Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH HUKUM PIDANA DI LUAR KUHP

“ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA TERKAIT KASUS


KORUPSI BIROKRASI (STUDI KASUS GAYUS TAMBUNAN PEGAWAI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK)”

DISUSUN OLEH:
ANNISA PUTRI (02011381823320)
MUHAMMAD ZICO MARSUCI (02011381823396)
TIARA PUSPA RAHMA DINI (02011381823004)

DOSEN PEENGAMPU:
1. DR. HENNY YUNINGSIH, S.H., M.H.
2. HAMONANGAN ALBARIANSYAH, S.H., M.H.
3. TAROMAN PASYAH, S.HI.,M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWJAYA


KAMPUS PALEMBANG
PERIODE 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah yang berjudul “ANALISIS KORUPSI BIROKRASI


(STUDI KASUS GAYUS TAMBUNAN PEGAWAI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK) “ ini,
kami membuat kesimpulan bahwa tujuan dari penulisan makalah ini adalah kasus korupsi
yang melibatkan seorang aparat pegawai negeri ini dapat menjadikan acuan kita untuk lebih
menekankan kepada para pemuda-pemudi Indonesia dari sejak dini untuk menerapkan sifat
anti KKN demi mewujudkan kepentingan bangsa Indonesia.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, itu
dikarenakan kemampuan yang dimiliki setiap orang itu terbatas. Namun, alhamdulillah, kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Akhirnya kami sebagai penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.

Palembang, 3 Februari 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................................
1.4 Metode Penelitian.................................................................................................................

BAB II LANDASAN TEORI...................................................................................................


2.1 Pengertian korupsi................................................................................................................
2.2 Subjek hukum tindak pidana korupsi...................................................................................
2.3 Pertanggungjawaban pidana.................................................................................................

BAB III PEMBAHASAN..........................................................................................................


3.1 Analisis kasus.......................................................................................................................
3.2 Analisis putusan hakim........................................................................................................

BAB IV PENUTUP...................................................................................................................
4.1 Kesimpulan...........................................................................................................................
4.2 Saran.....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Latar belakang dari penelitian ini merujuk pada, begitu banyaknya kasus pelanggaran atau
kecurangan seperti korupsi terjadi di Indonesia, bukan hanya melibatkan pegawai biasa,
bahkan saat ini pelaku korupsi merupakan orang-orang yang memiliki jabatan tinggi atau
kekuasaan tertentu, bahkan di bagian departemen milik pemerintah. Hal ini merupakan
sebuah pencerminan sistem pemerintahan dan pengawasan terhadap kinerja para aparatur
negara masih sangat minim. Masalah korupsi di negeri ini sudah memasuki seluruh bidang
kehidupan sosial dan pemerintahan serta sudah bersifat mengakar dalam budah hidup,
prilaku, dan cara berpikir1 M.Nurul Irvan “Korusi Dalm Hukum Pidana Islam” (Jakrta, Pena Grafika,2012) hal 4.

Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan
menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Adanya pendapat bahwa korupsi
merupakan seni hidup, dan menjadi salah satu aspek kebudayaan. Sehingga korupsi adalah
produk dari sikap hidup suatu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar
kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan
politisi korup yang berkelebihan uang dapat masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan
sangat dihormati dan juga menduduki status sosial yang tinggi. Kemudian, Adanya tuntutan
dari masyarakat untuk dilakukanya upaya pemberantasan korupsi menunjukkan adanya
masalah penegakan hukum di negeri ini. Karena korupsi merupakan bentuk perbuatan
melawan hukum yang dapat merugikan negara dan masyarakat.

Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ditegaskan bahwa korupsi di


Indonesia telah terjadi secara sistematik dan meluas tidak saja menimbulkan kerugian
Negara, tetapi juga telah merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Hal
ini sesuai dengan pendapat dari Erry Riyana Hardjapamekas yang menyatakan sebagai
berikut:1 “Korupsi memang merupakan masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini. Bukan
sekedar korupsi sebagai tindak pidana kriminal, melainkan korupsi sebagai perilaku yang
secara dahsyat mampu mengubah karakter dan perilaku masyarakat dan nilai-nilai hidup yang
mendasarinya”.1 1Erry Riyana Hardjapamekas, 2006, Koropsi dan Kebudayaan, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, cet. I, hal 9.

Seperti kasus Gayus Tambunan, kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri,
diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan
penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri
menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP). Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga
pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. “Karena Gayus seorang
pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Seiring hasil penelitian jaksa,
hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke
Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar
yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya, terkait dana Rp.25 milliar itu tidak
dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian
1 M.Nurul Irvan “Korusi Dalm Hukum Pidana Islam” (Jakrta, Pena Grafika,2012) hal 4.
Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir
Rp. 25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus. dapat dibuktikan sebab dalam penelitian
ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha
garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp. 25 miliar di rekening Bank Panin
milik Gayus.

Dalam upaya pemberantasan korupsi penjatuhan pidana penjara seperti Gayus Tambunan
merupakan jenis pidana ang umumnya dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku korupsi.
Penjatuhan pidana penjara dilakukan sebagai jawaban terakhir untuk memberantas kejahatan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Roesian Saleh mengatakan bahwa: 2 Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,
dalam Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukam Pidana Indonesia, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, hal 8.

“Pidana tidak dapat dihindarkan adanya dalam masyarakat, walaupun harus diakui
bahwa pemidanaan memang merupakan alat pertahanan terakhir. Dia merupakan akhir dan
puncak keseluruhan sistem dan upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan
tingkah laku tertentu yang diharapkan masyarakat”.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah mengenai:
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2. Siapa subjek hukum tindak pidana korupsi dan bagaimana ketentuan pertanggungjawaban
pidana dalam tindak korupsi?
3. Dugaan apa saja yang didakwakan kepada Gayus Tambunan?
4. Bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi Gayus Tambunan dalam perspektif
hukum pidana?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
(1) Untuk mengetahui dan membahas tentang korupsi yang ada di Indonesia,
(2) untuk mengetahui siapa saja subjek hukum tindak pidana korupsi dan ketentuan sanksi
pidana terhadap tindak pidana korupsi serta bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam
tindak pidana korupsi
(3) Untuk mempelajari cara untuk mengatasi kasus korupsi yang ada di Indonesia,
(4) Untuk mengetahui bagaimana analisi kasus tindak pidana korupsi Gayus Tambunan
dalam perspektif hukum pidana.

1.4 Metode Penelitian


Metode jenis penelitian yaitu penelitian kualitatif dan menggunakan studi pustaka yang
dilakukan untuk mengumpulkan, mempelajari teori-teori, peraturan-peraturan, informasi yang
diperoleh dari buku serta menelaah dokumen dalam bentuk jurnal, buku teks dan makalah
yang berkaitan dengan masalah penelitian.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah
membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan
jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
martiman prodjohamidjojo, penerapan pembuktian terbalik dalam delik korups,CV, Mandar Maju, Bandung, 2001, halaman7

Menurut Ensiklopedia Indonesia bahwa korupsi berasal dari bahasa latin: corruption yang
berarti penyuapan atau corruptore yang berarti merusak. Istilah ini merujuk kepada sebuah
gejala di mana para pejabat publik, badanbadan negara menyalahgunakan wewenang melalui
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi.
Secara hukum, pengertian dari korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi. Jadi, dapat disimpulkan menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi, pengertian korupsi adalah tindakan setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dari sudut pandang
hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
- merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

2.2 Subjek hukum tindak pidana korupsi

Subjek hukum tindak pidana dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah orang
pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin
ditiadakan, namun ditetapkan pada suatu badan yang dapat menjadi subjek hukum tindak
pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam pasal 20 jo pasal 1 dan pasal 3 UU No. 31 tahun
1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.adami chazawi, hukum
pidana materiil dan formil korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, halaman 341

1. Subjek Hukum Orang


Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas pada sistem pembebasan tanggung jawab
pidanayang dianut, yang dalam hukum pidana umum (sumber pokoknya KUHPidana), adalah
pribadi orang. Hanya orang yang dapat menjadi subjek hukum pidana, sedangkan badan atau
koperasi tidak bisa.

Dalam hukum pidana korupsi yang bersumber pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
subjek hukum orang ini ditentukan melalui 2 cara, yaitu:
a. Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya, artinya tidak
ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang
menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana pada orang umumnya, yang
in casu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” misalnya Pasal 2,
3, 21, dan 22, tetapi juga subjek hukum tindak pidana juga diletakkan di tengah rumusan
misalnya Pasal 5 dan 6.

b. Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut,
yang in casu ada banyak kualitasnya pembuatnya antara lain:

1. pegawai negeri, penyelenggara negara (misalnya Pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h,


i);

2. pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat 1 huruf a);

3. hakim (Pasal 12 huruf c);

4. advokat (Pasal 12 huruf d);

5. saksi (Pasal 24); bahkan

6. tersangka bisa juga menjadi subjek hukum (Pasal 22 jo Pasal 28)

Menurut pasal 1sub 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, pegawai negeri adalah meliputi: Andi Hamzah, Op Cit,
halaman 81-82

1. Pegawai negeri sebagiaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian.


2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHPidana.
3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.

Pasal 1 bagian 1 Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Indonesi yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) Jo ayat (2) UU No. 8 Tahun 1974 jo UU No. 43 Tahun
1999, ditentukan bahwa pegawai negeri tersebut terdiri atas:

1. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah.


2. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
3. Anggota Kepolisian Negara Republik IndonesiaR.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,2005, halaman 23

Dalam pasal 1 angkan 1 UU No. 28 Tahun 1999 yang menyebutkan pengertian dari
“Penyelenggara Negara”, adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi legislatif,
eksekutif, yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlakuibid halaman 48-49

Dengan berpedoman pada pasal 1 angka 8 KUHAP, yang dimaksud dengan “Hakim” dalam
pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 jo 2001
adalah pejabat peradilan negara yang diberikan wewenang untuk mengadili.ibid, halaman 53

Berdasarkan pasal 12d UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999 jo 2001,
“advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun diluar
pengadilan yang memenuhi persyaratan seusai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlakuibid halaman 55

2. Subjek hukum korporasi


Dalam hukum pidana khusus (hukum pidana di luar KUHPidana), yang sifatnya
melengkap hukum pidana umum, sudah tidak berpegang teguh terhadap prinsip
pertanggungjawaban pidana secara pribadi yang dianut dan dipertahankan sejak dibentuknya
WvS Belanda 1882 (diberlakukan 1886). Dalam beberapa peraturan perundang-undangan
tampaknya kita telah menganut sistem pertanggungjawaban strict liability (pembebanan
tanggung jawab pidana tanpa melihat kesalahan) dan vicarious liability (pembebanan
tanggung jawab pidana selain si pembuat dengan menarik badan atau korporasi ke dalam
pertanggungjawaban pidana.

Dengan mengikuti apa yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa dalam
perkembangan hukum pidana Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, yaitu :Adami Chazami Op Cit halaman 345

1. Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka yang pengurus korporasi yang
bertanggung jawab.
2. Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab.
3. Jika korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi dapat dibaca pada


Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
walaupun dari ketentuan itu tidak banyak dapat diketahui karena sumirnya rumusan, tetapi
Pasal 20 ini memuat beberapa ketentuan. Setidaknya ada tiga hal yang benar-benar harus
dipahami oleh para praktisi hukum dalam menetapkan subjek hukum korporasi yang
melakukan tindak pidana korupsi, yakni:ibid, halaman 346

1. indikator kapan telah terjadi tindak pidana korupsi oleh korporasi;


2. secara sumir mengatur hukum acaranya;
3. mengenai pembebanan tanggung jawab pidananya.

Hal pertama mengenai indikator kapan telah terjadi tindak pidana oleh
korporasi ialah bila korupsi tersebut dilakukan oleh orang-orang (yang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain) bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain) bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri-
sendiri maupun bersama berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain)
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama (Pasal
20 ayat 2).

Dengan demikian, korporasi baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi jika baik
orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun yang berdasarkan hubungan lain,
bertindaknya masih dalam batas-batas lingkungan tugas atau usaha korporasi. Jadi, jika
sampai orang-orang tersebut bertindaknya sudah di luar atau tidak lagi dalam batas-batas
lingkungan tugas atau usaha korporasi, maka tidak dapat dikatakan bahwa korporasi yang
sudah melakukan tindak pidana korupsi tetapi yang melakukan tindak pidana korupsi adalah
orang- orang yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam lingkungan
korporasi, menurut. R. WiyonoR.Wiyono, Op Cit halaman 140  adalah orang-orang yang tercantum di
dalam Anggaran Dasar sebagai pengurus dari korporasi, sedang yang dimaksud dengan
orang-orang yang bedasarkan hubungan lain dalam lingkungan korporasi,misalnya adalah
orang-orang yang tidak tercantum dalam Anggaran Dasar sebagai pengurus tetapi bertindak
untuk dan atas nama korporasi dengan surat kuasa.

Mengenai hal yang kedua tentang bagaimana penangannya (hukum acaranya), walaupun
sangat sumir, tetapi setidaknya telah memberikan sedikit keterangan yakni dalam hal terjadi
tindak pidana korupsi oleh korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dilakukan
terhadap korporasinya dan atau pengurusnya (Pasal 20 ayat 1). Apabila tuntutan dilakukan
terhadap koporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya (Pasal 20 ayat 3).
Namun demikian, pengurus ini juga dapat diwakilkan pada oang lain (Pasal 20 ayat 4).
Begitu juga dalam hal menyidangkan korporasi (yang tidak bernyawa dan tidak berpikir dan
berperasaan) tersebut dilakukan terhadap pengurusnya (Pasal 20 ayat 5) dan kepada
pengurusnyalah tuntutan dan panggilan dilakukan (Pasal 20 ayat 6).

Jadi intinya, memang pengurusnyalah yang pada kenyataannya sebagai subjek hukum yang
dapat dipanggil, dapat menghadap, dan dapat membei keterangan. Akan tetapi, korporasi
semata-mata dapat dituntut secara pidana dan dijatuhi pidana denda saja. Siapa yang
dimaksud dengan pengurus korporasi oleh penjelasan mengenai Pasal 20 ayat (2) terdapat
keterangan bahwa, yang dimaksud dengan pengurus adalah organ korporasi yang
menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan
kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.Adami Chazami, Op Cit
halaman 347

Sedangkan yang ketiga tentang bagaimana pembebanan tanggung jawab pidananya apabila
tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh korporasi ditentukan pada Pasal 20 ayat (7) yang
menyatakan bahwa pembebanan tanggung jawab terhadap korporasi hanya dapat dijatuhkan
pidana pokok denda yang dapat diperberat dengan ditambah sepertiga dari ancaman
maksimum denda pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Pada
akhirnya, yang semula khayal (fiksi) bahwa korporasi sebagai suatu subjek hukum yang
dapat melakukan tindak pidana dan bertanggung jawab sepeti layaknya atau seolah-olah
subjek hukum orang harus melihat dan kembali pada kenyataannya (objektif), yaitu pada saat
akan membebani tanggung jawab dengan wujud menjatuhkan pidana. Kenyataan bahwa
badan tidak mungkin dipidana yang intinya hilang kemerdekaan (sanksi dalam hukum
pidana), melainkan hanyalah pidana denda saja.Ibid, halaman 348
Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi diterangkan di dalam
Pasal 1 yang menyatakan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum “. Berdasarkan
pengertian korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi ini, maka jelas
pengertian korporasi dalam hukum pidana korupsi jauh lebih luas dari pada pengertian rechts
persoon yang umumnya diartikan sebagai badan hukum, atau suatu korporasi yang oleh
peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Sedangkan korporasi yang bukan
badan hukum ialah setiap kumpulan orang yang terorganisasi secara baik dan teratur,
biasanya ada perangkat aturan yang mengatur intern kumpulan tersebut dengan ditentukannya
jabatan-jabatan tertentu yang menggerakkan roda organisasi dengan sedikit atau banyaknya
kekayaan atau dana untuk membiayai kumpulan tersebut

2.3 Pertanggungjawaban Pidana

Suatu pertanggungjawaban itu bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung
jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi orang yang membuatnya.
Pertanggungjawaban pribadi tidak dapat dibebankan pada orang yang tidak berbuat atau
subjek hukum lain. Hukum pidana yang kita anut adalah asas concordatie dari hukum pidana
Belanda menganut sistem pertatanggungjawaban pribadi.
Sistem pertanggungjawaban pribadi sangat sesuai dengan kodrat manusia, sebab hanya
manusia yang dapat berpikir dan berakal, serta berperasaan. Kemampuan berpikir dan
menggunakan akal pikiran dalam menetapkan kehendak untuk berbuat hanya dimiliki oleh
orang sebagai subjek hukum tindak pidana. Sedangkan binatang dan badan tidak memiliki
kemampuan berpikir serta kemampuan akal yang dapat digunakan untuk membentuk
kehendak dalam hendak melakukan suatu perbuatan.
Pertanggungjawaban pidana dalam pidana korupsi lebih luas dari hukum pidana umum
dimana hal ini nyata dalam hal kemungkinan penjatuhan pidana in absentia, kemungkinan
perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia

Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi, sanksi pidana yng dapat dijatuhkan hakim terhadap terdakwa tindak
pidana korupsi adalah sebagai berikut:ibid halaman 349

Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi lebih luas dari hukum pidana
umum. Hal ini nyata terdapat dalam:Andi Hamzah, Op Cit halaman 9

1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (pasal 23 ayat 1-4) UU


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971
2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah
meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi 9pasal 23 ayat 5)
UU pemberantasan tindak pidana korupsi 1971
3. Perumusan delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sangat luas
ruang lingkupnya
4. Penafsiran kata kata “menggelapkan pada delik penggelapan (pasal 415 KUHPidana)
oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas.

Pertanggungjawban dalam hukum pidana perlu dibahas karena pada delik korupsi dikenal
semacam alasan pembenar, yang tercantum dalam pasla 17 ayat (2) UU pemberantasan
tindak pidana korupsi 1971 “kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan
demi kepentingan umum”.

Dalam perumusan pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1971, terdapat unsur ‘langsung/tidak langsung merugikan keuangan negara dan/
perekonomian negara”, bahkan pada sub b ada tambahan kata dapat merugikan keuangan
negara. Ini menunjukkan bahwa “kerugian negara” yang timbul akibat perbuatan melawan
hukum itu merupakan suatu hal yang dipertanggungjawabkan sama dengan strict liability
karena “langsung/tidak langsung (dapat) merugikan keuangan negara” merupakan perumusan
yang sangat luas artinya sehingga dengan mudah penuntut umum dapat membuktikannya.

Dalam hal ini, dikemukan oleh beberapai ahli hukum pidana khusunya pertanggungjawaban
pidana, baik yang memisahkan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana maupun yang
tidak.

Satochid Kartanegarasatochid kartanegara, hukum pidana 1 kumpulan kuliah, Balai Lektor Mahasiswa, Jakarta, halaman 243-244
mengatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang
sedanagkan pertanggungjawaban mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku.
Selanjutnya, Satochid mengatakan bahwa, seseorang dapat dipertanggungjawabkan jika:

1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat mengerti dan tahu akan
niali perbuatannya, juga akan mengerti apa akibatnya.
2. Jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat menentukan kehendaknya atas
perbuatan yang dilakukan.
3. Orang itu sadar bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak
dibenarkan dari sudut pandang hukum, masyrakat dan tatasila.

BAB III
PEMBAHASAN

Analisis Kasus Korupsi Gayus Tmbunan


Tudingan adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam penanganan kasus money
laundring oknum pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan semakin melebar. Tak
hanya Polri dan para penyidiknya, Kejaksaan Agung dan tim jaksa peneliti pun turut gerah
dengan tudingan Susno yang mulai merembet ke mereka. Mereka (tim jaksa peneliti) pun
bersuara mengungkap kronologis penanganan kasus Gayus, berikut adalah kronologis versi
tim peneliti kejaksaan agung.

Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri, diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari
empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7
Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan
mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni
pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. "Karena Gayus seorang pegawai negeri dan
memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Kok bisa pegawai negeri yang hanya golongan
III A punya uang sebanyak itu," kata Cirrus mengungkap alasan mengapa awalnya Gayus
dijerat tiga pasal berlapis.

Seiring hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan
dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan
uang senilai Rp.25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya, terkait
dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu
merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini
mengaku pemilik uang senilai hampir Rp.25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus.

"Ada perjanjian tertulis antara terdakwa dan Andi Kosasih. Ditandatangani 25 Mei 2008,"
kata dia. Menurut Cirrus keduanya  awalnya berkenalan di pesawat. Kemudian keduanya
berteman karena sama-sama besar, tinggal dan lahir di di Jakarta Utama. Karena pertemanan
keduanya, Andi lalu meminta gayus untuk mencarikan tanah dua hektar guna membangun
ruko di kawasan Jakarta Utara.

Biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah tersebut sebesar US$ 6 juta. Namun Andi,
dikatakan Cirus baru menyerahkan uang  sebesar US$ 2.810.000. Andi menyerahkan uang
tersebut kepada Gayus melalui transaksi tunai di rumah orang tua istri Gayus lengkap dengan
kwitansinya, sebanyak enam kali yaitu pada pada 1 juni 2008 sebesar US$ 900.000 US dolar,
kemudian 15 September 2008 sebesar US$ 650.000, 27 Oktober 2008 sebesar US$ 260.000,
lalu pada 10 November 2008 sebesar US$ 200.000, 10 Desember 2008 sebesar US$ 500.000,
dan terakhir pada 16 Februari 2009 sebesar US$ 300.000.

"Andi menyerahkan uang karena dia percaya dengan Gayus. Dalam bisnis hanya diperlukan
kepercayaan," kilah Cirrus menanggapi mengapa Andi dapat menyerahkan uang sebanyak itu
kepada Gayus. Sementara untuk money laundringnya, dikatakan Cirrus itu hanya tetap
menjadi dugaan sebab Pusat pelaporan analisis dan transaksi keuangan (PPATK) sama sekali
tidak dapat membuktikan uang senilai Rp.25 milliar itu merupakan uang hasil kejahatan
pencucian uang (money laundring).
PPATK sendiri telah dihadirkan dalam kasus itu sebagai saksi. "Jadi waktu itu hanya
dikatakan ada dugaan melawan kepemilikan, uang itu pidana. Dalam proses perkara itu,
PPATK tidak bisa membuktikan transfer rekening yang yang diduga tindak pidana," ujarnya.

Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut, dikatakannya, ditemukan juga adanya
aliran dana  senilai Rp.370 juta di rekening lainnya di bank BCA milik Gayus. Uang itu
diketahui berasal dari dua transaksi dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo.  PT. Mega Cipta
Jaya Garmindo dimiliki oleh pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak di bidang garmen.
Transaksi dilakukan dalam dua tahap yaitu pada 1 September 2007 sebesar Rp.170 juta dan 2
Agustus 2008 sebesar Rp.200 juta.

Setelah diteliti dan disidik, uang itu diketahui bukan merupakan korupsi dan money laundring
juga. "Bukan korupsi, bukan money laundering, tapi penggelapan pajak murni. Itu uang
untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Tapi setelah dicek,
pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak tahu berada di mana. Tapi uang masuk ke rekening
Gayus. Tapi ternyata dia nggak urus (pajaknya). Uang itu tidak digunakan dan dikembalikan,
jadi hanya diam di rekening Gayus," jelas Cirrus.

Berkas P-19 dengan petujuk jaksa untuk memblokir dan kemudian menyita uang senilai
Rp.370 juta itu. Dalam petunjuknya itu, jaksa peneliti juga meminta penyidik Polri
menguraikan di berkas acara pemeriksaan (BAP) keterangan itu beserta keterangan tersangka
(Gayus T Tambunan).

"Kapan diberikan uang itu," ujarnya.  Dugaan penggelapan yang dilakukan Gayus itu,
diungkapkan Cirrus terpisah dan berbeda dasar penanganannya dengan penanganan kasus
money laundring, penggelapan dan korupsi senilai Rp.25 milliar yang semula dituduhkan
kepada Gayus. Cirrus dan jaksa peneliti lain tidak menyinggung soal Rp.25 milliar lainnya
dari transaksi Roberto Santonius, yang merupakan seorang konsultan pajak. Kejaksaan pun
tak menyinggung apakah mereka pernah memerintahkan penyidik Polri untuk memblokir dan
menyita uang dari Roberto ke rekening Gayus senilai Rp.25 juta itu.

Sebelumnya, penyidik Polri melalui AKBP Margiani, dalam keterangan persnya


mengungkapkan jaksa peneliti dalam petunjuknya (P-19) berkas Gayus memerintahkan
penyidik untuk menyita besaran tiga transaksi mencurigakan di rekening Gayus. Adapun tiga
transaksi itu diketahui berasal dari dua pihak, yaitu Roberto Santonius dan PT. Mega Jaya
Citra Termindo. Transaksi yang berasal dari Roberto, yang diketahui sebagai konsultan pajak
bernilai Rp.25 juta, sedangkan dari PT. Mega Jaya Citra Termindo senilai Rp.370 juta.
Transaksi itu terjadi pada 18 Maret, 16 Juni, dan 14 Agustus 2009.

Uang senilai Rp.395 juta itu disita berdasarkan petunjuk dari jaksa peneliti kasus itu.
Penanganan kasus Gayus sendiri bermula ketika PPATK menemukan adanya transaksi
mencurigakan pada rekening Gayus T Tambunan. PPATK pun meminta Polri menelusurinya.

Kembali ke kasus, dilanjutkan Cirrus, berkas Gayus pun dilimpahkan ke pengadilan. "Jaksa
lalu mengajukan tuntutan 1 tahun dan masa percobaan 1 tahun," lengkap jaksa penuntut
umum Antasari itu.
Namun, anehnya penggelapan ini tidak ada pihak pengadunya, pasalnya perusahaan ini telah
tutup. Sangkaan inilah yang kemudian maju kepersidangan Pengadilan Negeri Tangerang.
Hasilnya, Gayus divonis bebas. "Di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. Tapi kami akan
ajukan kasasi," tandas Cirrus.

Analisis Putusan MA No.1198 k/Pid.Sus/2011 Tentang Kasus Gayus Halomoan P.


Tambunan

Dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan ini, penuntutan dilakukan
berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.19 Penuntutan ini dilakukan karena ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, dan
mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat serta menyangkut kerugian negara lebih
dari Rp. 1 milyar. Tindakan KPK ini sudah sesuai dengan yang tertera dalam UndangUndang
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Gayus Halomoan P. Tambunan sebagai seksi pelaksana pada Direktorat Keberatan


dan Banding, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pajak, secara bersama-sama
dengan Humala Setia Leonardo Natipulu Seksi Penelaah Keberatan, Maruli Pendapatan
Manurung Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan I merangkap PJS Kasi Pengurangan dan
Keberatan IV, Johnny Marlihot Tobing Kepala Sub Direktorat Pengurangan dan Keberatan,
Bambang Heru Ismiarso Direktur Keberatan dan Banding pada Direktorat Keberatan dan
Banding yang penuntutannya dilakukan secara terpisah, pada bulan Juli 2007, di suatu tempat
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah melakukan atau turut serta
melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sebuah
korporasi, menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Oleh karena itu, perbuatan yang dilakukan Gayus Halomoan P. Tambunan bersama-
sama dengan Humala Setia Leonardo Natipulu, Maruli Pendapatan Manurung, Johnny
Marlihot Tobing dan Bambang Heru Ismiarso secara melawan hukum tersebut telah
memperkaya orang lain atau suatu korporasi yaitu PT. Surya Alam Tunggal sebesar Rp.
570.952.000,- yang berakibat perbuatan tersebut telah merugikan keuangan negara kurang
lebih sebesar Rp. 570.952.000,- sebagaimana dalam laporan hasil penghitungan kerugian
keuangan Negara atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penanganan keberatan PT.
Sutra Alam Tunggal yang dibuat oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

Dalam dakwaan pertama, Gayus dijerat Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo. Pasal 18
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP.

Lalu Gayus Halomoan P. Tambunan bersama-sama dengan Haposan Hutagalung


antara bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan November 2009 atau setidak-tidaknya dalam
tahun 2009, telah melakukan atau turut serta melakukan pemberian atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan kewajibannya. Uang tersebut diserahkan kepada Arafat Enanie
sebanyak dua kali sebesar USD 2500,00 dan sebesar USD 3500,00 dengan maksud agar
penyidik tidak melakukan penahanan, penyitaan terhadap rumah terdakwa serta pemblokiran
atas rekening miliknya di Bank Mandiri, sehingga dalam proses penyidikan tersebut tidak
dilakukan penahanan kepada Gayus, penyitaan rumah dan pemblokiran rekening di bank
mandiri.

Lalu Gayus melalui Haposan kepada Arafat yang uang tersebut ditujukan kepada
penyidik Mardiani sebesar USD 4000 dengan tujuan agar tidak ditekan dan dicecar dengan
banyak pertanyaan, karena sebelumnya Gayus merasa ditekan dan dicecar banyak pertanyaan
oleh penyidik Murdyani. Atas kejahatannya Gayus dijerat berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf
a, Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP.

Selanjutnya Gayus memberikan uang kepada hakim Muhtadi Asnun selaku Ketua
Majelis Hakim yang menangani kasusnya sebesar USD 20.000 dengan tujuan agar tidak
dijatuhi hukuman atau hukumannya diringankan, ternyata uang tersebut juga akan diberikan
kepada hakim anggota. Menjelang pembacaan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Tangerang, Ketua Majelis Hakim Muhtadi Asnun menghubungi Gayus guna meminta
tambahan dana dari yang telah dijanjiakan dan Gayus menyanggupinya. Belum sempat
terealisasikan, Mustadi Asnun menghubungi terdakwa dengan meminta tambahan dana
sejumlah USD 10.000 dengan janji semua permintaan Gayus akan dipenuhi.

Menjelang putusan hakim dibacakan Gayus mendatangi Mustadi Asnun di


kediamannya dengan maksud memberikan uang sebesar USD 40.000 yang dijanjikan Gayus.
Maka setelah menerima uang tersebut hakim Mustadi Asnun membacakan putusan
pengadilan dalam perkara atas nama Gayus Halomoan P. Tambunan
No.49/Pid.B/2010/PN.TNG dengan amar putusan membebaskan Gayus dari dakwaan
penuntut umum. Gayus dihukum berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta mengadilinya, telah memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Dakwaan terbaru yang terkait dengan upaya menghalangi untuk membuka kembali
akunnya. Upaya menghalangi ini dilakukan oleh Gayus, Haposan Hutagalung, Lambertus
Palang Ama dan Andi Kosasih, yang disinyalir juga terdapat rekayasa bisnis properti yang
dilakukan Gayus dan Andi Kosasih. Pada dakwaan ini, perbuatan Gayus diancam pidana
dalam Pasal 22 jo. Pasal 28 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada tanggal 22 Desember 2010 Mahkamah Agung membacakan tuntutan pidana
penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa berupa pidana 20 (dua puluh) tahun dengan dikurangi selama terdakwa berada
dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan rutan dan menjatuhkan pidana denda
kepada terdakwa sebesar Rp. 500.000.000,00 subsidier 6 bulan kurungan.

Membaca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1195/Pid.B/2010/PN.


Jak.Sel. tanggal 19 Januari 2011 yang menyatakan:

- Terdakwa Gayus Halomoan P. Tambunan telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana
dakwaan kesatu subsidier dan kedua primair dan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan
ketiga serta member keterangan tidak benar tentang harta benda yang diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan keempat.
- Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 300.000.000,- dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan.

Setelah dibacakannya putusan ini, dari pihak Gayus Halomoan P Tambunan


melakukan permohonan kasasi II dengan alasan dakwaan pertama yang bersifat subsidier itu
kurang cermat yang seharusnya dakwaan alternatif, dan seharusnya dakwaan kesatu itu batal
demi hukum karena jaksa/penuntut umum telah tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap
dalam mengurai tindak pidana dalam dakwaan, di mana bentuk dakwaan secara subsidier
tidak sesuai dengan Pasal yang didakwakan yaitu pidana pokok bagi pemohon kasasi
II/terdakwa tidak sejenis.

Bahwa sesuatu kekurangan pada syarat formil, dapat merupakan alasan/keberatan


kasasi, yang memungkinkan Mahkamah Agung membatalkan putusan judex factie tersebut,
sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 808 k/Pid/1984 yang pada pokoknya
menyatakan: “karena perumusan dakwaan tidak memenuhi syarat, Mahkamah Agung
membatalkan putusan pengadilan tinggi dan menyatakan dakwaan batal demi hukum.”

Setelah memperhatikan hal-hal yang memberatkan seperti :

- Masa bakti terdakwa masih relatif singkat 4 tahun, sehingga tidak ada jika
pengabdian selaku abdi negara selain hanya memanfaatkan kelemahan sistem di lingkungan
Drektorat jendral untuk kepentingan pribadi.

- Terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit dalam persidangan.

Dan tidak ada hal-hal yang meringankan terdakwa, menimbang bahwa berdasarkan
alasan-alasan yang diuraikan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan
pengadilan tinggi Jakarta No. /PID/TPK/2011/PT.DKI. tanggal 29 April 2011 yang telah
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1195/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel.
tanggal 19 januari 2011 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera di bawah ini :

Menimbang, bahwa karena prmohonan kasasi dari pemohon kasasi I/ penuntut umum
dikabulkan dan permohonan kasasi dari pemohon kasasi II/ terdakwa ditolak sedangkan
terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat
peradilan dibebankan kepada pemohon kasasi II terdakwa.

Setelah menimbang dan memperhatikan lalu Mahkamah Agung Mengambil alih


proses peradilan dengan memutuskan sebagai berikut: - Menyatakan terdakwa Gayus
Halomoan Pertahanan Tambunan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
“Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama-sama” sebagaimana dakwaan kesatu primer,
kedua primer, ketiga dan keempat;

- Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan
denda sebesar Rp. 500.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak terbayar
ddiganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan;

- Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan;

- Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan.20 Dalam hal ini, Lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan tugasnya dengan maksimal dengan
melakukan penuntutan, penyidikan dan penyelidikan terhadap Gayus Halomoan P Tambunan
dalam kasus korupsi, serta melakukan upaya hukum kasasi I pada vonis bebasnya Gayus
yang membuka tabir penyuapan dan korupsi serta mafia hukum, dan mafia pajak yang
dilakukan Gayus serta berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal ini telah menunjukan kinerja yang
maksimal, walaupun hasil keputusan akhirnya berada pada wewenang hakim peradilan yang
dalam hal ini hakim Mahkamah Agung.

Setelah majelis hakim Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 12 Tahun penjara dan
denda Rp. 500 juta kepada Gayus Tambunan, muncul banyak komentar miring, bernada
protes dan mempertanyakan putusan tersebut. Vonis ini dinilai lebih ringan 8 tahun dari
tuntutan jaksa yang meminta hukuman penjara 20 tahun. Vonis ini memang jauh dari
ekspektasi atau harapan masyarakat secara umum, yang menginginkan hukuman berat bagi
para koruptor, paling tidak 20 tahun atau seumur hidup. Walaupun putusan hakim tidak
sesuai dengan harapan, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi di mata rakyat sudah
menunjukkan keseriusannya dalam mengungkap kasus ini dan memaksimalkan
kemampuannya dalam mencari keadilan.

Dalam penanganan kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menunjukan


eksistensinya sebagai Lembaga Pemberantas Korupsi dan telah mampu mengambil simpati
rakyat Indonesia yang sudah berupaya memrangi korupsi.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan bukan hanya melibatkan dirinya tetapi
juga melibatkan banyak orang dari pemerintahan dan para pengusaha yang enggan membayar
pajak dan mecoba mengakali peraturan agar pajak yang telah dibayarkan oleh perusahaan
tersebut dapat ditarik kembali. Sehingga menyebabkan negara mengalami kerugian dengan
jumlah fantastis yang diperkirakan berada disekitar angka Rp 339 Milyar.

Tindakan yang dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan  meresahkan banyak


pihak.Korupsi merupakan  tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan
kewenangan yang di miliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan  baik sebagai
kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan
dengan kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga
membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan
masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari
rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

Kesulitan utama bagi suatu negara dalam meredakan korupsi ialah apabila korupsi
birokrasi itu sendiri telah menjadi bagian dari sejarah masyarakat yang bersangkutan. Korupsi
yang dilakukan oleh Gayus Tambunan bukan hanya melibatkan dirinya tetapi juga
melibatkan banyak orang dari pemerintahan dan para pengusaha.

4.2 Saran

1. Perlu adanya sistem pemerintahan, pengawasan, penegakan hukum yang tegas


tanpa diskriminasi untuk memberantas korupsi. Reformasi birokrasi harus
meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para pejabat birokrasi dan
penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang
dimilikinya.
2. Perlu adanya dilakukan revisi terhadap berbagai kelemahan yang ada dalam
keseluruhan sistem penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi.
3. Sanksi hukum di dalam menjatuhkan hukuman pidana haruslah dijatuhkan tanpa
adanya pilih kasih dan diskriminatif.

DAFTAR PUSTAKA

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=972413&val=6690&title=KORUPSI%20BIROKRASI%20STUDI%20KASUS
%20GAYUS%20TAMBUNAN%20PEGAWAI%20DIREKTORAT%20JENDERAL
%20PAJAK
https://www.coursehero.com/file/42799293/MAKALAH-ANALISIS-KASUS-GAYUS-
TAMBUNAN-KELOMPOK-2pptx/

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/12060/09E02042.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

http://digilib.uinsby.ac.id/12811/4/Bab%201.pdf

http://repository.untag-sby.ac.id/1124/2/BAB%20I.pdf

http://eprints.ums.ac.id/18126/2/03._BAB_I.pdf

https://www.tribunnews.com/nasional/2010/03/22/inilah-kronologi-kasus-gayus-versi-
kejaksaan

Putusan MA No.1198 k/Pid.Sus/2011 Tentang Kasus Gayus Halomoan P. Tambunan

R.Wiyono, Pembukaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar


Grafika, tahun 2005

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia
Publishing, Malang, 2005

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Use the "Insert Citation" button to add citations to this document.

Anda mungkin juga menyukai