Anda di halaman 1dari 21

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan geometrik jalan raya adalah suatu bagian dari perencanaan


jalan, dimana geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-
bagiannya disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu-lintas.Perencanaan
geometric jalan raya dipengaruhi oleh factor-faktor lalu lintas, keadaan tofografi,
keamanan dan kapasitas jalan seperti pada factor tafografi jalan yang ditentukan
oleh klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang.

2.1 Pengertian Jalan Raya

Menurut Silvia Sukirman Jalan raya atau jalur lalu lintas (tranvelled way
= carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan
untuk lalu lintas kenderaan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane)
kenderaan. Lajur kenderaan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperun
tukan untuk dilewati oleh suatu rangkaian kenderaan beroda empat atau lebih
dalam satu arah . jadi jumlah jalur minimal untuk jalan 2 arah dan pada umumnya
disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk satu arah minimal
terdiri dari 1 lajur lalu lintas.

2.2 Klasifikasi Jalan

Factor-faktor pokok pada klasifikasi jalan jalan raya untuk penerapan


pengendalian dan kreteria perencanaan geometric adalah Volume Lalu lintas
Rencana (VLR), fungsi jalan raya dan kondisi medan.
Menurut peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, jalan dibagi atas
beberapa kelas yang telah ditetapkan berdasarkan fungsi dan volumenya, serta
sifat-sifat lalu lintas berdasarkan ketentuan Dirjen Bina Marga. Adapun
penggolongan tersebut sebagai syarat batas dalam perencanaan suatu jalan yang
Sesuai dengan fungsinya. Penggolongan kelas jalan tersebut diperlihatkan
pada table 2.1 berikut :
4

Tabel 2.1 : Penggolongan kelas jalan


Fungsi Medan VLR ( smp / hari )
> 30. 000 30.000³ 10.000 ³
>10.000
JALAN D Kelas III Kelas III Kelas IV
KOLEKTOR B
G Kelas III Kelas III Kelas IV

Sumber : Spesxifikasi standar untuk pertencanaan geometrik jalan luar kota


(Rancangan akhir), 1990

Tabel 2.2 : Standard Perencanaan Geometrik Jalan Untuk Kelas III


5

Ketentuan Perencanaan Klasifikasi Medan


Gun
Datar Bukit
ung
- Volume lalu lintas harian rencana ( LHR ) - 30.000 ≥ -
- Kecepatan rencana ( Km/jam ) > 10.000
- Lebar perkerasan (m ) 60 50 40
- Lebar Median ( minimum mutlak jalan ) ( m ) 2 x 3,00
- Lebar Median ( minimum standar jalan ) ( m ) 0,5
- Lebar bahu
- Minimum mutlak 1,0
- Lebar bahu jalan yang diinginkan
- Lereng melintang perkerasan
- Lereng melintang bahu 0,75
- Pencapaian kemiringan tepi jalur lalu lintas 2,50
untuk
V= 40 Km / jam 2%
50 Km / jam 4%
30 Km / jam
- Jari-jari lengkung minimum ( m )
- Landai maksimum 1/100
1/115
1/75
210 80 15
4% 7% 9%

Sumber : Spesifikasi standard untuk perencanaan geometrik jalan luar kota


( rancangan akhir ) 1990 .

2.3 Penentuan Titik Koordinat


6

Menurut Soetomo Wongsotjitro (1980), metode yang digunakan dalam


perhitungan titik koordinat atau jarak dari titik PI ke titik PI lainnya dapat
menggunakan persamaan Phytagoras, yaitu :
D1-2 = ( X 2  X 1 ) 2  (Y2  Y1 ) 2 …………………………………………..(2.1)

Dimana :
D 1,2 = Jarak antara titik 1 dan titik 2 (m )
X1, Y1 = Koordinat dari titik 1 (m)
X2, Y2 = Koordinat dari titik 2 (m)

2.4 Menentukan Sudut Putar

Menurut Soetomo Wongsotjitro (1980), bahwa sudut putar pada tikungan


dapat diselesaikan dengan persamaan di bawah ini :
Y2  Y1 Y  Y2
PI  arc tg  arc tg 3 …………………………………...
X 2  X1 X3  X2
(2.2)
Dimana :
DPI = Sudut Putar ( o )
X1, Y1 = Koordinat dari titik 1 (m)
X2, Y2 = Koordinat dari titik 2 (m)
X3, Y3 = Koordinat dari titik 3 (m)
Dari persamaan di atas dapat diketahui d1-2 antara titik 1 dan titik 2, dari sudut
jurusan 1 garis menghubungkan titik 1 dan titik 2 juga titik 3.

2.5 Perencanaan Alinyemen Horizontal

Menentukan alinyemen horizontal pada suatu jalan, direncanakan agar


didapatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengemudi ketika berubah arah,
menurut Silvia Sukirman (1994), bentuk lengkung Horizontal yang digunakan
dalam perencanaan perencanaan geometrik jalan raya. Ada tiga bentuk, antara lain
yaitu :
7

1. Lengkung Full Circle


2. Lengkung Spiral Circle Spiral, dan
3. Lengkung Spiral Spiral

2.5.1 Bentuk Lengkung Full Circle (FC)

Lengkung Full Circle terdiri dari bagian lingkaran tanpa adanya peralihan.
Untuk menghitung lengkung Full Circle dipergunakan persamaan sebagai berikut
Tc = R . Tg.  / 2…………………………………………………………
(2.3)
Ec = Tc . Tg  / 4…….……………………………. ………….………....
(2.4)
Lc =  ( 2p.R ) / 360………………………………………….……….….
(2.5)
Dimana :
Tc = Jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct ( m )
Rc = Jari- jari rencana (m)
Ec = Jarak PI lengkung peralihan (m)
D = Sudut tangen ( 0 )
Lc = Panjang bagian tikungan (m)

Tabel 2.2 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m
8

120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60

Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)

Adapun lengkung Full Circle seperti pada gambar 2.1 berikut :

Gambar 2.1 : Bentuk Lengkung Full Circle


Sumber : Silvia Sukirman (1994)

2.5.2 Bentuk Lengkung Spiral Circle Spiral (S-C-S)

Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang memiliki


peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya sentrifugal
terjadi secara berangsur-angsur. Batasan kecepatan rencana yang digunakan pada
lengkung Spiral adalah seperti diperlihatkan pada tabel 2.3 di bawah ini :
Batasan rencana V Jari-jari lengkung minimum (Rc)
( km/j ) ( meter )
9

120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15

Sumber : Shirley.L Hendarsin ( 2000 )

Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.2
berikut :

Lengkung Ts-Ts adalah lengkung peralihan berbentuk spiral yang


menghubungkan bagian lurus di kiri Ts, titik ts adalah titik peralihan bagian lurus
ke bagian spiral ke bagian lingkaran. Untuk menghitung lengkung Spiral-Circle-
Spiral pada tikungan digunakan persamaan berikut :
10

Ls.90
qs = ……………………………………………………………….
 .R
(2.6)
Dc = D - 2.qs …………………………………………….………………...
(2.7)
c ( 2. .R )
Lc = . …………………………………………………………
360
(2.8)
Kontrol :
Lc > 20 ………………..Ok! S-C-S
Lt = Lc + 2.Ls ……………………………………………………………(2.9)
2
P = Ls  R (1 - cos s) ………………………………………………
6.R

(2.10)
Ls3
k = Ls – ( ) - R . sin q s …………………………………….
40 . R 2

(2.11)
Es = ( R + P ) sec D/2 - R………………………………………………(2.12)
Ts = (R + P) tg D/2 + k…………………………………………………(2.13)

Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari titik Ts dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
k = Jarak antara Ts dan Cs pada garis lurus (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang lengkung circle (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (°)
Lt = Panjang lengkung circle (m)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
qs = Sudut Spiral (o)
Dc = Sudut busur lingkaran (o)
11

2.5.3 Bentuk Lengkung Spiral-Spiral (SS)

Lengkung Spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan


ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada daerah
yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini hanya terdiri
dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R lengkung
peralihan dan Ls < dari Tabel.

Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah lengkung


tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Untuk
menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunak persamaan berikut ini :
qs = ½ D ……………………………………………………………. .(2.14)
Ls = qs . . R / 90 ….………………………………….……………..(2.15)
p = (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos s) ……………………………………... (2.16)
k = Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin s……………………………………. . .(2.17)
Ts = (Rc +P) tan s + k…………………………………………….....(2.18)
Es = (Rc +P) Sec s – Rc.………………………………………….....(2.19)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………………......(2.20)

Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
D = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
q = Sudut Spiral (o)
Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar 2.3 di
bawah ini
12

Gambar 2.3 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral

2.6 Menentukan Jarak Pandang


Menurut Silvia Sukirman (1994) Jarak pandang adalah panjang jalan di
depan kenderaan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik
kedudukan pengemudi. Jarak pandangan pada jalan raya dibedakan atas dua, yaitu
jarak pandangan henti dan jarak pandangan menyiap.

2.6.1 Jarak pandang henti

Jarak pandang henti adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk dapat
menghentikan kenderaannya, guna untuk memberikan keamanan pada pengemudi
kendaraan. Jarak pandang henti menurut Silvia Sukirman (1994) terdiri dari dua
elemen yaitu jarak yang ditempuh sesudah pengemudi menginjak rem dan jarak
yang ditempuh sementara pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti,
dihitung dengan menggunakan rumus:
d1 = 0,278 . V . t ………………………………………………..(2.21)
jarak pengereman dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
V2
d2 = ...................................................................…….(2.22)
254. fm

Maka jarak pandangan henti dapat dihitung dengan menggunakan rumus :


V2
d = 0,278 . V . t + 254. fm  L …………………………………
(2.23)
Dimana :
d (JPH)= Jarak pandangan henti (m)
d1 = jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak rem(m)
d2 = Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (m)
13

V = Kecepatan (Km/Jam)
t = Waktu reaksi, diambil 2,5 detik dari AASTHO (1990)
fm = Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah
memanjang
+ = Untuk pendakian
- = Untuk Penurunan
L = Kelandaian jalan

2.6.2 Jarak pandangan menyiap

Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan pengemudi


sehingga dapat melakukan gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat
kenderaan lain dari depan dengan bebas.
Menurut Silva Sukirman (1994), jarak pandangan menyiap dapat dihitung
dengan persamaan berikut :
d = d1 + d2 + d3 + d4 …………………………………….…..(2.24)
dimana :
a . t1
d1 = 0,278 . V . t2 ( V – m + ) …………………………...
2
(2.25)
d2 = 0,278 . d2 …………………………………………….…..(2.26)
d3 = diambil antara 30 m sampai dengan 100 m
d4 = 2/3 . d2 ......................................................................…….(2.27)
dimana :
d = Jarak pandangan menyiap (m)
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kenderaan yang
hendak menyiap dan membawa kenderaannya yang hendak
membelok ke lajur kanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh kenderaan yang menyiap selama berada
pada lajur sebelah kanan (m)
14

d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kenderaan yang mnyiap


dengan kenderaan yang berlawanan arah setelah gerakan
menyiap dilakukan (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kenderaan yang berlawanan arah
selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kenderaan yang
menyiap berada pada lajur sebelah kanan (m)
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan
dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t2 =
6,56 + 0,048 V
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang
disiap = 1,5 Km/jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama
dengan kecepatan rencana (Km/jam)

2.7 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan

Untuk mendapatkan tingkat pelayanan suatu jalan yang baik dan selalu
tetap sama, baik pada bagian lurus maupun pada bagian tikungan maka perlu
adanya pelebaran perkerasan pada tikungan dan menghindari kemungkinan
kendaraan akan keluar dari jalurnya karena kecepatan yang terlalu tinggi.
Menurut Siulvia Sukirman (1994), besarnya pelebaran perkerasan pada
tikungan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
B =  ( Rc 2  64)  1,25  2  64  Rc 2  64  1,25……………….(2.28)
Rc = R- ¼ lebar perkerasan + ½ b…………………………………… .(2.29)
0,105.V
Z = ………………………………………………………….
R

(2.30)
Bt = n (B + C ) + Z……………………………………………………(2.31)
 b = Bt – Bn……………………………………………………………
(2.32)
Dimana :
15

B = Pelebaran perkerasan yang ditempati satu kendaraan di


tikungan lajur sebelah dalam
n = Jumlah jalur lalu-lintas
Rc = Radius sebelah dalam(m )
RW = Radiur lengkungan terluar dari lintasan dalam(m)
b = Lebar perkerasan jalan(m)
 Bn = Pelebaran perkerasan pada tikungan (m)

2.8 Kebebasan Samping Pada Tikungan


Kebebasan samping pada tikungan merupakan salah satu syarat yang
paling penting sehubungan dengan keamanan bagi pengguna jalan. Menurut
Djamal Abdat (1981), kebebasan samping pada tikungan terdapat dua kasus yaitu:
a. untuk kasus ( S > L ), dapat menggunakan persamaan berikut :
90.L 90.L
m = R’( 1- cos ) + ½ ( S – L ) sin ……………..
 .R  .R '
(2.33)
b. Untuk kasus (S<L), dapat menggunakan persamaan berikut :
90.S
m = R’ ( 1-cos )……………………………………….
 .R
(2.34)
dimana :
R’= R-1/4 lebar jalan(m)……………………………………..(2.35)
S = 0,27 . V . t ………………………………………………..(2.36)
Keterangan :
m = Kebebasan samping pada tikungan (m)
R’= jari-jari sumbu jalur dalam (m)
L = Panjang lengkungan(m)
S = Jarak pandangan (m)

2.9 Stationing
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang diperoleh,
maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994), stationing
16

dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-interval tertentu


dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan tersebut akan
memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat Sta
titikTC dan Sta titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia Sukirman
(1994), Metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar
b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung

2.10 Diagram Superelevasi

Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang menggambarkan panjang


ruang yang diperlukan untuk merubah kemiringan melintang (Superlevasi) dari
keadaan normal sehingga superelevasi penuh dan juga memperlihatkan besarnya
superelevasi yang terjadi pada setiap bagian tikungan. Superelevasi penuh adalah
kemiringan maksimum yang harus dicapai pada suatu tikungan tergantung
kecepatan rencana yang dipergunakan.
Menurut Silvia Sukirman (1994), perubahan kemiringan melintang
(Superelevasi) dapat dilakukan dengan tiga cara :
a. Dengan menggunakan sumbu jalan sebagai sumbu putar.
b. Dengan menggunakan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar.
c. Dengan menggunakan tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar

2.11 Kelandaian Jalan


Menurut Silvia Sukirman (1994), landai jalan adalah garis lurus yang
dapat berupa mendatar, mendaki ataupun menurun yang dinyatakan dalam persen.
Pada umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke kanan. Maka,
17

landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan dan diberi
tanda negatif untuk penurunan dari kiri.
Kelandaian jalan pada alinyemen vertikal terdiri tas dua bagian, yaitu :
a. Landai minimum, yaitu landai datar atau landai ideal ( 0 % ) dan dalam
perencanaan disarankan menggunakan :
1. Landai datar untuk jalan–jalan diatas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb.
2. Landai 0,15 % yang dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan
dengan medan datar dan mempergunakan kereb.
3. Landai minimu sebesar 0,3 - 0,5 % yang dinjurkan untuk jalan-jalan
didaerah galian atau jalan yang memakai kereb.
b. Landai maksimum, yaitu kelandaian diatas landai datar atau landai ideal dan
mulai memberikan pengaruh kepada gerak kenderaan mobil penumpang
walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan truck yang terbebani
penuh. Panjang maksimum landai yang masih dapat diterima tanpa
mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang berarti atau biasa
disebut dengan panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan
pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25 % Km/Jam. Kelandaian
maksimum dan panjang kritis landai tersebut seperti diperlihatkan pada tabel
2.4 dan 2.5 di bawah ini :
Tabel 2.4 : Kelandaian Maksimum
Kecepatan Rencana
80 60 50 40 30 20
(Km/Jam)
Kelandaian maks standart (%) 4 5 6 7 8 9
Kelandaian maks Mutlak (%) 8 9 10 11 12 13
Sumber : Spesifikasi Standart Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar
kota (Rancangan Akhir) 1990
Tabel 2.5 :Panjang Kritis Untuk Kelandaian-Kelandaian Yang melebihi
Maksimum Standart

Kecepatan Rencana (Km/Jam)


80 60 50 40 30 20
18

5 % 500 m 6 % 500 m 7 % 500 m 8 % 420 m 9 % 340 m 10%250m

6 % 600 m 7 % 500 m 8 % 420 m 9 % 340 m 10% 250 m 11%250m

7 % 500 m 8 % 340 m 9 % 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12%250m

8 % 420 m 9 % 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12% 250 m 13%250m

Sumber : Standart Spesifikasi Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar


kota (Rancangan Akhir), 1990

2.12 Alinyemen Vertikal

Menurut Silva Sukirman (1994), bahwa alinyemen vertikal adalah


perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui
sumbu jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan
median. Sering disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Dengan demikian, alinyemen vertikal menyatakan bentuk geometrik jalan
dalam arah vertikal. Bentuk dari penampang memanjang sangat menetukan
jalannya kenderaan yang melewati jalan tersebut, karena memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap kecepatan, kemampuan,percepatan, kemampuan
perlambatan, kemampuan untuk berhenti, jarak pandangan dan kenyamanan
pengemudi kenderaan tersebut. Maka berbeda dengan alinyemen horizontal, pada
alinyemen vertikal tidak hanya ditujukan pada bagian yang lengkung, tetapi justru
pada yang penting yaitu bagian badan jalan yang lurus yang pada umumnya
merupakan suatu kelandaian.

Alinyemen vertikal terdiri dari dua buah lengkung, yaitu :


a. Lengkung Vertikal Cekung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen yang
berada di bawah permukaan jalan yang disebut juga lengkung vertikal
positif (+).
b. Lengkung Vertikal Cembung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen
yang berada di atas permukaan jalan yang biasa dilambangkan dengan negatif
(-).
Bentuk lengkung vertikal yang umum dipergunakan adalah berbentuk
lengkung parabola sederhana.Titik A merupakan titik peralihan dari bagian tangen
19

ke bagian lengkung vertikal yang diberikan simbol PLV. Titik B merupakan titik
peralihan dari bagian lengkung vertikal ke bagian tangen dan di beri simbol PTV.
Titik PPV dalah titik perpotongan kedua bagiab tangen. Letak titik-titik pada
lengkung vertikal dinyatakan denagn X dan Y terhadap sumbu koordinat yang
melalui titik A.
Menurut Djamal Abdat (1981), untuk menentukan perbedaan aljabar
landai dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut ini :
A = g1 – g2 ...........................................................................……(2.37)
Dimana :
A = Pergeseran aljabar landai (%)
titik tert inggi - titik terendah
g1,2 = Kelandaian jalan = .100%
jarak

Berdasarkan harga A dan bentuk lengkung, maka diperoleh harga Lv,


sehingga pergeseran vertikal dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan di
bawah ini :
A . Lv
Ev = .......................................................................... (2.38)
800
Dimana :
Ev = Pergeseran vertikal (m)
A = Perbedaan aljabar landai (%)
Lv = Panjang lengkung horizontal (m)
Untuk menntukan panjang station, dapat digunakan persamaan di bawah
ini :
Y = A . X 2 ………………………………………….
200 . Lv
(2.39)
Dimana :
A = Perbedaan aljabar landai (m)
Y = Pergeseran vertikal dari setiap station (m)
Lv = Panjang lengkuk vertikal (m)
X = Jarak Horizontal (m)

2.13 Drainase
20

Dalam merencanakan drainase, data pendukung yang harus ada lain data
curah hujan dan luas daerah yang mempengaruhi pengaliran
terhadap saluran. Hal ini akan berpengaruh terhadap besarnya penampang yang
harus di dimensi, dimana penampang ini harus ekonomis dan juga harus mampu
menampung air secara baik.
a. Analisa intensitas hujan
Perhitungan besarnya intensitas hujan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
(tc), yaitu lamanya air yang mengalir dari tempat yang terjauh kesaluran
pembuang dan juga tergantung pada lokasi daerah pengaliran.
Untuk menghitung besarnya data curah hujan rata-rata dapat
menggunakan persamaan berikut ini :
Sd
Xt = Xa + ( yt  yn) ................................................. (2.40)
Sn
Untuk menghitung waktu konsentrasi (Tc) digunakan persamaan berikut :
Tc = t1 + t2 ……………………………………………………..(2.41)
2 nd 0 ,167
t1 = (  3,28  L0  )
3 s
L
t2 =
60  V
Menurut Standar Nasional Indonesia ( SNI – 03 – 342 – 1994 ), untuk
menghitung besarnya curah hujan digunakan persamaan berikut :
XT
I = 90 % ´ …………………………………………… (2.42)
4
Dimana :
I = Intensitas Hujan (mm/jam)
Xt = Curah hujan rata-rata (mm)
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
S = Kemiringan daerah pengaliran (%)
nd = Koefisien hambatan
t1 = Waktu Inlet (menit)
t2 = Waktu aliran (menit)
V = Kecepatan air rata – rata diselokan (m/dtk)
21

XT = Besar curah hujan untuk periode tiap tahun (mm/24 jam)


L = Panjang saluran (m)
L = Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)

Dengan demikian untuk perencanaan drainase, data-data tersebut diatas


sangat mempengaruhi perencanaan saluran yang akan dibuat sepanjang jalur jalan.
b. Analisa ukuran penampang saluran
Dalam perencanaan ukuran penampang saluran, yang diinginkan adalah
saluran yang mampu menampung dan mengalirkan air hujan secepatnya agar
pengaruh buruk gerusan air terhadap badan jalan dapat dihindari. Walaupun
demikian diusahakan agar saluran dapat lebih ekonomis. Menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI – 03 – 342 – 1994), untuk merencanakan debit aliran
dapat digunakan persamaan berikut ini :
Q = 1/3,6 . C . I . A ……………………………………….. . (2..43)

Dimana : Q = Debit maksimum ( m3/detik )


C = Koofesien limpahan (m)
I = Intensitas curah hujan ( mm/jam )
A = Luas daerah yang dipengaruhi pengaliran ( km2 )
Berdasarkan debit aliran, maka dapat direncanakan besarnya penampang
saluran. Untuk merencanakannya dapat menggunakan persamaan seperti dibawah
ini :
Q
Fd = ………………………………………………………………
V
(2.44)
Dimana :
Q = Debit aliran ( m3/ detik )
V = Kecepatan aliran yang diizinkan ( m/dtk)
Fd = Luas penampang (min 0,50 m2)

2.14 Kubikasi
22

Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang


kesemuanya ini harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga efesien dan
ekonomis. Untuk itu, besarnya galian harus lebih banyak dari pada timbunan,
karena hasil dari pada timbunan, karena hasil dari penggalian dapat digunakan
sebagai timbunan.
Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang dengan metoda
geometrik (sering juga disebut dengan metoda trapesium), maka masing-masing
bagian dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk geometrik sederhana.
Untuk perhitungan luas timbunan dan luas galian seperti diperlihatkan pada
gambar 2.13 serta persamaan yang dipergunakan di bawah ini :

ab
Luas Trapesium : A= . t .................................... (2.45)
2
a. Luas Segitiga : A = ½ . a . t ..................................... (2.46)
b. Luas segi empat : A = b . t ........................................... (2.47)
Dimana :
A = Luas (m2)
a = Panjang alas atas (m)
b = panjang alas bawah (m)
t = Tinggi (m)

b b
t t t
a t
23

Gambar 2.13 : Bentuk-Bentuk Luas Penampang Galian Dan Timbunan


Sumber : Ir. Sunggono K.H (1979)

2.15 Mass Curve Diagram

Menurut Carl F. Meyer dan David W. Gibson (1984), bahwa mass curve
diagram merupakan suatu cara untuk mengetahui besarnya perbandingan volume
galian serta timbunan, sehingga didapatkan volume komulatif dari kedua volume
di atas. Mass curve diagram dari pekerjaan tanah adalah grafik kontinue dari
jumlah netto dan diplotkan dengan station-station sebagai sumbu absis dari jumlah
aljabar galian serta timbunan sebagai koordinat. Biasanya, volume galian diberi
tanda positif sedangkan timbunan diberi tanda negatif.

Anda mungkin juga menyukai