Anda di halaman 1dari 4

Suara Pembaruan

Minggu, 24 Juni 2007

Dalam Rindu
Cerpen: Hembang Tambun

Aku benci rumah sakit. Tempat itu begitu dekat dengan kematian. Aku benci bau obat.
Aromanya sangat tidak nyaman di hidungku. Aku benci dokter dan perawat. Mereka
bisanya hanya menakut-nakutiku dengan jarum suntik yang membuatku bermimpi buruk
sewaktu kecil. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir ini, aku harus belajar mengakrab-
akrabkan diri dengan mereka semua. Belajar membetah-betahkan diri, bahkan menginap di
ruang putihnya saat harus berjaga sepanjang malam. Belajar menahan muntah, meski bau
obat itu masih terasa menusuk-nusuk. Belajar tersenyum pada dokter dan perawat, karena
sekalipun mereka identik dengan jarum suntik, aku tahu itu bukan untukku.

Dan sekarang, lagi-lagi rumah sakit ini berhasil memenjarakanku. Duduk di salah satu
ruang sempitnya, menatap dalam-dalam pada wajah letih seorang perempuan tua yang
sedang terbaring di salah satu bangsalnya. Wajah itu berkerut-kerut, seolah hendak
mengukir jalan-jalan yang sudah ditapakinya sepanjang hayatnya yang melelahkan. Rongga
matanya cekung, menciptakan dua lobang hitam di wajah tirusnya. Irama nafasnya mulai
teratur. Dadanya bergerak naik turun dengan nada yang sama. Aku mengawasinya dengan
hati penuh haru.

Malam ini barulah ia bisa sedikit tenang setelah minum obat yang diberi dokter. Sepanjang
dua malam, sejak ia diopname di sini, ia tak pernah setenang ini. Selalu mengerang dan
mengaduh kesakitan. Ia tak selera menyantap apapun. Pun sekadar mencicipinya. Kalaupun
dengan setengah terpaksa ia mau karena bujukanku yang mengiba, maka dalam sekejap ia
langsung memuntahkan makanan itu. Lalu hanya wajah pucatnya yang tersisa. Aku pun
hanya bisa menangis tertahan sambil menenangkannya. Akhirnya ia hanya bisa bergantung
pada obat-obatan dari selang infus di pergelangan tangannya sebagai sumber penguat
tubuhnya, serta dari beberapa suntikan yang sangat menyiksanya.

"Tii...goor...!!!" suara paraunya terdengar seperti igauan. Lalu menceracau tidak jelas.
Kemudian ia memiringkan kepalanya seolah hendak mencari posisi tidur yang pas.

"Aku di sini, Inong! Aku ada di sini!" kataku berbisik di telinganya, sambil menggenggam
erat tangannya. Telapak tangannya yang kasar begitu kaku. Dingin. Kubetulkan selimut
yang menutupi badannya. Kuelus keningnya perlahan sambil merapikan beberapa helai
anak rambutnya yang menjuntai. Kukatupkan bibir dan kupejamkan mata menahan butir air
yang sudah menggenang di pelupuk. Kalau tidak, butiran itu akan jatuh tepat di wajah ibu
dan malah akan membangunkannya.

Kembali kuterdiam. Hening. Aku hanya bisa terduduk di samping bangsal ibu di kamar
putih ini, memandangi wajahnya sepuasnya tanpa henti, sambil mengucap doa-doa untuk
kesembuhannya. Ia benar-benar tak berdaya. Seperti seorang pecundang yang dikalahkan
oleh kerasnya hidup, seletih wajah pasukan yang terpukul mundur dari medan perang yang
tak terhindarkan.

"Inong...!" aku bergumam perlahan sembari membayangkan betapa ia juga dulu sering
menatapku seperti ini, saat aku juga sama sekali tak berdaya di tahun-tahun pertamaku
menyapa kehidupan. Ia sering memandangiku sampai terlelap, mengucap doa-doa,
menguntai satu harap akan masa depan yang lebih baik untukku.

Dulu, ibuku seorang yang kuat. Perkasa. Ia pekerja keras yang tak kenal letih, seperti
kebanyakan petani di kampung kami. Dunianya pun tak lebih dari sawah dan ladang
belaka. Kerja dan kerja, hanya itu yang ada dalam kamusnya. Ia sudah berada di sawah
mendahului matahari di waktu pagi, seolah ia hendak membangunkan fajar, dan ia baru tiba
di rumah, setelah matahari jatuh di peraduannya. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana
memperoleh hasil panen yang lebih banyak, karena setiap bulan, anaknya yang kuliah di
kota provinsi akan menagih jatah bulanannya. Belum lagi anak-anaknya yang masih ada di
sekolah lanjutan, yang sebentar lagi juga akan membutuhkan biaya yang semakin besar.
Makanya jangan heran bila sepulang dari sawah, pertanyaan pertama yang akan terdengar
adalah, "Kau sudah kasih makan pinahan kita?" Bukan pertanyaan, "Kau sudah mandi,
Nak?" Atau, "Bagaimana pelajaran sekolahmu?"

Namun, sekalipun semua perhatian sentimentil seperti itu tidak akan pernah terdengar dari
bibirnya, aku tahu hatinya penuh dengan semangat memperjuangkan anak-anaknya. Entah
siapa yang berhasil menanamkan prinsip anakhonhi do hamoraon di ahu ke dalam
pikirannya, juga bagi mayoritas suku kami. Sepertinya prinsip itu sudah menjadi bagian
yang melekat dengan detak jantungnya, bagian dari nafasnya. Hingga dengan seluruh daya
ia berjuang tanpa henti. Dan, mungkin baginya, waktu dua puluh empat jam sehari itu
seolah tidak pernah cukup untuk membaktikan dirinya bagi anak-anaknya.

Dan beban itu semakin berat saja dipikulnya ketika di suatu malam yang naas, sepulang
menghadiri upacara adat, mobil yang membawa ayah mengalami kecelakaan yang
memaksanya untuk beristirahat total di rumah untuk selamanya. Tak ada lagi yang
membantunya sejak saat itu. Ia harus benar-benar bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Apalagi ayah cuma sanggup bertahan hidup hampir setahun, setelah dua petak sawah
tergadai untuk menutupi biaya pengobatannya.

Maka semakin rentalah ia. Semakin keraslah ia membanting tulang dengan harapan anak-
anaknya tidak akan semenderita dirinya kelak. Sungguh suatu harapan mulia yang
diidamkan semua orang tua.

"Tiii...goor...!!!" igauan ibu terdengar lagi.

"Inong, aku di sini!" bisikku lagi sambil mengelap sebutir keringat yang mengalir di
keningnya. Kubelai pipinya dengan punggung tanganku.

"Tiii...goor...!!!"

"Inong, anakmu ada di sini!" desisku lagi dengan perlahan. Hatiku terenyuh melihat
bibirnya yang komat kamit menyebut nama anak terkasihnya, seperti melafazkan tabas dari
alam bawah sadarnya.

Dulu, ibuku telah berjuang antara hidup dan mati sebanyak sebelas kali untuk melahirkan
kami ke dunia ini. Ya, sebelas kali! Kami sebelas bersaudara, hanya saja tiga orang
meninggal sewaktu masih bayi, karena tidak tersedianya sarana pertolongan kesehatan yang
memadai di desa kami yang terpencil. Belasan orang bersaudara adalah jumlah yang
sangat-sangat biasa bagi generasi saat itu. Sampai-sampai pemerintah menggalakkan
Program KB (Keluarga Berencana) hingga ke pelosok-pelosok dengan motto: dua anak
cukup, laki-laki perempuan sama saja! untuk meredam melonjaknya angka kelahiran.
Sungguh suatu slogan yang membuat ibu-ibu yang sudah terlanjur beranak banyak menjadi
minder.

Namun sejujurnya bukan program itu yang menghambat angka kelahiran di desaku.
Umumnya ibu-ibu memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi saat anak siakkangan-nya
sudah menikah. Karena bila cucunya berusia lebih tua dari anaknya sendiri, akan menjadi
prestasi yang agak memalukan, dan sering menjadi bahan olokan di masyarakat. Persis
dengan yang terjadi denganku. Ibuku mengandungku saat kakakku yang paling tua sedang
mengandung anak sulungnya.

"Tii...goor...!!!"

Sekali lagi, dengan perlahan aku mengusap kening ibu sambil membisikkan jawaban
lembut di telinganya. Keningnya masih terasa dingin. Betapa ibanya aku menatapnya dalam
kondisi seperti ini. Sedalam apakah kerinduanmu terhadap anak-anakmu, Ibu?

Semenjak aku membawa ibu ke rumah sakit ini, aku sudah segera menghubungi kakak
yang tinggal di Jakarta maupun Surabaya untuk mengabari kondisi ibu. Tetapi mereka
cuma bilang, "Segera kabari kami kalau kondisinya semakin kritis!" Itupun hanya melalui
pesan singkat SMS. Mereka semua sama saja!

Aku mendongkol dengan ketakperdulian mereka. Mentang-mentang mereka sudah pada


sibuk dengan urusan keluarga mereka masing-masing, mereka mengacuhkan ibu yang
sepertinya cuma menjadi pelengkap penderita, bahkan kadang-kadang jadi beban yang
memberati mereka. Ataukah mereka telah memposisikan ibu - yang tak bisa lagi berbuat
apa-apa itu - sebagai benalu? Parasit? Ah...! Andai mereka tahu tak henti-hentinya ibu
memikirkan mereka....

"Mii...numm...! Ha...uss...!" desis ibu lemah.

Kusodorkan sesendok air putih ke bibir keringnya. Tapi membuka mulutnya saja pun sudah
membutuhkan satu usaha cukup keras darinya. Kucelupkan dua jariku ke segelas air putih
dan membasahi bibirnya.

Sekarang semuanya serba terbalik. Di tengah segala kesibukannya, dulu, ialah yang dengan
penuh sabar memberiku minum tanpa mengeluh. Ialah yang mamemei aku. Ialah yang
menunggui aku sampai terlelap. Ia pulalah yang mengajari aku dengan kata pertamaku,
mengenalkanku pada segala sesuatu serta menjelaskan kegunaan segala benda yang masih
asing bagiku, walaupun terkadang aku dengan teganya malah membalas dengan bentakan
kasar saat ia berulangkali bertanya bagaimana memakai sebuah benda produksi abad ke-21.

"Tii...goor...!!!"

Suara ibu terdengar tertahan bersamaan dengan sebuah getar hand-phone di saku celanaku.
Aku menenangkan ibu dengan sebuah usapan di keningnya sambil tangan kiriku berusaha
merogoh HP (hand phone). Ternyata sebuah SMS dari kakak nomor lima yang tinggal di
Makassar bersama suaminya. Lagi-lagi cuma bilang agar aku segera mengabari mereka bila
kondisi ibu makin memburuk. Ah, ibu. Apakah hanya kabar kematianmu saja yang ingin
mereka dengarkan saat ini? Terlalu merepotkankah seorang ibu yang tergolek tak berdaya
di masa tuanya bagi mereka yang pernah bergelung nyaman di dalam rahimnya?

Dasar anak-anak durhaka, geramku. Hatiku bergolak dengan sikap mereka yang tak
memikirkan ibu yang sedang sekarat di depanku saat ini. Layakkah perlakuan sedemikian
dituainya setelah sepanjang usia ia menabur berjuta asa? Belum cukupkah kisah Si Mardan
atau Malin Kundang menjadi pelajaran berharga bagi anak-anak yang melupakan budi baik
orang tua? Perlukah ditulis cerita baru tentang kedurhakaan para durjana yang berlaku
bagai kacang lupa kulitnya?
"Tiii...goor...!!!"

Kutatap lagi wajah letih ibu. Kuelus dahi keriputnya. Ada sejumput bahagia yang tersamar
bertunas di hatiku karena bisa menemaninya melewati malam-malam sunyi yang gulita dan
menenangkan gundahnya. Andai ada hal besar yang bisa kulakukan untuk
kesembuhannya....

Kugenggam tangan kanan ibu dengan kedua tanganku dan kutundukkan kepalaku.
Kupejamkan mataku, memanjatkan doa untuk kepulihannya. Sukmaku melayang
menembus langit-langit, mengadu pada satu kekuatan mahadahsyat yang menurutku
mampu mengatasi semua masalahku, juga ibuku. Lalu semuanya senyap. Hanya hening
meraja. Dan rasa kantuk tiba-tiba menyergapku dari segala arah, mengatupkan kedua
mataku seolah ditindih pemberat yang tak mampu kusingkirkan.

Aku terjaga saat tangan ibu ditarik dengan sedikit menyentak, mengejutkanku. Entah sudah
berapa lama aku tertidur sambil menggenggam tangannya. Lalu kulihat wajahnya yang
berbinar menatapku dengan kerinduan yang seolah terpuaskan. Tangannya gementar
memegangi rambut pendekku. Berusaha ditegakkannya kepalaku agar ia bisa melihat
wajahku lebih jelas. Sepertinya ia ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku ke
arahnya. Kubimbing tangannya membelai wajahku, dan kudekap dia dengan penuh kasih
sayang.

"Oh... Tii...goor! Ooh...! Akhirnya kau pulang juga...!" katanya terbata-bata sambil
mengencangkan pelukannya dan menciumi wajahku. Suaranya terdengar serak, seolah
hanya desis yang dipaksakan bergema di telingaku.

Dan aku balas memeluknya. Air mataku meruah dalam dekapannya.

Padahal aku bukan Tigor, satu-satunya anak lelaki di keluarga kami yang sudah puluhan
tahun tak pernah pulang tanpa kabar, sejak meninggalkan kuliahnya begitu saja. Kabar
angin yang bergaung mengatakan ia kawin dengan seorang gadis Banjar dan tinggal di
Kalimantan sana. Anak yang tak punya rasa rindu itu seperti menguap begitu saja, hilang
tanpa bekas, menghadiahkan nestapa bagi ibu sebagai balas jasanya.

Aku adalah Tiur, boru siampudan yang namanya tak pernah ibu sebut dalam
rindunya....***

Tanah Deli, 02 Februari 2007, 23:09:47/ 02 Juni 2007

Catatan:

Inong : ibu
Pinahan : hewan ternak (khususnya babi)
Anakhonhi do hamoraon di ahu:
anakku itulah harta/kekayaan bagiku
Tabas : mantra
Siakkangan : anak sulung
Mamemei : memberi makanan yang telah terlebih dahulu dihaluskan di dalam mulut
Boru siampudan : putri bungsu

Anda mungkin juga menyukai