Anda di halaman 1dari 4

Kompas

Minggu, 13 Mei 2007

Cermin Jiwa
Cerpen: S Prasetyo Utomo

Wajah Ulfa jernih, tenang, dan penuh percaya diri. Sepasang lengkung alisnya serupa
mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Ia keluar dari rumah kayu.
Menampakkan sosok samar di kebun anggrek. Hangat matahari menyingkap kabut di
rambutnya. Dari celah-celah bunga anggrek, ia menatapi Ismail, lelaki muda di seberang
jalan. Lelaki itu menyusuri kesunyian ke kantor. Sepasang kupu-kupu mengitari
kepalanya. Cahaya matanya serupa cermin jiwa: memantulkan hangat semesta yang
membuka cakrawala Ulfa.

Di kebun anggrek itu Ulfa memantulkan kesegaran bunga-bunga mekar. Gadis itu sengaja
berada di kebun anggrek. Ia bisa mencium aroma asap jerami dibakar. Menghirup bau
tanah basah sawah sehabis dibajak. Mencuri pandang pada Ismail, lelaki kurus, dengan
hidung mencuat, bibir tipis dan jarang berbincang. Ketampanan lelaki itu terselubung sepi.
Tinggal di rumah kayu yang luas dan terpelihara, lelaki kurus itu terlambat menikah. Ulfa
selalu menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput,
perdu, dan bunga-bunga liar.

Tatapan Ulfa pada Ismail sering kali dilakukannya dengan diam-diam, menakik rasa
gundah yang nyeri di hati. Ismail seperti hidup sendirian, setelah ibunya meninggalkannya,
pergi begitu saja, pada umurnya yang sepuluh tahun. Ulfa selalu memandangi lelaki itu
sejak kecil. Lelaki itu terus saja bekerja, mengaji ke surau, tanpa senyum, tanpa
berbincang-bincang.

Ayah Ismail sungguh aneh. Lelaki tua itu selalu keluyuran malam. Rambutnya memutih
seluruhnya. Separuh wajah bagian kanan, menghitam arang memendam bara. Ia selalu
bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi, dan kata orang, sesekali mencuri sarang
burung walet di tebing terjal pantai. Ia merambati tebing-tebing karang selengket cicak.
Lewat larut malam ia pulang. Mabuk. Meracau. Teriak-teriak. Lantang. Menembus kabut
dini hari.

Lambat laun Ulfa mulai paham, dan ia takjub, melihat Ismail tumbuh dengan dirinya
sendiri, di rumah kayu yang luas, peninggalan kakeknya.

Pada gerimis yang rapuh, menjelang senja, burung-burung sriti menghambur di atas
pohon randu alas, di belakang surau. Bercericit gaduh. Ayah Ismail mengetuk pintu rumah
Ulfa, teratur dan sopan. Suaranya berat dan patah-patah. Ulfa berlarian membukakan
pintu. Meminta lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu. Gugup.

"Tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Ismail. Sungguh gemetar Ulfa
memandangi ayah Ismail. Tatapan lelaki tua itu liar, beringas, dan menyerang.

Abah Lutfi, ayah Ulfa, tersenyum tenang.

"Aku ingin bicara juga dengan istrimu," kata ayah Ismail, dengan permohonan yang
lembut. Tapi Umi, ibu Ulfa, menahan rasa takut, getar dalam dada. Guncangan tertahan
itu diredakannya.

"Begini, Abah Lutfi. Saya datang sore ini untuk meminang Ulfa bagi Ismail. Saya sudah
tua, tak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali mencarikannya jodoh."

Terdiam. Lama. Belahan wajah hitam ayah Ismail seperti bara terhembus angin. Lelaki tua
itu mengambil napas, dan meredakan rasa murka. Dipandanginya Abah Lutfi yang
tersenyum.
"Aku serahkan pinangan ini pada Ulfa," sahut Abah Lutfi, teduh dan lembut.

Buru-buru Umi menyambut. "Aku minta waktu agar anak gadisku cukup matang."

Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan tenteram.
Memandangi Abah Lutfi dan Umi, bergantian, mencari kepastian. Tiap saat ia menatap
wajah Abah Lutfi yang tersenyum, bara dalam belahan wajahnya padam. Tiap saat ia
menatap wajah Umi yang menegang, bara dalam belahan wajahnya menyala. Terhenti ia
pada segaris senyum Abah Lutfi, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu menunduk.
Terus tersenyum.

Ayah Ismail berdiam diri. Memandangi lagi Abah Lutfi. Mencari keyakinan. Ayah Ismail
mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan. Menyalami Abah Lutfi.
Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Ismail mencium tangan Abah Lutfi.
Tertetes sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi.

Burung-burung sriti tak lagi gaduh bercericit. Hinggap di dahan pohon randu alas. Seketika
sepi, seketika pekat merambat.

Di surau, di belakang rumah kayu Abah Lutfi, samar terdengar suara anak-anak mengaji.
Abah Lutfi berdiam diri di meja makan. Menelantarkan pepes ikan mas kesukaannya. Tak
berselera. Dipandanginya Ulfa dan Umi bergantian, kehilangan suara.

Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi. Tapi tangan itu tak
segera dicucinya. Tak digerakkannya untuk menuang nasi dalam piring. Tak melahap
pepes ikan mas. Terdiam. Menampakkan rautan renungan dalam wajahnya, terutama di
sekitar mata.

"Apa yang Abah risaukan?" tegur Ulfa, pelan, teduh.

"Bagaimana aku menampik lamaran ayah Ismail?"

"Kenapa mesti ditampik?"

Terbatuk, Abah Lutfi menukas, "Kau menerimanya?"

"Kalau Abah amati sisi wajah ayah Ismail yang bersih, tentu tak perlu bimbang macam ini."

"Kau menerima Ismail?"

"Saya hanya meminta Abah melihat sisi terang pada wajah ayah Ismail."

"Ho-ho, kau selalu begitu!"

Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Abah Lutfi. Lelaki itu
mengambil nasi, makan dengan lahap. Pepes ikan mas itu tinggal duri-duri. Pada bagian
kepala ikan pun dicecapnya. Terserak remah-remah tulang belulang dan duri ikan di
piring. Tak ada lagi percakapan. Terdengar sendawa Abah Lutfi. Berkali-kali.

Sesuatu yang tak lazim, Ismail memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan buru-buru
melangkah ke surau Abah Lutfi menjelang magrib. Belum pernah Ismail melihat wajah
ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi membara. Belahan wajah itu
seteduh lumpur sawah musim tanam padi.

Malam hari ayah Ismail memasuki rumah, pelan-pelan, diam-diam, tanpa suara. Duduk di
ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi. Merokok. Termenung. Sesekali mencuri-curi
pandang ke arah anak lelakinya.
"Telah kulamar Ulfa untukmu," kata ayah Ismail, berat, dan menunduk. Tak tampak
kerisauan pada wajah Ismail. Tetap tenang. Melakukan segala hal sendirian. Diam-diam.

Melihat ayah Ismail bergegas ke surau, Umi cemberut. Sesekali ia mengerling ke arah
lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki itu, Umi?tanpa disadarinya?
bergidik. Buru-buru ia meninggalkan surau. Tak dilihatnya dalam kelam puncak pohon
randu alas, cericit burung-burung sriti beterbangan. Sesaat. Kembali sunyi.

Tiap kali datang orang baru ke surau, Umi selalu menyambut dengan mata bercahaya.
Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak bisa dibayangkannya, Ulfa, anak
gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas, yang selalu membawa ceracau mabuk
dan murka ke rumah.

"Ayah Ismail itu, uh, mengapa selalu datang ke surau?" gerutu Umi.

"Mestinya Umi merasa senang. Dia datang ke surau kita. Bukannya mabuk," tukas Ulfa,
mencengangkan.

"Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu."

"Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, dan mencuri sarang burung walet."

Subuh keempat puluh ayah Ismail berkunjung ke surau Abah Lutfi. Tak seorang pun
menatap langit di atas pohon randu alas, di belakang surau. Burung-burung sriti berkitar-
kitar, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon randu alas itu. Langit
masih gelap, dan burung-burung sriti itu luput dari perhatian orang-orang yang bergegas
ke surau.

Tak sekali pun ayah Ismail bertanya kepada Abah Lutfi mengenai pernikahan anak
lelakinya dengan Ulfa. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak, dengan mata
terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah meninggalkan surau, dia masih
bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari berkilau menghangati hamparan tikar surau.
Lelaki tua itu beringsut, pelan, bangkit.

Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Ismail telah menyempurnakan ketenteraman
wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak menyeramkan, serupa lumpur
sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Orang-orang di surau
mulai menerima kehadiran lelaki tua itu. Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan
curiga.

Di tengah-tengah suara orang berdoa, sehabis shalat subuh, ayah Ismail tak dapat
menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya. Ia rebah
dengan tangan masih menggenggam tasbih. Tubuhnya terjerembap. Tidak menggelepar.
Tidak berkelejatan. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara orang-
orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki tua itu direnggut
ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan memekik tertahan.

Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung sriti yang tak terhitung banyaknya,
berkitar-kitar terbang di puncak pohon randu alas, di belakang surau Abah Lufti. Dalam
sekejap, sangat cepat, burung-burung sriti itu hinggap di dahan dan ranting pohon randu
alas. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak lagi bercericit gaduh.

Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Ismail. Ulfa sangat gemas, ingin
menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam di kebun
anggrek yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas kepala Ismail.
Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan kaki ke mana pun pergi. Dan
sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut,
saat embun meraup tersengat matahari.
Abah Lufti diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum teh,
menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak gadisnya turun
ke kebun anggrek samping rumah, hanya untuk melihat Ismail. meninggalkan rumah,
berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-kupu? Dalam jarak yang begitu
jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari kepala Ismail.

Kepergok Abah Lutfi memasuki rumah, Ulfa tersipu-sipu. Terhenti. Menanti teguran.

"Apa Abah mesti menegur Ismail, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya dulu?"

"Biar Ismail sendiri yang menentukan," tukas Ulfa tenang. "Abah jangan salah sangka. Aku
cuma suka memandangi sepasang matanya. Sungguh aneh mata itu, selalu
memancarkan alam yang lembut dan tanpa dendam. Aku suka memandanginya."

Pandana Merdeka, Februari 2007

Anda mungkin juga menyukai