NIM : 190711637219
Offering :C
Pertemuan Ke 2
Pada tanggal 23 Juli 1903 terbit sebuah undang-undang di Hindia Belanda yang dikenal dengan
nama Decentralisatie Wet 1903. Pasal-pasal dalam wet tersebut membuka kemungkinan mengadakan
desentralisasi dalam pemerintahan, untuk mewujudka daerah-daerah yang mengurus rumah tangga
sendiri, yang meliputi Gewest dan bagian dari Gewest atau Gedelte van Gewesten (Harsono, S.H
1992 :57). Undang-undang ini kemudian dipublikasikan melalui Nederlandsche Staatblad tahun 1903
No. 219 dan melalui Indische Staatsblad No.329). Pelaksanaan Decentralisatie Wet 1903 pemerintah
Belanda mengeluarkan Decentralisatie Besluit 1905 dan Local Raden Ordonnantie.
Dengan dasar UUdan aturan itu maka daerah-daerah di Hindia Belanda yang telah memenuhi syarat
diubah statusnya menjadi kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri yang terpisah dengan
pemerintahan pusat tetapi tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
Gemeente dan Kabupaten adalah kesatuan masyarakat hukum yang tingkatannya sama,
pendapatan daerah serta hak dan kewajiban yang sama. Hanya saja Gemeente harus dipimpin
oleh seorang walikota (burgermeester) oleh orang Belanda bukan pribumi. Anggota dewan
kota (Gemeente raad) terdiri dari orang Belanda asli, Pribumi dan orang asing lainnya yang
jumlahnya telah diatur oleh pemerintah Belanda. UU Desentralisasi menciptakan dewan-
dewan lokal, baik Dewan Keresidenan maupun Dewan Kota sebagai lembaga hukum yang
mempunyai wewenang membuat peraturan. Desentralisasi ini mencakup tiga hal, yaitu
Dengan dibentuknya Gemeente yang memiliki otoritas untuk mengelola kota, lembaga
kemudian memperoleh hak yang melekat pada wewenang yang dimiliki yaitu hak untuk
mengumpulkan pajak dari warga kota yang bersangkutan serta hak untuk mengumpulkan
dana dari usaha-usaha yang dialihkan oleh pemerintah pusat, penjualan dan penyewaan
rumah, tanah dan lain-lain (Basundoro, 2012:93).
Undang-undang ini menganut asas otonomi formal sekaligus asas otonomi material. Asas
otonomi material ini tersurat pada Pasal 23 ayat (2) yang menyebutkan bahwa hal-hal yang
menjadi urusan rumah tangga daerah ditetapkan lewat undang-undang pembentukan bagi
tiap-tiap daerah. Asas formal (dalam rumusan negasi) tercantum pada Pasal 28 yang
merumuskan tentang batasan dan larangan bagi DPRD untuk membuat peraturan daerah yang
materinya telah diatur dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam penjelasan angka III
dinyatakan bahwa pemerintah pusat menyerahkan urusan kepada daerah dengan seluas-
luasnya. Namun pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 sulit
diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan keadaan negara sedang
revolusi yang melibatkan clash dengan Belanda serta kesulitan-kesulitan dalam negeri
lainnya.
Pada 17 Januari 1957 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang pertama kali memperkenalkan konsep
otonomi rill. Undang-undang ini tidak secara tegas menetapkan hal-hal apa yang menjadi
urusan rumah tangga daerah dan apa yang tergolong pemerintah pusat.16 Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, maka timbul dualisme pimpinan di daerah, yakni di
samping terdapat kepala daerah tingkat 1 juga terdapat gubernur, di daerah tingkat II di
samping terdapat kepala daerah tingkat II ditemukan pula bupati sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah tersebut.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi, UU No.5
tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dibentuk. UU ini telah
meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip,
yaitu:
Akibat dari prinsip-prinsip tersebut, maka dikenal dengan adanya daerah otonom dan wilayah
administratif. Meskipun harus diakui bahwa UU No.5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen
politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam
perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang
paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah
ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
Ada karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan Pemda menurut UU
ini:
1. Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau
administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas di antara keduanya,
tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua kedudukan
sekaligus, yaitu sebagai Daerah Otonom yang berpemerintahan sendiri dan sebagai
Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari kepentingan Pemerintah
Pusat yang ada di Daerah.
2. Pemda diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai Daerah
Otonom, dan kenudian Wilayah Administatif berupa Propinsi, Kabupaten/Kotamadya,
dan Kecamatan.
3. DPRD baik Tingkat I maupun II dan Kotamadya merupakan bagian dari Pemda.
Prisip ini baru pertama kali dalam sejarah perjalanan Pemda di Indonesia karena pada
umumnya DPRD terpisah dari Pemda.
4. Peranan Mendagri dalam penyelenggaraan Pemda dapat dikatakan bersifat sangat
eksesif atau berlebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung
terhadap Daerah.
UU ini memberikan tempat kuat kepada Kepala Wilayah daripada Kepala Daerah. Keuangan
Daerah, sebagaimana umumnya dengan UU terdahulu, diatur secara umum saja. UU No.5
Tahun 1974 meninggalkan prinsip “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” dan diganti dengan
prinsip ”otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”
Adapun latar belakang situasi pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah
sebagai berikut :
1. Sedang giatnya sosialisasi pembangunan ekonomi dan menomorduakan pembangunan
politik. Pemerintah Orde baru dengan trilogi pembangunan pada waktu itu hendak
menciptakan stabilitas nasional yang mantap.
2. Untuk itu diperlukan pemerintah yang stabil dari Pusat sampai ke Daerah.
3. Selanjutnya dibuatlah berbagai Undang-Undang yang sentralistis, mengurangi
kegiatan Partai Politik dan memandulkan peran DPR dan juga peran DPRD. Bahkan
di Daerah kedudukan Kepala Daerah sengaja dibentuk dengan istilah penguasa
tunggal dan menomorduakan peran DPRD.
4. Memaksakan fusi Partai-partai dari sembilan Partai menjadi 2 partai di samping
dominasi Golkar.
5. Pengukuhan dan pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI di segala bidang dan sektor
pemerintahan termasuk di bidang legislatif dari Pusat sampai ke Daerah.