tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Bahkan dalam dua tahun
terakhir, banyak peternak menjual sapi perahnya sebagai sapi potong. Penyebabnya
antara lain harga susu segar tak kunjung meningkat, sementara harga pakan makin
mencekik. Di sisi lain, harga daging sapi sangat menggiurkan, bahkan dipercaya
termahal di dunia, karena pernah mencapai Rp 140.000/kg. Sampai sekarangpun
harga referensi yang pernah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 76.000/kg tidak
tercapai. Harga daging sapi hingga saat ini relatif stagnan pada kisaran Rp 85.000/kg.
Seorang profesional budidaya sapi perah di Bandung, memperkirakan, Indonesia
kehilangan 40 persen dari populasi sapi laktasi dalam dua tahun terakhir. Diperkirakan
kontribusi produksi susu domestik terhadap pemenuhan kebutuhan susu nasional
tinggal 10 persen.
Mempertimbangkan informasi di atas dapat ditegaskan bahwa terdapat
peluang untuk meningkatkan produksi sapi perah yang seharusnya segera dapat
diwujudkan. Meskipun kualitas genetik sangat menentukan tingkat produksi ternak,
tetapi dalam waktu yang relatif sempit perbaikan pengelolaan pemeliharaan sapi perah
termasuk pakan, reproduksi, kebersihan ternak dan kandang, serta perlakuan terhadap
hewan (DQLPDOZHOIDUH) tampaknya akan lebih mudah diterapkan.
lebih parah, ketika pasar bebas ASEAN dibuka pada 2015 sehingga para pelaku dari
negara tetangga yang lebih siap berpeluang untuk aktif meraup laba.
Peluang tersebut disadari pula oleh jajaran pemerintah daerah misalnya
melalui regulasi/kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang memberikan insentif
pada swasta agar mendirikan Industri Pengolahan Susu (IPS). Kebijakan ini pada
tahun 2014 telah terwujud dengan terbangunnya pabrik pengolahan susu di
Semarang, Jawa Tengah oleh PT Cimory (Cisarua Mountain Dairy) dengan total nilai
investasi lebih dari Rp 20 miliar. Pabrik ini telah beroperasi dengan target produksi
awal 2.000 liter/jam, kemudian secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 8.000 liter.
Industri susu ini akan mengandalkan bahan baku susu dari para peternak di sekitar
pabrik dan diperkirakan dapat menyerap susu segar sekitar 15.000–17.000 liter/hari.
Susu berkualitas bagus akan dibeli oleh perusahaan dengan harga sampai Rp 4.000-Rp
5.000/liter. Pada saat ini harga jual susu di tingkat peternak hanya berkisar Rp 2.700–
Rp 3.500/liter. Harga peternak ini kurang menguntungkan karena tidak seimbang
dengan biaya produksi, terutama harga pakan konsentrat yang relatif mahal.
PT Indolakto di Boyolali juga telah berdiri sejak tahun 2013. Dengan kapasitas
tampung 120.000 liter/hari, siap menerima penjualan susu dengan harga Rp 4.000-Rp
4.500/liter). Disayangkan, pada awal tahun 2014 perusahaan pengolahan susu ini baru
dapat menyerap 10 persen dari kapasitas tampung pabrik. Hal ini disebabkan karena
peternak belum mau pindah dari langganan lama dan ada rasa ketakutan kalau
pembayarannya tidak lancar.
2. Daya dukung pakan memadai
Ketersediaan hijauan pakan ternak pada tahun 2011 dapat menampung
5.337.535 Satuan Ternak (ST) yang berasal dari limbah pertanian, rumput langan, dan
rumput unggul.
3. Dukungan Kultur sosial budaya masyarakat di sentra produksi
Budaya masyarakat di sentra produksi sangat mendukung. Masyarakat di
beberapa kabupaten/kota di Jateng (Boyolali, Banyumas, Wonosobo, Klaten,
Semarang, Banyumas, Tegal, dan Salatiga) secara turun temurun sudah terbiasa
memelihara ternak sapi perah secara tradisional
4. Keuntungan finansial usaha ternak sapi perah
Usaha ternak sapi perah memungkinkan peternak untuk memperoleh
pendapatan harian (menjual susu), bulanan (menjual kotoran/pupuk organik), dan
pendapatan tahunan (menjual anak sapinya), serta menghasilkan energi untuk
memasak/penerangan dari pembuatan biogas berbahan baku kotoran ternak.
5. Peningkatan konsumsi produk susu akibat pendapatan masyarakat
meningkat
Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak pada peningkatan
kesadaran pentingnya pemenuhan gizi seimbang dan mengkonsumsi protein hewani,
khususnya susu lebih banyak.
sebagai bahan baku industri persusuan sebesar 5 persen. Tarif 5 persen ini dinilai tidak
sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan oleh WTO, sehingga IPS tidak bergairah
untuk berkembang jadi penggerak peningkatan produksi susu nasional (Soehadji,
2009).
Lembaga koperasi yang mengelola persusuan dari peternak dan
mendistribusikan kepada IPS serta sebagai perwakilan peternak dalam
memperjuangkan aspirasi peternak, koperasi mempunyai peran cukup besar (Firman,
2007). Namun demikian dalam banyak kasus lembaga koperasi susu ini masih lemah
dan belum dapat secara optimal mengatasi permasalahan yang dihadapi pada
peternak dan persusuan di Indonesia.
8. Kurangnya apresiasi terhadap multi fungsi usaha ternak sapi perah
Apresiasi terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat dipandang
kurang memadai. Sebagian besar apresiasi hanya difokuskan pada aspek ekonomis
semata. Fungsi lain, seperti penyedia lapangan kerja, penyedia ELRIHUWLOL]HU,
pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi buruk, perbaikan lingkungan, dan fungsi
sosio-kultural lainnya belum banyak dipertimbangkan.
PENUTUP
tarif bea masuk susu bubuk sebagai bahan baku industri persusuan yang besarnya
mencapai 5 persen.
Komitmen pemerintah untuk mengembangkan industri susu nasional cukup
tinggi, yang dapat dilihat ditetapkannya industri pengolahan susu sebagai salah satu
industri prioritas oleh Kementerian Perindustrian, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Peta panduan atau
URDGPDS pengembangan klaster industri pengolahan susu juga telah disusun dengan
melibatkan semua pemangku kepentingan usaha persusuan yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Perindustrian No. 122/M-IND/PER/10/2009. Kebijakan industri
pengolahan susu tidak akan bermakna apabila tidak ditunjang dengan pengembangan
usaha peternakan sapi perah rakyat sebagai penyedia bahan baku susu.
Dengan terbentuknya era pemerintahan baru pasca PILPRES 9 Juli 2014,
diharapkan agar pemerintah baru dapat menetapkan kebijakan yang dapat
memberikan regulasi dan perlindungan yang lebih baik bagi peternak rakyat dan
kebijakan yang mendukung pengembangan industri peternakan sapi perah di
Indonesia. Perlu diingat bahwa usaha peternakan sapi perah rakyat sangat strategis
karena: (1) menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, mulai dari pra produksi,
produksi, panen, pasca panen/pengolahan hingga pemasaran, (2) menghasilkan
pangan bergizi/sumber protein hewani yang murah untuk meningkatkan
kualitas/kecerdasan bangsa Indonesia, (3) mampu memberikan pendapatan harian
pada peternak sapi perah, (4) limbah/kotorannya mampu menghasilkan energi
alternatif terbarukan (biogas) dan merupakan sumber pupuk organik penting, dan (5)
budidaya sapi perah dapat disinergikan dengan usahatani tanaman pangan,
perkebunan dan industri, berupa pemanfaatan limbah/hasil samping usahatani menjadi
pakan murah dan berkualitas dan meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani
dengan memanfaatkan limbah kandang sebagai sumber pupuk organik.
DAFTAR PUSTAKA
Agrina, 2014. Mengurai Lingkaran Setan Sapi Perah. Tabloit Agribisnis Dwi Mingguan.
Inspirasi Agribisnis Indonesia.
Bamualim, A.M., Kusmartono dan Kuswandi. 2009. Aspek Nutrisi Sapi Perah. Dalam
3URILO 8VDKD 3HWHUQDNDQ 6DSL 3HUDK GL ,QGRQHVLD (K.A. Santosa, K.
Diwiyanto, dan T. Toharmat, Editor), hlm: 165-208. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Djaja. W, R.H Matondang dan Haryono, 2009. Aspek Manajemen Usaha Sapi Perah.
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
DPKH Jateng (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah). 2012.
Statistik 2012: Peternakan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Jawa Tengah. Ungaran.
Direktorat Jendral P2HP, 2011. Keragaan Database Kinerja Pengolahan & Pemasaran
Hasil Pertanian. Bekerjasama dengan PT Swastika Perdana.
Direktorat Ternak Budidaya Ruminansia, 2010
Epetanipet.go.id/blog/pengembangan-usaha-sapi-perah-di-Indonesia-1598
Firman, A., 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah: Suatu Telaah Pustaka. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.
Firman, A dan R. Tawaf. 2008. Manajemen Agribisnis Peternakan : Teori dan Contoh
Kasus. Universitas Padjadjaran. Press.
IMPBogor49, 2012. Pengembangan Sapi Perah Indonesia. Ipmbogor49.wordpress.com
Judkins, H.F. and Keener, H.A. 1960. Milk production and processing. John Willey &
Sons, Inc. New York.
Kusmaningsih, Susilowati Dan Diwiyanto, K. 2008. Prospek Dan Pengembangan Usaha
Sapi Perah Di Jawa Tengah Menyongsong MDG’s 2015. Prosiding
6HPLORND1DVLRQDO3URVSHN,QGXVWUL6DSL3HUDK0HQXMX%HEDV, Hlm:
404-412. Puslitbang Peternakan. Bogor.
Murti. T.W, H. Purnomo, dan S.Usmiati, 2009. Pasca Panen dan Teknologi Pengolahan
Susu. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
PSPK, 2011. Rilis Hasil Awal 2011. Kementrian - BPS
Priyanti. A, S.Nurtini, dan A.Firman, 2009. Analisis Ekonomi dan Aspek Sosial Usaha
Sapi Perah. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Pusdatin. 2013. Statistik Pertanian 2013. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.
Kementerian Pertanian. 316 hal.
Soehadji, 2009. Sejarah Perkembangan Industri Persusuan. Direktorat Jendal Industri
Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Jakarta.
Subandriyo dan Ardiarto. 2009. Sejarah Perkembangan Sapi Perah. Profil Usaha
Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Tawaf. R, Tridjoko W. Murti dan R.A.Saptati. 2009. Kelembagaan dan Tata Niaga Susu.
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
www.kampoengternak.or.id. Kampoeng Ternak Nusantara. Membangun
Kewiusahawan Sosial.