Anda di halaman 1dari 5

Kematian Seorang Tuan Tanpa Disentuh

“Menurutmu Rin, kapan istri saya balik dari tugasnya sebagai pejabat
pemerintah?” keluh sang tuan.
“Secepatnya Tuan.” Rin menduga, mungkin tuannya akan menikah lagi.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sudah berkali-kali ia dengar dari tuannya. Alhasil
dari pertanyaan itu dikehendaki sang Tuan menikah lagi.
“Ia mungkin sudah berhubungan dengan pejabat yang lain,” Bisiknya. Lalu Rin
dipanggil tuannya agar duduk tepat di sampingnya.
“Kau tak usah malu. Saya hanya butuh kehangatan. Tidak lebih dari itu.” Lelaki
itu merayu seolah baik-baik saja. “Sekarang ini saya menduda, kau tahu? Betapa saya
tersiksa tanpa kebutuhan—sekali saja, sungguh hanya sekali!”
“Ta...”
“Ya, saya mengerti maksudmu. Begini Rin, kau sudah menjadi pelayan tiga
tahun lebih. Kau layani saya dengan baik terutama kebutuhan ekonomi. Tapi, istri saya
—ah saya enggan mengingatnya. Sungguh saya membenci dan tidak lagi
mencintainya.”
Sang tuan mendekatkan dirinya ke pelayan rumahnya. Lampu kamar dimatikan.
Gorden sudah ditutupnya. Sang tuan menyempurnakan posisi tidurnya lagi.
Menelungkup dengan setengah badan terbuka.
Mau tak mau pelayan itu menuruti tuannya. Dibukanya ikal rambutnya
menghempaskan aroma mirip putik melati tentu juga dengan perasaan gemetar. Tapi
terdengar dari arah depan seseorang sedang memencet bel rumah. Diperintahkan sang
tuan kepada Rin dengan nada memburu. “Segera katakan pada siapa saja tamu yang
datang, kalau saya sedang keluar kota!”
“Selamat pagi, Bu, Ada yang bisa saya bantu?”
“Ini alamatnya Tuan Sarka?” Si pelayan mengiakan. Tamu itu mirip ibu-ibu.
Dan nama yang disebut tamu itu adalah nama tuannya. Tamu itu tampak tercengang. Ia
tak menduga tuan pemilik rumah yang dikunjunginya masih hidup dan sepertinya ia
mengenalnya.
Sembari mengkhayal, Rin kebingungan. “Ibu, ada perlu apa ya dengan tuan
Sarka?” Tamu itu senyum saja. “Kalau tidak lancang, Tuan sedang ke luar kota.”
“Oh, begitu ya,” katanya, “kebetulan lewat saya mampir saja ke sini.” Usai itu,
tamu itu kemudian meminta sesuatu dari Rin. “Kalau boleh, saya bisa minta nomor
teleponmu yang bisa dihubungi?” Menerima nomor telepon yang dikasih si pelayan,
tamu itu berlalu.
***
Adalah istri pertama yang sudah diceraikan tuan Sarka. Sepengetahuan Rin,
tuannya memiliki dua istri. Satunya sudah diceraikan akibat istrinya yang kedua. Istri
tuannya yang baru ini menjabat sebagai staf ahli di partai. Jika ditambah ibu Ning,
tuannya memiliki tiga istri.
Mereka bertemu di hari ketiga. Wanita itu menceritakan segalanya, lantas
dirangkainya metode balas dendam yang baik. Balas dendam tanpa menjejakkan proses
hukum.
“Kekayaannya itu bermula dari kakek saya. Tuan Sarka dulunya seorang
pejabat. Ia dipecat gara-gara terlibat dalam insiden perpolitikan. Jabatannya dicabut dan
kakek saya begitu kasihan melihatnya. Dengan itu, harta kakek saya dititipkan padanya
atas nama saya.” ibu Ning mulai membuka semua kebenaran yang selama ini tersimpan
di balik kekayaan mantan suaminya.
Ditambahnya, ”setelah menerima kekayaan itu, ia banyak bermain dengan
perempuan. Karena sebagai seorang pebisnis tak mudah ia dijerat ke proses hukum. Ia
merasa bebas dengan kekayaan dan bisnis yang tidak bertanggung jawab.”
Untuk membuktikan itu, Rin menemukan sebilah lembar sertifikat yang
bertuliskan “Nining Angisaputra” di tempat yang baru saja diketahuinya ketika
membongkar beberapa almari di dalam kamar tuannya di kemudian hari.
Percakapan panas itu lama-lama termakan waktu. Matahari kian menurun.
Hanya cahaya yang terselip dibalik gunung yang mampu dijangkau. Langit menjadi
gelap. Hari semakin menggigil.
“Kau harus menjadi orang yang tidak takut dengan kebenaran meskipun hal itu
akan mempengaruhi pekerjaanmu, Nak,” rembuk wanita itu pada Rin.
***
Dua minggu rumah tuan Sarka menjadi sepi. Rin menjalani hari-hari yang amat biasa.
Kendati baru diketahuinya seluk-beluk tuannya, ia masih setia dengannya. Namun suatu
saat ia pikir lebih baik tuannya segera dibunuh.
“Saya belikan dua gaun baru untukmu, Rin.” Setiba tuan Sarka setelah dengan
lama menyibukkan diri di luar kota. “Suka?” Pelayan itu dibuat terdiam. Matanya tak
sanggup mengedip bukan karena gaun baru itu namun perlakuan tuan Sarka yang agak
berlebihan.
“Jujur saja Rin, saya mencintaimu melebihi istri saya sendiri.” Tepat dugaan
Rin. “Kalau kau mau, kita bisa bicarakan baik-baik. Pernikahan kita. Biar kau tak
menganggapnya haram.”
“Bagaimana dengan istri tuan?” Rin tergugup.
“Ah, sudahlah. Dia itu jangan terlalu dilayani, surat cerai sudah saya urus nanti
juga dia akan menghilang.”
Tuan Sarka betul-betul akan menceraikan istrinya. Terdapat sebuah kertas yang
berisikan “Surat Perceraian” tertanda tangan namanya sendiri. Sayang, Rin kembali
teringat istri pertama tuannya itu. Keluhan, tangis, dan air mata darinya sempat jelas ia
lihat di dalam pikirannya. Kini ia bersiasat benar-benar akan membunuh tuannya
sekalipun harus menikah.
Sementara rasa cinta tuan Sarka pada Rin meruak. Sekali ia memandangnya
matanya seolah tak bergerak. Melotot dalam hening yang terpikat. Dan pelayannya itu
telah menyepakati akan menikah tanpa syarat yang membebani.
Keduanya akhirnya menikah dengan cara yang siri. Waktu pernikahan itu, ibu
Ning mengirim pesan pada Rin tanpa sepengetahuan mantan suaminya:
Hukum negara ini tak bisa kita harapkan. Untuk menjaga dirimu dari proses hukum,
bunuhlah ia dengan cara yang bijak. Tanpa menyentuhnya, tanpa menggunakan
apapun. Saya hanya mengingatkanmu, Rin.

Cara itu susah ditafsirkan Rin. Mana mungkin ia bisa membunuh tanpa
menyentuhnya sama sekali. Pada malam pertama, Tuan Sarka mengajaknya bulan
madu. Rin menolak dengan alasan ia masih dalam kondisi uzur. Tuannya memaklumi.
Dan mungkin di kesempatan yang lain ia bisa cepat-cepat membuat anak, bila
pelayannya itu sudah dalam kondisi normal.
Hari-hari tuannya menjadi suram. Ia lebih banyak berbicara sendiri, merangsang
pikirannya yang sesekali lacur, lalu bergerutu kecil semacam ia dibuat gila oleh, Rin.
Sampai suatu malam yang menggigil, ketika hasrat sudah tak mampu
ditampung, dan keinginan akan anak yang kian membuncah—Tuan Sarka duduk sambil
menghitung siklus menstruasi yang terjadi pada istri barunya itu. sementara pelayannya
berada di luar kamar sembari mendengarkan apa yang tuannya katakan dengan posisi
meningkap.
“Sayang, malam nanti bisa tidak kita memulai keturunan kita?”
“Darah saya belum normal, Tuan. Sampai saat ini saya masih uzur,” tuturnya.
Padahal sudah sebulan berjalan dari masa suburnya, pikir tuan Sarka. Dengan alasan
logis Rin dimaklumi tuannya untuk ke sekian kali.
“Sayang, malam nanti bisa tidak kita memulai keturunan kita?” pinta Tuan Sarka
dengan nada memohon sembari membelai rambut pelayannya.
“Darah saya belum normal, Tuan. Sampai saat ini saya masih uzur.”
Tuan sarka terpingkal dengan sendirinya sembari mengkhayal kesal.
“Tidak mungkin!”
***
Beberapa bulan terlewati. Tuan Sarka menjadi lebih kurus semenjak ia menikah
dengan Rin. Tanda dari pipinya berkeriput dan berlipat-lipat tak keruan.
Dia bertanya-tanya, “kapan kita mempunyai anak?” Rin terus mendesah. Dalam
hati, ia tertawa bisik. Bagaimanapun juga mereka tak mungkin mempunyai anak. Ia
belum pernah dijamah tuannya itu. Ia tak bisa memberikan seenaknya begitu saja tanpa
ada rasa cinta terhadap tuannya. Karena itu, ia selalu memberikan alasan tentang
uzurnya demi menolak yang dimaui tuannya.
Kesalahan terbesar tuan Sarka karena terlalu mencintainya. Kecintaan yang
besar itu membuat ia tak berdaya. Bahkan perempuan lain yang dilihatnya tak mampu
mempengaruhi rasa cintanya terhadap si pelayan.
Rin bisa melihat dan merasakan semua itu, cinta, kasih sayang yang diberikan
tuannya menjadi kesempatan dan alat demi mempermainkan hati tuannya. Dengan cara
yang menyiksa tanpa membuat kandung, lama-lama akan membunuh nyawa tuannya,
pikirnya.
Ketika tuan Sarka kehilangan kekuatan tubuhnya, Rin menggodanya pelan. Di
dalam kamar yang hanya diselingi lampu pion, terpantul jelas tubuhnya sedang melucuti
pakaiannya. Tubuhnya nyaris sempurna dan begitu berhasrat. Ia mulai mendekapkan
tubuhnya pada tuannya yang tergelatak lumpuh di atas kasurnya.
Rin mendesah, berdesis, serta suaranya makin merangsang. Ia menyentuh suami
sirinya yang masih mengenakan pakaian. Dihitungnya detik per detik sampai ke menit
melelahkan, tuannya melotot dan matanya serasa tercabut, urat-uratnya menegang, tapi
daya tubuhnya tak bisa menjamah istrinya. Tubuhnya sudah lumpuh sebelum ia
meninggal.

Kata dokter, selain karena tuan Sarka meninggal karena lumpuh, ia diagnosa
mengalami depresi akut. Dokter itu mengatakan depresi karena harta bukan karena
cinta. Berbeda dengan Rin; tuannya meninggal bukan karena harta tapi karena cinta dan
hasrat biologis yang terlalu menggebu.
Ibu Ning ketika mendengar kematian mantan suaminya itu lantas mengapresiasi
dan memuji Rin.
“Kau lolos dari proses hukum, Nak.”

Anda mungkin juga menyukai