Anda di halaman 1dari 3

Seputar Indonesia

Minggu, 09 Desember 2007

Cerita Perempuan
Cerpen: Yonathan Rahardjo

Mereka duduk berdua di dalam kamar si perempuan. Si lelaki adalah tamu yang diundang
menurut janji bersama.Cahaya siang membuat semua kelihatan terang. Sangat jelas kondisi
si perempuan, sejelas lelaki yang bertamu dan duduk berhadapan.

SAMBUTAN tuan rumah yang ramah, tampak dari roman wajah perempuan. Bahasa tubuh
seadanya dan tidak dibuat-buat membuat si lelaki merasa nyaman berada di dalam kamar
kos yang terdiri dari ruang utama dipisahkan dengan dapur dan kamar mandi oleh tembok
penyekat.

Hidangan makanan ringan memang membuat si tamu merasa nyaman. Namun,


perbincangan mengalir lancar membuat mereka lebih satu hati dan perasaan. Apalagi,
mereka punya pengalaman yang sama tentang sebuah kehidupan di sebuah pedesaan lereng
gunung tepi hutan.

”Aku di Lembaga Peduli Lingkungan paling lama hanya dua minggu. Di sana aku sangat
suka memetik daun labu, sampai lima kilo, untuk kumakan hanya dengan cabe dan garam.
Pulang-pulang kulitku gosong terbakar matahari.” Si lelaki tersenyum mendengar uraian si
perempuan,sambil membayangkan suasana yang sama juga ia rasakan ketika ia bergabung
dengan lembaga itu, bahkan lebih lama.

”Aku sangat suka kondisi alami seperti di Lembaga Peduli Lingkungan. Sudah ada tanah di
daerah kelahiranku untuk menjadi tempat semacam,”lanjut si perempuan. “Tinggal beli
tanah, minta sumbangan- sumbangan lalu mendirikan lembaga peduli lingkungan di situ
kan?” “Hihi.. Aku sudah ada tempat di daerah kelahiranku, di tepi pantai.” “Tinggal
membuat program kan. Itu sudah tipikal di banyak tempat semacam. Kamu perlu
menguraikan dalam tulisan.”

”Soal itu sebetulnya aku sudah banyak ngomong,tapi aku tidak bisa menuliskannya. Aku
nggak bisa nulis.” “Caranya gampang, ngomong saja dan rekam di tape.” “Nanti kamu
yang menuliskannya.” “Ya tulis sendiri. Kalau nggak gitu ya nyuruh orang nulis.”
“Sebetulnya aku juga pernah pinta orang menuliskan ceritaku.” “Cerita apa?” “Tentang
aku.” “Kisah nyata?”

”Ya semacam itu.’ “Di mana?” “Tabloid Wanita.” Pembicaraan tentang kenangan di
lingkungan lereng gunung tepi hutan berubah menjadi cerita kehidupan pribadi si
perempuan. “Berapa panjang?” “Dua halaman.” “Ceritanya bagaimana?” “...” Si
perempuan diam, tak menjawab.

”Rahasia?” “Ya... Ya, tentang kisahku yang sayangnya ditulis terlalu vulgar. Laki-laki yang
tersangkut dalam cerita itu merasa cerita itu tentang dia juga.Setelah membaca, ia langsung
menelepon si wartawan. Ia tanya identitas orang dalam ceritanya, dan diberitahu tokoh
utamanya adalah aku. Iapun menghubungi aku.”

”Kok kamu begitu.? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan
mempublikasikannya?” “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” “Kisahmu melibatkan orang..
Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada
indikasi kamu mencemarkan nama baiknya.” “Tidak. Aku menyembunyikan namanya.”
“Tapi orang kan bisa menerka.”
”Itu kisah hidupku sendiri. Dokumen pribadiku, walau menyangkut dia.” “Kamu
publikasikan juga cerita yang menyangkut laki-laki itu. Kekeliruanmu, sebelumnya kamu
tidak memberitahu dia.” “Setelah ia menghubungiku, ia berkata, seandainya sebelumnya
aku memberitahu, tentu ada yang bisa ia lakukan untuk menolong problemaku.” “Nah...?
“Tertarik, kamu dengan cerita itu?”

”Tertarik.” “Orang belum tahu ceritanya kok sudah tertarik.” “Sampai aku bilang begitu,
berarti cerita itu menarik. Apa maksudmu menceritakan kisahmu pada orang biar ditulis di
tabloid wanita itu?” “Ada..” “Untuk menyadarkan orang?” “Bukan.” “Agar orang lain tidak
mengalami hal yang sama?” “Tidak.” “Agar apa?”

”Supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak banyak bicara lagi.
Langsung kutunjukkan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan
permasalahanku.” “Selain ia yang tersangkut dalam cerita itu, sampai saat ini tidak ada
orang lain yang tahu bahwa cerita di media itu adalah tentang aku. Tabloid itu cukup
terkenal. Aku berdoa semoga tidak ada orang lain yang tahu.” “Untuk dijadikan buku,
cerita itu bagus sekali. Tidak hanya diceritakan tentang percintaannya saja. Tapi juga
diwarnai hal-hal lain yang ada dan terjadi pada masa cerita itu terjadi. Sehingga, menjadi
karya seperti karangan Novelis Maestro.” “...”

”Cerita yang demikian,banyak miripnya dengan kejadian yang dialami banyak orang lain.”
“Betul.” “Aku pernah menonton sinetron,cerita awalnya mirip dengan ceritaku. Tapi
kelanjutan dan akhirnya berbeda.” “...”

”Jadi dalam menghadapi masalah yang awalnya sama, ada sikap berbeda dari si pelaku
dibanding sikapku.” “...” “Semua itu justru membentuk sikapku jadi tegar saat menghadapi
masa-masa sulit serupa itu. Sikap tegar ini tidak dimiliki oleh para pelaku yang banyak
kutemui pada cerita lain.Mereka wanita yang suka mengalah dan kalah dalam menghadapi
problem semacam.” “...”

”Dalam kebiasaanku sehari-hari, aku menjadi terbiasa dengan gaya hidup mandiri. Kalau
ada genteng bocor dan lain- lain pekerjaan yang dekat dengan lelaki, aku bisa menangani.”
“...”

”Namun meski begitu, dulu aku juga wanita yang lemah. Lemah lembut. Kalau pulang ke
desa misalnya, tanganku selalu dipegang oleh temanku. Kalau ada apa-apa dengan perilaku
dan kesalahanku, aku suka menjawab ya,ya,ya?, cuma menurut dan pasrah terhadap
kemarahan dan tuntunan orang tua.” “...”

”Dengan kejadian itu, aku menjadi lebih tegar. Tidak lembek lagi. Kurasakan pengaruh
besar akibat tragedi hidupku ditulis wartawan itu..membentuk perubahan sikap padaku.”
“...” “Terlalu pendek kok ceritaku itu. Sebetulnya bisa diperpanjang untuk menjadi satu
cerita novel. Nanti manggil Novelis kita..” “Novelis besar sekalian saja. Atau bahkan
Novelis Maestro.”

”Haha meledek!” “Tidak. Memang cerita semacam itu kadang butuh orang yang tepat
untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.? ?Kamu kan juga suka menulis...” “Kalau
tulisanku, pasti punya gaya tersendiri.” “Soal perselingkuhan juga?” “Ya, bisa.” “Kalau
begitu kamu bisa menuliskan tentang perselingkuhanku.” “Cerita apa lagi ini? Lain dari
yang tadi?” “...” “Cerita lain lagi?” “...Tulis ya..” “Beres.”

”Ceritanya, temanku banyak yang cowok. Tapi, ada satu cewek yang tipenya mirip dengan
aku. Kami pun menjadi sahabat. Hingga, suatu saat ia membuatku merasa berhutang budi
padanya. Maka, ketika aku melakukan sesuatu yang terkait dengannya, aku merasa sangat
bersalah dan berdosa.” “Apa itu?” “Aku malu menceritakannya padamu.” “Kan kamu
minta ditulis...”

Hening sejenak.. ?Suatu saat, di tempat terpencil jauh dari orang, dalam kondisi terdesak
aku melakukan....? ?...Apa?? ?....Selingkuh dengan suaminya. ..Dan, aku merasa sangat
bersalah karena mengkhianati temanku.? ?...?

”Untungnya sekembalinya di kantor, aku dan suaminya bisa melupakan kejadian itu sama
sekali. Aku dan suaminya tak menunjukkan sesuatu yang aneh terhadap teman-temanku,
juga kepada temanku itu. Kejadian itu kami simpan dengan rapat.” “...” “Tapi aku tetap
merasa bersalah, minta ampun sama Tuhan, bahkan sampai naik Haji segala.” “...”

”Ternyata setelah aku sadari, aku merasa sangat bersalah karena lelaki itu adalah suami
orang. Aku kasihan pada istrinya, temanku sendiri. Dan aku sendiri yang rugi, karena
setelah itu, lelaki itu pasti lupa padaku. Karena ia sudah punya istri, yang pasti harus lebih
diperhatikannya. Aku merasa rugi, karena aku masih bujang. Beda kalau aku melakukannya
dengan lelaki yang juga bujang.” Suasana hening. Angin berhembus menerbangkan plastik
bekas pembungkus di halaman kompleks kos-kosan. Angin usil mendorong pintu kamar
koskosan itu menutup. Cahaya kamar berkurang. Si lelaki mendekat ke arah si perempuan
sang tuan rumah.

Makin mendekat. Dipegangnya bahu si perempuan. Ditatapnya tajam mata si perempuan.


Sebuah tanya terucap dari bibir mengiringi rasa yang menembus mata dan luruh ke jantung
mereka berdua. “Kamu.... suka kehidupan pribadimu ditulis dari kenyataan dan
pengalaman.. ya?” “Kamu mau kan menuliskannya?”

”Agar orang tahu kisahmu, lalu lakilaki yang kamu ceritakan bersamamu mencarimu
karena malu namanya kamu cemarkan namun tetap juga belas hati padamu, lalu kamu
mengalami perubahan sikap dalam hidupmu, seperti ceritamu yang pertama?” “Apa
maksudmu?” “Aku mau menuliskan kisah kita.”

”Apa itu?” ... Tanpa ucap, keesokan harinya, beberapa koran memberitakan peristiwa
dengan ilustrasi foto cukup besar dan berwarna, dengan judul tulisan besar. Salah satunya:
“PENGARANG DAN PEREMPUAN TEWAS BERPELUKAN” **

Anda mungkin juga menyukai