Basa-Basi (Dodiek Adyttya Dwiwanto)
Basa-Basi (Dodiek Adyttya Dwiwanto)
Basa-basi
Cerpen: Dodiek Adyttya Dwiwanto
"Adrian, kan?" tanya seorang lelaki paruh baya seraya menyodorkan tangannya mengajak
bersalaman.
"Iya," jawabku rada gagap. Aku bertanya-tanya dalam hati siapa nih Om-Om!
"Eeeh?"
"Saya Om Supardi. Tetangga, persis di depan rumah kamu. Dulu 'kan kita bertetangga 15
tahun yang lalu. Lupa ya?" tanyanya lagi sembari mengingatkan memori otakku yang rada
lamban untuk mengenali wajah dan nama seseorang.
"Eh, nggak Om. Cuma kaget aja. Sudah lama tidak ketemu jadinya pangling," jawabku
mengelak persis bajaj yang suka salip sana sini.
"Papa sakit, Om. Mama sedang menemani papa. Jadinya ya saya yang mewakili papa dan
mama ke mantenan Tommy dan Tita ini."
"Oh, begitu."
"Sudah lulus, Om. Enam tahun yang lalu dari Teknik Industri ITB."
"Namanya cari uang, Om. Apa saja dikerjakan," ucapku sambil mutung. Mau tahu saja nih
urusan orang!
"Lho, kenapa? Kan sudah bekerja, tunggu apalagi? Kasihan papa sama mama kamu lho?
Nggak pengen nyusul Tommy dan Tita?"
"Iya, Om."
Aku segera melangkah menuju pelaminan untuk menyalami Tommy dan Tita. Sahabat
sekaligus tetangga yang tengah berbahagia hari ini. Seharusnya papa dan mama juga hadir
dalam resepsi ini tapi sayangnya mereka berhalangan, jadilah aku ketiban apes untuk
datang ke tempat ini sendirian.
Saat bersalaman dengan orangtua dari kedua mempelai, yang kebetulan aku telah mengenal
sejak lama, pertanyaannya sama. Kok, kompak begitu sih? Sudah janjian ya? Kapan
menyusul Tommy dan Tita? Halah, memangnya ini balapan? Harus saling menyusul? Ini
'kan masalah rezeki dari Tuhan. Kalau aku belum dijodohkan dengan perempuan cantik dan
seksi, ya aku anggap Tuhan Yang Maha Kuasa belum memberikan restu. He-he-he.
Tadi sebelum bersalaman dengan mempelai dan kedua orangtua, aku baru saja bertemu
dengan Om Supardi, tetangga lama yang kini menetap di Bogor. Bete kalau bertemu
dengan tetangga atau sahabat lama yang sudah belasan tahun tidak bertemu, pasti
pertanyaan seputar itu-itu saja. Pasti dibuka dengan kuliah di mana? Walah, sudah setua ini
masih dianggap kuliah? Aku sudah lulus lebih dari enam tahun lalu. Masa sih mereka tidak
menyadarinya kalau aku juga sesuai mereka atau anak-anak mereka. Kalau ditanya kapan
kuliah S-2 atau S-3 ya tidak apa-apa. Masak usianya hampir menjelang kepala tiga masih
harus S-1? Itu sih bukan mahasiswa abadi atau bodoh, mungkin lebih tepat dibilang idiot!
Kalau pertanyaan kuliah di mana sudah terjawab, pasti pertanyaan selanjutnya adalah kerja
di mana? Kalau jujur dengan mengatakan pengangguran, pasti ditanya lagi kenapa kok
sarjana menganggur? Kalau dijawab bekerja secara freelance dianggap tidak laku bekerja
kantoran. Seandainya menjawab bekerja di kantor ini atau itu, pasti ditanya lagi, jadi apa?
Kalau hanya staf, pasti dicecar lagi, kapan jadi manajer atau minimal asisten manajer?
Halah, cape deh!
Pertanyaan pekerjaan adalah batu loncatan sebelum bertanya sudah menikah belum?
Seandainya jujur mengatakan lagi jomblo, pasti dibilang ganteng-ganteng kok jomblo?
Terlalu pemilih ya? Kelewat sibuk bekerja ya? Serba salah! Apalagi kalau dijawab sudah
punya pacar pasti langsung skak mat, ditanya kapan menikahnya? Tidak kasihan dengan
papa mama yang mungkin ingin menimang cucu? Teganya, kalau anak orang dipacari
tanpa pernah sekalipun diajak menikah? Walah, kayaknya nggak pertanyaan lain apa ya?
Kalau sudah menikah, pasti pertanyaannya berlanjut dengan kapan punya momongan?
Kalau belum punya, disudutkan dengan pertanyaan, jangan suka menunda! Kalau sudah
punya satu anak, lagi-lagi masih ada pertanyaan lain, kapan si kecil dikasih adik? Masak
hanya punya satu anak sih? Nggak kasihan melihat si kecil jadi anak tunggal? Nanti si kecil
jadi manja lho! Aduh, kenapa harus selalu dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti itu?
Usai bersalaman, aku mengarahkan pandangan ke sekeliling. Mau makan apa ya? Makan
salad saja deh sebagai pembuka. Nggak nyambung, nggak apa-apa. Aku segera menuju ke
tempat di mana salad tersaji. Aku mengambil secukupnya dan berdiri di tempat yang tidak
mengganggu orang. Saat asyik menikmati salad, mendadak bahuku ditonyor seseorang.
"Hai, Adrian. Asyik bener makannya?" tanya pasangan Citra dan Farrell berbarengan.
"Hai, Citra! Halo juga Farrel! Apa kabar?"
"Iya."
Gedubrak! Pasti pertanyaan itu akan selalu muncul. Please deh, ada nggak sih pertanyaan
yang lain?
"Nggak punya istri, tapi pacar seharusnya dibawa dong!" sindir Citra dengan halus.
"Aduh, bapak Adrian yang superganteng kok masih jomblo sih?" cibir Farrell.
Tuh, kan pertanyaannya pasti muncul. Semua pertanyaan tadi pasti terlontar, entah mana
yang muncul pertama kali atau terakhir kali sudah tidak bisa dipungkiri pasti ada kan? Mati
gue!
"Lho, kamu kan dulu di Teknik Industri ITB. Kok, nggak nyambung gitu sih?" tanya Citra
keheranan.
"Sudah pasti model-model untuk majalah. Rubrik fashion. Sesekali ada sesi pemotretan
untuk lingerie dan bikini. Bapak Farrell mau ikut lihat model-model top hanya memakai g-
string? Kadang ada yang topless lho!" balasku sambil melirik ke arah Citra.
"Adrian, jangan coba-coba ya menjerumuskan suamiku ya," ujar Citra sambil cemberut.
Usai berbincang dengan Citra dan Farrell, aku menjelajah ruangan yang dipakai resepsi ini,
mencicipi hidangan yang tersedia. Aha, ada lontong cap go meh kesukaanku.
"Adrian, apa kabar? Masih ingat sama Om Hadi?" tanya seorang bapak seraya
menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Masih Om. Kayaknya Om Hadi tambah keren nih," jawabku sambil berbasa-basi.
"Papa dan mama kamu mana?"
"Papa sakit Om. Mama sedang menemani papa. Jadi saya mewakili mereka."
Mati gue!
Gedubrak!
"Waduh, enak dong, bisa ketemu perempuan-perempuan cantik. Wah, pasti istri kamu foto
model dong?"
Halah!
Kalau aku sudah punya istri, sudah pasti orang akan tahu! Masak sih kalau aku menggelar
pesta pernikahan, orang-orang tidak akan diundang. Semua teman, sahabat, kolega,
tetangga sudah pasti akan mendapatkan undangan. Setidaknya dengan selembar undangan
itu, mereka tahu dengan statusku yang tidak lagi sendirian alias sudah beristri! Wah,
banyak orang yang tidak paham. Dasar orang Indonesia!
"Adrian, Adrian, kamu memang dari dulu suka bercanda! Nanti kalau ada fotomodel cantik
kasih tahu Om ya? Siapa tahu mau jadi istri muda Om!" canda Om Hadi seraya terkekeh
dan meninggalkan aku.
Tidak punya pacar dibilang bercanda? Dasar playboy tua ajaib! Aku jujur dengan
mengatakan tidak punya pacar eh dibilang bercanda. Terserah deh mau ngomong apa
tentang aku, yang penting aku selamat juga dari sederetan pertanyaan basa-basi itu.
Aku jadi malas bertemu orang yang aku kenal di ruangan ini, pasti mereka akan bertanya
yang itu-itu saja kepadaku. Bete banget sih hari ini.
Aku melangkah menuju tempat es krim. Di sana lebih banyak anak kecil ketimbang orang
dewasa yang mungkin mengenalku.
Menikmati es krim seorang diri sambil sedikit melamun, aku dikejutkan seseorang dari
masa silamku.
Busyet! Aku mengenal suara itu. Jangankan suaranya, semuanya aku mengetahuinya,
sifatnya, perilakunya, dan semuanya!
"Baik-baik aja."
Aku berpikir sejenak, hmm lumayan deh. Sudah lebih dari empat tahun, hubungan
percintaan kami balik kanan bubar jalan. Arini tidak terima dengan pekerjaanku yang harus
bertemu dan memotret perempuan-perempuan cantik yang kadang dipotret tanpa
mengenakan selembar kain untuk menutup aurat.
Aku berpikir mau tanya apa ya sama Arini. Sudah sekian lama aku tidak bertemu
dengannya. Rutinitas pekerjaan membuat aku seringkali lupa dengan sosialisasi. Sekarang
aku bertemu lagi dengan Arini, karena ia adalah sahabat lama dari Tommy, sedangkan aku
pernah bertetangga dengan Tita.
"Kerja di mana sekarang?" tanyaku dengan bodohnya. Aku tidak suka ditanya orang, anda
kerja di mana. Eh, sekarang aku malah melontarkan pertanyaan itu. Goblok!
"Masih di tempat yang dulu," jawab Arini dengan raut wajah penuh tanya. Mungkin ia
senewen karena aku mengajukan pertanyaan yang superbasi! Atau bisa jadi ia bete karena
aku tidak perhatian lagi dengannya. Masa sekadar cari tahu apa aktivitas dan
kesehariannya, aku tidak bisa, mungkin itu yang ada dalam benak Arini.
Aku bingung mau bicara apa ya? Bertanya di mana ia bekerja, sudah dijawab? Tanya apa
lagi ya? Apakah ia sudah punya pacar lagi? Atau ia sudah bersuami atau mungkin malah
sudah memiliki anak? Aduh, kenapa pertanyaan itu? Aku tidak suka dengan pertanyaan itu,
terus kenapa aku harus melontarkan pertanyaan yang sama?
Tidak kreatif sekali aku ini, batinku sambil mengutuk kebodohan diriku.
Aku masih memakan es krim sambil terus memikirkan pertanyaan apa yang harus aku
tanyakan kepada Arini. Ya, sekadar basa-basi deh. Kok, jadi buah simalakama sih?
"Kamu...?"
"Kamu mau tanya apa? Aku sudah menikah atau belum? Aku akan menjawab belum.
Karena itu aku sudah pasti belum punya anak! Kamu mau tanya apalagi? Kalau aku sudah
punya pacar atau belum? Sampai detik ini, aku belum menemukan pengganti kamu. Terus
mau tanya yang mana lagi? Sejak dulu sampai sekarang, aku tetap bekerja di tempat yang
sama. Aku cinta kantor. Kalau kamu mau tahu lagi, aku sekarang sudah jadi manajer senior
di sana. Mungkin itu yang akan kamu tanyakan, aku sudah menjadi apa dan siapa di kantor.
Ada lagi? Hmm, mungkin beberapa bulan lagi aku akan kuliah S-2 di UI. Siapa tahu kamu
akan bertanya, aku akan lebih dulu menjawabnya!"
"Kamu tuh nggak kreatif ya? Basa-basi banget! Kamu nggak suka kalau ketemu orang
selalu ditanya, kapan selesai kuliah? Kerja di mana? Pacarnya siapa? Kapan kawinnya?
Berapa anaknya? Kamu nggak suka kan? Kalau memang iya terus kenapa kamu mulai
melontarkan pertanyaan seperti itu kepadaku. Aduh, Adrian yang ganteng, kamu kenapa
sih?"
Skak mat!***
Perumahan Malaka Asri 2, Jakarta Timur, 6 Januari 2007 - Tebet, Jakarta Selatan, 2
Februari 2007