Anda di halaman 1dari 7

2.

SIFAT DASAR OBAT ANTI- INFLAMASI NON-STEROID


MEKANISME KERJA
Mekanaisme kerja berhubungan dengan sistem bosintesis PG mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh vane
dkk yang memperlihatkan secaraa invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat
produksi enzimatik PG.penelitian lanjutan telah membuktikan bahwa produksi PG akan menigkat bila mana
sel mengalami kerusakan.walaupun invitro obat AINS di ketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi
lainnya hubungannya dengan efek aalganesik ,antipiretik dan antiinflamasinya belum jelas selain itu AINS
secara umum tidak menghaambat biosintesis bioketrin malah bebberapa orang sintesis meningkat dan di
kaitkan dengaan reaksi hiversensivitas yang bukan berdasarkan pembentukan antibodi. Golongan obat ini
menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG 2.terganggu setiap
obat menghambat sikloginase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda .
Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 iso- form disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut
dikode oleh gen yang berbeda dan bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam berbagai
pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di jaringan ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di
mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostat siklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2
ini diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor growth (growth factor).
Tromboksan A ,2 yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi
dan proliferasi otot polos. Sebalik- nya prostasiklin (PGI,) yang disintesis oleh COX-2 di endotel
makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan
efek anti-proliferatif. Aspirin 166 kali lebih kuat menghambat COX- 1 perusahaan COX-2. Penghambat
COX-2 yang dikem- bangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan inflamasi dan nyeri yang
kurang menyebabkan toksisitas saluran cema dan perdarahanx Anti inflamasi nonsteroid yang tidak selektif
dinamakan AINS tradisional (AINSI) Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila
lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung
banyak peroksid yang di- hasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi parasetamol
praktis tidak ada. Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX- 3 suatu varian dari COX-1. COX-3 ini
hanya ada di otak. Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin 530 dari COX-1.
Trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena trombosit tidak mampu mensintesis enzim baru.
Dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia
selama masa hidup trombosit, yaitu 8-11 hari. Ini berarti bahwa pesanan pesanan trombosit kira-kira 10%
sehari. Untuk fungsi pembekuan darah 20% aktivitas siklooksigenase mencukupi sehingga pembekuan
darah tetap dapat berlangsung.
INFLAMASI. Fenomena inflamasi pada tingkat bioselular semakin jelas. Respons terjadi dalam 3 fase dan
diperantarai yang berbeda: (1) fase akut, dengan ciri vasodilo lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler,
(2) reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit, dan (3) fase proliferatif kronik,
pada mana degenerasi dan fibrosis terjadi. Kalau pada masa lalu dalam proses inflamasi ditekankan promosi
migrasi sel, akhir-akhir ini fokus tertuju pada interaksi mediator-mediator yang adhesif antara leukosit dan
trombosit, termasuk selektin-L, -E, -P, ICAM-1 (intercellular adhesiive molecule-1), VCAM-1 (vascular cell
adhesion molecule-1), dan leukosit integrin dalam proses adhesi leukosit dan trombosit dengan endotelium
di area inflamasi. Sel endotel teraktivasi merupakan kunci tertariknya sel dari sirkulasi ke tempat infla- masi.
Adhesi sel terjadi karena peningkatan eks- presi sel yang telah teraktivasi oleh molekul adhesi, mengenali
glikoprotein dan karbohidrat permukaan sel di sirkulasi. Ada dugaan bahwa beberapa t-AINS mengganggu
adesi dengan menghambat ekspresi atau aktivitas molekul adesi-sel tertentu. Fenomena inflamasi ini
meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler DEM. dan migrasi leukosit ke
jaringan radang. Gejala pro- ses inflamasi yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor dan functio
laesa. Selama berlangsung. fenomena inflamasi banyak mediator kimiaw yang dapat dilepaskan secara lokal
antara histamin lain 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leuketein dan PG . saya
lebihan di atan biosintesis pirogen enc va rendah kadar (IL-1) yang factor) juga merupakan mediator
inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim
pemecah .Obat mirip-aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator kimiawi kecuali PG.
Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E, (PGE 2) dan prostasikilin (PGI 2) dalam jummlah nano
gram ,menimbulkan eritema ,vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal Histamin dan bradikinin dapat
meningkatkan permeabilitas vaskular tetapi efek vasodilatasi nya tidak besar dengan penambahan sedikit
PG ,efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang
merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG itu sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk
lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4, merupakan zat kemotaktik yang sangat poten. Obat mirip-
aspirin tidak menghambat sistem lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien sehingga golongan obat ini
tidak menekan sel. Walaupun demikian pada dosis tinggi terlihat juga penghambatanyang terjadi tanpa
mempengaruhi enzim. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrin diharapkan akan lebih
poten menekan proses inflamasi .
NYERI, PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringam atau inflamasi penelitian
telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitasi reseptor nyeri terhadap stimuluasi mekanik dan
kimiawi jadi PG menimbulkam keadaan hiperalgesia ,kemudian mediator kimiawi ssperti bradikinin, dan
histamin merangsang dan menimbulkan nyeri yang nyata .
Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesoa atau nueri yang di timbulkan oleh efel langsung PG .ini
menunjukkan bahwa sintesis PG di hambat dengan golongan obat ini dan bukannya blokade langsung pada
reseptor PG
DEMAM
Suhi badan di atur oleh keseimbangan antara produksi dan hilanhnua panas .alat pengatur suhi tubuj berada
di hipotalamus .pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat di kembalikan ke normal
oleh obat aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali penglepasan
pirogen endogen atau sitokin misalnya interleukin-1 muskulos artritis da lebihan di daerah preoptik
hipotalamus. Selain gejala ny (IL-1) yang memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik
hipotalamus.selain itu PG2,menimbulkan demam setelah di infuskan ke ventrikel serebral di suntikan ke
daerah hipotalamus ,obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis
PG .Demam yang timbul akibat pemberian Pg tidak di pengaruhi,demikian pula dengan penigkatan suhu sel
oleh sebab lain misalnya latihan fisik.
EFEK ANTI-INFLAMASI.
Kebanyakan obat mirip- aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan sebagai anti-inflamasi pada
pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti artritis reumatoid, osteo- artritis dan spondilitis ankilosa.
Tetapi harus diingat bahwa obat mirip-aspirin ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang
berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah
kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal ini

EFEK FARMAKODINAMIK
Semua obat mirip-aspirin bersifat antipiretik,analgesik, dan anti-inflamasi ada perbedaan aktivitas di antara
obat-obat tersebut, misalnya: parase- (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti-
inflamasinya lemah sekali.
EFEK ANALGESIK.
Sebagai analgesik, obat mirip- aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang
misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga efektif terhadap
nyeri yang ber- ten dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat.
Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip-aspirin tidak me- nimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek
samping sentral yang merugikan. Obat mirip-aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri,
tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyer akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi dengan obat mirip-
aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pascabedah dapat diatasi oleh obat mirip-aspirin. EFEK ANTIPIRETIK.
Sebagai antipiretik, obat mirip- aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam.
Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semua- nya berguna sebagai
antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis
bahwa COX yang ada di sentral otak terutama COX-3 di mana hanya paracetamol dan beberapa obat AINS
lainnya dapat menghambat .Fenibutazon dan antireumatik lainnya tidak di benarkan di gunakan sebagai
antipiretik atas alasan tersebut
EFEK ANTI-INFLAMASI. Kebanyakan obat mirip- aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan
sebagai anti-inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti artritis reumatoid, osteo- artritis
dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip-aspirin ini hanya menngankan gejala nyeri
dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan kan, memperbaiki
atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal ini.
EFEK SAMPING
Selain menimbulkan efek terapi yang sama AINS juga memiliki efek samping serupa, karena didasaei oleh
hambatan pada sistem biosintesis PG. Selain itu kebanyakan obat bersifat asam sehingga lebih banyak
terkumpul dalam sel yang bersifat asam misalnya di lambung, ginjal dan jaringan inflamasi. Jelas bahwa
efek obat maupun efek sampingnya akan lebih nyata di tempat dengan kadar yang lebih tinggi. Secara
umum AINS berpotensi menyebabkan efek samping pada 3 sistem organ yaitu saluran cerna, ginjal dan hati.
Klinis sering lupa bahwa AINS dapat menyebabkan kerusakan hati. Efek samping terutama meningkat pada
pasien usia lanjut. Kelompok ini paling sering membutuhkan AINS dan umumnya membutuhkan banyak
obat- obatan karena menderita berbagai penyakit. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi
tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran
cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi
lambung ialah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam menyebabkan
kerusakan jaringan; dan (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan
biosintesis PGE,2 dan PGI Kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa nbung ke mukosa dan lambung
dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat
sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral. Uji klinik dengan penghambat COX-2
menyimpulkan bahwa gangguan saluran cerna lebih ringan dari- pada penggunaan COX-1. Di antara
penghambat COX yang selektif pun insidens gangguan cerna. berbeda. Maproksen, ibuprofen dan
diklofenak termasuk AINS yang kurang menimbulkan gangguan lambung daripada piroksikam dan
indometasim pada dosis terapi Efek samping lain ialah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan
biosintesis trom- boksan A, (TXA,) dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini telah
dimanfaatkan untuk terapi profilaksis tromboemboli Penghambatan biosintesis PG di ginjal, ter- utama
PGE,, berperan dalam gangguan homeo- stasis ginjal yang ditimbulkan oleh obat mirip- aspirin ini. Pada
orang normal gangguan ini tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal. Tetapi pada pasien hipovolemia,
sirosis hepatis yang disertai asites dan pasien gagal jantung, aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi
glomeruli akan berkurang, bahkan dapat terjadi gagal ginjal akut. Penggunaan berlebihan AINS secara
habitual bertahun-tahun dihubungkan dengan terjadinya nefropati analgesik. Nefropati analgesik dengan ciri
netritis interstisial kronik dan nekrosis papilar ginjal/kalsifikasi dapat didiagonsis pada tiap tahap dengan CT
scan tanpa media kontras. Efek penggunaan analgesik habitual terhadap bentuk gangguan ginjal lain belum
jelas. Penggunaan AIINS secara habitual perlu peringatan akan kemungkinan terjadinya gangguan ginjal.
Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap aspirin dan obat mirip aspirin. Reaksi ini
umumnya berupa rinitis vasomotor, edema angioneurotik, urtikaria luas, asma bronkial, hipotensi sampai
keadaan presyok dan syok. Di antara reaksi hipersensitif silang. Merurut hipotesis ter- akhir, mekanisme
reaksi ini bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam arakidonat ke arah
jalur lipoksigenase yang menghasilkan loukotrien. Kolebihan produksi leuko- trien inilah yang mendasari
terjadinya gejala tersebut.
PEMBAHASAN OBAT
SALSILAT
Asam asetil salsilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan anti
inflamasi yang sangat luas di gunakan dan di golongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip obat ini
merupakan standart dalam menilai obat efek sejenis.
KIMIA. Struktur kimia golongan salisilat ini dapat dilihat pada Gambar 14-3. Asam salisilat sangat iritatif,
sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya yang dapat dipakai secara sistmik, adalah ester
salisilat dari asam organik dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal,
FARMAKODINAMIK. Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan
sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai
antipiretik. Dosis toksik obat ini justru mempelihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi
demam dan hiperhidrosis.
KIMIA. Struktur kimia golongan salisilat ini dapat dilihat pada Gambar 14-3. Asam salisilat sangat iritatif,
sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya yang dapat dipakai secara sistmik, adalah ester
salisilat dari asam organik dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal,
FARMAKODINAMIK. Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan
sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai
antipiretik. Dosis toksik obat ini justru mempelihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi
demam dan hiperhidrosis.
Efek terhadap pernapasan. Efek salisilat pada penpasan penting dimengerti, karena pada gejala pernapasan
tercermin seriusnya gangguan keseimbangan asam basa dalam darah. Salisilat maupun tidak langsung. Pada
dosis terapi salisilat merangsang pernapasan, baik secara langsung mempertinggi konsumsi oksigen dan
produksi CO. Peninggian PCO, akan merangsang pernapasan sehingga pengeluaran Co2, melalui alveoli
ber- tambah dan PCo, dalam plasma turun. Mening- katnya ventilasi ini pada awalnya ditandai dengan
pemapasan yang lebih dalam sedangkan frekuensi hanya sedikit bertambah, misalnya pada latihan fisik atau
menghisap banyak CO, Lebih lanjut salisilat yang mencapai medula, merangsang angsung pusat pernapasan
sehingga terjadi iperventilasi dengan pernapasan yang dalam dan Cepat. Pada keadaan intoksikasi, hal ini
berlanjut menjadi alkalosis respiratoar.
Efekterhadap keseimbangan asam-basa. Dalam dosis terapi yang tinggi, salisilat menyebabkan peningkatan
konsumsi oksigen dan produksi Co2, terutama di otot rangka karena perangsangan fosforilasi oksidatif.
Karbondioksida yang dihasil- kan selanjutnya mengakibatkan perangsangan pemapasan sehingga
karbondioksida dalam darah tidak meningkat. Ekskresi bikarbonat yang disertai Na+ dan K +melalui ginjal
meningkat, sehingga bikarbonat dalam plasma menurun dan pH darah kembali normal. Keadaan ini disebut
alkalosis res- piratoar yang terkompensasi, dan sering dijumpai pada orang dewasa yang mendapat terapi
salisilat secara intensif. Keadaan yang lebih buruk biasa- nya terjadi pada bayi dan anak yang mendapat
dOsis toksik atau orang dewasa yang menelan dosis salisilat yang sangat besar. Pada bayi dan anakk fase
alkalosis respiratoar sering tidak terdeteksi sehingga mereka baru dibawa ke dokter solelah keadaannya
memburuk, yaitu setelah Terjadi asidosis metabolik.
Efek urikosurik. Efek ini sangat ditentukan oleh besamya dosis. Dosis kecil (1 g atau 2 g sehari)
menghambat ekskresi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g per
sehari biasanya tidak mengubah eskresi asam urat. Tetapi pada dosis lebih dari 5 g per hari ter- g sehari
biasanya tidak mengubah ekskresi asam jadi peningkatan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga kadar
asam urat dalam darah menurun, Hal ini terjadi karena pada dosis rendah salisilat menghambat sekresi tubuli
sedangkan pada dosis inggi salisilat juga menghambat reabsorpsinya dengan hasil akhir peningkatan
ekskresi asam urat dalam tubuli ginjal. Efek urikosurik ini bertambah bila urin bersifat basa. Dengan
memberikan NaHCO, kelarutan asam urat dalam urin meningkat sehingga tidak terbentuk kristal asam urat
dalam tubuli ginjal.
Efek terhadap darah. Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Hal ini bukan
karena hipoprotrombinemia, tetapi karena asetilasi siklooksigenase trombosit sehingga Pemesanan TXA,
terhambat Dosis tunggal 650 mgaspirin dapat memperpanjang masa perdarahan kira-kira 2 kali lipat. Pada
pemakaian obat antiko- gulan jangka waktu yang lebih berhati-hati memberi- kan aspirin, karena bahaya
perdarahan mukosa lambung. Sekarang, aspirin dosis kecil digunakan untuk profilaksis trombosis koroner
dan serebral. Aspirin tidak boleh diberikan pada pasien dengan kerusakan hati berat, hipoprotrombinemia,
defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat menimbulkan perdarahan Efek terhadap hati dan ginjal.
Salisilat bersifat hepatotoksik dan ini berkaitan dengan dosis, bukan akibat reaksi imun. Gejala yang sering
terihat hanya kenaikan SGOT dan SGPT, beberapa pasien dilaporkan menunjukkan hepatomegali,
anoreksia, mual dan ikterus. Bila terjadi ikterus mempersembahkan aspirin harus berubah karena dapat
terjadi nekrosis hati yang fatal. Oleh sebab itu aspirin tidak disarankan diberikan kepada pasien dengan
penyakit hati kronik. Walaupun belum dapat dibuktikan secara jelas, penelitian secara epidemiologis
menunjuk- kan ada hubungan antara Salisilat dan sindrom Reye. Pada sindrom ini terjadi kerusakan hati
dan ensefalopati. Sindrom ini jarang tetapi berakibat fatal dan dilakukan pada pemakaian salisilat pada
infeksi varisela dan virus lainnya pada anak. Salisilat dapat menurunkan fungsi ginjal pada pasien dengan
hipovolemia atau gagal jantung. Efek terhadap saluran cerna. Efek intasi saluran cerna telah dibicarakan di
atas. Perdarahan lam- bung yang berat dapat terjadi pada dosis besar dan mempersembahkan kronik.
FARMAKOKINETIK. Pada pemberian lisan, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh
bagian atas Kadar dicapai kira-kira 2 jam setelah mempersembahkan. kecepatan disintegrasi dan disolusi
tablet setelah pomberian. Kecepatan absorpsinya tergantung dari kecepatan distegrasi dan di solusi tablet
PH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung permukaan mukosa dan waktu pengosong
lambung Absorpsi pada pemberian secara rekta lebih lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini ndak
danjurkan. Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat, terutaama bila digunakan sebagai obat olesan
pada kulit yang luas Metil salisitat juga diabsorpsi dengan cepat melalui kulit utuh, tetapi penyerapan di
lambung lambat dan lama bertahan di lambung, karena itu terjadi keracunan, bilas lambung masih berguna
walaupun obat sudah ditelan lebih dari 4 jam. Setelah diabsorpsi, salisilat segera menyebar ke seluruh
jaringan tubuh dan cairan transelular sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, cairan
peritoneal, liur dan udara susu. Obat ini mudah menembus darah otak dan sawar uri. Kira-kira 80% sampai
90% salisilat plasma ter- ikat pada albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam
salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya kira-kira 30 menit ter- dapat dalam plasma. Biotransformasi
salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di mikrosom dan mito- kondria hati. Salisilat diekskresi
dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keingat dan empedu.

PARA AMINO FENOL Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat dilihat strukturnya
pada Gambar 14-4. Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang
sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus amino- benzen.
Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas. Walau
demikian, laporan kerusakan fatal hepar akibat takar lajak akut perlu diperhati- kan. Tetapi perlu
diperhatikan pemakai maupun dokter bahwa efek anti-inflamasi parasetamol hampir tidak ada.
Mekanisme kerja parasetamol juga ber- hubungan dengan penghambatan COX-1 dan COX- 2 lewat fungsi
peroksidase dari isoenzim tersebut. Ini terjadi akibat penghambatan pembentukan radikal fenoksil residu
tirosin yang esensial untuk aktivitas enzim tersebut. Parasetamol memperlihatkan selektivitas hambatan dari
sintesis prostadlandin dan faktor- faktor yang dipengaruhi kadar asam arakhidonat dan peroksida,
aktivitasnya rendah bila kadar kedua zat tersebut tinggi. Akibatnya parasetamol tidak menghambat proses
inflamasi berat yang terjadi pada artritis reumatoid dan penyakit gout tetapi mampu menghambat inflamasi
ringan pada ekstraksi gigi dan berbagai inflamasi eksperimental pada hewan coba. Parasetamol agaknya
bersifat selektif terhadap COX-2, ini didukung dengan aktivitas antiplateletnya yang rendah dan profil
keamanannya yang baik terhadap saluran cerna. Berberda dengan inhibitor selektif dan nonselektif COX-2,
parasetamol menghambat enzim peroksida selainnya termasuk mieloperoksidase. Hambatan
mieloperoksidase menyangkut oksi- dasi parasetamol dan menurunnya pembentukan oksidan berhalogen
(asam hipooklorida dan asam hipobromida) yang berhubungan dengan patologi inflamasi multipel termasuk
aterosklerosis dan penyakit reumatik, jadi parasetamol mungkin menghambat perkembangan penyakit-
penyakit ini. NSAID dan COX-2 selektif memperlihatkan efek sentral dan perifer. Sama dengan NSAID dan
COX- 2 lainnya efek analgesik parasetamol berkurang oleh penghambat berbagai neurotransmitter termasuk
sistem serotonergik, opioid, dan sistem kanabinoid.

FARMAKODINAMIK. Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu meng
hilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah,
oleh karena itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan
penghambat biosintesis PG yang lemah, Efek irtasi erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua
obat ini, demikian juga gangguan peenapasan dan keseimbangan asam basa.
FARMAKOKINETIK. Parasetamol dan fenasetin diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 1/2 jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam.
Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin terikat protein
plasma. Kedua obat ini d metabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagan asetaminofen (80%) dikonjugasi
dengan asa glukuronat dan sebagian kecil lainnya deng asam sulfat. Selain itu kedua obat ini juga da berat
yang mengalami hidroksilasi. Metabolit Ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit
ginjal, sebagian kecil paracetamol 3% dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
ANALGESIK ANTI-INFLAMASI NON STEROID LAINNYA
Beberapa AINS dibawah ini umumnya ber- sifat anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Efek
antipiretiknya baru terlihat pada dosis yang lebih besar daripada efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih
toksik daripada antipiretik klasik, maka obat- obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi sendi
seperti artritis reumatoid, osteo- artritis, spondilitis ankilosa dan penyakit pirai. Respons individual terhadap
AINS bisa sangat bervariasi walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama.
Sehingga ke- gagalan dengan satu obat bisa dicoba dengan obat sejenis dari derivat kimiawi yang sama.
Semua AINS merupakan iritan mukosa lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar obat- obat ini.
Akhir-akhir ini efek toksik terhadap ginjal lebih banyak dilaporkan sehingga fungsi ginjal, perlu lebih
diperhatikan pada penggunaan obat ini.
ASAM MEFENAMAT DAN MEKLOFENAMAT Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik sebagai
anti inflamasi.asam Meklofenamat digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada terapi atritiss reumatoid dan
osteoartritis. Asam mefenamat ter. ikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interaksi terhadap
obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia
diare sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain terhadap lambung.; sebagai anti-inflamasi, asam
mefenamat kurang cema sering timbul misalnya dispepsia, diare sam- pai diare berdarah dan gejala iritasi
lain terhadap mukosa lambung. Pada orang usia lanjut efek samping diare hebat lebih sering dilaporkan.
Efek samping lain yang berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstriksi. Anemia
hemolitik pemah dilaporkan. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Sedangkan dosis
meklofenamat untuk terapi penyakit send adalah 200-400 mg sehari, Karena efek toksiknya maka di
Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil,
dan pemberian tidak melebihi 7 han Penelitian klinis menyimpulkan bahwa darah secara bermakna.
penggunaan selama haid mengurangi kehilangan darah secara bermakna.
DIKLOFENAK
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein
plasma dan mengalami efek metabolisme 50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak
diakumulasi di cairan sinovial sebesar 4 yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu
paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama
seperti semua obat AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada pasien tukak lambung. Peningkatan
enzim transaminase dapat terjadi pada 15% pasien dan umumnya kembali ke normal. Akhir-akhir ini FDA
memberikan peringatan agar diklofenak tidak digunakan secara kronik karena dihubungkan dengan kejadian
kardiovaskuler. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjur- kan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari ter-
bagi dua atau 3 dosis.
FENBUFEN
Berbeda dengan obat AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu pro-drug. Jadi fenbufen sendiri bersifat
inaktif dan metabolit aktifnya adalah asam-4-bifenil-asetat. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam sehingga
cukup diberikan satu atau dua kali sehari. Absorpsi obat melalui lambung baik, dan kadar puncak metabolit
aktif dicapai dalam 7,5 jam. Efek samping obat ini sama seperti obat AINS lain. Pemakaian pada pasien
tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan ginjal, dosis harus di- kurangi. Dosis untuk indikasi
penyakit reumatik sendi adalah dua kali 300 mg sehari dan dosis pe- meliharaan satu kali sehari 600 mg
sebelum tidur.
IBUPROFEN
Ibuprofen merupakan derivat asam provionat yang diperkenalkan pertama kali di banyak negara. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya anti-infla- masi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti
aspirin. Efek anti-inflamasinya tertihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui
lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam, Waktu paruh dalam plasma sekitar 2
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat am Sembilan puluh persen ibuprofen terikat dalam protein
plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan
diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi
dan karboksilasi. Obat AINS derivat asam propionat hampir se- luruhnya terikat pada protein plasma, efek
interaksi misalnya penggeseran obat warfarin dan oral hipo- glikemik hampir tidak ada. Tetapi pada
pemberian bersama dengan warfarin, tetap harus waspada karena adanya gangguan fungsi trombosit yang
memperpanjang masa perdarahan. Derivat asam propionat dapat mengurangi efek diuresis dan natriuresis
furosemid dan tiazid, juga mengurangi efek antihipertensi obat B-bloker, prazosin dan kaptopril. Efek ini
mungkin akibat hambatan bio- sintesis PG ginjal. Efek samping terhadap saluran cena lebih ringan
dibandingkan dengan aspirin, indometasin atau naproksen. Efek samping lainnya yang jarang ialah eritema
kulit, sakit kepala trombosipenia ambliopia toksik yang reversibel. Dosis terutama Sebagai analgesik 4 kali
400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis optimal pada tiap orang di tentukan secara individual .ibuprofen tidak
di anjurkan di minum oleh wanita hamil dan menyusui.
KETOPROFEN Derivat asam propionat ini memiliki efektivitas sepertibuprofen dengan sifat ant-inflamasi
sedang Absorpsi berlangsung baik dari lambung dan waktu paruh plasma sekitar 2 jam. Efek samping sama
dengan AINS lain terutama menyebabkan gang- guan saluran cema, dan reaksi hipersensitivitas. Dosis 2 kali
100 mg sehari. tetapi sebaiknya ditentukan secara individual.
NAPROKSEN Merupakan salah satu derivat asam propionat yang efektif dan insiden efek samping obat ini
lebih rendah dibandingkan derivat asam propionat lain. Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lam-
bung dan kadar puncak plasma dicapai dalam 2-4 jam. Bila diberikan dalam bentuk garam natrium
naproksen, kadar puncak plasma dicapai lebih cepat. Waktu paruh obat ini 14 jam, sehingga cukup diberikan
dua kali sehari. Tidak terdapat korelasi antara efektivitas dan kadar plasma. Ikatan obat ini dengan protein
plasma mencapai 98-99%. Ekskresi terutama dalam urin, baik dalam bentuk utuh mau- pun sebagai konjugat
glukuronida dan demetilat Interaksi obat sama seperti ibuprofen. Naproksen bersama ibuprofen dianggap
yang paling tidak toksik di antara derivat asam propionat. Efek sam- ping yang dapat timbul ialah dispepsia
ringan sam- pai perdarahan lambung. Efek samping terhadap SSP berupa sakit kepala, pusing, rasa lelah dan
ototoksisitas. Gangguan terhadap hepar dan ginjal permah dilaporkan. Dosis untuk terapi penyakit reumatik
sendi adalah 2 kali 250-375 mg sehari. Bila perlu dapat diberikan 2 kali 500 mg sehari.
ASAM TIAPROFENAT Asam tiaprofenat memperlihatkan sifat sama seperti derivat asam propionat
lainnya. Waktu paruh dalam plasma kira-kira 2 jam dan ekskresi terutama melalul ginjal sebagai konjugat
asil- glukuronida. Efek samping sama seperti obat AINS lainnya. Dosis 3 kali 200 mg sehari.
INDOMETASIN
Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak 1963 untuk pengobatan artritis reumatoid
dan sejenisnya. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat ini dibatasi.
Indometasin memiliki efek anti- inflamasi dan analgesik-antipiretik yang kira-kira sebanding dengan aspirin.
Telah terbukti bahwa indometasin memiliki efek analgesik perifer maupun sentral. In vitro indometasin
menghambat enzim siklooksigenase. Seperti kolkisin, indometasin menghambat motilitas leukosit
polimorfonuklear. Absorpsi indometasin setelah pemberian oral cukup baik; 92-99% indometasin terikat
pada protein plasma. Metabolismenya terjadi di hati. Indometasin diekskresi dalam bentuk asal maupun
metabolit melalui urin dan empedu. Waktu paruh plasma kira-kira 2-4 jam Efek samping indometasin
tergantung dosis dan insidensnya cukup tinggi. Pada dosis terapi, sepertiga pasien menghentikan pengobatan
karena efek samping. Efek samping saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare, perdarahan lambung dan
pan- kreatitis. Sakit kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien dan sering disertai pusing, depresi
dan rasa bingung. Halusinasi dan psikosis pernah dilaporkan, Indometasin juga dilaporkan menyebab- kan
agranulositosis, anemia aplastik dan trombo- sitopenia. Vasokonstriksi pembuluh koroner pemah dilaporkan.
Hiperkalemia dapat terjadi akibat ham- batan yang kuat terhadap biosintesis PG di ginjal. Alergi dapat pula
timbul dengan manifestasi urtika- ria, gatal dan serangan asma. Obat ini mengurangi efek natriuretik dari
diuretik tiazid dan furosemid serta memperlemah efek hipotensif obat B-bloker. Karena toksisitasnya,
indometasin tidak di- anjurkan diberikan kepada anak, wanita hamil, pasien dengan gangguan psikiatri dan
pasien dengan penyakit lambung. Penggunaannya kini dianjurkan hanya bila AINS lain kurang berhasil
misalnya pada spondilitis ankilosa, artritis pirai akut dan osteoartritis tungkai. Indometasin tidak berguna
pada penyakit pirai kronik karena tidak berefek urikosurik. Dosis indometasin yang lazim ialah 2-4 kali 25
mg sehari. Untuk mengurangi gejala reumatik di malam hari, indometasin diberikan 50-100 mg sebelum
tidur.

Anda mungkin juga menyukai