Anda di halaman 1dari 8

SUNNAH DAN BI’DAH

A. Pengertian Sunnah
Pengertian sunnah pada lughat, menurut Asy Syaukany dalam Irsyaadul-Fuhul,
ialah :
‫الطريقة ولو غير مرضية‬
“Jalan yang tetap kita jalani, ( telah menjadi tradisi untuk kita jalani ), baik
diridhoi, maupun tidak.”
Pada pengertian ahli Syara’, ialah :
‫الطريقة المسلوكة في الدين بأن سلكها رسول هللا صلعم أوالسلف الصالح من بعده‬
“Jalan yang dijalani dalam agama, karena telah biasa dijalaninya oleh
Rasulullah dan oleh para salaf yang shalih, sesudah wafat Rasul s.a.w.”.
Dalam pengertian ini, termasuk pekerjaan yang wajib, yang sunnat dan yang
mubah; pekerjaan ataupun I’tiqad.
Ahli Fiqih mengartikan Sunnah (Sunnat) dengan arti :
‫مايثاب على فعله واليعاقب على تركه‬
“Pekerjaan yang dipahalai orang yang mengerjakannya, tidak disiksa orang
yang meninggalkannya.”
Jadi, menurut ini, yang mereka katakan sunnah, ialah : segala yang tidak
diwajibkan, atau tidak difardhukan.
Para ahli ilmu telah memakai kata sunnah pula, untuk menjadi lawan kata
bid’ah. Ma’na pertama, itulah yang diakui ahli hadits dan ahli ushul. Ma’na ahli fiqih,
datang dibelakang, dipertengahan abad yang kedua hijrah.1[1]
Juga kata sunnah ini telah dipakai kata ahli kalam buat I’tiqat yang didasarkan
kepada keterangan Allah dan RasulNya, tidak kepada semata-mata rasio ( akal )
seperti ahli falsafah. Maka orang yang demikian I’tiadnya, dinamai “Ahlus Sunnah.”
Ma’na ini timbul didalam abad yang keempat hijrah. Mereka namai golongan
Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan : “Ahlus Sunnah.”
Kita dalam pembahasan ini, mempergunakan kata “Sunnah” Dalam arti ahli
hadits dan ahli Ushul.
Pengarang As Sunan wal Mubtada’at menta’rifkan Sunnah dengan cara yang
praktis, ujarnya :

1
1
“ As Sunnah, pada Lughat : jalan yang dilalui , terpuji atau tercela.”
Pada Syara’, ialah : “perbuatan-perbuatan Nabi yang beliau laksanakan untuk
menerangkan maksud dan kehendak Alquran; dialah thariqatnya ( perjalanannya )
yang diikuti para sahabat dalam menerangkan Agama, baik berupa perkataan, berupa
perbuatan, berupa taqrir dan berupa meninggalkan, tidak mengerjakannya.
Dia terbagi kepada :
Wajibah, seperti : sembahyang jenazah dan ‘idain.
Muakkadah, seperti : sembahyang kusuf dan khusuf.
Mandubah, seperti : berbaring sejenak sesudah sembahyang sunnat shubuh;
berpuasa hari Senin dan Kamis.
Kewajiban kita dalam segala yang disuruh, ialah : mengerjakan seberapa kita
sanggupi, dan kewajiban kita dalam segala yang ditegah, meninggalkan seluruh yang
ditegah itu.
Diberitakan Bukhari Muslim, bahwa Nabi bersabda :
‫ رواه البخاري مسلم‬.‫إذا أمؤتكم بشيئ فأتوا منه ماستطعتم وإذا نهيتكم عن شيئ فانتهوا‬.
“Apabila aku memerintahkan kamu sesuatu urusan, maka kerjkanlah urusan
itu seberapa kamu sanggupi, dan yang aku tegah kamu mengerjakannya, hendaklah
kamu tinggalkannya sama sekali.”

B.     Pembagian Sunnah


1. Sunnah Fi’liyah ( pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan rasul s. a. w. )
2. Sunnah Tarkiyah ( pekerjaan-pekerjaan ibadah yang tidak dikerjakan rasul s. a. w. )
3. Sunnah Fi’liyah ( pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan rasul s. a. w. )
Ulama Ushul telah menetapkan bahwa :
a. Pekerjaan-pekerjaan yang masuk urusan tabi’at seperti : duduk, berdiri, makan,
minum dan sebagainya, apabila Nabi mengerjakannya, maka menunjuk kepada
kebolehan pekerjaan itu untuk Nabi dan untuk ummatnya.
b. Pekerjaan-pekerjaan yang nyata tertentu untuk Nabi, seperti : berkawin lebih dari
empat isteri, masuk ke Mekkah dengan tidak ihram, maka perbuatan itu tak dapat
kita sekutuinya; tak dapat kita meneladaninya. Perbuatan-perbuatan itu, khas
untuknya.
c. Pekerjaan-pekerjaan yang Nabi kerjakan untuk menjadi penerangan bagi kita
dalam melaksanakan sesuatu perintah Allah, seperti : beliau mengerjakan dzuhur
empat raka’at, shubuh dua raka’at dan seperti beliau memotong tangan pencuri

2
hingga pergelangan tangan saja, seperti tayammumnya hingga pergelangan
tangan saja, tidak sampai ke siku, maka sudah ditetapkan bahwa perbuatan-
perbuatan yang serupa ini dihukumkan dengan hukum asalnya, yakni diserupakan
hukumnya dengan hokum perintah-perintah yang diperintahkan. Kalau yang
diperintahkan itu wajib, maka pekerjaan yang menerangkan cara melaksanakan
perintah yang wajib itu, wajib juga.
d. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan dari tabi’at, bukan pula tertentu dengan Nabi,
( tak ada keterangan yang tegas yang menentukan pekerjaan itu untuk Nabi ),
maka jika nyata padanya dasar tha’at ( yakni dikerjakan untuk mendekatkan diri
kepada Alla, dikerjakan sebagai suatu ibadat ), seperti : Nabi mencukur rambut di
Hudaibiyah, maka ada ulama yang mengatakan, bahwa perubuatan-perbuatan
yang serupa itu, wajib hukumnya, ada yang mengatakan nadb hukumnya, ada
yang mengatakan boleh hukumnya, ada juga yang mengatakan : tidak ada hukum
tak dapat ditetapkan sesuatu hukum sebelum ada perintah yang tegas.
e. Asy Syaukany dalam Irsyaadul Fuhul menguatkan faham yang mengatakan nadb (
sunnat ). Karena, sesuatu yang dikerjakan dengan dasar ibadah tentulah, tentulah
sekurang-kurag derajatnya, “nadb”. Faham yang dikuatkan Asy Syaukany, itulah
pendirian Ibnul Haajib dalam kitab Mukhtasharnya.2[3]
f. Akan tetapi, Al Amidy menempatkan pekerjaan ini antara wajib dengan mandhub
( sunnat ). Yakni : beliau tidak menegaskan wajibnya, atau sunnatnya.
g. Mengenai pekerjaan-pekerjaan yang tidak berdasar ibadah, diperselisihkan ulama
ushul.
1. Al Amidy mengatakan : “pekerjaan yang sedemikian itu, tiada member
faedah sunnat dengan sendirinya. Boleh jadi perbuatan itu wajib, boleh jadi
sunnat dan boleh jadi mubah. Yang terang bahwa mengerjakan perbuatan itu
tidak ditegah; karena Nabi pernah mengejakannya.
2. Ibnul Haajib mengatakan : boleh
3. Asy Syaukany mengatakan : sunnat

4. Sunnah Tarkiyah ( pekerjaan-pekerjaan ibadah yang tidak dikerjakan rasul s. a. w. )


Sunnah Nabi s. a. w., adakala dengan mengerjakan dan adakala dengan
meninggalkan. Yakni : apabila Nabi mengerjakan sesuatu, maka mengerjakan

2
3
perbuatan itu dihukumkan sunnah. Sebaliknya, apabila Nabi meninggalkan sesuatu,
maka meninggalkan sesuatu itu, itulah yang dikatakan sunnahnya.
Kita sebgaimana diperintahkan mengikut Nabi dalam segala perbuatannya
yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak masuk kedalam
urusan khushushiahnya, dieprintahkan juga kita meninggalkan pekerjaan-pekerjaan
yang tidak beliau kerjakan yang dengan meninggalkan itu dipandang tha’at.
Tegasnya, sebagaimana kita tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan
meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang Nabi kerjakan, tiada juga kita mendekatkan
diri kepada Allah dengan mengerjakan sesuatu yang Nabi tinggalkan. Jadi tak ada
perbedaan dalam urusan ibadah antara orang yang mengerjakan apa yang Nabi
tinggalkan, dengan orang yang meninggalkan apa yang Nabi kerjakan.

C.     Nash-Nash Ulama Tentang Hal Membagi Sunnah Kepada Fi’liyah Dan Tarkiyah3[7]
1. Kata al Qasthalany :
“Apabila Rasulullah tiada mengerjakan sesuatu pekerjaan, maka tiada mengerjakan
pekerjaan itu sunnah, sebagaimana apabila Rasul mengerjakan sesuatu, maka
mengerjakannya sunnah juga. Tidak boleh kita sama ratakan yang beliau kerjakan
dengan yang beliau tinggalkan. Tegasnya, tal bolah kita kerjakan sesuatu, ditempat
yang beliau tiada kerjakan.
2. Kata Al Allamah ibnu hajar Al Haitamy
“Bid’ah syar’iyah, ialah : sesuatu yang tidak berdasarkan dalil syar’I yang
menunjuk kepada wajibnya, atau sunnatnya. Jika berdaasarkan dalil syar’I, tiadalah
dinamai bid’ah syar’iyah, walaupun pekerjaan itu tiada dipraktekkan di masa Nabi
sendiri. Karena itu, mengeluarkan orang Yahudi dan Nashrani dari kepulauan
Arab, tiada dipandang bid’ah, walaupun hal itu tidak diperbuat di masa Nabi
sendiri, lantaran ada perintah yang menyuruh kita menngeluarkan mereka itu.4[9]

3. Kata Al Imam Ash Shan’aany :


“Sesuatu yang didapati sebab mengerjkannya di masa Nabi, tapi tiada beliau
kerjakan, maka membuatnya sesudah Nabi bid’ah hukumnya ; tak shah didasarkan
kepada qiyas, ataupun selainnya.

4
4
4. Kata Al Imam Asy Syaatiby :
“Pekerjaan-pekerjaan yang ditinggalkan Nabi terbagi dua :
a. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan lantaran tak ada yang
menghendakinya di masa Nabi, seperti : kejadian-kejadian yang terjadi
sesudah wafat Nabi, mengumpulkan Alquran dalam sebuah mushaf.5[11]
b. Pekerjan-pekerjaan yang tidak dikerjakan syara’, padahal ada yang
menghendakinya, ada muqtdhinya dan sebabnya dizaman wahyu pun ada,
tetapi syara’ tidak memberikan sesuatu hukum, tidak mengerjakan, tidak
menyuruh kita mengerjakan, maka mengerjakan yang tidak Nabi kerjakan itu,
bid’ah adanya menyalahi maksud syara’. Syara’ bermaksud tidak mengerjakan
yang demikian ditempat itu. Maka, jika dikerjakan, berarti kita mengadakan
sesuatu ditempat yang syara’ bermaksud tidak mengadakannya. Atas dasar
inilah diharamkannya tahlil ( kawin cinta buta ) dan dipandangnya bid’ah
madzmumah ( tercela ).
Dengan penerangan yang singkat ini, tegaslah bahwa ulama-ulama mazhab
dari keempat-empat mazhab menetapkan bahwa :
‫ما تركه النبي صلعم مع قيام المقتضي على فعله فتركه هو السنة وفعله بدعة مذمومة‬
“Sesuatu yang ditinggalkan Nabi serta ada muqtadhi mengerjakannya, maka
meninggalkan perbuatan itu, itulah sunnah, membuatnya, itulah bid’ah.”
Diberitakan Ath Thabarany dengan sanad yang shahih, bahwa Rasul berkata :
“Tiada aku tinggalkan sesuatu yang mendekatkan dirimu kepada Allah,
melainkan aku telah suruh kamu mengerjakannya. Dan tiada aku tinggalkan sesuatu
yang menjatuhkan kamu dari pada Allah, melainkan aku telah menegah kamu
mengerjakannya.”

BID’AH

A.    Pengertian Bid’ah


Menurut bahasa Arab, kata bid’ah berarti : “sesuatu yang diadakan tanpa contoh
yang terdahulu”.

5
5
Tersebut dalam kitab-kitab kamus :
a. Al Muhith, karangan Syirazi – juz III – hal. 3 :
Artinya : Sesuatu barang yang pertama adanya
b. Mukhtarus Shihah, karangan Ar Razi – halaman 379
Artinya : Mengadakan sesuatu tidak menurut contoh
c. Al Mu’tamad halaman 28 :
Artinya : Diciptakan tanpa contoh
d. Munjid ; halaman 27 .
Artinya :Menciptakan dan membuat sesuatu tanpa contoh yang terdahulu6

Demikianlah arti bid’ah menurut bahasa Arab.


Seluruh kamus kamus mengatakan bahwa yang bid’ah itu dalam bahasa Arab ialah
sesuatu barang baru yang diciptakan dengan tidak ada contoh terlebih dahulu.
Sipencipta itu dinamai = Mubdi’ atau Mubtadi’7[18]
Langit dan bumi juga dikatakan bid’ah karena keduanya dijadikan Tuhan tanpa
contoh. Tuhan dinamai “Bad’I yaitu”pencipta”.
Didalam kitab suci Alquran terdapat ayat yang mengatakan bahwa Tuhan itu “bad’ai”
yang artinya pencipta langit dan bumi.
FirmanNya :
١١٧﴿ ُ‫ يَقُو ُل لَهُ ُكن فَيَ ُكون‬‰‫ أَ ْمراً فَإِنَّ َما‬‰‫ضى‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬
َ َ‫ض َوإِ َذا ق‬ ِ ‫﴾بَ ِدي ُع ال َّس َما َوا‬
Artinya :
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ( tanpa conntoh ). ( al baqarah – 117 )
Dan didalam Alquran ada ayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw.
bukanlah Nabi bid’ah, yakni Nabi yang tidak ada contohnya terlebih dahulu.
Allah berfirman :
‫ي َو َما أَنَا إِاَّل‬ َ ‫نت بِ ْدعا ً ِّم ْن الرُّ س ُِل َو َما أَ ْد ِري َما يُ ْف َع ُل بِي َواَل بِ ُك ْم إِ ْن أَتَّبِ ُع إِاَّل َما ي‬
َّ َ‫ُوحى إِل‬ ُ ‫قُلْ َما ُك‬
٩﴿ ‫ين‬ ٌ ِ‫﴾نَ ِذي ٌر ُّمب‬
Artinya :
Katakanlah olehmu ( hai Muhammad ) : Saya bukanlah Rasul yang belum ada
contohnya terlebih dahulu. ( al ahqaaf – 9 )

7
6
Memang, Nabi Muhammad Saw. Bukanlah satu-satunya Nabi dan Rasul, tetapi
sebelum beliau sudah banyak Nabi-nabi, banyak Rasul-rasul, seperti Nabi Adam, Nabi Nuh,
Nabi Ibrahim dan lain-lain.
Dapat diambil kesimpulan bahwa arti bid’ah ialah sesuatu ciptaan dan yang
mengadakannya dinamai “pencipta”.

B. Pembagian Bid’ah
Pembagian ‘aam [20] Pembagian Khash
a. Bid’ah Fi’liyah ( membuat sesuatu a. Bid’ah Hasanah
perbuatan ) b. Bid’ah Qabihah
b. Bid’ah Tarkiyah ( meninggalkan sesuatu
perbuatan )
c. ‘Amaliyah
d. I’tiqadiyah
e. Zamaniyah
f. Makaniyah
g. Haliyah
h. Haqiqiyah
i. Idlafiyah
j. Kulliyah
k. Juz-iyah
l. ‘Ibadiyah
m. ‘Adiyah

7
Kesimpulan
Sunnah ialah perbuatan-perbuatan Nabi yang beliau laksanakan untuk menerangkan
maksud dan kehendak Alquran; dialah thariqatnya ( perjalanannya ) yang diikuti para sahabat
dalam menerangkan Agama, baik berupa perkataan, berupa perbuatan, berupa taqrir dan
berupa meninggalkan, tidak mengerjakannya. Sedangkan bid’ah ialah menciptakan dan
membuat sesuatu tanpa contoh yang terdahulu.

Anda mungkin juga menyukai