Anda di halaman 1dari 6

Seorang Wanita yang Bangun di Dini Hari

Televisi di rumah mereka masih menyala. Berita-berita dari berbagai channel lokal
maupun nasional barusan mewartakan bahwa beberapa bulan ke depan, sebuah bencana
akan tiba menghukum manusia. Beberapa pemuda dan tetuah tergelitik mendengar
berita itu. Masih di depan televisi, mereka berkumpul, lalu kembali bersiasat untuk
membeli beberapa anggur dan bir seolah tak percaya ada-Nya.

Istri pemilik rumah itu belum juga pulang sejak pergi mengaji. Kebiasaan lazim, tapi
bukan di tempat ia tinggal, lebih tepatnya kota seberang. Sedang makin sore—para
simpatisan kembali berkerumun di rumah mereka. Terutama ibu-ibu dan para gadis
yang sedang berjalan dalam kekosongan. Berahi yang tak pernah kenyang tiap waktu
itu hanya bertumpu pada perjudian dan pelacuran. Tentu saja uang yang tak halal, tak
juga haram. Makin biasa saja.

Orang-orang menilai istrinya itu sering memikat perhatian. Ia orang yang berbeda. Baru
kali ini ada orang di tempat mereka yang begitu baik, sederhana, dan sepertinya hanya
dia yang beragama. Kalau saja ia berada saat ini di hadapan suaminya beserta orang-
orang yang kerap kumpul kebo di rumah mereka itu, ia akan disorot seolah
pemandangan erotis tergurat di wajahnya.

Ia istri yang baik, pikir suaminya, seorang lelaki yang terjerumus skandal profesi ketika
ia menjadi akuntan beberapa tahun lalu, kemudian menimbun dirinya ke dalam
prostitusi ilegal yang ia bangun saat tahun-tahun terakhir masa buinya.

Yang dinanti-nanti sang suami adalah menunggu istrinya pulang mengaji. Ia yakin dari
jubah yang berbeda, muka yang sedikit bercahaya sering menambah nilai guna sang istri
seiring datangnya berbagai pelanggan. Padahal istrinya selalu berceloteh seperti
sebelumnya, hatinya sangat teduh usai pengajian sembari mengelus-elus perutnya
seolah ia sedang hamil. Dan suaminya itu tahu isyarat apa yang bakal ia dengar lagi di
dini hari nanti.

Kebiasaan itu terjadi setiap dini hari yang buta. Sang istri melakukan aktivitas yang
lebih ganjil ketimbang percaya bahwa iman itu ada. Mula-mula ia mengambil
handphone bersama earphone milik suaminya, lalu ia letakkan perekam earphone itu ke
arah rahimnya; ia harap bisa membuktikan ada bisikan primordial, bisikan yang benar-
benar nyata. Setelah direkamnya beberapa kali sang istri mendengar rekaman itu serupa
desis gelombang nafas yang ia simpulkan sebagai suara misterius dari janji primordial
yang diceritakan oleh kitab-kitab suci benarlah fakta.

Ada satu pola yang mampu menarik perhatian istrinya. Sang suami berandai-andai
membawa imajinasi istrinya ke imajinasinya sendiri. Dia bercerita bagaimana
perjalanan nabi terakhir dalam waktu sekejap bisa menembus langit ke tujuh. Sang istri
mengangguk-angguk sekalipun nalarnya tak mampu menjangkau.

Sang suami lantas berdiri kemudian melangkah ke arah kontak lampu. Ia menjelaskan
sedikit matematis: hitungan jarak kontak dengan vetin lampu terhitung bersih tujuh
meter, listrik mempunyai arus tapi ketika kotak lampu dipencet secepat kontak itu
beralih lampu yang berjarak itu langsung menyala sekali instruksi.

Sang istri tersenyum, melas-melas pada suaminya. Tak mempercayai hal itu bisa terjadi
yang sebetulnya hendak ia katakan: sains bisa membawa bukti terhadap kekuasaan-
Nya. Meski sudah lama ia meninggalkan Tuhan.

Insiden di dini hari berlanjut terus-menerus di waktu yang sama. Sang suami bahkan tak
punya waktu meladeni para pelanggan dan mengurusi prostitusi karena terus-menerus
bangun kesiangan. Istrinya mengalap, di lain kesempatan yang tak pernah ia duga, sang
suami membawa sebuah robot yang katanya: manusia sudah bisa menciptakan manusia,
yang dimaksud darinya adalah istrinya tak perlu terlalu risau perkara-perkara mistis
melalui percobaannya yang tak absurd.

Nyaris sepanjang waktu sang istri kembali merayu sang suami yang mulai kelelahan,
dan satu-satunya cara menangkisnya, mengakui bahwa ia tak terlalu paham terhadap
sains, dan hanya seorang akuntan yang tidak akuntabel.

Perlakuan sang Istri menjelang usia dua puluh tahun mereka makin menjadi-jadi, ia
menginginkan kesimpulan yang valid, sedangkan sang suami sendiri terkapar,
menyerahkan dirinya ke dalam korteks otaknya yang kalah. Sebuah rekaman di dini hari
enggan menyibukkan sang istri lagi, tapi terus bergelimang, menadai tiap pikirannya—
bahwa sudah waktunya, ia melihat Tuhan, menyingkap diri-Nya yang terlalu lama
tenggelam: Fakta atau fiksi?

Tapi, untuk apa ia ingin melihat Tuhan?

Di hadapan televisi alih-alih berganti fungsi dan peran. Orang-orang akan berkerumun
di tempat di mana sang istri mempromosikan robot yang baru dibeli suaminya baru-baru
ini dan berkata: lihatlah, kita mampu menciptakan manusia. Keheranan orang-orang
tampak giur pada wajah mereka yang pasrah dalam kebodohan. Jika saja ada pendidikan
yang lebih bermutu selain bergantung pada alam, mereka pasti punya keahlian
menentukan bermutu atau tidak penemuan itu.

Sorak-sorak dirayakan sontak waktu itu juga. Rumah-rumah dirapikan. Para mucikari
mengabai berahi mereka yang sesekali mengidap diri masing-masing. Sang Istri duduk.
Tampilan itu tampak memikat, stoking yang dipakainya itu melilit pandangan tiap kaum
Adam, hampa, membuat mereka orgasmus dengan pikiran sendiri.
Sang suami belepotan. Berlinang tangisnya tak tahu harus berbuat apa. Ia tak punya
bekal memarahi istrinya yang membuatnya tunduk. Satu-satunya perawan muda yang
tersisa di dunia imajinasi mereka.

Aksi-aksi terus berlanjut. Pertama, sang istri memulai membuktikan bagaimana


perjalanan Nabi terakhir menuju langit ke tujuh dalam waktu yang singkat secepat
pencetan kontak lampu.

Dan di sini, di hadapan para hadirin, sebuah pertanyaan menampar mereka sampai
lunglai. Pertanyaan itu dalam kurun waktu tak terhingga tak pernah habis dibicarakan.
Pertanyaan yang sangat mudah diucapkan bahkan bisa diucapkan siapa saja yang bisa
berbicara: Bagaimana sebuah bunyi dapat melangkah menuju telinga sedangkan ia
sendiri tak punya kaki untuk melangkah, tak ada layar yang membuatnya berlabuh, tak
ada sayap yang membuatnya bisa terbang, namun bagaimana semua itu lugas terjadi?

Jawaban memang tak semudah bertanya, selain karena memiliki ukuran tertentu, juga
memerlukan alur logika tertentu. Di kota ini pun kesamaan itu enggan berhenti. Sebuah
pencarian yang melahap habis tingkat rasional berpikir. Tapi segalanya berjalan baik-
baik saja seolah tak bermasalah meskipun ada berbagai pertanyaan asing yang baru kali
pertama mereka dengar.

Sang istri lalu mengajak para perempuan yang terlibat dalam acara itu untuk melakukan
ritual aneh yang sering ia lakukan di dini hari lewat perekam misterius yang katanya
mampu merekam suara para malaikat. Penemuan itu tentu sulit. Alat macam apa yang
bisa menangkap perkara mistis seperti itu, sekalipun menggunakan infra paling
canggih?

Masalahnya ada dua alam berbeda, tentu saja dengan dimensi yang berbeda.
Kesalahpahaman itu menjungkir semua harapan yang tak pernah diduga sang suami
akan terjadi begini. Ingatlah, katanya, tak semudah yang kau bicarakan nanti terwujud.
Sang Istri mengelak, dia bilang, seharusnya kau menjadi seorang filsuf ketimbang
akuntan yang materialitasnya berdampak buruk padanya seperti masa lalu yang ke
sekian.

Tepat di dini hari ia melihat semuanya berubah. Kota menjadi serba kompleks. Namun,
kejanggalan yang masih serupa berganti alih; sang istri terngiang-ngiang.

Seperti itu, dan di hadapan televisi keduanya lalu menarik diri dari lamunan yang sudah
lama mengembara, menukik ke setiap celah pertanyaan dari alam yang tak memenuhi
ruang dan waktu.

Sepasang rumah tangga itu kemudian berpelukan dalam posisi setengah telanjang
berpakaian separuh mihrab. Sang suami mengecup dahi istrinya yang kian lama
menangis. Sebelum menghilang ia melihat istrinya tersedu-sedu memohon ampun
sangat ketakutan.
Biodata Pengarang

M. Rizki Munawar lahir dan tinggal di Ternate,


Maluku Utara. Sekarang sebagai mahasiswa aktif
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Karya
yang pernah diterbitkannya Ren: Memoar Luka
Seorang Mahasiswa (Ganding Pustaka, 2016).

Data Diri

Nama : M. Rizki Munawar


Alamat : Kelurahan Fitu
RT/RW : 007/003
Kelurahan : Fitu
Kecamatan : Ternate Selatan
Facebook : M. Rizki Munawar (Rikimawar)
Email : munawarmrizki@gmail.com
No. Telp : 081242537723
No. Rek : 2129-0100300-50-6 (Munawar Ilyas, BRI)

Anda mungkin juga menyukai