Anda di halaman 1dari 27

UJIAN AKHIR SEMESTER

PENGAIRAN PASANG SURUT


(HSKB418)
METODE PENGOLAHAN DATA PASANG SURUT
LEAST SQUARE

Dosen Pengajar:

M. AZHARI NOOR, M. Eng


NIP. 19801119 200501 1 001

Oleh:

SAID AHMAD ZAKI ALBAHASIM


NIM. 1610811210061

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK SIPIL

BANJARBARU

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan laut


yang diperkirakan sebesar 5,1 juta kilo meter persegi dan garis pantai
sepanjang kurang lebih 80.791 kilo meter. (Soeprapto, 2001). Dalam
kondisi wilayah perairan ini banyak aktivitas masyarakat yang terfokus
pada bidang kelautan, tetapi aktivitas tersebut senantiasa menuntut
ketersediaan sumber informasi kelautan yang akurat. Salah satu bentuk
dari informasi kelautan adalah pasang surut (pasut). Data pasang surut di
Indonesia disediakan oleh dua instansi pemerintah yaitu Badan Informasi
Geospasial (BIG) dan Dinas Hidro-Oseanogtafi (DISHIDROS) TNI AL.
Kejadian pasang surut ini dalam sehari rata-rata akan terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut. Pasang dan surut air laut dipengaruhi oleh gaya
gravitasi bulan, bumi dan matahari.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang dilintasi oleh garis


khatulistiwa (equator). Pada garis khatulistiwa (equator) pasang surut
harian ganda adalah tetap, pada titik I adalah air pasang dan pada J
meridian 90º adalah air surut. Pada titik K dengan meridian 180º jauh
daripada titik I adalah pasang dan ketinggiannya hampir sama seperti
dititik I. Jangkauan untuk pasang surut ini tidak sebesar jangkauan
sewaktu bulan berada pada deklinasi 0º. Pasang surut harian ganda akan
selalu melintas kebelakang, karena pasang surut ini menghasilkan gaya
akibat pergeseran dan inersial air laut. (Priyana,1994).
Gambar 1.1. Contoh pengaruh bulan pada titik deklinasi 20˚

Di Indonesia, kota Pontianak merupakan salah satu kota yang dilintasi


oleh garis khatulistiwa (equator). Menurut data pasang surut dengan kurun
waktu 1988-1992, kota Pontianak berada pada elevasi +1.437 meter dan
surut terendah –0,263 meter. Dari kondisi ini, maka saat hujan dengan
intensitas tinggi akan menyebabkan genangan pada sebagian besar Kota
Pontianak. (UGM, 2004).

Pengetahuan tentang pasang surut ini dapat dimanfaatkan untuk


berbagai kegiatan kelautan. Dalam hal perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir seperti pembuatan pelabuhan, bangunan pemecah gelombang,
jembatan laut, pemasangan pipa bawah laut dan lain sebagainya, bahkan
dalam kegiatan penangkapan ikan sampai peluncuran satelit. Berikut
metode kerja dalam pengamatan atau pengukuran data pasang surut :

1. Pengamatan data pasang surut air laut dilakukan setiap 1 jam sekali.
2. Kemudian dicatat data ketinggian muka air laut rata-ratanya kedalam
bentuk tabel sesuai dengan tanggal dan waktu pengamatan.
3. Setelah data terkumpul semua sesuai dengan periode waktu yang
ditentukan, maka data tersebut dihitiung menggunakan metode
perhitungan yang diminta dan dibuat laporan hasil pratikum sebagai
pertanggungjawaban.

Dalam pelaksanaan perhitungan pasang surut air laut terdapat beberapa


metode yang dapat digunakan untuk menentukan konstanta harmonik
pasang surut selama periode waktu tertentu diantaranya adalah metode
Admiralty dan metode Least Square. Konstanta harmonik yang dihasilkan
kedua metode ini dapat digunakan dalam melakukan prediksi pasang surut
untuk waktu yang akan datang. Perhitungan metode Admiralty
menghasilkan 9 komponen pasang surut, yaitu komponen Diurnal (K1, P1
dan O1), komponen semi-diurnal (M2, K2, S2 dan N2) dan komponen
kuarter-diurnal (M4 dan MS4), komponen-komponen tersebut
mempresentasikan jenis pasang surut. Perhitungan metode Least Square
dilakukan dengan mengabaikan faktor meteorologis, namun dapat
diturunkan dengan menggunakan nilai persamaan yang telah ditetapkan.
Dalam penelitian ini, analisa harmonik pasut metode Least Square dapat
juga dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel.
(Ongkosongo, 1989).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan sebelumnya, maka dalam


melaksanakan kerja praktek ini penulis akan mempelajari dan mengkaji
bagaimana proses perhitungan data pasang surut air laut dengan
menggunakan metode Least Square.

1.3 Maksud dan Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan


diatas, penulis bermaksud untuk melaksanakan perhitungan data pasang
surut air laut untuk menentukan konstanta harmonik pasang surut air laut
dengan menggunakan metode Admiralty. Adapun tujuan dari pelaksanaan
kerja praktek ini adalah :

1. Mengetahui teori mengenai pasang surut.


2. Mengetahui cara perhitungan data pasang surut air laut dengan metode
Least Square.
3. Mengetahui bentuk dan fungsi tabel perhitungan data pasang surut air
laut metode Least Square.
1.4 Batasan Masalah

Dalam pelaksanaan kerja praktek ini penulis membatasi pekerjaan sebagai


berikut:

1. Perencanaan dan pengolahan data akan dilaksanakan secara


perhitungan manual dan menggunakan program komputer sebagai
pembantu:
a. Tabel perhitungan metode Least Square
b. Konstanta pengali atau konstanta ketetapan yang digunakan.
c. Software Microsoft Excel
BAB II

TEORI

2.1 Pasang Surut

Menurut (Pariwono, 1989) fenomena pasang surut diartikan


sebagai naik turunnya muka air laut secara berkala akibat adanya gaya
tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air
dibumi. Sedangkan menurut (Dronkers, 1964) pasang
surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya
gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh
matahari, bumi dan bulan.

Pasang surut air laut merupakan hasil dari gaya tarik-menarik


gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah
luar pusat  rotasi (Triatmodjo, 1999). Meskipun ukuran bulan lebih kecil
dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya
tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut air laut karena jarak
bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi.

Gambar 2.1. Gaya gravitasi dan efek sentrifugal


Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari
dan menghasilkan dua tonjolan pasang surut gravitasi di laut.  Lintang dari
tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi
bumi dan bidang orbital bulan dan matahari. Pasang-surut tidak hanya
mempengaruhi lapisan dibagian teratas saja, melainkan seluruh massa air
dan energinya pun sangat besar. Diperairan pantai, teluk dan selat yang
sempit, gerakan naik-turunnya muka air akan menimbulkan terjadinya arus
pasang-surut yang cukup kuat. Arus pasang surut terkuat yang tercatat di
Indonesia terletak pada selat Capalulu atau antara pulau Taliabu dan pulau
Mangole (Kepulauan Sula), yang kekuatannya bisa mencapai 5 meter per
detik. Pada selat dan pulau Nusa Tenggara kekuatannya bisa mencapai 2,5
sampai dengan 3 meter per detik pada saat pasang purnama. Serta pada
daerah lainnya kekuatan arus pasang surut biasanya kurang dari 1,5 meter
per detik, sedangkan pada laut terbuka diwilayah Indonesia kekuatannya
kurang dari 0,5 meter per detik. Berbeda dengan arus yang disebabkan
oleh angin yang hanya terjadi pada air lapisan tipis dipermukaan, arus
pasang surut bisa mencapai lapisan yang lebih dalam. Ekspedisi Snellius I
(1929-1930) diperairan Indonesia bagian Timur dapat menunjukkan bahwa
arus pasang-surut masih dapat diukur pada kedalaman lebih dari 600
meter. (Nontji, 1987).

2.1.1 Teori Pasang Surut

Secara umum terdapat dua teori dasar pasang surut yaitu Teori
Kesetimbangan (Equilibrium Theory) dan Teori Dinamik (Dynamical
Theory). Pembahasan mengenai teori pasang surut tersebut dapat diketahui
pada penjelasan dibawah ini :

2.1.1.1 Teori Kesetimbangan (Equilibrium Theory)

Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh (Sir Isaac


Newton, 1642-1727).  Teori ini menerangkan sifat-sifat pasang surut
secara kualitatif. Teori ini terjadi pada bumi ideal yang seluruh
permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaman (inertia). Teori
ini menyatakan bahwa naik-turunnya permukaan air laut sebanding dengan
gaya pembangkit pasang surut air laut.

Untuk memahami gaya pembangkit pasang surut dilakukan dengan


memisahkan pergerakan sistem bumi, bulan dan matahari menjadi 2 (dua)
yaitu sistem bumi - bulan dan sistem bumi - matahari. Pada teori
kesetimbangan bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan
densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya
pembangkit pasang surut atau GPP (Gaya Penggerak Pasut) yaitu
Resultant gaya tarik bulan dan gaya sentrifugal, teori ini berkaitan dengan
hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari. Gaya
pembangkit pasang surut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi
dan air rendah pada dua lokasi. (Gross, 1987).

2.1.1.2 Teori Dinamik (Dynamical Theory)

(Pond dan Pickard, 1978) menyatakan bahwa dalam teori ini lautan
yang homogen masih diasumsikan menutupi seluruh bumi pada kedalaman
yang konstan, tetapi gaya-gaya tarik periodik dapat membangkitkan
gelombang dengan periode sesuai dengan konstituen-konstituennya.
Gelombang pasang surut yang terbentuk dipengaruhi oleh GPP (Gaya
Penggerak Pasut), kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi dan
pengaruh gesekan dasar. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh
(Laplace, 1796-1825). Menurut teori dinamik ini, gaya pembangkit pasang
surut menghasilkan gelombang pasang surut (tide wive) yang periodenya
sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut. Karena terbentuknya
gelombang, maka terdapat faktor lain yang perlu diperhitungkan selain
GPP (Gaya Penggerak Pasut). Berikut faktor-faktor tersebut adalah :

1. Kedalaman perairan dan luas perairan.


2. Pengaruh rotasi bumi.
3. Gesekan dasar.

Rotasi bumi menyebabkan semua benda yang bergerak di permukaan


bumi akan berubah arah (Coriolis Effect).  Di belahan bumi utara benda
membelok ke kanan, sedangkan dibelahan bumi selatan benda membelok
ke kiri.  Pengaruh ini tidak terjadi diequator, tetapi semakin meningkat
sejalan dengan garis lintang dan mencapai maksimum pada kedua kutub,
besarnya juga bervariasi tergantung pada kecepatan pergerakan benda
tersebut. Menurut (Mac Millan, 1966) berkaitan dengan dengan fenomeana
pasang surut, gaya coriolis mempengaruhi arus pasang surut. Faktor
gesekan dasar dapat mengurangi tunggang pasang surut dan menyebabkan
keterlambatan fase (phase lag) serta mengakibatkan persamaan gelombang
pasang surut menjadi non-linier, semakin dangkal perairan maka semaikin
besar pengaruh gesekannya.

2.1.2 Faktor Penyebab Pasang Surut

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut


berdasarkan  teori kesetimbangan adalah rotasi bumi pada sumbunya,
revolusi bulan terhadap matahari, revolusi bumi terhadap matahari.
Sedangkan berdasarkan teori dinamis adalah kedalaman dan luas perairan,
pengaruh rotasi bumi (gaya coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga
terdapat beberapa faktor lokal yang dapat mempengaruhi pasang surut
disuatu perairan seperti, topogafi dasar laut, lebar selat, bentuk teluk,
sehingga berbagai lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan.
(Wyrtki, 1961).

2.1.3 Gaya Pembangkit Pasang Surut

Bulan dan matahari memberikan gaya gravitasi terhadap bumi yang


besarnya tergantung pada besar massa benda yang saling tarik-menarik
tersebut. Massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena
jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan
terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya
tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar
dari pada gaya tarik matahari. (Triatmodjo, 1999). Pasang surut air laut
merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek
sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi
secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak.
Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan
menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut.
Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi sudut antara
sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari. (Triatmodjo,
1999). Gaya-gaya ini mengakibatkan air laut yang menyusun 71%
permukaan bumi, menggelembung pada sumbu yang menghadap ke
bulan.  Pasang surut terbentuk karena rotasi bumi yang berada di bawah
muka air yang menggelembung ini, yang mengakibatkan kenaikan dan
penurunan permukaan laut di wilayah pesisir secara periodik. Daerah-
daerah pesisir mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama
periode sedikit diatas 24 jam. (Priyana,1994). Pasangan matahari dan bumi
akan menghasilkan fenomena pasang surut yang mirip dengan fenomena
yang diakibatkan oleh pasangan bumi dan bulan. Perbedaan yang utama
adalah GPP (Gaya Penggerak Pasut) yang disebabkan oleh matahari hanya
sebesar separuh kekuatan yang disebabkan oleh bulan. (Pariwono, 1981).

2.1.4 Proses Pasang Surut

Untuk menjelaskan terjadinya pasang surut maka mula-mula dianggap


bahwa bumi benar-benar bulat serta seluruh permukaannya ditutupi oleh
lapisan air laut yang sama tebalnya sehingga didalam hal ini dapat
diterapkan teori kesetimbangan. Pada setiap titik dimuka bumi akan terjadi
pasang surut yang merupakan kombinasi dari beberapa komponen yang
mempunyai amplitudo dan kecepatan sudut yang tertentu sesuai dengan
gaya pembangkitnya. Pada keadaan sebenarnya bumi tidak semuanya
ditutupi oleh air laut melainkan sebagian merupakan daratan dan juga
kedalaman laut berbeda-beda. Sebagai konsekuensi dari teori
kesetimbangan, maka pasang surut akan terdiri dari beberapa komponen
yang mempunyai amplitudo dan kecepatan sudut tertentu, sama besarnya
seperti yang diuraikan pada teori kesetimbangan. (www.digilib.itb.ac.id).
2.1.5 Jenis Pasang Surut

Menurut (Nontji, 1987) terdapat empat jenis tipe pasang surut yang
didasarkan pada periode dan keteraturannya. Dalam satu bulan, variasi
harian dari rentang pasang surut berubah secara sistematis terhadap siklus
bulan. Rentang pasang surut juga bergantung pada bentuk perairan dan
konfigurasi lantai samudera. Beikut dibawah ini pasang surut air laut di
Indonesia dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Pasang surut harian tunggal beraturan (diurnal tide), merupakan


pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
dalam satu hari. Ini terdapat di Selat Karimata.

Gambar 2.2 Pola gerak pasang surut


harian tunggal beraturan (diurnal tide)

2. Pasang surut harian ganda beraturan (semi diurnal tide), merupakan


pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya
hampir sama dalam satu hari. Ini terjadi di Selat Malaka dan Laut
Andaman.

Gambar 2.3 Pola gerak pasang surut


harian ganda beraturan (semi diurnal tide)
3. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed – diurnal),
merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu
kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut
yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu. Ini terdapat di Pantai
Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.

Gambar 2.4 Pola gerak pasang surut campuran condong


ke harian tunggal (mixed – diurnal)

4. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed semi –


diurnal), merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu
kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu berbeda. Ini terjadi di
Pantai Selatan Jawa dan Bagian Timur Indonesia.

Gambar 2.5 Pola gerak pasang surut


campuran condong ke harian ganda (mixed semi – diurnal)

2.1.6 Pasang Surut Purnama dan Perbani

Berdasarkan faktor pembangkitnya, pasang surut dapat dibagi


dalam dua kategori yaitu:
1. Pasang purnama (spring tide)
Pasang purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari
berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang
naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah. Pasang
laut purnama ini terjadi pada saatbulan baru dan bulan purnama.

2. Pasang perbani (neap tide).


Pasang laut perbani (neap tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari
membentuk sudut tegak lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang
naik yang rendah dan pasang surut yang tinggi. Pasang laut perbani ini
terjadi pada saat bulan seperempat dan tigaperempat.
Pada setiap sekitar tanggal 1 dan 15 (saat bulan mati dan bulan
purnama). Posisi bulan, bumi dan matahari berada pada satu garis lurus,
sehingga gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling
memperkuat. Dalam keadaan ini terjadi pasang purnama dimana tinggi
pasang sangat besar dibanding pada hari-hari yang lain.

Gambar 2.6 Pasang purnama

Sedangkan pada sekitar tanggal 7 dan 21, dimana bulan dan


matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi, maka gaya tarik
bulan dan matahari terhadap bumi saling mengurangi. Dalam keadaan
ini terjadi pasang perbani, dimana tinggi pasang yang terjadi lebih kecil
dibanding dengan hari-hari yang lain.
Gambar 2.7 Pasang perbani

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, pasang purnama (spring


tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis
lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan
pasang rendah yang sangat rendah. Pasang surut purnama ini terjadi pada
saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani (neap tide) terjadi
ketika bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat
itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang
tinggi, pasang surut perbani ini terjadi pasa saat bulan 1 per 4 dan 3 per 4.
(Priyana,1994).

2.1.7 Arus Pasang Surut

Menurut (King, 1962) arus yang terjadi di laut, teluk dan lainnya


adalah akibat massa air mengalir dari permukaan yang lebih tinggi ke
permukaan yang lebih rendah, yang disebabkan oleh pasang
surut. Arus pasang surut adalah arus yang cukup dominan pada perairan
teluk yang memiliki karakteristik pasang dan surut. Pada waktu gelombang
pasang surut merambat memasuki perairan dangkal, seperti muara sungai
atau teluk, maka badan air kawasan ini akan bereaksi terhadap aksi dari
perairan lepas. Pada daerah-daerah di mana arus pasang surut cukup kuat,
tarikan gesekan pada dasar laut menghasilkan potongan arus vertikal, dan
resultan turbulensi menyebabkan bercampurnya lapisan air bawah secara
vertikal.  Pada daerah lain, di mana arus pasang surut lebih lemah, dengan
demikian stratifikasi (lapisan-lapisan air dengan kepadatan berbeda) dapat
terjadi.

2.1.8 Alat Ukur Pasang Surut

Dalam pelaksanaan pengamatan data pasang surut secara umum


terdapat dua jenis alat ukur pasang surut yaitu tide staff dan tide gauge.
Berikut dibawah ini pembahasan lebih detail mengenai alat ukur pasang
surut tersebut, yaitu :

2.1.8.1 Tide Staff

Alat ini berupa papan yang telah diberi skala dalam meter atau
senti meter. Biasanya digunakan pada pengukuran pasang surut di
lapangan. Tide Staff (papan pasang surut) merupakan alat pengukur pasang
surut paling sederhana yang umumnya digunakan untuk mengamati
ketinggian muka air laut atau tinggi gelombang air laut. Bahan yang
digunakan biasanya terbuat dari kayu, aluminium atau bahan lain yang
dicat anti karat. (Duha Ohara, 2014, http://oharaduha.blogspot.co.id/).
Berikut beberapa syarat dalam pemasangan papan pasang surut yaitu :

1. Saat air laut berada pada pasang tertinggi tidak tenggelam dan pada
saat air laut surut terendah masih terendam oleh air.
2. Jangan dipasang pada gelombang pecah karena akan menimbulkan
bias dan jangan dipasang pada daerah aliran debit air tinggi.
3. Jangan dipasang didaerah dekat kapal bersandar atau aktivitas yang
menyebabkan air bergerak secara tidak teratur.
4. Dipasang pada daerah yang terlindung dan pada tempat yang mudah
untuk diamati serta dipasang tegak lurus.
5. Cari tempat yang mudah untuk pemasangan, misalnya  daerah dermaga
sehingga papan mudah dikaitkan.
6. Dekat dengan benchmark atau titik tetap sebagai referensi yang ada
sehingga data pasang surut mudah untuk diikatkan terhadap titik
referensi tersebut.
7. Tanah dan dasar laut atau sungai tempat didirikannya papan harus
stabil.
8. Tempat didirikannya papan harus dibuat pengaman dari arus tinggi dan
sampah.

2.1.8.2 Tide Gauge

Merupakan perangkat untuk mengukur perubahan muka laut secara


mekanik dan otomatis.  Alat ini memiliki sensor yang dapat mengukur
ketinggian permukaan air laut yang kemudian direkam ke dalam
komputer.  (Duha Ohara, 2014, http://oharaduha.blogspot.co.id/). Tide
gauge terdiri dari dua jenis yaitu : 

1. Floating tide gauge (self registering)


Prinsip kerja alat ini berdasarkan naik turunnya permukaan
air laut yang dapat diketahui melalui pelampung yang dihubungkan
dengan alat pencatat (recording unit).  Pengamatan pasang surut
dengan alat ini banyak dilakukan, namun yang lebih banyak dipakai
adalah dengan cara rambu pasang surut (tide staff).
2. Pressure tide gauge (self registering)
Prinsip kerja pressure tide gauge hampir sama dengan floating tide
gauge, namun perubahan naik-turunnya air laut direkam melalui
perubahan tekanan pada dasar laut yang dihubungkan dengan alat
pencatat (recording unit).  Alat ini dipasang sedemikian rupa sehingga
selalu berada di bawah permukaan air laut tersurut, namun alat ini
jarang sekali dipakai untuk pengamatan pasang surut.

2.1.9 Pasang Surut di Perairan Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh dua


lautan yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta posisinya yang
berada di garis katulistiwa sehingga kondisi pasang surut, angin,
gelombang, dan arus laut cukup besar.  Hasil pengukuran tinggi pasang
surut di wilayah laut Indonesia menunjukkan beberapa wilayah
lepas laut pesisir daerah Indonesia memiliki pasang surut cukup tinggi.
Keadaan pasang surut di perairan Indonesia ditentukan oleh penjalaran
pasang surut dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta morfologi
pantai dan batimeri perairan yang kompleks dimana terdapat banyak selat,
palung dan laut yang dangkal dan laut dalam. Keadaan perairan tersebut
membentuk pola pasang surut yang beragam. (Sumotarto, 2003).

2.1.10 Istilah Pada Pasang Surut

Terdapat banyak istilah pada pasang surut air laut, berikut dibawah
ini akan dijelaskan mengenai singkatan beserta arti dari istilah pasang
surut yang dapat diketahui, yaitu :

1. Mean Sea Level (MSL) atau Duduk Tengah Sementara adalah muka


laut rata-rata pada suatu periode pengamatan yang panjang, sebaiknya
selama 18,6 tahun.
2. Mean Tide Level (MTL) adalah rata-rata antara air tinggi dan air
rendah pada suatu periode waktu.
3. Mean High Water (MHW) adalah tinggi air rata-rata pada semua
pasang naik tinggi.
4. Mean Low Water (MLW) adalah tinggi air rata-rata pada semua
pasang turun rendah.
5. Mean Higher High Water (MHHW) adalah tinggi rata-rata pasang naik
tertinggi dari dua air tinggi harian pada suatu periode waktu yang
panjang. Jika hanya satu air tinggi terjadi pada satu hari, maka air
tinggi tersebut diambil sebagai air tinggi terttinggi.
6. Mean Lower High Water (MLHW) adalah tinggi rata-rata air terendah
dari dua air tinggi harian pada suatu periode waktu yang panjang. Hal
ini tidak akan terjadi untuk tipe pasang diurnal tides.
7. Mean Higher Low Water (MHLW) adalah tinggi rata-rata air tertinggi
dari dua air rendah harian pada suatu periode waktu yang panjang. Hal
ini tidak akan terjadi untuk tipe pasang diurnal tides.
8. Mean Lower Low Water (MLLW) adalah tinggi rata-rata air terendah
dari dua air rendah harian pada suatu periode waktu yang panjang. Jika
hanya satu air rendah terjadi pada satu hari, maka harga air rendah
tersebut diambil sebagai air rendah terendah.
9. Mean High Water Springs (MHWS) adalah tinggi rata-rata dari dua air
tinggi berturut-turut selama periode pasang purnama, yaitu jika
tunggang (range) pasang laut itu tertinggi.
10. Mean Low Water Springs (MLWS) adalah tinggi rata-rata yang
diperoleh dari dua air rendah berturut-turut selama periode pasang
purnama.
11. Mean High Water Neaps (MHWN) adalah tinggi rata-rata dari dua air
tinggi berturut-turut selama periode pasut perbani (neap tides), yaitu
jika tunggang (range) pasang laut paling kecil.
12. Mean Low Water Neaps (MLWN) adalah tinggi rata-rata yang
dihitung dari dua air berturut-turut selama periode pasang laut perbani.
13. Highest Astronomical Tide (HAT) atau Lowest Astronomical
Tide (LAT) adalah permukaan laut tertinggi/terendah yang dapat
diramalkan terjadi di bawah pengaruh keadaan meteorologis rata-rata
dan kombinasi keadaan astronomi. Permukaan ini tidak akan dicapai
pada setiap tahun. HAT dan LAT bukan permukaan laut yang ekstrim
yang dapat terjadi, storm surges mungkin saja dapat menyebabkan
muka laut yang lebih tinggi dan lebih rendah. Secara umum
permukaan (level) di atas dapat dihitung dari peramalan satu tahun.
Harga HAT dan LAT dihitung dari data beberapa tahun.
14. Mean Range (Tunggang Rata-rata) adalah perbedaan tinggi rata-rata
antara MHW dan MLW.
15. Mean Spring Range adalah perbedaan tinggi antara MHWS dan
MLWS.
16. Mean Neap Range adalah perbedaan tinggi antara MHWN dan
MLWN.
17. Low Water Spring (LWS) adalah muka air laut surut terendah. LWS
nantinya akan dikaitkan dengan data hasil survey topografi dan
penggambaran peta batimetri. Peta inilah nantinya yang akan
digunakan untuk merencanakan penempatan dermaga pada kedalaman
tertentu (sesuai spesifikasi kapal yang bersandar).
18. High Water Spring (HWS) adalah muka air laut pasang tertinggi.
Sebagai catatan bahwa perbedaan antara LWS dengan HWS disebut
pasang surut rencana.
19. Mean Sea Level (MSL) adalah muka air laut rerata.
(Sumber : http://febrian-tekniksipil.blogspot.co.id/2012/02/pasang-
laut.html)

2.2 Metode Least Square


Metode least square merupakan metode perhitungan pasang surut
dengan mengabaikan faktor meteorologis (Tianhang dan Vanicek, 2007
dalam Cahyono, 2008).  Secara umum metode Least Square mencari
koefisien sebuah rumus yang diharapkan dapat mendekati suatu gejala di
lapangan semaksimal mungkin.
Dalam bidang Analisis Harmonik untuk memisahkan gelombang
pasang surut terukur menjadi komponen-komponennya atau tidal
constituent, metode ini mencari nilai amplitudo dan phase lag (fase) yang
paling sesuai untuk masing-masing komponen pasang-surut yang
dilibatkan (dianggap penting).
Dalam Metode Least Square, “kesesuaian” dengan data lapangan
diartikan dengan keadaan dimana integral kuadrat nilai selisih elevasi
muka air hasil hitungan dan pengukuran minimal (“least of square of
error”).
Persamaan yang digunakan dalam metode ini adalah sebagai berikut:
Persamaan Pasang Surut

Penerapan Metode Least Square terhadap persamaan Harmonik Pasang


Surut,

Analisis harmonik dengan metode least square akan mendapatkan harga-


harga sebagai berikut:
Tidal Datum :
• Z0= S0 - (M2+ S2+ K1+ O1)
• Tidal Range = (MHHWS + MLHWN)/2 – (MLLWS + MLLWN)/2
• MHHWS = LAT + M2 + S2 + 2(K1 + O1)
• MLHWN = LAT + M2 + S2 + 2K1
• MLLWN = LAT + M2 + S2 + 2O1
• MLLWS = LAT + M2 + S2
• LAT = S0 - K1 - O1 - S2 - M2
• HAT = LAT + 2(K1 + O1 + S2 + M2)
Keterangan:
Z0 = Nilai muka air di bawah surut terendah
S0 = Mean sea level / nilai duduk tengah sementara
MHHWS = Mean Highest of High Water Spring / rata-rata muka air tinggi
tertinggi saat pasang purnama
MLHWN = Mean Lowest of High Water Neap / rata-rata muka air tinggi
terendah saat pasang perbani
MLLWS = Mean Lowest of Low Water Spring / rata-rata muka air rendah
terendah saat pasang purnama
MLLWN = Mean Lowest of Low Water Neap / rata-rata muka air rendah
terendah saat pasang perbani
LAT = Lowest Astronomical Tides / nilai muka air terendah dihitung
berdasarkan astronomi
HAT = Highest Astronomical Tides / nilai muka air tertinggi dihitung
berdasarkan astronomi
Contoh :
Penjelasan Diagram:
a.       Mengisi data pengamatan
b.      Mendefinisikan Matriks Observasi (L)

t Hari Jam Tgl_Jam hti


1
2
3
4
5
6
7
Jumlah baris matriks observasi sebanyak 360 baris

c.       Mendefenisikan Matriks Desain (A)


      Mengacu pada persamaan , untuk mencari 9 nilai Konstanta Pasut,
maka nilai yang akan dicari ada 19 parameter  yaitu nilai Z0, A1, A2,
…… , A9 dan B1, B2, B3, …., B9 seperti baris matriks berikut:

δht δht δht δht δht


i δhti δhti i i δhti i δhti i δhti
δZ δA δA δB δA δB δA δB δA
0 1 δB1 2 2 3 3 4 4 5

δht δht δht δht δht δht δht δht


i i i i i i i δhti i
δB δA δB δA δB δA δB δA δB
5 6 6 7 7 8 8 9 9
     Jumlah baris matriks desain sebanyak 360 baris

d.      Menghitung Nilai Parameter


Didapatkan nilai 9  parameter sebagai berikut:

Parameter Nilai
Z0
A1
B1
A2
B2
A3
B3
A4
B4
A5
B5
A6
B6
A7
B7
A8
B8
A9
B9

e.       Menghitung Matrik Observasi setelah Dikoreksi


    Matrik Koreksi didapatkan dengan rumus V=AX-L, sedangkan
Matrik Observasi setelah Dikoreksi (La), didapatkan dengan rumus
La=L+V. Kemudian hasil tersebut disusun seperti tabel berikut:

Koreksi Terkoreksi

Jumlah baris matriks observasi setelah dikoreksi sebanyak 360 baris


f.        Menghitung Amplitudo dan Fase
Didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut: 

N Simbo Aplitud
o l Parameter o Fase
Z0 A B meter der/jam
0 Z0
1 M2
2 S2
3 N2
4 K2
5 K1
6 O1
7 P1
8 M4
9 MS4

      Penjelasan Operasi Matriks (dalam Ms. Excel)


      Komponen-Komponen Matriks dalam Analisis Least Square Data Pasang Surut

Kerangka Perhitungan:

Persamaan:  (Terdapat 360 Persamaan)


Bentuk Umum : A X = L + V
Komponen-Komponen Matriks

1.    Matriks Desain

2.    Matriks Parameter

3.    Matriks Observasi

4.    Matriks Koreksi
BAB III

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil perhitungan data pasang surut air laut menggunakan metoda
Least Square untuk menentukan konstanta harmonik pasang surut air laut dapat
digunakan dengan menggunakan program MS EXCEL.

5.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis
harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/9678239/Contoh_Pengolahan_Data_Pasang_S
urut_Dengan_Metode_Least_Squares (diakses 24 Mei 2019)
https://www.academia.edu/22684292/LAPORAN_PENGOLAHAN_PAS
UT_METODE_ADMIRALTY (diakses 24 Mei 2019)
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/maspari/article/view/2491(diakses 24
Mei 2019)

Anda mungkin juga menyukai