Anda di halaman 1dari 4

Lampung Post

Minggu, 17 Juni 2007

Bakauheni yang Merenda Rindu Penyesalan


Cerpen: Badarudin

Pelabuhan Bakauheni. Sepenggal kehidupan yang tidak pernah berhenti mendeburkan


ombaknya menciptakan buih-buih bertebaran. Mungkin hingga kiamat terjadi.

Beberapa menit kapal muncul dan menghilang, kapal-kapal yang bolak-balik dari
Bakauheni ke Merak atau sebaliknya. Mobil-mobil angkutan mengambil jalurnya sendiri-
sendiri diatur oleh petugas, jalur sesuai dengan kuantitas dan ukuran yang telah tertulis
dalam peraturan.

Jika senyap telah menyapa, ketika Tuhan telah menimbun matahari dalam dekapan-Nya di
kaki langit barat seolah tenggelam dalam luasnya laut, kehidupan ini terus berjalan tak
kenal henti.

Seperti Hendra yang sedari tadi menoleh kian kemari, mengamati kehidupan Bakauheni,
mencari sesosok bayangan wanita yang dia tunggu-tunggu. Ayahnya yang memegang
kemudi hanya berkonsentrasi mencari celah agar mobilnya mendapatkan giliran segera
untuk memasuki kapal yang telah melemparkan talinya, tapi antrean yang terlalu panjang di
tengah malam akan membuatnya harus bersabar.

Hendra turun karena dirasa mobil akan lama menunggu giliran masuk, dilihatnya wanita itu
telah tersenyum sambil menjinjing termos dan beberapa gelas yang disusun menumpuk.
Setitik kerinduan akan terobati dan dahaga tenggorokan akan terobati dengan meminum
kopi sambil menghilangkan kantuk yang semakin menjalar.

"Kita menikah saja yuk Kang!"

Permintaan yang seolah menyedak Hendra yang sedang menghirup kopi yang mulai
menghangat, matanya menatap sejenak mata wanita di depannya itu, mata lentik yang
meluruhkan sifat buruknya, mata yang sekali ini membuatnya jatuh cinta.

"Aku sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini, aku berdagang hanya untuk menunggu Akang
datang," tatapannya selalu menimbulkan debur kegelisahan bak ombak yang mendebur,
menggulung apapun yang berada di hadapannya.

Mata itu masih menatap Hendra lekat, mata lentik yang telah mampu menaklukan sifat
buruk Hendra kini memburunya untuk melepaskan segala ikatan yang menghalangi mereka
selama ini.

"Tapi aku masih mengumpulkan uang Nah. Setelah kurasa cukup untuk dapat hidup layak
bersamamu aku pasti akan membahagiakanmu, kamu tahu aku tidak ingin melihatmu
menderita lagi, tunggulah barang sejenak," pinta Hendra lirih. Matanya mencari sesuatu di
mata wanita penjual kopi itu, akankah kekecewaan atau kesabaran yang akan terlihat.
Wanita yang telah merubah sifat buruknya.

***

Bakauheni yang tak pernah berhenti dari aktivitasnya, kapal yang bolak-balik dari Merak
ke Bakauheni atau sebaliknya, mungkin akan berhenti jika kiamat terjadi. Hendra
mengemudi mobilnya sedangkan ayahnya dari rumah tadi belum menggantikannya,
didekatkannya mobil berisi minyak tanah yang akan diantar bersama ayahnya ke
perusahaan pengolah minyak di Pulo Gadung atau ke Kali Deres.

Hendra mengedarkan pandangannya mencoba mengobati kantuk yang mulai menghinggapi


jiwanya yang telah lelah. Seorang lelaki penjual kacang rebus melewatinya sambil
memamerkan dagangannya, mempromosikan, tapi tak ada ketertarikan dari wajah kantuk
Hendra. Penjual kerupuk masih menyisa berkeliling dari satu mobil ke mobil lain, penjual
kopi melintasinya beberapa kali.

Seorang wanita menjinjing termos dan beberapa gelas yang disusun menumpuk
melewatinya sambil mendendangkan suara yang merdu.

"Kopi Mbak," Hendra meminta Ayahnya untuk menggantikan posisinya.

Wanita itu tersenyum sambil duduk dan mulai meracik kopi yang dipesan Hendra. Satu
menit kemudian kopi manis itu telah siap. Wanita itu menyodorkan gelasnya kepada
Hendra namun mata lelaki itu menatapnya, pandangan itu bertemu sejenak dan
menciptakan daya tarik tersendiri hingga membuat mereka tersenyum kecil untuk
menutupinya.

Hendra adalah lelaki yang sering keluar membawa mobil bersama ayahnya, perjakanya
telah hilang seiring kelelahan yang membuatnya harus melampiaskan kecapekannya
dengan membayar para kupu-kupu malam yang mencari mangsa para sopir-sopir yang
kesepian di kala malam menyapa.

Rayuan mautnya telah membuat banyak wanita bertekuk lutut dalam pelukannya apalagi
uang hasil kerjanya memang hanya dihamburkan untuk memenuhi sifat buruknya tersebut.
Hasil kerjanya pun tak menyisa untuk kebutuhan sehari-harinya, untung sang Ayah masih
selalu menolongnya, walau bagaimanapun kelakuan anak orangtua akan selalu
menolongnya.

Kali ini Hendra benar-benar tak bisa berkata banyak pada wanita penjual kopi itu,
merayunya pun membuat lidahnya telah beku dan kelu, hidung mungil wanita itu telah
membuat dadanya berdebar, tak pernah dilaluinya getaran seperti ini seumur hidupnya.

"Ayo diminum Kang, nanti keburu dingin," wanita itu melaburkan angan yang
dibangunnya, mencerna dan merekayasa imajinasi.

"Iya," nikmatnya kopi ditambah matanya yang sebentar-sebentar melirik pandang, wanita
itu benar-benar membuatnya tak berkutik.

"Siapa nama Mbak?"

"Supinah, panggil saja Inah," senyum yang santun itu sekali lagi tersungging.

Merambat waktu, Hendra mempunyai semangat baru dalam bekerja, terutama untuk
bertemu dengan Inah. Hubungan semula antara penjual dan pembeli kini telah menjadi
hubungan janji untuk menikah, Hendra pun tak ingin menodai cinta pertama yang
diakuinya, kebiasaan buruknya telah hilang tergantikan harapan pada Inah untuk
mengumpulkan dana hingga dapat dia gunakan untuk membahagiakan wanita yang telah
memberikan warna baru dalam hidupnya.

***
"Nikahilah dia, kamu menunggu apa lagi?" pak Sobri menyentakkan lamunan anaknya.

"Aku takut tidak bisa membahagiakannya Pak."

"Kebahagiaan itu bukan pada materi anakku, tapi pada kepercayaan. Nikahilah dia sebelum
terlambat."

Hendra mencerna perkataan ayahnya sejenak, tanpa pikir panjang lagi dia meminta izin
ayahnya untuk menemui Inah yang telah berkeliling kembali menjajakan kopinya.

"Nah, aku akan melamarmu secepatnya. Walau aku belum mempunyai banyak tabungan,
tapi akan bekerja keras untuk kita," senyum itu meyakinkan janji Hendra.

Ada senyum kecil di wajah Inah, kekecewaan yang barusan diucapkan Hendra terobati
sudah. Tak ada kata yang terucap kecuali anggukan mesra. Mereka berpisah dengan
senyum yang meyakinkan hati mereka masing-masing.

***

Malam ini Hendra berniat melamar Inah walau di tengah pekerjaannya, walau di tengah
Inah yang sedang menjual kopi, demi cinta yang telah merubah pribadinya dan memberi
warna pada kehidupannya.

"Nah aku ingin bicara," Hendra menatap mata lentik itu sambil menyeruput kopinya, di
samping Inah ada seorang anak kecil berusia 4 tahunan.

"Apa Kang."

"Malam ini aku ingin melamarmu, kebetulan kami baru pulang dari muatan dan ayah
bersedia menemaniku untuk mempersuntingmu," ada semburat harapan yang memancar
dari celah bibir Hendra.

"Kang, aku ingin jujur padamu. Aku tidak mempunyai keluarga lagi, kedua orangtuaku
telah meninggal. Ini adalah Anakku, aku seorang janda."

Benar-benar seperti petir menyambar lenggangnya masa, tercipta dan terlihat patah-patah,
seperti mematahkan harapan. Tapi tak sepatah katapun yang terucap dari bibir Hendra.

"Setelah suamiku meninggal, aku diusir dari rumah keluarganya. Aku berdagang disini
karena ingin menyambung hidup dan memberi makan pada anakku. Tapi aku juga ingin
jujur bahwa aku mencintai Akang. Aku harap Akang menerima aku apa adanya."

Walau mendengarkan isak lirih itu, Hendra meninggalkan begitu saja Inah yang memeluk
anaknya mencoba menguatkan takdir yang menimpanya. Hendra benar-benar tertipu
selama ini, keindahan warna-warni baru dalam hidupnya telah memerangkap harapannya.
Hatinya benar-benar murka, namun tak kuasa memarahi wanita bermata lentik itu hingga
yang dapat dilakukannya hanya berlalu dan pulang dengan segudang tumpukan amarah.

Hari-hari berlalu, Hendra merasakan luka yang teramat perih melebihi luka atau sakit
dikala menimpa jasad fisiknya, luka karena cinta. Sudah begitu banyak wanita yang dia
kecewakan hanya untuk memenuhi hasrat iblisnya, kini saat hatinya terluka oleh seorang
wanita barulah dia sadar perbuatannya selama ini memang mendapatkan ganjaran yang
setimpal.
Hidupnya kini mulai berubah, hari-harinya selalu digunakan untuk memperbaiki diri,
menghilangkan sifat-sifat buruknya selama ini. Satu hal yang dia lupakan, wanita itulah
yang menjadi sarana dari Tuhan untuk mengetuk hatinya, secara jujur hatinya masih
menginginkan wanita tegar itu mendampingi hidupnya walau sakit hati dan kesombongan
masih menghinggapi jiwanya.

"Carilah dia, bukankah dirimu tidaklah suci dibandingkan siapapun. Ingatlah ketika engkau
berpaling dari satu pelukan wanita ke pelukan wanita lain. Tidakkah engkau menemukan
ketegaran dalam wanita itu," pak Sobri memberi wejangan kepada anaknya sambil
mengemudikan mobil. Memang selama ini Hendra banyak berubah namun lamunannya
kini semakin menjadi.

"Apakah dia mau memaafkanku?" pak Sobri hanya menganggukkan kepalanya,


meyakinkan.

Hendra mencari setiap penjual kopi di Bakauheni, senyumnya merekah menggantikan


mendung duka yang setiap hari menyelimutinya semenjak dia memutuskan hubungan
dengan Supinah. Wanita bermata lentik itu, wanita berhidung mungil itu, dimanakah
engkau. Kakinya terus mencari hingga ayahnya memperingatkannya bahwa mobil hampir
masuk dan berangkat menuju Merak.

Senyum cerahnya mulai sirna, keputusasaan mulai memancar, didatanginya seorang


penjual kopi di pinggir tangga menuju kapal tempat naik para penumpang, "Maaf Mbak,
apakah mbak tahu keberadaan Supinah yang dulu sering menjual kopi disini?"

"Maksud Mas, mbak Inah yang mempunyai anak kecil itu?"

Anggukan kepala Hendra membuat wanita itu melanjutkan kata-katanya, "Mbak Inah udah
berhenti dagang, dia bilang mau pergi karena harapannya disini telah hilang. Dia sendiri
bingung mau pindah kemana hanya dia bilang ingin anaknya dididik bukan disini."

Hendra berpamitan karena kapal telah meniup peluitnya, terompet menggema. Perasaan
yang campur aduk hingga membuatnya semakin tersiksa. Penyesalan memang datang
terlambat.

***

Pelabuhan Bakauheni. Sepenggal kehidupan yang tidak pernah berhenti, nonstop, terus
mengalir bagaikan aliran laut yang selalu mendeburkan ombaknya menciptakan buih-buih
bertebaran. Kehidupan yang tidak pernah berhenti, mungkin akan berhenti jika kiamat
terjadi. Tambang telah dilemparkan dari kapal untuk dimasukkan ke dalam cantolannya.
Tambang itu bernafas turun naik, digoyangkan kapal, dibelai ombak.

Hendra masih terpaku di samping ayahnya yang sedang mengemudi. Ayahnya beberapa
kali menggelengkan kepalanya sambil membiarkan anaknya menjalani proses menuju
dewasanya yang selama ini terabaikan.

Hendra mengedarkan pandangannya, mencoba mengais harapan dikala penantian


keindahan memayungi sukmanya. Keyakinannya pada Inah mengalahkan keraguan yang
membayang-bayangi kehidupannya. Datanglah Inah, aku tidak peduli apapun dirimu asal
engkau menerimaku sepenuhnya. Aku tidak peduli jandakah dirimu, siapapun dirimu, aku
akan menunggumu.

Dan penantian itu akan selalu menghiasi keindahan kehidupan. ***

Anda mungkin juga menyukai