Aku Ular Yang Terus Memburumu (Ganug Nugroho Adi)
Aku Ular Yang Terus Memburumu (Ganug Nugroho Adi)
(1)
AKU tak juga mengerti ketika sore itu tiba-tiba saja ia menemuiku dan mengaku sebagai
ibuku. O, perempuan dengan sepasang mata kelam, siapakah dirimu?
"Aku Kunti. Akulah perempuan yang melahirkanmu bertahun lalu. Rada bukan ibumu. Ia
hanya istri kusir kereta yang menemukanmu di sungai itu."
Aku memandang tubuhnya yang ringkih. O, bahkan namanya pun selalu samar kuhafal.
Kunti. Ya, aku ingat sekarang. Dari Baluwarti, lebih dari sepuluh tahun lalu, aku pernah
melihatnya berjalan bersama anak-anaknya menembus hutan, menuju pengasingan
setelah akhir permainan dadu yang menggetarkan itu. Bukankah ia ibu para Pandawa?
Mengapa tiba-tiba ia menyebutku sebagai anaknya?
Aku merasakan tubuhku tergetar, melayang. Rada, perempuan yang selama ini kuanggap
ibu, dulu memang pernah mengatakan, bertahun lalu ia hanya menemukanku mengapung
di arus sungai itu. Tapi Rada tak pernah menemukan jejak siapa ibuku.
"Maafkan aku karena telah membuangmu ke sungai itu. Aku telah melahirkanmu dari
telingaku sendiri."
Aku musuhmu, wahai perempuan berwajah sayu. Telah kusiapkan seribu anak panah
untuk membunuh anak-anakmu dan siapa saja yang membela Pandawa.
"Kau tak mengenal darahmu sendiri. Kini aku ceritakan riwayatmu yang sebenarnya, agar
kau tak terus-menerus menerima belas kasihan Duryudana. Kau mempunyai aliran darah
sendiri. Penuhilah tugasmu sebagai ksatria, membela darah dan keluargamu sendiri."
O, Hyang Widhi penguasa jagad, di manakah mereka, ibu dan saudara-saudaraku yang
mulia itu, saat aku melawan segala pedih-perih berkepanjangan? Mengapa, mengapa
baru sekarang perempuan agung ini datang dan mengakui semua kebenaran saat Kurawa
atau Pandawa, ksatria atau sudra, bagiku tak lagi ada bedanya?
Wahai perempuan agung, benar aku memang seorang ksatria. Tapi bukan karena aku
anakmu. Semuanya aku peroleh setelah melewati semua kehinaan. Jika benar kau ibuku,
mengapa sampai hati kau renggut kehidupanku pada masa lalu? Mengapa kau tak pernah
mencintaiku sebagaimana ibu-ibu yang lain? Bahkan kesetiaanmu pun tak sebanding
dengan Rada yang sudra. Sekarang, pada saat kau mencemaskan keselamatan anak-
anakmu yang lain, kau datang mencariku.
Mungkin benar, aku anakmu. Mungkin benar darahku Pandawa. Tapi anak-anak
Destarata yang menghidupkan jiwaku. Katakan, adakah yang lebih hina dari mengkhianati
orang yang telah menyelamatkan hidup kita? Sungguh aku tak bisa memuntahkan garam
yang telah aku telan.
Lupakan, lupakan bahwa aku anakmu. Lagi pula bagaimana bisa kau sebut aku anakmu
sedangkan nama kecilku pun bahkan kau tak pernah tahu?
"Jika demikian, Karna, tak bisakah kau mengurungkan perang besar ini? Atau setidaknya,
tak bisakah kau mundur dari pertempuran esok pagi?"
Tidak mungkin! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Jangankan kau yang baru sekali
ini kutemui, aku bahkan menantang Bisma dan Salya karena ragu dengan Bharatayuda.
Wahai, Dewi, hidup ini sesungguhnya hanya berupa perundingan demi perundingan.
Kewajiban kita hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang pernah kita buat. Tak
lebih. Di pertempuran esok pagi itulah kita akan membayar apa yang seharusnya kita
bayar. Kita akan menerima apa yang seharusnya kita terima.
Tapi baiklah, barangkali aku bisa berjanji satu hal kepadamu. Ketahuilah, sesungguhnya
aku hanya berurusan dengan Arjuna. Aku telah bersumpah untuk membunuhnya. Tapi
percayalah, tak akan kulukai anak-anakmu yang lain. Tak perlu kau cemas. Sebab aku
atau Arjuna yang mati, kau akan tetap mempunyai lima anak.
Perempuan itu menangis. Aku memalingkan wajah. Benarkah ia perempuan yang dulu
membuangku ke sungai itu?
O, Bengawan Silugangga yang tenang dan dalam, berapa banyak kisah yang telah
kausimpan? Wasu Dara, Wasu Druna, Wasu Soma, Wasu Apah, Wasu Anila, Wasu Nala,
Wasu Saprahjangga, Wasu Wuragil, dan entah siapa lagi yang pernah mengapung di
arusmu?
***
(2)
PERTEMPURAN hari ke-15 itu berhenti. Karna, senopati Kurawa, baru saja gugur.
Ladang Kuru tiba-tiba hening. Seluruh Kurawa berduka. Para Pandawa khusuk
menundukkan kepala. Bahkan Arjuna, ksatria yang baru saja menancapkan ribuan
anak panah ke punggungnya, tak kuasa menyembunyikan kesedihan. Di dekatnya,
Kresna dan empat Pandawa yang lain terdiam. Kunti, ibu para pandawa itu, tak
kuasa menahan air matanya sambil terus meratapi tubuh tak bergerak di
hadapannya. Tangisnya begitu menyayat. Betapa hebatnya kedukaan perempuan
agung itu. Ia sedang meratapi bayi yang bertahun lalu pernah dibuangnya (?)
Mungkin hanya aku, Surtikanti, satu-satunya yang tak menangis, karena memang
tak ada yang perlu ditangisi. Karna, suamiku, mati dengan hebat. Ia telah bertempur
sebagai layakya seorang ksatria. Laki-laki gagah itu telah memilih jalan yang
diyakininya benar.
kinarya gul-agul
Bagi Karna, hidup memang tak memberinya banyak pilihan. Lahir dengan darah
ksatria, tapi tumbuh dalam kasta seorang kusir kereta. Nasib pada akhirnya lebih
sering mengenalkannya dengan dendam dan sakit hati. Ditolak Durna menjadi
murid, dicurigai sebagai mata-mata oleh Bergawa, lalu ditertawakan para Pandawa
karena kastanya.
"Bukan panji ataupun sakit hati yang aku bela, tapi balas jasa yang tak terkira yang
ingin kukembalikan," katanya suatu saat.
Karna. Laki-laki beranting emas itu kini telah mati. Jasadnya dibaringkan di
balairung Astina, di keliling wewangian dari seribu macam kembang. Orang-orang
menembangkan Megatruh, membaca mantra di antara tipisnya kepulan asap dupa.
Pihak-pihak yang berseteru itu kini berkumpul, memberi penghormatan terakhir
kepada senopati Kurawa.
ia memandangku
Ada yang tiba-tiba memerih. Seperti derit pintu malam-malam, dan jerit serangga
dari semak-semak gelap, mengendap-endap di jendela lalu menyelinap dalam
kenangan tubuh yang gelisah 2)
***
(3)
Malam setelah jasad Karna menjadi abu...
Hmm, kau ulang lagi muslihat itu. Dan betapa orang-orang telanjur mendewakanmu.
Menyembahmu dari pagi hingga pagi lagi. Menjadikanmu berhala karena merasa
seolah-olah kau benar-benar mampu memberikan apa saja yang mereka minta. O,
betapa malangnya orang-orang itu, karena tak tahu siapa sisi lain dirimu.
"Aku ingin baju besi dan antingmu," begitu kau meminta kepada Karna dengan
wajah menghiba.
Licik, karena telah kau samarkan dirimu dalam jubah pengemis. Persis seperti yang
dilakukan Rahwana saat menculik Shinta bertahun lalu.
"Tuan, kaulah dermawan yang dikirim para dewa dari kayangan untuk
menolongku..."
Tanpa prasangka, Karna mengambil pisau lalu memotong baju besi dan anting itu,
lalu segera menyerahkan kepadamu.
O, teganya dirimu! Di balik perilaku santunmu, ternyata kau reguk begitu banyak
ilmu angkara dari Rahwana. Tapi aku tak heran, sebab sesungguhnya kaulah biang
dari segala kericuhan ini. Bukankah sengaja kau pilih posisi hina sebagai kusir
kereta Arjuna dalam Bharatayuda agar bias mengendalikan keluguan Pandawa?
Apakah bagimu, untuk sebuah kemenangan selalu berlaku segala yang tak halal?
"Apa? Jadi ksatria itukah bayi yang aku hanyutkan di sungai dahulu?"
"Aku terpaksa," Kunthi bergumam. "Bayi itu lahir sebelum aku kawin."
Lalu kau minta perempuan itu menemui Karna yang konon anaknya. Kauajarkan
perempuan tua itu meminta Karna bersumpah untuk hanya sekali saja melepaskan
panah saktinya kearah Arjuna. Amboi, sebuah strategi yang hebat sekaligus licik
bukan?
Dan semuanya menjadi nyata di ladang kuru. Panah sakti Karna hanya mengenai
jamang Arjuna. Maka terbebaslah penengah Pandawa itu dari takdir kematian di
tangan Karna.
Tapi kau tak berhenti di situ. Kau tak juga puas meski telah berhasil merampas baju
besi dan anting-anting yang lahir bersama Karna, dan merasa berjasa karena baru
saja menyelamatkan nyawa Arjuna.
O, dewa segala dewa, inilah tragedi paling memalukan dalam Bharatayuda. Lihatlah,
kau masih saja memaksa Arjuna untuk melepaskan panah ke tubuh Karna yang
sedang terjebak lumpur bersama kereta dan delapan kuda yang menghelanya. Hm,
di manakah jiwa ksatriamu yang diagung-agungkan banyak orang itu? Kenapa tetap
saja kau lakukan muslihat itu saat menyaksikan Karna bersusah-payah mengangkat
roda keretanya dari lumpur yang membenamkannya?
"Tapi..."
Dan gugurlah Karna. Lalu kau menepuk dada. Hm, kenapa kau tak pernah berani
berhadap-hadapan dengan Karna secara laki-laki?
Lalu datanglah Kunti meratapi kematian anak sulungnya. Tangisnya pun seketika
menghentikan pertempuran pada hari ke-15 itu.
"Telah kau bunuh saudaramu sendiri, anakku," ratapnya ke arah Arjuna. "O, jagad
dewa, inikah karma itu?"
Aku tak habis pikir. Di tengah ratapan ibu Kunti, kau tetap saja berpura-pura bijak.
"Aku yang membunuhnya. Bukan Arjuna. Aku yang memaksanya melepaskan anak
panah tepat pada saatnya. Aku yang menyelamatkan Arjuna dari panah sakti Karna.
Sebab jika ia mati, ia tak akan bisa melepaskan anak panah yang sekarang ini
menancap di jantung Karna."
Lima Pandawa terdiam. Tapi Kunti terus meratapi anak sulungnya. Lantas
perempuan itu menoleh ke arah Kresna.
Lalu ia menegadahkan wajah ke langit, "Dan kau Surya, puaskah kau menyaksikan
semua ini?"
"Kenapa kalian saling merasa bersalah? Inilah perang, tempat yang paling
memungkinkan untuk mati. Lepaskan segala perasaan bersalah jika kalian masih
menginginkan kemenangan."
"Meski kali ini yang mati di tanganku itu Karna, saudara sendiri?"
Kau tatap Arjuna dengan dua alis berkerut. Rahangmu mengeras. Kau seperti tak
suka mendengar pertanyaan itu.
"Bukankah sejak semula kau pun tahu, Dananjaya, bahwa Kurawa pun saudaramu
sendiri? Jika kemarin kau bisa legawa membunuh Bisma, kenapa sekarang harus
cemas setelah menghabisi Karna?"
Lalu kau berbalik, Meninggalkan kerumunan tanpa menoleh lagi.
Hmm, ksatria titisan Wisnu. Ingatlah, sepanjang darahku masih mengalir di tubuhku,
sepanjang napasku masih menyertai nadiku, maka sepanjang itulah aku, Putri
Salya, akan memengejarmu. Aku adalah ular yang terus-menerus memburumu.
Akan ku patuk jantungmu. Mungkin saat kau sedang tidur. Mungkin saat kau sedang
menyetubuhi istri-istrimu.
Catatan:
1. Syair Dandanggula dalam Serat Tripama, karya KGPA Mangkunagara IV, ditulis
antara tahun 1860-1870. Tembang ini bercerita tentang riwayat Adipati Karna.
2. Bait terakhir sajak Sebuah Radio, Kumatikan, fragmen ke-24 karya Dorothea Rosa
Herliany.