Anda di halaman 1dari 17

Opini

Menuju Hari Kelahiran NU 31 Januari Fathoni Ahmad Jumat 1 Januari 2021 08:00 WIB Nahdlatul
Ulama. (Foto: NU Online) BAGIKAN: Mengawali tahun merupakan momen istimewa bagi
Nahdliyin atau warga NU karena pada bulan Januari NU dideklarasikan oleh para ulama pesantren,
tepatnya pada 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Pada Januari tahun 2021 ini,
NU mencapai usia ke-95 tahun versi Masehi. ADVERTISEMENT Menurut catatan Choirul Anam
dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010), ada tiga motivasi berdirinya NU yaitu motivasi
agama, membangun nasionalisme, dan mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Jadi berdirinya NU tidak semata-mata hanya menegakkan syiar agama Islam dan akidah Aswaja,
tetapi juga menanamkan spirit nasionalisme (termasuk kemandirian ekonomi) sebagai bekal berharga
untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Fondasi gerakan para ulama pesantren masih
terus relevan mengingat bangsa Indonesia yang kerap dihadapkan pada persoalan agama, sosial-
kemasyarakatan, dan problem kebangsaan.   Baca juga: Sejarah NU Menentang Bughot Sebab itu,
NU disebut sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah yaitu organisasi sosial keagamaan. Peran-peran
sosial NU mencakup segala lini kehidupan manusia, termasuk problem global atau persoalan
masyarakat dunia. Kini, NU dengan anak-anak mudanya juga aktif di bidang teknologi informasi
yang merupakan bekal penting menghadapi era disrupsi. NU dengan tradisi teks keagamaannya di
pesantren mampu menjawab setiap problem keagamaan dan sosial di tengah masyarakat yang
semakin modern dan plural. Di sinilah yang disebut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agama
sebagai etika sosial yang hadir memberikan solusi bagi setiap problem kemasyarakatan. Bukan
dijadikan sebagai alat politik yang semata-mata hanya untuk meraih kekuasaan. Karena jika
demikian, maka akhirnya yang muncul adalah kekacauan dan keburukan (mudharat) atas nama
legitimasi agama. ADVERTISEMENT Sejarah Singkat NU Berdiri Berdirinya NU melibatkan
ikhtiar batin para kiai, di antaranya KH Cholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, KH
Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH As’ad Syamsul Arifin, dan lainnya.  
ADVERTISEMENT Baca juga: NU Menegaskan Hubungan Pancasila dengan Islam Akhir 1925
santri As’ad kembali diutus Kiai Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan
Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke
tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Kiai Hasyim Asy'ari. ADVERTISEMENT
Kala itu, setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya
dan mempersilakan KH Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan
bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan dia tidak
ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari.
Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan
ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad: “Apakah ada
pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua
asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar
lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk
mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72)   Baca juga: Sejarah Singkat Berdirinya Nahdlatul
Ulama Petunjuk sebelumnya, pada akhir 1924 santri As’ad diminta oleh Kiai Cholil untuk
mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat
Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as. Awalnya, KH Abdul
Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung
disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak
lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk
kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut usulan Kiai
Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal
sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi
para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat
ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam. Hasil dari istikharah Kiai
Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk
hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil
keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Kiai Hasyim dan
Kiai Wahab.   Baca juga: Peristiwa-peristiwa Penting NU di Bulan Juli Dari petunjuk tersebut, Kiai
As’ad yang ketika itu menjadi santri Kiai Cholil berperan sebagai mediator antara Kiai Cholil dan
Kiai Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau
washilah untuk menyampaikan amanah Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim. Dari proses lahir dan batin
yang cukup panjang tersebut menggambarkan bahwa lika-liku lahirnya NU  tidak banyak bertumpu
pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan
petunjuk Allah SWT. Nampak di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi, meskipun
tetap menjadi alasan penting. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar
lahir dan batin. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang
dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem
keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat.   Pendirian
NU digawangi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan
organisasi pergerakan Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut
Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918.   Baca juga: Daftar Lembaga-lembaga di Bawah
Naungan NU Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok diskusi
yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang
menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari
komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan
segmen yang lebih luas. Sejarah Komite Hijaz Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah
pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah
ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena
menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggap bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga
ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermadzhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia
hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai madzhab resmi kerajaan. Rencana kebijakan tersebut lantas
dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah. Bagi ulama pesantren,
sentimen anti-madzhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya
yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.   Baca
juga: Ini Lima Jenis Pendidikan Kader dalam NU Choirul Anam (2010) mencatat bahwa KH Abdul
Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Central Comite Al-
Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Central Comite Chilafat
(CCC)—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah
pada 1926. Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus
1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya
menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain:
“Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud
untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah
Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”. Kiai Wahab beberapa kali melakukan
pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S
Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkati. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha
disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berakhir dengan kekecewaan karena sikap tidak
kooperatif dari para kelompok modernis tersebut. Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan
langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz
pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah
mendapat restu KH Hasyim Asy’ari. Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari
pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka
untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para
ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH
Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.   Baca juga: Nahdlatul Ulama dan Solidaritas
Palestina Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang
berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH
Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.
Riwayat-riwayat tersebut berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa sejarah
tersebut juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi penjajahan,
problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan
kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para
sahabatnya. Tepat pada 31 Januari 2021 mendatang, NU akan berusia 95 tahun dalam hitungan tahun
Masehi. Sedangkan pada 16 Rajab 1442 mendatang, NU menginjak umur 98 tahun. Selama hampir
satu abad tersebut, sejak awal kelahirannya hingga saat ini, NU telah berhasil memberikan
sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, 31 Januari dan 16 Rajab. Namun, peringatan hari lahir
resmi yang diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU yaitu
harlah dalam perhitungan tahun Hijriyah, yakni 16 Rajab. Tetapi, NU juga tidak melarang warganya
untuk memperingati harlah versi Masehi, yaitu 31 Januari.

Fathoni Ahmad,

RedakturNUOnline

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/125717/menuju-hari-kelahiran-nu-31-januari

Harun Yahya dan Perdebatan soal ‘Adam Manusia Pertama’ Achmad Murtafi Haris Senin 18 Januari
2021 12:00 WIB Setidaknya ada 3 pandangan ulama merespons teori itu: menolak, mendukung dan
akomodatif. BAGIKAN: Harun Yahya atau Adnan Oktar menghadapi kasus hukum dan dijatuhi
hukuman 1.075 tahun penjara. Tulisan ini tidak ingin membahas delik hukum dan hukuman yang
fantastis itu. Tapi hendak membahas pemikiran Harun Yahya yang karenanya dia menjadi sangat
terkenal di dunia dan berlimpah harta. Sehingga karenanya, mungkin, pemilik nama asli Adnan Oktar
menjadi penakluk banyak wanita yang berujung hukuman penghuni hotel prodeo terlama di dunia.  
Ketenarannya tidak lepas dari pandangannya yang menentang teori Evolusi Darwin dalam bukunya
On the Origin of Species (Asal-muasal Spesies), 1859. Dalam buku itu disebutkan bahwa seleksi
alamiah yang menentukan spesies makhluk hidup bisa bertahan. Spesies yang kuat akan bertahan dan
menelurkan keturunan. Sementara yang lemah akan punah. Teori Darwin menjadi dasar ilmu biologi
dan terus dikembangkan untuk melacak asal-muasal spesies yang ada. Hingga 2016 ahli biologi
menemukan 355 genus yang berusia 3,5 juta tahun yang menjadi nenek moyang dari seluruh spesies
yang ada di muka bumi. Genus itu disebut dengan nenek moyang terakhir bagi semua/last universal
common ancestor (LUCA). Manusia adalah spesies primata cerdas (homo sapiens) bagian dari genus
Homo dari keluarga homonidae atau kera besar. Ada 8 hierarki turun-temurun bagi makhluk di bumi.
Spesies atau jenis adalah hierarki terakhir (kedelapan), sebelumnya ada genus (ketujuh). Hierarki
pertama (teratas) adalah kingdom atau kerajaan. Dalam hal ini manusia masuk di bawah kerajaan
animalia atau binatang. ADVERTISEMENT   Dalam penelitiannya, Harun Yahya menemukan
bahwa evolusi yang kemudian mendudukkan manusia ada di bawah keluarga kera besar tidak
terbukti secara saintifik. Pelbagai disiplin ilmu: paleontologi, kimia biologis, genetika populasi,
biologi molekular, anatomi komparatif, biofisika, tidak mampu menjelaskan misteri kehidupan yang
terjadi secara tiba-tiba. Apa yang dikatakan oleh Harun Yahya, jauh hari sudah ada dalam pandangan
Barat, yaitu creationism vis a vis evolutionism. Pandangan ini pada dasarnya mempertahankan
pandangan gereja yang mengatakan bahwa semua tercipta secara langsung atas kehendak tuhan yang
maha kuasa.   Pandangan Darwin berpengaruh besar dalam hegemoni ilmu pengetahuan atas pikiran
masyarakat Barat. Evolusionisme menguak rahasia penciptaan manusia yang selama ini didominasi
pandangan gereja sesuai Kitab Genesis, Perjanjian Lama. Argumen Darwin yang rasional-empiris
mampu memuaskan masyarakat Barat hingga berpaling dari doktrin agama tentang penciptaan
manusia dan alam semesta.   Berbeda dengan di Barat yang mayoritas mendukung teori Darwin,
dunia Islam tidaklah demikian. Setidaknya ada 3 pandangan ulama merespons teori itu: menolak,
mendukung dan akomodatif. Yang menolak mengaku berpandangan sesuai Al-Qur’an dan hadits
yang kurang lebih sejalan pula dengan apa yang ada dalam kisah penciptaan (Genesis) dalam Bibel,
kitab suci Yahudi dan Nasrani.   ADVERTISEMENT Sementara yang mendukung evolusionisme
Darwin adalah Gamal al-Banna, adik kandung Hassan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin.
Menurut Gamal, pandangan sains biarlah mandiri dan tidak harus sama dengan pandangan agama.
Dalam peradaban Arab, pandangan evolusionisme ada dalam pemikiran Ibn Khaldun yang
mengatakan bahwa penciptaan berkembang dari benda (jamad), ke tumbuh-tumbuhan (nabat), ke
binatang (hayawan), dan manusia (insan). Pemikiran manusia tidak boleh dikekang. Jika ia benar,
maka dia telah sampai pada yang diminta. Jika tidak, maka dia telah melakukan yang seharusnya
dalam pemberdayaan akal. Gamal berkata bahwa dirinya mendukung teori evolusi Darwin dan dalam
Al-Qur’an terdapat hal itu. (Lihat: Elaph.com)   Sementara pandangan akomodatif adalah pandangan
imam Masjid Amru bin ‘Ash, masjid tertua di Mesir, Abd al-Sabur Shaheen, yang mengatakan
bahwa manusia sebelum Adam telah ada dengan kondisi yang belum cerdas dan cakap atau sub-
human. Sedangkan Adam adalah manusia pertama yang oleh Allah dibekali dengan ilmu
pengetahuan sehingga menjadi mampu mengolah bumi dan menjadi mandataris bumi (khalifah).
Shaheen berpendapat bahwa ketika Allah akan menciptakan Adam, Allah menyampaikan rencananya
kepada para malaikat, dan mereka keberatan.   Al-Baqarah (2): 30: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalīfah di bumi." Mereka berkata,
"Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana,
sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." ADVERTISEMENT   Keberatan malaikat menurut
Shaheen adalah didasarkan pada keberadaan manusia yang ada selama ini yang kerap bertikai satu
sama lain, yaitu manusia purbakala (sub-human). Mereka, seperti yang tampak dalam film,
menggunakan tombak dan senjata tajam untuk berburu dan bertikai untuk berebut buruan dan
bertahan hidup, hingga Adam diciptakan dan menjadi manusia modern pertama.   Al-Baqarah (2):
31: Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada
para malaikat, seraya berfirman, "Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang
benar!";   ADVERTISEMENT 32: Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang Kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah yang Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana";   33: Dia (Allah) berfirman, "Wahai Adam! Beritahukanlah kepada
mereka nama-nama (benda) itu!" Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman,
"Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku
mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?"   Shaheen mengatakan
bahwa Adam adalah bapak manusia modern (abu al-insan/father of mankind) dan bukan bapak genus
manusia (abu al-bashar/father of human beings). Sebelum Adam, manusia seperti hewan lalu Allah
memilih di antara mereka Adam dan meniupkan ruh kepadanya. Allah lalu memusnahkan yang
lainnnya dan menyempurnakan Adam. Al-infitar (82): 7-8: Yang telah menciptakanmu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang; Dalam bentuk apa saja
yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.   Shaheen merujuk pada banyak ayat Al-Qur’an untuk
membuktikan keberadaan manusia sebelum Adam. Hanya saja mereka bukanlah manusia modern
yang telah mendapat tiupan ruh Allah yang membuatnya rasional dan berperadaban. Shaheen
kemudian berkata bahwa, Adam terlahir dari ibu dan bapak manusia yang berkembang menjadi
bapak manusia modern berbekal akal dan syariat. Pandangan Shaheen yang memadukan antara sains
dan Al-Qur’an menuai serangan dari banyak ulama meski ada yang mendukungnya.   Achmad
Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/126070/harun-yahya-dan-perdebatan-soal-adam-manusia-
pertama

Warta

Pesan Hj Basyiroh kepada Kader NU: Tidak Ada Ruginya Mengabdi di NU! Ajie Najmuddin Rabu
20 Januari 2021 16:00 WIB Pendiri IPPNU, Ny Hj Basyiroh Zawawi (Foto: NU Online/Ajie
Najmuddin) BAGIKAN: Solo, NU Online Kabar wafatnya salah satu pendiri Ikatan Pelajar Putri
Nahdlatul Ulama (IPPNU) Nyai Hj Basyiroh Zawawi, Selasa (19/1) malam, menjadi duka bagi
warga NU, khususnya di kalangan organisasi pelajar putri NU itu.   ADVERTISEMENT Ketua
Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Nurul Hidayatul Ummah
menyampaikan ucapan belasungkawa atas wafatnya sang pendiri IPPNU tersebut.    “Saya pernah
bertemu beliau pada saat Konferwil PW IPPNU Jatim. Beliau itu panutan bagi kita semua. Sampai di
usia senjanya, beliau masih tetap berkhidmat di NU,” ungkap Nurul kepada NU Online.   Salah satu
pesan Hj Basyiroh yang masih diingat betul oleh Nurul, yakni agar terus aktif dalam berjuang dalam
wadah NU serta menghidupkan organisasi yang didirikan oleh para ulama tersebut. “Kata beliau,
tidak ada ruginya mengabdi di NU, ngurusi NU, berkahnya luar biasa,” kenang Nurul.   Baca juga:
ADVERTISEMENT Nyai Hj Basyiroh Zawawi, Mengabdi hingga Akhir Hayat Innalillahi, Pendiri
IPPNU Ny Hj Basyiroh Wafat   Pesan yang hampir sama juga disampaikan Hj Basyiroh, khususnya
kepada kader IPPNU, pada saat acara peringatan Haul Nyai Hj Umroh Mahfudhoh, Juli 2020 lalu.    
“Beliau berpesan kepada seluruh kader IPPNU untuk memanfaatkan masa muda, untuk berjuang
kepada Nahdlatul Ulama melalui IPPNU,” tutur Ketua Pimpinan Wilayah (PW) IPPNU Jawa
Tengah, Nirma Aini Masfufah.   ADVERTISEMENT Menurut Nirma, sebagai salah satu pendiri
IPPNU, Hj Basyiroh memberikan inspirasi dan pengaruh yang besar bagi semangat perjuangan
rekanita IPPNU, termasuk di Jawa Tengah. Semangat perjuangan Hj Basyiroh kemudian juga diikuti
saudarinya Nyai Hj Muhsinah Kholil (ibu Menteri Agama RI Gus Yaqut) dan cucu-cucunya yang
kemudian ikut aktif di wadah organisasi IPPNU.   “Semangat perjuangan itulah yang ingin tetap
dijaga oleh para generasi penerus IPPNU di masa kini,” kata dia.   Nyai Hj Basyiroh Zawawi wafat
pada Selasa (19/1), sekitar pukul 20.50 WIB, di RSNU Tuban, Jawa Timur. Kabar wafatnya Nyai Hj
Basyiroh tersebut disampaikan salah satu putranya, Zainal Makarim.  ADVERTISEMENT   Kepada
NU Online, Zainal menyampaikan kabar duka tersebut sekaligus meminta doa untuk almarhumah Ibu
Basyirah.   "Mohon tambahan doa dan hadiah surat alfatihah untuk almarhumah Ibu Basyirah
Zawawi, semoga beliau diberikan ampunan dan rahmat Allah SWT," tutur Zainal, yang tinggal
bersama Nyai Hj Basyiroh di kediamannya di Jenu, Tuban, Jawa Timur.     Kontributor: Ajie
Najmuddin Editor: Abdul Muiz

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/126133/pesan-hj-basyiroh-kepada-kader-nu--tidak-ada-
ruginya-mengabdi-di-nu-

fragmen

Cita-cita Dasar Berdirinya NU Fathoni Ahmad Senin 4 Januari 2021 14:00 WIB Nahdlatul Ulama.
(Foto: dok. NU Online) BAGIKAN: Dalam perhitungan tahun Masehi, 31 Januari 2021 mendatang,
Nahdlatul Ulama (NU) bakal mencapai usia 95 tahun. Tak sedikit peran besar NU untuk mengisi
kehidupan keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun kebangsaan dan kenegaraan menjadi lebih
ramah bagi masyarakat yang plural di Indonesia bahkan dunia. ADVERTISEMENT Peran luas NU
sudah dicita-citakan sedari awal dideklarasikan pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344.
Pembentukan jam’iyyah NU tidak lain adalah sebagai upaya pengorganisasian potensi dan peran
ulama pesantren yang sudah ada untuk ditingkatkan dan dikembangkan lebih luas lagi. Keinginan
untuk meningkatkan pengabdian secara luas itu terlihat jelas pada rumusan cita-cita dasar di awal
berdirinya NU yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk ikhtiar sebagai berikut:   Baca juga: Napak
Tilas Muktamar NU 1930 di Pekalongan “Mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama
jang bermadzhab, soepaja diketahoei apakah itoe dari kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau
kitab-kitab Ahli Bid’ah. Menjiarkan agama Islam berazaskan pada madzhab empat dengan djalan apa
sadja jang baik, berikhtiar memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam,
memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe, dan pondok-
pondok, begitoe joega dengan hal ihwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin, serta
mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan jang tiada terlarang
oleh sjara’ agama Islam.” (Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama tahun 1926: pasal 3, halaman
2-3 dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Choirul Anam, 2010: 18) Dengan kata lain,
didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usah mempersatukan dan menyatukan langkah
para ulama pesantren dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal
kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata. Tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan
terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan persoalan kemasyarakatan pada umumnya.
ADVERTISEMENT Rumusan ikhtiar tersebut merupakan prioritas penting untuk dilaksanakan, baik
pada saat NU dideklarasikan maupun hingga saat ini mengingat problem sosial-kemasyarakatan jauh
lebih kompleks.   Baca juga: Sejarah NU Menentang Bughot ADVERTISEMENT Di titik itulah NU
dapat didefinisikan bahwa NU adalah Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan
Islam) yang didirikan oleh para ulama pesantren -pemegang teguh salah satu madzhab empat-
berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah ‘ala madzahibil arba’ah -tetapi juga memperhatikan masalah-
masalah sosial, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada
bangsa, negara, dan umat manusia. (Choirul Anam, 2010: 19) Berdirinya NU merupakan rangkaian
panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem
keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi
oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi
pergerakan Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau
Kebangkitan Saudagar pada 1918. ADVERTISEMENT   Baca juga: NU Menegaskan Hubungan
Pancasila dengan Islam Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu pada 1914 juga mendirikan
kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga
yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan
dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan
peran yang lebih luas. Peran yang tidak kalah penting ialah perjuangan ulama pesantren dalam
melakukan perlawanan terhadap penjajah hingga mencapai kemerdekaan bagi seluruh bangsa
Indonesia. Penulis: Fathoni Ahmad Editor: Muchlishon

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/125787/cita-cita-dasar-berdirinya-nu
Pangeran Diponegoro adalah Santri, Belajar ke Banyak Kiai Aru Lego Triono Sabtu 16 Januari 2021
14:30 WIB Pangeran Diponegoro, putra Hamengkubuwana III dengan nama lahir Bendara Raden
Mas Mustahar ini juga berguru atau mondok di Kiai Taftazani Kertosono. Lalu, Pangeran
Diponegoro juga belajar Tafsir Jalalain dengan KH Baidlowi Bagelen, Purworejo, Jawa
Tengah. (Foto:Tirto) BAGIKAN: Jakarta, NU Online Selain sebagai pahlawan nasional, Pangeran
Diponegoro adalah seorang santri. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said
Aqil Siroj menyebut, Kiai Hasan Besari Tegalsari, Jetis, Ponorogo adalah salah satu gurunya.   
ADVERTISEMENT "Kemudian Abdul Hamid ini menulis dengan tangannya sendiri kitab Fathul
Qarib. Sampai sekarang, kitab dan kursi tempat dia duduk untuk menulis masih ada di Museum
Kedu, Magelang, Jawa Tengah," ungkap Kiai Said, dalam Haul Pangeran Diponegoro yang digelar
secara daring, Jumat (15/1) malam.   Kiai Said menjelaskan, Putra Hamengkubuwana III dengan
nama lahir Bendara Raden Mas Mustahar ini juga berguru atau mondok di Kiai Taftazani Kertosono.
Lalu, Pangeran Diponegoro juga belajar Tafsir Jalalain dengan KH Baidlowi Bagelen, Purworejo,
Jawa Tengah.    "Terakhir Pangeran Diponegoro, setelah belajar ilmu syariat, beliau ngaji ilmu
hikmah kepada KH Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Itulah ternyata Pangeran
Diponegoro adalah seorang santri dan ulama," beber Kiai Said.   Dijelaskan pula, darah yang
mengalir di tubuh Pangeran Diponegoro adalah spirit santri, ulama, dan para mujahid yang mukhlis
serta tanpa pamrih. Lebih-lebih tanpa kepentingan apa pun. Sebab, kata Kiai Said, putra Raden Ayu
Mangkarawati yang masih memiliki darah dengan Sunan Ampel itu dididik oleh para kiai yang luar
biasa.  ADVERTISEMENT   "Guru-guru Pangeran Diponegoro itu adalah para kiai khowas, kiai
sepuh yang punya kearifan sehingga ajaran-ajarannya masuk ke dalam hati dan kepribadian.
Sehingga Pangeran Diponegoro pun tumbuh menjadi ulama sekaligus pejuang," ungkap Kiai Said.  
Ulama nasionalis-religius Pada haul bertema Menjaga Wairsan Nusantara ini, Kiai
Said menyontohkan, di era modern, berkat kiprah yang dilakukan Pangeran Diponegoro melawan
VOC Belanda, maka ia bisa dikatakan sebagai seorang yang nasionalis. Sosok yang mencintai negeri,
seorang aktivis nasionalis tapi juga sekaligus seorang ulama.  ADVERTISEMENT   "Pangeran
Diponegoro berarti ulama nasionalis. Nasionalis yang religius," tegas Kiai Said.   Itu artinya,
sambung Kiai Said, para ulama terdahulu sudah berhasil memiliki karakter dalam metode dakwahnya
sehingga mencapai keberhasilan. Metode dakwah itu adalah mampu menerima perpaduan antara
Islam dan nasionalisme.    ADVERTISEMENT "Maka kalau kita dengar sekarang, masih ada
saudara-saudara Muslim kita yang masih mempersoalkan dan mempermasalahkan kebangsaan, mari
kita berikan penjelasan kepada mereka bahwa nasionalisme tidak bertentangan sama sekali dengan
agama Islam," lanjutnya.    Pangeran Diponegoro seorang faqih dan sufi Di kesempatan yang sama,
Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Achmad
Chalwani mengatakan, Pangeran Diponegoro adalah seorang faqih, sufi, memiliki guru syariat dan
tarekat.   Kiai Chalwani menjelaskan bahwa salah seorang guru Pangeran Diponegoro yakni KH
Baidlowi Bagelen adalah seorang ulama besar yang memiliki putra Kiai Hasan Muhibat. Salah
seorang keturunannya adalah Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan RI. Sementara Kiai Hasan
Besari Tegalrejo adalah guru ilmu syariat Pangeran Diponegoro.    "Ada sosok ulama yang menjadi
manggulayu dunya (menggerakkan dunia) bagi Diponegoro, yaitu KH Abdurrauf, kakek dari KH
Dalhar Watucongol, Magelang," jelas Kiai Chalwani.   Kiai Chalwani juga menjelaskan bahwa pusat
peperangan berada di kampung Benteng, dekat langgar agung tempat Diponegoro bermujahadah.
Selain itu, Pesantren Api Tegalrejo Magelang pun menjadi tempat mujahadahnya yang lain.   "Jadi,
Pangeran Diponegoro lahir di Yogya punya peninggalan mujahadah di dua tempat. Mujahadah
dilakukan Pangeran Diponegoro dengan niat mendapat keberkahan dari sang guru KH Nur
Muhammad," jelas Kiai Chalwani.   Tidak boleh melupakan sejarah Inisiator Haul Pangeran
Diponegoro sekaligus Ketua PBNU KH Marsudi Syuduh menegaskan, warga NU tidak boleh
melupakan sejarah yang telah ditorehkan Diponegoro yang telah menyatukan para kiai pesantren dan
ulama tarekat di Nusantara.    "Beliau juga menyatukan para habaib ketika itu. Maka kita tidak boleh
melupakan hasil dan tinggalan semangat perjuangan beliau. Karenanya kita harus bisa mensyukuri
adanya kemerdekaan bangsa ini dengan cara menjaga NKRI," jelas Kiai Marsudi.    Ia berasalan
bahwa diadakannya haul itu adalah ikhtiar untuk tetap menjunjung tinggi penghormatan kepada
Pangeran Diponegoro, sebagai pahlawan bangsa. "Kita tidak boleh melupakan tonggak sejarahnya
atas peninggalan beliau (berupa) sebuah kemerdekaan Indonesia," jelasnya.   "Betapapun beliau
sudah wafat, tapi kita harus tetap menjunjung tinggi dan tidak boleh terputus perjuangannya. Agar
kita juga jangan sampai terputus semangat perjuangannya," tegas Kiai Marsudi.   Dengan kata lain, ia
mengajar agar sebagai penerus bangsa Indonesia harus senantiasa tersambung semangat perjuangan
menjaga negeri ini. Hal tersebut dalam rangka menjaga warisan nusantara berupa Negara Kesatuan
Republik Indonesia.    Pewarta: Aru Lego Triono Editor: Kendi Setiawan TAGS: Pangeran
Diponegoro

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/126037/pangeran-diponegoro-adalah-santri--belajar-ke-
banyak-kiai

Jalur Keilmuan Pangeran Diponegoro Sabtu 16 Januari 2021 09:00 WIB Replika lukisan Pangeran
Diponegoro yang dilukis secara langsung oleh juru gambar, Adrianus Johannes Bik (1790-1972).
(Kompas.com) BAGIKAN: Jakarta, NU Online Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, Kiai
Achmad Chalwani pada Haul Pangeran Diponegoro Jumat (15/1) malam mengatakan Pangeran
Diponegoro adalah seorang faqih juga sufi, punya guru syariat dan guru tarekat. "Pangeran
Diponegoro pernah mengaji ilmu hikmah kepada simbah KH Nur Muhammad Ngadiwongso,
Salaman dan mengkaji ilmu Tafsir Jalalain kepada KH Baidlowi Pesantren Bagelen, Purworejo yang
makamnya ada di Godegan, Bantul," kata Kiai Achmad Chalwani dalam haul bertema Menjaga
Warisan Nusantara.   ADVERTISEMENT Menurut Kiai Chalwani, KH Baidlowi adalah seorang
ulama besar memiliki putra Kiai Hasan Muhibat. Salah satu keturunan dari Kiai Hasan adalah Budi
Karya Sumadi Menteri Perhubungan RI. Sedangkan guru ilmu syariat Diponegoro adalah kiai Hasan
Besari Tegalsari, Ponorogo.  "Ada sosok ulama yang menjadi Mangguloyu Dunya Diponegoro
simbah kiai Abdurrauf kakeknya mbah Dalhar Watucongol, Magelang yang kemudian ditunjuk
sebagai bendahara perang Diponegoro yaitu kiai Gedong, Magelang,"`papar Kiai Chalwani.  
ADVERTISEMENT Pusat peperangan ada di kampung yang bernama Benteng, dekat langgar agung
tempat mujahadah. "Tempat mujahadah lain di belakang pesantren Api Tegalrejo, Magelang. Jadi,
Pangeran Diponegoro lahir di Yogya punya peninggalan mujahadah di dua tempat," katanya.  
"Mujahadah dilakukan Pangeran Diponegoro dengan niat mendapat keberkahan dari sang guru KH
Nur Muhammad," jelas Kiai Chalwani.   Pengasuh Pesantren An- Nawawi, Berjan,
Purworejo ini mengatakan, Mbah Hasyim Asyari juga punya guru syariat Syaikhona Cholil
Bangkalan, Madura. Ketika menjadi katib Syekh Termas di Makkah, Hadratussyekh Hasyim Asy'ari
talqin baiat Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah kepada  Syekh Mahfud Termas, Pacitan.   "Ketika
Bung Karno membacakan teks proklamasi di Pegangsaan timur Jakarta, tampil putra tarekat
mendampingi Bung Karno yakni Mohammad Hatta yang akhirnya terpilih menjadi wakil presiden
pertama. Bung Hatta adalah putra ustadz H Jamil guru Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah, Batu
Hampar, Sumatera Barat," teragnnya. ADVERTISEMENT   Kontributor: Suci AmaliyahEditor:
Kendi Setiawan

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/126034/jalur-keilmuan-pangeran-diponegoro

Pangeran Diponegoro Menolak Jadi Raja Aru Lego Triono Sabtu 16 Januari 2021 07:00 WIB
Kemudian ketika sang ayah naik tahta, ia ditetapkan sebagai pangeran dengan nama Bendara
Pangeran Haryo Diponegoro (Foto: Tirto) BAGIKAN: Jakarta, NU Online Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut Pangeran Diponegoro adalah sosok
yang memiliki prinsip dan karakter luar biasa. Terutama ketika ia menolak tawaran sang ayah untuk
menjadi raja dan lebih memilih meninggalkan Kraton Ngayogyakarta Hadininigrat. Ia akhirnya
tinggal di Desa Tegalrejo, Yogyakarta.    ADVERTISEMENT Demikian disampaikan Kiai
Said dalam gelaran Haul Ke-166 Pangeran Diponegoro yang digelar secara daring Jumat (15/1)
malam. Pada kesempatan ini, Kiai Said juga menjelaskan biografi singkat Diponegoro.    "Pangeran
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 dan wafat di Makassar 8 Januari 1855.
Usianya 69 tahun. Dilahirkan dari seorang ibu, Raden Ayu Mangkarawati dari Pacitan dan Gusti
Raden Mas Suraja atau Sri Sultan Hamengkubuwana III," papar Kiai Said.   Mangkarawati adalah
selir dari Hamengkubuwana III. Ia seorang putri dari Bupati Pacitan dan masih memiliki ikatan darah
dengan Sunan Ampel, Surabaya. Makamnya berada di Astana Imogiri, Yogyakarta, satu kompleks
dengan makam sang suami.   Pangeran Diponegoro bernama lahir Bendara Raden Mas Mustahar
alias Abdul Hamid. Lalu diubah menjadi Bendara Raden Mas Ontowiryo. Kemudian ketika sang
ayah naik tahta, ia ditetapkan sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Haryo Diponegoro.
Kelak, ia memiliki gelar sebagai Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirulmukminin Sayyidin
Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi.  ADVERTISEMENT   Setelah menolak keinginan sang ayah
untuk menjadi raja, Pangeran Diponegoro keluar dari keraton dan memilih tinggal di Desa Tegalrejo.
Berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya yakni Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau
selir dari Sri Sultan Hamengkubuwana I.   "Di sinilah Pangeran Diponegoro memiliki sikap dan
karakter luar biasa, beliau diberi petunjuk dan kekuatan Allah agar menolak keberadaan Keraton
Yogyakarta yang ketika itu sudah dikontaminasi Belanda," tegas Kiai Said.   ADVERTISEMENT
Waktu itu, Residen Belanda mengendalikan Patih Danurejo untuk bisa menguasai Kraton
Yogyakarta. Lalu di sini, kata Kiai Said, mulailah Pangeran Diponegoro keluar dari Kraton dan
bersikap untuk melawan VOC Belanda selama lima tahun, sejak 1825 hingga 1830.   Menghadapi
Pangeran Diponegoro, Belanda mengalami kerugian yang sangat besar. Bahkan hampir bangkrut.
Lalu para pengurus VOC Belanda itu mengadakan rapat di Den Haag untuk membicarakan soal
bagaimana mengalahkan Khalifatullah Tanah Jawi ini.   "Keputusan (rapat itu) konon ada yang sudah
tahu watak orang Jawa. Yaitu orang Jawa jangan dilawan dan dikasari karena nanti dia akan
melawan dan bertahan. Orang Jawa itu harus dialem dan dipuji-puji sehingga nanti dia jadi lemah,"
tutur Kiai Said.  ADVERTISEMENT   Maka benarlah, Pangeran Diponegoro berhasil ditipu.
Mulanya Belanda mengajak damai dan Diponegoro berhasil diajak damai. Kemudian ia berhasil
ditangkap di Magelang dan dibawa ke Semarang. Lalu ia dibuang ke Manado dan Makassar.   
Jejaring ulama Diponegoro Sementara itu, penulis buku Jejaring Ulama Diponegoro Zainul Milal
Bizawie menambahkan bahwa ketika Diponegoro ditangkap sebenarnya ada sosok yang ikut dan
kemudian diperintahkan agar melarikan diri menghadap Paku Buwana IV. Sosok itu sangat dekat
dengan Raja Surakarta Paku Buwana IV yakni Kiai Imam Rozi atau Singo Manjat dari Klaten.   Pada
usia 24 tahun, Kiai Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro untuk memerangi Belanda.
Ia diangkat sebagai Manggala Yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara Pangeran
Diponegoro dan Paku Buwono IV Surakarta.    Pada saat Imam Rozi bersama Pangeran Diponegoro
ditahan penjajah di Semarang, ia diminta melarikan diri dari tahanan dan menghadap Paku Buwono
dengan membawa surat dari Pangeran Diponegoro.   Isi surat itu antara lain memohon Paku Buwono
menugasinya berdakwah di Surakarta Bagian Barat, mencarikan jodoh untuk mendampingi
perjuangannya, dan disediakan tanah perdikan. Pada tahun 1833, Kiai Imam Rozi melaksanakan
tugas itu dan memilih Desa Tempursari sebagai tempat tinggal.   "Surakarta tidak secara terang-
terangan membantu Diponegoro tapi secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika raja Surakarta Paku
Buwono IV itu diperintahkan diminta oleh Belanda untuk menyerang Diponegoro justru mereka
malah perang pura-pura, sehingga seolah melawan Diponegoro. Padahal sebenarnya memiliki
perjanjian untuk saling mendukung karena ini adalah perjuangan bersama," jelas Milal.   "Kita tidak
tahu pesan apa yang disampaikan Diponegoro kepada Singo Manjat itu. Tapi yang jelas itu adalah
sebuah pesan untuk disampaikan kepada para ulama dan kiai yang telah mendukung atau pernah ikut
pertempuran Diponegoro," sambungnya.   Milal kemudian menjelaskan jejaring ulama yang
membantu perjuangan Diponegoro. Salah satunya di Indramayu. Di sana ada seorang habaib yang
sangat kental dalam membantu perjuangan Diponegoro.    "Beliau adalah Habib Umar bin Toha bin
Hasan bin Yahya. Seorang yang gagah sekali dan Belanda sangat takut kepadanya. Habib Umar
sangat dekat dengan Habib Abdurrahman Al-Habsyi Cikini yang juga sangat dengan lingkaran
perjuangan habaib yang mendukung Diponegoro," ungkap Milal.   "Kenapa? Karena Habib Cikini ini
diambil menantu oleh salah satu adik dari Raden Saleh. Maka itu makam Habib Cikini berada dekat
dengan Masjid yang dibangun Raden Saleh di Jakarta Pusat. Habib Cikini dekat dengan Habib Hasan
bin Yahya Pekalongan dan Habib Umar Indramayu," lanjutnya.   Di Pekalongan, kata Milal, ada pula
kakak dari Raden Saleh yaitu Habib Alwi bin Yahya. Lalu di Semarang para habaib dari bani
Bustaman, termasuk ayah Raden Saleh yakni Habib Husen bin Alwi bin Awal bin Yahya yang juga
menjadi bagian dari jejaring perjuangan Diponegoro.   "Banyak sekali sebenarnya para habaib yang
menjadi guru dari Diponegoro ini," tegas Milal.   Berbagai daerah Inisiator Haul Diponegoro yang
juga adalah Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud mengatakan, sangat banyak jaringan kiai-kiai
pesantren dan mursyid tarekat, termasuk para habaib yang membantuk perjuangan Diponegoro.    Ia
menyebutkan beberapa, misalnya Kiai Modjo, Kiai Imam Puro, Kiai Muhammad Besari, Kiai
Mahfud Termas, Kiai Abdullah Faqih Purwokerto, Kiai Soleh Darat, Syekh Kholil Bangkalan
Madura, sampai ke Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari.    "Kemudian terus turun temurun sampai ke
Kebumen. Ada Kiai Singa Barong, Kiai Nawawi Petanahan, Kiai Abdullah Suyuthi, Syekh Mahfud
Somalangu, dan dari Kiai Ngabehi Singadipa, Kiai Mad Salam, Kiai Marzuki. Sampai ke Jawa Barat,
Citangkolo Banjar," ungkap Kiai Marsudi.   “Lalu diurut urut ke selatan misalnya Cilacap, ada Kiai
Asmorosufi, Kiai Arfah Sekonegoro, Gagah Handoko, Kiai Badlawi Kesugihan. Begitu pula para
habaibnya, Sayyid Alwi Ba’abud, Habib Abubakar bin Toha Tejokusumo, Habib Toha Cirebon,
Habib Umar Indramayu, Habib Hasyim Pepolangan, sampai ke Habib Ali Kwitang," tambahnya.  
Dengan kata lain, Kiai Marsudi mengungkapkan bahwa sebenarnya ketika perang Diponegoro waktu
itu, tidak ada sama sekali dikotomi yang menjadi pemisah antara kiai dan para habaib. Semua
menyatu karena terpanggil untuk jihad membela tanah air.  

Pewarta: Aru Lego Triono

Editor:KendiSetiawan
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/126032/pangeran-diponegoro-menolak-jadi-raja

Wakil Rais NU Jateng: Pangeran Diponegoro Santri dan Pengamal Tarekat Ahmad Naufa Khoirul
Faizun Ahad 8 September 2019 19:00 WIB Wakil Rais PWNU Jateng, KH Chalwani Nawawi (dua
dari kanan) BAGIKAN: Purworejo, NU Online ADVERTISEMENT Rais Syuriyah Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Achmad Chalwani Nawawi menjelaskan
bahwa peran santri dalam melawan penjajah dan ikut merebut kemerdekaan tidak sedikit.    "Dan di
antara para santri itu adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa yang legendaris itu,"
ujarnya.   Hal ini disampaikan dalam Diskusi Interaktif Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda
(GP) Ansor Purworejo, 'Membaca dan Meneladani Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro
Bendoro Raden Mas Ontowiryo: Kepemimpinan dan Religiusitasnya dalam Perjuangan Perang
Jawa', Sabtu (7/9) malam, di Masjid Santren, Bagelen, Purworejo.   Dijelaskan, sejak kecil dirinya
sudah hafal nama lengkap Pangeran Diponegoro, setelah mendengar ceramah almarhum KH Yasin
Yusuf Blitar, ketika waktu itu orator legendaris NU ini berpidato di Alun-Alun Purworejo.  
ADVERTISEMENT “Kata Pak Yasin, Diponegoro itu nama lengkapnya: Kiai Haji Kanjeng
Bendoro Raden Mas Ontowiryo Abdul Hamid Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin
Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa
Selarong,” ungkap Kiai Chalwani, dengan lancarnya.   “Ketika Wali Kota Magelang mengundang
saya Haul Diponegoro tahun kemarin, di komplek kamar Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu,
sekarang namanya Bakorwil II, dekat bekas kantor BPK RI pertama. Saya bersama Pangdam
Diponegoro. Apa yang saya baca di dalam sejarahnya bahwa Diponegoro punya tiga peninggalan,"
imbuhnya.   Dikatakan, dirinya melihat langsung dengan memasuki kamar Diponegoro. Diponegoro
punya tiga tinggalan yang berkaitan dengan keagamaan, yakni Al-Qur'an, Tasbih, dan Taqrib (kitab
fathul qarib).  ADVERTISEMENT   "Kenapa Al-Qur'an? karena Diponegoro adalah seorang
Muslim. Kenapa tasbih? karena Diponegoro ahli dzikir, dan bahkan penganut tarekat,” jelasnya
panjang lebar, di hadapan puluhan pengurus Ansor dan warga NU Bagelen.   Guru Besar Ilmu
Pertahanan di Jakarta Prof Salim Said, lanjut Kiai Chalwani, mengatakan Diponegoro tokoh tarekat.
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan, Diponegoro guru Tarekat Qadiriyyah.
Dalam sejarah yang lain, Diponegoro pun mengamalkan Tarekat Syathariyyah, seperti almarhum
Mbah Imam Puro, salah satu tokoh ulama yang dihormati di Kabupaten Purworejo.  
ADVERTISEMENT Peninggalan yang ketiga, lanjut Pengasuh Pesantren An-Nawawi ini, yang
masyhur adalah kitab Fatkhul Mu’in. Akan tetapi, setelah beliau melihat langsung di sana, bukan
Fatkhul Mu’in tapi Taqrib-nya, Matan Abu Suja’ (yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren
bermadzhab Syafii).   “Jadi Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka, karena bermadhab
syafi’i, Diponegoro shalat tarawih 20 rakaat, shalat shubuh memakai doa qunut, jumatan adzan dua
kali, shalatnya memakai ushalli, sehabis shalat wiridan (mengamalkan wirid), jika Ruwah Nyadran,
ketika meninggal ditalqin. Itu Diponegoro,” ungkap kiai yang kerapkali mengenalkan NU, Tarekat,
dan pesantren ini dalam tiap ceramahnya.    Selain Kiai Chalwani, hadir sebagai narasumber dalam
Diskusi Interaktif ini adalah Ki Roni Sodewo, Ketua Patra Padi (Paguyuban Trah Pangeran
Diponegoro) dari Wates Kulonprogo DIY, dan Ki Sudarto (Budayawan, Sastrawan dan Dalang) dan
Loano Purworejo.   Ketua PC GP Ansor Purworejo HM Haekal menjelaskan, Diskusi Interaktif ini
digelar untuk kembali mengangkat sejarah yang mulai dilupakan oleh generasi muda hari ini.  
“Selama ini gerakan kita banyak yang menggunakan simbol-simbol umum dan nasional dalam
gerakan. Kita mencoba mengangkat Pangeran Diponegoro," tandasnya.    Dikatakan, selain pahlawan
nasional, Pangeran Dipnegoro juga masih ada hubungannya dengan Purworejo, karena Bagelen
khususnya dan Purworejo umumnya ini masuk dalam wilayah pertempurannya. Banyak tokoh di sini
yang bersinggungan dengan beliau,” ungkap kerabat KH Saifuddin Zuhri ini, menjelaskan.  

Kontributor: Ahmad Naufa

Editor:Muiz

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/110706/wakil-rais-nu-jateng--pangeran-diponegoro--santri-
dan-pengamal-tarekat

Anda mungkin juga menyukai