Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum menurut Hans Kelsen adalah tata aturan (order) sebagai suatu

sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian

hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat

aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai

suatu sistem. Bahwa suatu aturan yang mengatur perilaku manusia adalah

aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap manusia dan pemahaman atas

peraturan yang bertujuan untuk mengatur manusia tidak dapat dipahami

dengan satu peraturan melainkan dengan seperangkat peraturan. Hukum

pidana dibagi atas tiga bidang yakni hukum pidana materiel yang mengatur

mengenai ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan (subtantif). Hukum

pidana formil yang mengatur mengenai hukum acara pidana atau penerapan

atas hukum pidana materiel terhadap pelanggar hukum. Hukum pelaksana

pidana yang mengatur mengenai pelaksanaan pidana yang atas putusan hakim

terhadap pelanggar hukum.

Berkaitan mengenai pelaksanaan pidana Van Bemmelen berpendapat

untuk tidak memandang pidana itu semata-mata sebagai pidana atau melihat

pemidanaan itu sebagai pemidanaannya dalam pengertian hukum penitensier.

Pada dasarnya hukum penitensier adalah peraturan positif mengenai

pelaksanaan sistem hukum (strafstelsel) dan sistem tindakan

(maatregelstelsel). Dapat di pahami kinerja hukum penitensier pada saat

1
2

hukum pidana telah berhenti bekerja dan hakim telah menjatuhkan putusan

pidana terhadap pelanggar hukum. Apabila terdapat atau sudah ada putusan

yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum yang mana hukum pidana sudah

tidak bekerja maka selanjutnya hukum penitensier yang aktif dalam penerapan

hukum pidana tersebut.

Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan Hak Asasi Manusia

(HAM), meskipun orang tersebut telah hilang kemerdekaannya. Pada dasarnya

hak asasi manusia melekat disetiap pribadi masing-masing sebagai karunia

dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia tercantum di Negara Republik

Indonesia dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945:

Pasal 27 ayat (1)


Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

Apabila seseorang telah hilang kemerdekaannya dalam artian seorang

narapidana, maka akan dapat juga memiliki hak asasinya sebagai seorang

narapidana. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan:

Pasal 1 angka 7
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan
di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).

Dalam hal pemberian hak-hak narapidana oleh pemerintah diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang telah mengatur secara jelas mengenai hak

yang di dapatkan seorang narapidana yang terdapat dalam Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Narapidana berhak :
3

Pasal 14 ayat (1)


a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e) Menyampaikan keluhan;
f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k) Mendapatkan pembebasan bersyarat;
l) Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Salah satunya mengenai Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu hak

narapidana yang harus dipenuhi dengan melihat syarat-syarat yang telah

ditentukan oleh undang-undang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan:

Pasal 1 angka 7
Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan di luar Lapas setelah
menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya minimal
9 (sembilan) bulan.

Dasar hukum pembebasan bersyarat terdapat dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai pembebasan bersyarat yang

menyatakan:

Pasal 15 KUHP ayat (1):


Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara
yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan
bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana
4

harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap


sebagai satu pidana.

Pada hakekatnya pemberian pembebasan bersyarat adalah pemberian hadiah

dari Negara bagi narapidana untuk bebas terlebih dahulu sebelum masa

pidananya yang sebenarnya. Selain itu pembebasan bersyarat adalah tujuan

yang mulia dari pemerintah yang memiliki ide pemikiran yang bertujuan agar

narapidana bisa berinteraksi secara langsung dengan masyarakat setelah

dilakukan pembinaan di lapas, pembebasan bersyarat ini salah satu kontrol

dimana narapidana setelah menjalani pemidanaan yang memiliki cap atau

lebel atau pandangan dari masyarakat yang negatif, sehingga dapat merubah

cara pandang masyarakat bahwa narapidana bukanlah orang yang patut di

perlakuakan sedemikian rupa akan tetapi narapidana adalah orang yang

tersesat dan perlu akan bimbingan.

Seperti contoh kasus yang penulis dapatkan di sebuah berita media online

sebagai berikut :

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Pengamat hukum Universitas


Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho, menduga ada
hal lain membuat terpidana kasus suap bupati Buol, Hartati Murdaya,
bebas bersyarat.
"Pidana untuk pelaku tipikor harus maksimal. Oleh karena itu, dilihat
bagaimana 'track record' (rekam jejak) Hartati Murdaya, apakah pantas
diberikan bebas bersyarat," katanya, di Purwokerto, Senin (1/9).
Menurut dia, lembaga pemasyarakatan punya andil untuk memberikan
rekomendasi pembebasan bersyarat itu. Ia menduga ada hal lain yang
menyebabkan lembaga pemasyarakatan memberikan rekomendasi
pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus suap Bupati Buol itu.
"Mungkin pertimbangannya, dia (Hartati Murdaya, red.) selama ini
dikatakan sebagai tokoh. Mungkin ada sedikit perlakuan khusus sehingga
dia diberikan pembebasan bersyarat itu," katanya.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 Februari 2013
menjatuhkan vonis dua tahun delapan bulan penjara kepada Hartati
5

Murdaya karena terbukti bersalah melakukan suap senilai Rp3 miliar


terhadap Bupati Buol Arman Batalipu terkait izin usaha perkebunan.
Hartati yang mulai ditahan pada 12 September 2012 seharusnya akan
bebas pada akhir 2015. Akan tetapi, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Amir Syamsuddin memberikan pembebasan bersyarat kepada
Hartati Murdaya karena terpidana kasus suap itu telah memenuhi syarat-
syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Dalam hal ini, Hartati
sejak 23 Juli 2014 telah menjalani dua pertiga masa pidana dan tidak
pernah mendapatkan remisi.
Meskipun Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra
Murdaya itu telah menjalani dua pertiga masa pidana, pembebasan
bersyarat terpidana kasus suap Hartati Murdaya dinilai bertentangan
dengan rasa keadilan.
"Pembebasan bersyarat memang hak seseorang yang telah menjalani dua
pertiga dari putusan yang dijatuhkan," kata pengamat hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu
Nugroho, di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa permasalahan itu berbenturan
dengan politik hukum negara atau pemerintah di mana ada pengecualian.
"Ini memang tergantung pada politik hukum negara atau politik hukum
pemerintah," kata dia yang pernah mengikuti seleksi calon hakim agung
pada 2012.
Menurut dia, politik hukum pemerintah idealnya seperti halnya politik
hukum pembatasan remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Oleh karena itu, dia mengaku setuju dengan pembatasan remisi bagi
pelaku tipikor meskipun melanggar hak narapidana.
Ia mengatakan jika pembatasan remisi merupakan politik hukum negara
dalam rangka pemberantasan tipikor yang memberikan efek jera,
pembebasan bersyarat itu bertentangan dengan rasa keadilan.
"Tapi itu khusus kasus-kasus korupsi, kalau kasus-kasus pidana umum
bebas mendapatkan hak. Meskipun kasus korupsi juga punya hak, tapi ini
(pembebasan bersyarat, red) bertentangan dengan rasa keadilan," jelasnya.
Terkait hal itu, dia mengatakan bahwa pemberian hak remisi maupun
pembebasan bersyarat bagi pelaku tipikor harus dikecualikan kalau
memang Indonesia dikatakan "darurat korupsi".
Dengan demikian, kata dia, pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tipikor
harus benar-benar memberikan efek jera termasuk pidananya pun
dikecualikan dari pidana-pidana yang diberlakukan secara umum.1

1
Republika. 2014. Pembebasan Bersyarat Hartati Murdaya Ciderai Rasa Keadilan.
http://republika.co.id.// Diakses tanggal 10 September 2014, pukul 22.32 WIB
6

Pandangan masyarakat ketika mendengar istilah mengenai Narapidana

adalah seorang yang jahat akibat perbuatan yang di lakukannya berlawanan

dengan hukum sehingga dihukum dalam penjara atau lembaga

pemasyarakatan. Hukuman yang diterimanya layak karena perbuatannya yang

melawan hukum. Hal ini, Negara memiliki tanggung jawab penuh atas

perilaku warganya yang menyimpang dari aturan-aturan atau norma-norma

atau hukum yang berada dinegara tersebut. Tanggung jawab yang dilakukan

oleh negara mengenai perbuatan seseorang yang menyimpang yaitu melalui

lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat yang

memiliki tujuan untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang di

akibatkan oleh suatu tindak pidana yang telah diperbuatnya.

Penjatuhan pidana atau pemidanaan ini sangat penting dalam hukum

pidana dan dalam peradilan pidana. Dalam penjatuhan pidana seseorang, perlu

di tinjau hakekatnya dan tujuan pemidanaan. Hal tersebut menimbulkan

beberapa teori serta memikirkan mengapa suatu kejahatan itu perlu adanya

hukuman pidana. Dalam hukum pidana mengenal adanaya 3 (tiga) teori tujuan

pemidanaan. Secara garis besar teori tujuan pemidanaan, yaitu :

1. Teori Absolut

Terori absolut atau teori pembalasan, “dasar pijakan teori ini ialah

pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa

pidana itu pada penjahat”.2 Teori ini beranggapan bahwa apa yang
2
Adami Chazawi. 2001. Pembelajaran Hukum Pidana Bagian I. Penerbit Rajawali Pers. Hal
157
7

dilakukannya maka itu adalah hukuman yang harus diterimanya.

Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada pembalasan terhadap kejahatan

yang telah dilakukannya, mengenai dasar hukum teori ini terletak pada

kejahatan itu sendiri. “Teori ini sebenarnya adalah suatu teori yang

berdasarkan pada anggapan, bahwa hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa

dan hutang darah harus di bayar dengan darah”.3

2. Teori Relatife

“Teori relatife atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam

masyarakat”.4 Teori ini berbanding terbalik dengan teori mutlak, dalam

teori relatife ini ditujukan hanya untuk pencegahan (prevensi) dimana teori

relatife mementingkan hari-hari yang akan datang terhadap seseorang

yang melakukan tindak pidana agar menjadi orang yang lebih baik.

3. Teori Gabungan.

“Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas

pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi

dasar penjatuhan pidana”.5 Teori ini menggabungkan antara Teori Absolut

dengan Teori Relatife. Dalam teori gabungan ini tidak hanya menitik

3
Samidjo. 1993.Pengantar Hukum Indonesia. Bandung. Penerbit CV. Armico. Hal 153
4
Ibid. Hal 161 (sumber kutipan sama dengan nomor 2, halaman berbeda)
5
Ibid. Hal 166 (sumber kutipan sama dengan nomor 2, halaman berbeda)
8

beratkan hukuman yang diterima itu sebagai pembalsan melainkan

mendidik seseorang yang melakukan tindak pidana agar menjadi lebih

baik di kehidupan selanjutnya.

Pembinaan narapidana menurut Muladi, bahwa tujuan pemidanaan adalah


untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh
tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang
harus di penuhi, dengan catatan tujuan yang merupakan titik berat harus
bersifat kasuistis. Perangkat yang tujuan pemidanaan yang dimaksud
terdiri atas:
1. Pencegahan (umum dan khusus);
2. Perlindungan masyarakat;
3. Memelihara solidaritas masyarakat;
4. Pengimbalan/perimbangan.6

Macam-macam metode pembinaan dalam sistem pemasyarakatan telah

disusun dan dikelompokkan dalam sistem pembinaan didalam lembaga

pemasyarakatan dan diluar lembaga pemasyarakatan, salah satunya pemberian

pembebasan bersyarat merupakan bentuk pembinaan yang diberikan kepada

narapidana. Pembinaan ini merupakan hak narapidana untuk dibina diluar

lembaga pemasyarakatan atau dikembalikan kepada masyarakat sebelum masa

pidananya berakhir yang memiliki tujuan agar narapidana bisa berinteraksi

dengan msyarakat dan diterima oleh masyarakat. Pembinaan ini merupakan

evaluasi dari hasil pembinaan yang dilakukan didalam lembaga

pemasyarakatan. Pembinaan ini diperoleh oleh narapidana yang memenuhi

persyaratan secara subtantif dan persyaratan administratif.

6
Petrus Irwan, dkk. 1995.Lembaga Pemasyarakatan Dalam Prespektif Sistem Peradilan
Pidana. Jakarta. Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Hal 12
9

Pelaksanaan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan di atur

di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

selain itu juga di atur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999

tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam latar belakang diatas

menjadi pendorong bagi penulis untuk melaksanakan penelitian guna

penyusunan skripsi yang berjudul : SYARAT DAN TATA CARA

MENDAPATKAN HAK PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI

NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II B Jombang).

B. Rumusan Permasalahan

Dalam suatu penelitian, perumusan masalah merupakan hal yang penting,

agar dalam penelitian dapat lebih terarah dan terperinci sesuai dengan tujuan

yang dikehendaki, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana Syarat Mendapatkan Hak Pembebasan Bersyarat Bagi

Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lapas Kelas II B Jombang?

2. Bagaimana Tata Cara Mendapatkan Hak Pembebasan Bersyarat Bagi

Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lapas Kelas II B Jombang?


10

3. Apa Faktor Pendukung Syarat dan Tata Cara Mendapatkan Hak

Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lapas

Kelas II B Jombang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, bagaimana syarat mendapatkan

hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di lapas

kelas II B Jombang.

2. Untuk mengetahui bagaimana tata cara mendapatkan hak pembebasan

bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di lapas kelas II B

Jombang.

3. Untuk mengetahui apa faktor pendukung syarat dan tata cara mendapatkan

hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di lapas

kelas II B Jombang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan-

kepentingan sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a) Diharapkan memberi hal yang berguna bagi pengembangan dan

penelitian lebih lanjut terhadap hak narapidana khususnya pembebasan

bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi.


11

b) Diharapkan menjadi sebuah bahan koreksi untuk penyempurnaan dan

pengembangan lebih lanjut mengenai pembebasan bersyarat oleh

Lapas terhadap narapidana tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi serta

penambahan pengetahuan bagi masyarakat mengenai pembebasan

bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi.

b) Bagi Petugas Lapas dan Praktisi Hukum

Diharapkan dapat melaksanakan dan menerapkan adanya pembebasan

bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi sesuai dengan

prosedur yang berlaku.Selain itu, dapat menambah wacana bagi

petugas lapas dan praktisi hukum khususnya dalam pembebasan

bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi.

c) Bagi Akademisi

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan ilmu

pengetahuan serta menjadi sumber referensi dan bahan kajian yang

khususnya berkaitan dengan pembebasan bersyarat bagi narapidana

tindak pidana korupsi.

d) Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi

Penelitian ini diharapkan menambah wawasan atau pengetahuan

kepada seluruh narapidana khususnya narapidana tindak pidana

korupsi.
12

E. Kegunaan Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dapat menjadi bahan

masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya petugas lembaga

pemasyarakatan dalam rangka menjalankan tugas pemenuhan hak-hak

narapidana, agar sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Tentang Pemasyarakatan dan perundangan lainnya yang relevan.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data – data valid yang berhubungan dengan penulisan

skripsi ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode

pendekatan yuridis sosiologis (socio legal research) yang merupakan

penelitian hukum yang menggunakan data sekunder sebagai data awalnya,

yang kemudian di lanjutkan dengan data primer atau data lapangan.

2. Penentuan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di LAPAS Kelas II B Jombang dalam kurun

waktu 1 bulan yaitu bulan juni 2014. Alasan penulis memilih lokasi

penelitian di Kota Jombang adalah karena merupakankota yang

berkembang sehingga terdapat banyak potensi tindak pidana korupsi.

Selain itu, Lapas Kota Jombang juga menjadi pilihan penulis karena

terdapat narapidana tindak pidana korupsi yang mendapatkan pembebasan

bersyarat.
13

3. Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan di dukung oleh data sekunder

a. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian

yaitu Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Jombang yang terletak di

Jalan KH. Wahid Hasyim 155 Kabupaten Jombang, penelitian

dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada Kepala Seksi

Bina Pendidikan dan Giat Kerja yaitu Bapak Affandi, A,Md. I.P., S.H.,

MH untuk menanyakan pendapat serta persepsi mengenai syarat dan

tata cara mendapatkan hak pembebasan bersyarat bagi narapidana

tindak pidana korupsi untuk keperluan hasil penelitian berupa

wawancara, studi dokumen serta peraturan perundang-undangan,

seperti KUHP, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999

tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan dan perundang- undangan yang berkaitan dengan

topik atau permasalahan yang diteliti oleh penulis.

b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui kajian kepustakaan

dan Undang-Undang seperti KUHP, peraturan perundang-undangan,

seperti KUHP, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun


14

1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999

tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan.

c. Data Tersier adalah jenis data yang diperoleh dari Ensiklopedia, Jurnal

Hukum, Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Field Research (Penelitian Lapangan)

Dengan meneliti secara langsung ke lembaga pemasyarakatan kelas II

B Jombang mengenai masalah yang dibahas oleh penulis, anatara lain :

1) Wawancara (interview) : Tanya jawab dan dialog atau diskusi

dengan Bapak Affandi, A,Md. I.P., S.H., MH sebagai Kepala Seksi

Bina Pendidikan dan Giat Kerja kelas II B Jombang terkait dengan

Syarat dan Tata Cara Hak Mendapatkan Pembebasan Bersyarat

Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan peraturan

perundang – undangan yaitu Pasal 14 ayat 1 huruf K Undang –

undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 43

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan

narapidana tindak pidana korupsi yang berada di dalam Lapas Kota


15

Jombang terkait dengan hak warga binaan terutama mengenai

pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi.

2) Studi Dokumen : Studi dokumen mengenai pembebasan bersyarat

atas nama N A A B ,S.Pd Bin Durakim dalam perkara tindak

pidana korupsi.

b. Studi Pustaka

Studi kepustakan mengenai pembebasan bersyarat dari buku-buku

ilmiah seperti karangan dari C. Djisman Samosir, S.H., M.H. mengenai

sekelumit tantang Penologi dan Pemasyarakatan, Dr. Marlina, S.H.,

M.Hum. mengenai Hukum Penitensier, Drs P.A.F. Lamintang, S.H.

dkk mengenai Hukum Penitensier Indonesia dan buku ilmiah yang

berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Peraturan undang-undang

Republik Indonesia nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan,

Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata

cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Juga

menggunakan sumber-sumber yang tertulis baik tercetak maupun

elektronik yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan

penulis.

5. Analisa Data

Untuk menganalisa data hasil penelitian penulis menggunakan metode

deskriptif analitis yaitu metode untuk memperoleh gambaran singkat

mengenai suatu permasalahan yang ada di lokasi yang telah dinyatakan

oleh responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku yang nyata
16

tentang Syarat dan Tata Cara Hak Mendapatkan Pembebasan Bersyarat

Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lapas Kota Jombang.

G. Rencana Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang isi penulisan tugas

akhir ini, maka sistematika penulisan hukum di bagi 4 (empat) bab, dan

masing-masing terdiri atas sub-sub bab. Adapun bab -bab tersebut adalah

sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis memaparkan mengenai latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Dalam bab ini penulis menguraikan pendekatan secara teoritis mengenai

kerangka dasar dan permasalahan yang diangkat, serta fakta dan dasar hukum.

Penulis menyajikan teori-teori yang bersumber dari undang – undang maupun

literature yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di teliti yaitu syarat

dan tata cara hak mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak

pidana korupsi di Lapas Kota Jombang yang telah di tentukan oleh peraturan

perundang-undangan.

BAB III : HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis menyajikan analisa-analisa yang berkaitan dengan

permasalahan yang berdasarkan hasil penelitian di lapangan. Penulis

memaparkan hasil penelitian sekaligus pembahasan disertai dengan analisa

deskriptif analitis terhadap syarat dan tata cara hak mendapatkan pembebasan
17

bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Kota Jombang di

kaitkan dengan undang-undang pemasyarakatan yang ada.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini penulis menyajikan tentang kesimpulan dan saran-saran yang

berkaitan dengan permasalahan yang telah di paparkan dari hasil penelitian di

atas.

Anda mungkin juga menyukai