Anda di halaman 1dari 15

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abdul Murad, M.

Pd

Disusun Oleh:
1. Devi Tri Anggina Ritonga
2.Nanda Yani Harahap
3. Nuraini

Psikologi Pendidikan Dan Bimbingan


Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Medan
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah


Perkembangan bimbingan dan konseling secara lebih popular berawal
dari sebuah gerakan Vocational Guidance yang dipelopori oleh Frank
Parson sekitar tahun 1908-an. Perkembangan bimbingan dan konseling
sebagai sebuah profesi hingga saat ini di Amerika dan di negara-negara
lain sudah mengarah pada tingkat kemajuan yang pesat dan mendapatkan
apresiasi yang bagus dari masyarakat.
Hal ini dimungkinkan karena  gerakan bimbingan dan konseling yang
berkembang di Amerika beranjak dari sebuah kebutuhan masyarakat
akan informasi dan layanan bimbingan dalam hal penempatan karir/kerja,
sehingga keberadaanya mendapatkan tempat di dalam masyarakat. Saat
ini perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum
bisa berdiri lebih tegak, dan masih melakukan pencarian bentuk kerja
professional. Hal ini dipaparkan oleh Nurhudaya ( 2005 : 503 ) :

Pada saat ini konseling di Indonesia belum sampai pada kondisi yang
mapan, namun harus sudah menyesuaikan diri dengan perubahan global
yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,
kemudahan transportasi, dan ‘hilangnya’ batas-batas struktural yang
mengkotak-kotakan manusia berdasarkan Negara atau wilayah. Orientasi
pendekatan, strategi bantuan, kurikulum bantuan, sampai pada
bagaimana konselor dipersiapkan merupakan sederet isu yang harus
direspon oleh para pengembang teori, peneliti, dan praktisi di bidang
konseling.
Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah cukup lama,
berawal dari kebijakan pemerintah pada tahun 1960-1970 yang
menetapkan bimbingan dan konseling di masukkan ke dalam kegiatan
sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan pendidikannya.
Periode berikutnya, pada tahun 1975 terbentuk sebuah organisasi profesi
yang bernama IPBI ( sekarang berubah menjadi ABKIN ) hasil dari
konvensi nasional bimbingan konseling pertama di Malang

Jika dilihat dari peta perkembangan bimbingan dan konseling baik dari
sisi perkembangan profesi, maupun sebagai kajian keilmuan, sudah
semestinya bimbingan dan konseling di Indonesia sudah mempunyai
bentuk kerja profesional yang jelas. Namun sampai detik ini kejelasan
bentuk kerja profesional baru di dunia pendidikan yaitu sebagai konselor
sekolah, walaupun pada kenyataannya pelaksanaan di lapangan masih
terseok-seok dan bingung, karena ketidak jelasan petunjuk pelaksanaan
dan petunjuk teknis layanan BK di sekolah.

Keluhan-keluhan yang datang dari para guru pembimbing di lapangan


cukup menyedihkan, seperti yang dituturkan Firdaus (www.pikiran-
rakyat.com. 07 April 2006). BK telah berkembang relatif lama dan
diharapkan berkembang ke arah yang lebih profesional. Namun,
kenyataan di lapangan sekarang, BK baru dilirik sebelah mata. Bahkan
pelecehan atau menganggap gampang BK di sekolah masih banyak
terjadi. Beberapa julukan BK yang kurang baik masih tetap menempel
misalnya Guidence and Counseling atau GC diplesetkan menjadi "guru
cicing". Jam BK atau BP yang diberikan kepada siswa diplesetkan
dengan "boleh keluar" atau "boleh pulang". Bahkan tugas guru BK pun
masih menjadi sang pengadil atau polisi sekolah yang harus mencari-cari
kesalahan siswa.

Secara profesional bimbingan dan konseling dapat berdiri sendiri, namun


dalam konteks perkembangannya di Indonesia bimbingan konseling yang
dintegrasikan dalam pendidikan akan terkait dengan sejumlah aturan
pemerintah tentang pendidikan. Sebuah ironi jika bimbingan dan
konseling yang sudah menjadi sebuah profesi masih dipandang sebelah
mata bahkan dianggap kurang penting, hanya karena ketidak jelasan
JUKLAK dan JUKNIS yang ada di lapangan (sekolah).

Dari keresahan-keresahan inilah penulis mencoba untuk mengkaji


permasalahan kebijakan bimbingan dan konseling di Indonesia sehingga
akan terlihat peta perkembangan profesi BK dalam menatap masa depan
yang lebih menantang.

B.        Tujuan Penulisan


Secara garis besar tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mencoba
menganalisis perkembangan bimbingan dan konseling, sehingga dari
hasil analisis ini ada sedikit gambaran atas kebijakan apa yang harus
ditetapkan dalam pengembangan profesi bimbingan dan konseling di
Indonesia.
Lebih khusus lagi tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1.        Mengenali sejarah perkembangan BK di Indonesia
2.        Mengetahui potret perkembangan BK saat ini di Indonesia
3.        Menganalisis kelebihan dan kekurangan dalam praktek pelaksanaan
BK di Lapanga

BAB II
PEMBAHASAN

1. Perkembangan Profesi BK
Perkembangan bimbingan dan konseling secara lebih popular berawal
dari sebuah gerakan Vocational Guidance yang dipelopori oleh Frank
Parson sekitar tahun 1908-an. Perkembangan bimbingan dan konseling
sebagai sebuah profesi hingga saat ini di Amerika dan di negara-negara
lain sudah mengarah pada tingkat kemajuan yang pesat dan mendapatkan
apresiasi yang bagus dari masyarakat.
Hal ini dimungkinkan karena  gerakan bimbingan dan konseling yang
berkembang di Amerika beranjak dari sebuah kebutuhan masyarakat
akan informasi dan layanan bimbingan dalam hal penempatan karir/kerja,
sehingga keberadaanya mendapatkan tempat di dalam masyarakat. Saat
ini perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum
bisa berdiri lebih tegak, dan masih melakukan pencarian bentuk kerja
professional. Hal ini dipaparkan oleh Nurhudaya ( 2005 : 503 ) :
Pada saat ini konseling di Indonesia belum sampai pada kondisi yang
mapan, namun harus sudah menyesuaikan diri dengan perubahan global
yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,
kemudahan transportasi, dan ‘hilangnya’ batas-batas struktural yang
mengkotak-kotakan manusia berdasarkan Negara atau wilayah. Orientasi
pendekatan, strategi bantuan, kurikulum bantuan, sampai pada
bagaimana konselor dipersiapkan merupakan sederet isu yang harus
direspon oleh para pengembang teori, peneliti, dan praktisi di bidang
konseling.
Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah cukup lama,
berawal dari kebijakan pemerintah pada tahun 1960-1970 yang
menetapkan bimbingan dan konseling di masukkan ke dalam kegiatan
sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan pendidikannya.
Periode berikutnya, pada tahun 1975 terbentuk sebuah organisasi profesi
yang bernama IPBI (sekarang berubah menjadi ABKIN) hasil dari
konvensi nasional bimbingan konseling pertama di Malang

Jika dilihat dari peta perkembangan bimbingan dan konseling baik dari
sisi perkembangan profesi, maupun sebagai kajian keilmuan, sudah
semestinya bimbingan dan konseling di Indonesia sudah mempunyai
bentuk kerja profesional yang jelas. Namun sampai detik ini kejelasan
bentuk kerja profesional baru di dunia pendidikan yaitu sebagai konselor
sekolah, walaupun pada kenyataannya pelaksanaan di lapangan masih
terseok-seok dan bingung, karena ketidak jelasan petunjuk pelaksanaan
dan petunjuk teknis layanan BK di sekolah.

Keluhan-keluhan yang datang dari para guru pembimbing di lapangan


cukup menyedihkan, seperti yang dituturkan Firdaus (www.pikiran-
rakyat.com. 07 April 2006). BK telah berkembang relatif lama dan
diharapkan berkembang ke arah yang lebih profesional. Namun,
kenyataan di lapangan sekarang, BK baru dilirik sebelah mata. Bahkan
pelecehan atau menganggap gampang BK di sekolah masih banyak
terjadi. Beberapa julukan BK yang kurang baik masih tetap menempel
misalnya Guidence and Counseling atau GC diplesetkan menjadi "guru
cicing". Jam BK atau BP yang diberikan kepada siswa diplesetkan
dengan "boleh keluar" atau "boleh pulang". Bahkan tugas guru BK pun
masih menjadi sang pengadil atau polisi sekolah yang harus mencari-cari
kesalahan siswa.

Secara profesional bimbingan dan konseling dapat berdiri sendiri, namun


dalam konteks perkembangannya di Indonesia bimbingan konseling yang
dintegrasikan dalam pendidikan akan terkait dengan sejumlah aturan
pemerintah tentang pendidikan. Sebuah ironi jika bimbingan dan
konseling yang sudah menjadi sebuah profesi masih dipandang sebelah
mata bahkan dianggap kurang penting, hanya karena ketidak jelasan
JUKLAK dan JUKNIS yang ada di lapangan (sekolah).
Dari keresahan-keresahan inilah penulis mencoba untuk mengkaji
permasalahan kebijakan bimbingan dan konseling di Indonesia sehingga
akan terlihat peta perkembangan profesi BK dalam menatap masa depan
yang lebih menantang.

2. Potret Perkembangan Bimbingan dan Konseling


di Indonesia
Bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum mendapatkan
apresiasi yang bagus, kenyataan di lapangan (sekolah) para guru
pembimbing banyak mendapatkan sorotan, kritikan, bahkan tidak sedikit
cemooahan. Para guru pembimbing di daerah jawa barat yang nota bene
banyak orang sunda-nya, mendapat julukan GC yang semestinya
diterjemahkan sebagai Guidance and counselling, diselewengkan
menjadi Guru cicing.

Eksisistensi bimbingan dan konseling di Indonesia di mulai pada tahun


1960-1970 Bimbingan dan Penyuluhan pendidikan di masukkan ke
dalam kegiatan sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan
pendidikannya. Perkembangan setelah itu dapat diikuti dalam beberapa
kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan dan undang-undang yang
mengatur pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti
dipaparkan oleh Firdaus (2006: www.pikiran-rakyat.com).

Tahun 1975, BK secara formal diprogramkan di sekolah karena pada


kurikulum 1975 dinyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan
merupakan bagian integral dalam pendidikan. Pada tahun 1984,
menyempurnakan kurikulum 1975, memasukkan bimbingan karier pada
program BK. Pada tahun 1989, dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 1, disebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang.

Pada tahun 2003, eksistensi BK semakin baik dan mulai diperhatikan.


UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6
menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan.
Isu profesionalisasi hampir mengenai semua jenis profesi, setiap profesi
dituntut meningkatkan mutu layanan, kinerja dan kualitas tenaga
profesinya. Profesionalitas sebuah profesi dapat dilihat dari sertifikasi,
akreditasi, sistem pendidikan dan latihan profesi, dan lembaga/organisasi
profesi yang menjadi identitas sebuah profesi, faktor-faktor tersebut yang
nantinya akan menumbuhkan kepercayaan publik pada  sebuah profesi
termasuk profesi bimbingan dan konseling.

Terhitung sampai tahun 2003,  baru sekitar 10 persen konselor yang


memperoleh sertifikat resmi dari Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia (ABKIN). Artinya, hanya 183 orang itu yang berhak
menyelenggarakan bimbingan konseling dan pelatihan bagi masyarakat
umum secara resmi (Kartadinata, 2003 ; www.KCM.com).

Secara hukum bagi para konselor sekolah tidak memerlukan sertifikasi


dari ABKIN, dengan mengantongi gelar kesarjaan S-1 pada program
pendidikan bimbingan dan konseling, memberikan asas legal bagi para
konselor sekolah untuk memberikan layanan bimbingan konseling di
sekolah. Namun di lapangan sekarang ini masih banyak ditemui sejumlah
sekolah yang tidak memiliki konselor sekolah yang mempunyai
pendidikan bimbingan dan konseling. Disinilah perlunya para konselor
memahami aspek politik yang mengatur kebijakan profesi, ABKIN
seharusnya bekerjasama dengan pemerintah untuk melindungi profesi
bimbingan dan konseling, dalam hal menyeleksi para calon konselor
sekolah.
Proses untuk menjadi besar, terpercaya, profesional,  profesi bimbingan
dan konseling perlu mendapat dukungan dari seluruh praktisi yang
terlibat di dalamnya dalam meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
dan keguruan yang menghasilkan tenaga konselor yang berkualitas yang
sesuai dengan satndarisasi ABKIN, sehingga pandangan yang
mendiskriditkan profesi bimbingan dan konseling dapat dikikis, dan
profesi bimbingan dan konseling mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat.

3. Arah Pengembangan Kebijakan BK Sebagai


Sebuah Profesi
Bimbingan dan konseling bisa dikatakan berdiri sebagai sebuah profesi
semenjak terbentuknya IPBI ( Ikatanan Petugas Bimbingan Indonesia)
pada konverensi pertama di Malang tahun 1975 ). Peningkatan mutu dan
profesionalisasi para konselor yang berada dibawah naungan IPBI yang
sekarang berubah menjadi ABKIN dilakukan dengan menetapkan standar
kompetensi konselor, secara internal ABKIN telah menetapkan standar
kompetensi ini bagi seluruh konselor dan calon konselor. Namun standar
ini belum bisa diaplikasikan secara menyeluruh, karena peraturan
pemerintah yang menjadi payung hukum belum dikelurakan dengan
beberapa alasan.

Standar kompetensi yang dirumukan oleh ABKIN  terdiri dari 7


kompetensi utama yang diterjemahkan lagi ke dalam 27 sub kompetensi
untuk memperjelas komptensi utama serta membantu mempermudah
pencapaian komptensi tersebut. Adapun kompetensi-komptensi tersebut
adalah :
1.         Penguasaan konsep dan praksis pendidikan
2.         Kesadaran dan komitmen etika profesional
3.         Penguasaan konsep perilaku dan perkembangan individu
4.         Penguasaan konsep dan praksis asesmen.
5.         Penguasaan konsep dan praksis bimbingan dan konseling.
6.         Pengelolaan program bimbingan dan konseling
7.         Penguasaan konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan
konseling. (ABKIN, 2005: 12).

Profesionalisasi BK juga harus memperhatikan kualitas lembaga


pendidikan yang menghasilkan konselor yang profesional. Muatan
kurikulum dalam lembaga pendidikan para calon konselor, harus
mengintegrasikan standar kompetensi konselor, sehingga dalam proses
pembinaan konselor profesional dilakukan secara berkesinambungan dan
tersistematis dalam kurikulum yang diberlakukan.

ABKIN sebagai institusi yang mempunyai kewenangan untuk


mengeluarkan kebijakan yang berlaku bagi seluruh konselor, harus
mampu menggandeng lembaga-lembaga pendidikan bimbingan dan
konseling, kerjasama yang dilakukan adalah dalam memantau dan
menjaga kualitas para konselor dengan proses setifikasi yang dilakukan
oleh lembaga pendidikan.

Saat ini program pendidikan yang ada terdiri jenjang S-1, S-2, S-3,
sedangkan untuk pendidikan profesi memiliki jenjang tersendiri, namun
program ini diperuntukan bagi lulusan S-1 bimbingan dan konseling.
Kebijakan dalam pengelolaan pendidikan profesi pun masih belum begitu
jelas dan terstandar, sejauh ini program pendidikan profesi baru
diselenggarakan oleh Prodi BK Universitas Negeri Padang, dan Program
BK Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indoensia. ABKIN seharusnya
bisa lebih tegas dalam hal ini, karena ada satu hal yang penting bagi
sebuah profesi yaitu mendapatkan kepercayaan masyarakat (Public
Trust). Bigs& Blocher  ( 1986, Suherman, 2003:84 ) memaparkan tiga
komponen yang harus dimiliki oleh sebuah profesi, yaitu : 1). Memiliki
kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan
khusus, 2). Ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional
dan melindungi kesejahteraan publik, 3). Para anggota profesi akan
bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh pada standar
profesi.

Poin kedua menunjukan pada kita bahwa sebuah profesi harus memiliki
keketatan aturan karena hal tersebut berhubungan dengan perlindungan
kesejahteraan. Kepercayaan publik yang diinginkan oleh setiap profesi
ditinjau dari kejelasan regulasi yang terkait dengan program pendidikan,
stnadar kompetensi profesional, dan regulasi yang mengatur perilaku
profesional konselor (kode etik).

Hal ini harus di awali dengan kejelasan program pendidikan konselor dan
program pendidikan profesi konselor yang terstandar secara nasioanal
oleh ABKIN, sehingga tidak ada lagi blok dalam pengembangan profesi
ini baik dalam pengembangan keilmuan atau dalam praktik layanan.
Kebutuhan akan program layanan bimbingan dan konseling saat ini
bukan hanya datang dari dunia pendidikan saja, namun bidang-bidang
lain seperti dunia usaha dan industri, kemasyarakatan dan lembaga
pernikahan, pelayanan sosial, dan bidang-bidang lain yang yang memiliki
objek utama individu pun menjadi lahan garapan profesi bimbingan dan
konseling.

Oleh karena itu kebijakan dari ABKIN dalam mengembangkan profesi


bimbingan dan konseling harus bisa membaca ke arah sana, di mana
kebijakan ini diberlakukan kepada lembaga pendidikan yang mendidik
para calon konselor, dan program pendidikan pasca sarjana dan
pendidikan profesi, sehingga kebutuhan dari masyarakat atas
keberagaman kebutuhan dari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat
dapat dilayani oleh para konselor yang kompeten dibidangnya masing-
masing.

BAB III
KESIMPULAN

Pengenmbangan bimbingan dan konseling sebagai sebuah profesi bukan


hanya kewajiban dari ABKIN saja sebagai organisasi profesi, namun
menjadi kewajiban bagi seluruh bagian yang terkait seperti ; lembaga
pendidikan tenaga kependidikan, pakar/ilmuan bimbingan dan konseling,
mahasiswa BK, dan para praktisi BK di lapangan baik di dunia
pendidikan atau non pendidikan, sehingga ketika semua kekuatan saling
bersinergi akan menghasilkan sebuah dinamika yang bagus.

ABKIN sebagai organiasasi profesi yang memiliki kewenangan untuk


menetapkan kebijakan dalam mengembangakan organisai profesi BK
harus bisa membaca realitas dan kebutuhan dari dalam dan luar
organisasi, sehingga lebijakan yang dikeluarkan benar-benar menjadi
sarana pengambangan profesi BK dan menjaga kepercayaan publik atas
profesi ini.

Hal-hal yang berpengaruh dalam menetapkan kebijkan juga harus


diperhatikan. Hubungan dengan para stakeholder  dan pemerintah juga
mesti terus dijaga untuk tetap mempertahankan aspek legal dari
organisasi profesi ini.
DAFTAR PUSTAKA

ABKIN, 2005. Standar Kompetensi Konselor Indoneisa. Bandung : Asosiasi


Bimbingan dan Konseling Indonesia
Firdaus, Uus. 2006. Eksistensi BK. Tersedia di : www.pikiranrakyat.com

Kartadinata, Sunaryo. 2005. Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling


Profesional; HIstorik-Futuristik. (dalam : Pendidikan dan Konseling di
Era Global dalam Perspejtif Prof.Dr.M.Djawad Dahlan). Bandung :
Rzki Press

NN. 2003. Baru 10 Persen Konselor yang bersertifikat.  Tersedia di :


www.kompascybermedia.com

Nurhudaya. 2005. Pelayanan Konseling di Era Global (dalam :


Pendidikan dan Konseling di Era Global dalam Perspejtif
Prof.Dr.M.Djawad Dahlan). Bandung : Rzki Press

Prayitno. (2003). Pemantapan Profesionalisasi Profesi Konseling.


Makalah pada Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling,
Bandung

Suherman, Uman. 2003. Kompetensi Dan Aspek Etik Profesional


Konselor Masa Depan. (Kumpulan Makalah Konvensi ABKIN XIII)

Anda mungkin juga menyukai