Anda di halaman 1dari 14

217 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm.

217-230

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal


di Kawasan Geopark Pangandaran
Iriana Bakti1, Suwandi Sumartias2, Trie Damayanti3, dan Aat Ruchiat Nugraha4
1,2,3,4
Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Pangandaran adalah salah satu destinasi wisata terkenal di Jawa Barat yang memiliki keanekaragaman
hayati dan keanekaragaman budaya yang terus dipelihara melalui mekanisme pendidikan lingkungan untuk
menuju ke arah pelestarian dan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable). Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi kearifan lokal, pola interaksi antar pemangku kepentingan, dan saluran
komunikasi yang mendukung terbentuknya geopark Pangandaran. Metode penelitiannya eksploratif untuk
menginventarisir berbagai gejala yang berkaitan dengan pelaksanaan kearifan lokal, pola interaksi, dan
saluran komunikasi dalam mendukung terbentuknya geopark Pangandaran. Teknik pengumpulan data
menggunakan pedoman wawancara, dan studi kepustakaan. Informannya penggiat wisata yang terkait dengan
pengembangan wisata berbasis kearifan lokal di Kabupaten Pangandaran yang dipilih secara purposif. Hasil
penelitian menunjukkan kearifan lokal, seperti, layang syeikh, babarit, hajat leuweung, dan sebagainya
telah dimanfaatkan untuk menambah daya tarik wisata di berbagai wilayah di Kabupaten Pangandaran.
Pola interaksi pada tataran birokrat masih belum jelas, karena rencana tersebut baru sebatas wacana atau
statement politis, sedangkan pada tataran masyarakat (penggiat budaya dan pariwisata) sudah terbentuk
melalui forum silaturahmi dengan sesepuh adat, dan diskusi kelompok penggiat budaya dan wisata, sehingga
terbangun kesepahaman, kesepakatan, kerjasama, dan kolaborasi di antara mereka. Saluran komunikasi yang
terbentuk bersifat person to person (antarpersona) antara penggiat budaya dan pariwisata dengan sesepuh
adat. Saluran kelompok memiliki konformitas dan kohesivitas yang tinggi dalam mengembangkan destinasi
wisata geopark berbasis budaya dan kearifan lokal di Pangandaran. Media sosial digunakan untuk mengirim
dan menerima informasi, sehingga semakin menguatkan hubungan dan ikatan sosial di antara mereka.
Kata-kata Kunci: Geopark; kearifan lokal; komunikasi; model; pariwisata

Development of Local Tourism Based Tourism Communication Model


in Geopark Pangandaran Area
ABSTRACT

Pangandaran is one of the most famous tourist destinations in West Java because in this region there are
a variety of natural and ancient Sundanese cultural attractions. The tourist attraction in Pangandaran is a
geological heritage that contains biodiversity and cultural diversity which is continually maintained through
the mechanism of environmental education to go towards the preservation and sustainable development of
the environment. This study aims to identify local wisdom, patterns of interaction between stakeholders, and
communication channels that support the formation of Pangandaran geopark. Data collection techniques
used interview guidelines, and library studies. The informants were parties related to the development of
tourism based on local wisdom in Pangandaran Regency, both from relevant agencies, tourism agents, and
cultural activists who were chosen purposively. Research results show that local wisdom, like, layang Syeikh,
babarit, hajat leuweung, etc, has been used to increase tourist attraction in various regions in Pangandaran
Regency. The pattern of interaction at the level of the bureaucrat is still unclear, because the plan is only
limited to discourse or political statement, while at the community level (activists of culture and tourism)
have been formed through forums with traditional elders, and discussions of cultural and tourism activists,
so that understanding can be established. an agreement, cooperation and collaboration between them.
Communication channels formed are person-to-person (interpersonal) between cultural and tourism activists
with indigenous elders. Group channels have high conformity and cohesiveness in developing culture-based
and local wisdom geopark tourist destinations in Pangandaran. Social media (cellphones) are used for,
sending and receiving information, so that it further strengthens the relationships and social ties between
them.
Keywords: Communication; geopark; local wisdom; model; tourism

Korespondensi: Dr. Iriana Bakti, M.Si. Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang KM. 21
Jatinangor, 45363. Email: iriana.bakti@unpad.ac.id
Submitted: August 2018, Accepted: November 2018, Published: December 2018
ISSN: 2303-2006 (print), ISSN: 2477-5606 (online). Website: http://jurnal.unpad.ac.id/jkk
Terakreditasi Kemenristekdikti RI SK No. 48a/E/KPT/2017
218 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230

PENDAHULUAN rangka memenuhi keinginan wisatawan dalam


berwisata secara spiritual, karena berdasarkan
Pangandaran merupakan salah satu hasil penelitiannya, Maharani mengungkapkan
kabupaten di Jawa Barat yang usianya masih bahwa pada dasarnya “motif pelancong budaya
sangat muda namun memiliki potensi alam yang dan pelancong religi mencari ketenangan,
sangat bagus sebagai destinasi wisata yang dapat kesenangan, ketertarikan pada sejarah, dan
menghasilkan pendapatan untuk pembangunan untuk berkumpul dengan keluarga” (Maharani,
daerah. Destinasi wisata di Kabupaten 2014).
Pangandaran tidak hanya pantai, tetapi sejak Untuk mewujudkan Pangandaran sebagai
beberapa tahun yang lalu bertambah dengan destinasi wisata geopark yang memadukan
wisata alam seperti Green Canyon (Cukang unsur keindahan alam dan keragaman budaya
Taneuh), Citumang, dan sebagainya yang (kearifan lokal), maka diperlukan sumber daya
keindahannya tidak kalah dari wisata pantai. manusia (SDM) yang memiliki kapabilitas
Destinasi wisata yang berwawasan lingkungan dan akseptabilitas terhadap sumber daya alam
alam ini menjadi daya tarik tersendiri, karena dan budaya di wilayah tersebut. Oleh karena
di dalamnya mencakup faktor konservasi itu, diperlukan pemberdayaan kepada mereka,
alam, pemberdayaan sosial budaya ekonomi terutama yang berkaitan dengan pelatihan
masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pengelolaan wisata alam, tour guide, dan
pendidikan. pelatihan kewirausahaan agar mereka menjadi
Pariwisata berwawasan lingkungan SDM yang handal untuk membantu pemerintah
(ekowisata) selain pantai menjadi alternatif bagi dalam mengelola kawasan yang dijadikan
wisatawan yang berkunjung ke Pangandaran, geopark, sehingga pada akhirnya mereka mampu
karena masih asri, bersih, udaranya masih meningkatkan kondisi ekonomi keluarga dan
segar, dan alamnya cukup menantang terutama meningkatkan sumber pendapatan daerah,
bagi mereka yang berjiwa petualang, sehingga karena menurut Saayman, “pariwisata dianggap
kawasan ekowisata di Pangandaran ini akan memiliki nilai ekonomi dalam pengembangan
dijadikan geopark sebagai respons atas properti yang menghasilkan pendapatan
menurunnya kualitas lingkungan wisata pantai yang cukup besar dan kemampuannya dalam
yang selama ini menjadi andalan pariwisata menyediakan pekerjaan” (Wibawanto, 2015).
Pangandaran. Pengembangan pariwisata geopark
Untuk mengembangkan geopark Pangandaran berbasis kearifan lokal ini
Pangandaran, selain masalah konservasi, menjadi merupakan kreativitas masyarakat
keindahan alamnya, kearifan lokal yang yang memiliki daya tarik tersendiri, dan dapat
bertebaran di wilayah tersebut dapat menjadi menunjang pengembangan ekonomi kreatif
daya tarik tersendiri untuk mengundang bagi masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan
kedatangan wisatawan. Kearifan lokal di pendapat bahwa, “Ekonomi kreatif bukan
Kabupaten Pangandaran menurut Witular hanya diukur dari segi ekonomi tetapi juga
merupakan “perilaku positif manusia dalam dapat diukur dari segi dimensi budaya. Dewasa
hubungannya dengan alam dan lingkungan ini, ide-ide kreatif yang muncul pada dasarnya
sekitar yang bersumber dari nilai-nilai agama, bersumber dari kearifan lokal daerah. Hal ini
adat istiadat setempat yang berkembang menjadi memberikan makna bahwa kearifan lokal sangat
kebudayaan daerah tersebut” (Permana, 2010). menentukan arah perkembangan ekonomi
Kearifan lokal di Kabupaten Pangandaran kreatif di Indonesia” (Rakib, 2017).
mencerminkan identitas/kepribadian setempat Untuk itu diperlukan kolaborasi di antara
yang menyebabkan para anggotanya dapat para pemangku kepentingan, baik dari instansi
mengaktualisasikan potensi diri untuk terkait, pelaku wisata, penggiat budaya dan
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, pariwisata, komunitas lokal, dan sebagainya
menurut Hadi, “berkat kearifan lokal mereka untuk bekerjasama membangun kawasan
dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan geopark Pangandaran berdasarkan modal
dapat berkembang secara berkelanjutan sosial yang tersedia seperti jaringan (networks),
(sustainable development)” (Permana, 2010). norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial
Kearifan lokal ini menjadi objek wisata yang (social trust) yang mendukung koordinasi dan
sangat potensial untuk dikembangkan dalam kooperasi untuk kepentingan bersama.

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230 219

Koordinasi dan kooperasi dari berbagai destinasi pariwisata geopark tersebut merupakan
pemangku kepentingan akan semakin fenomena yang menggambarkan interaksi
mempermudah terwujudnya Pangandaran di antara para pemangku kepentingan, baik
sebagai sebuah kawasan geopark yang harus secara individu, individu dengan kelompok,
diketahui oleh wisatawan lokal maupun dan kelompok dengan kelompok yang satu
mancanegara. Untuk itu diperlukan upaya place sama lain bekerja sama untuk mencapai tujuan
branding untuk memperoleh reputasi yang bersama mengembangkan pariwisata geopark
baik dan mendapatkan brand equity dalam berbasis kearifan lokal di Pangandaran.
pengelolaan kawasan geopark, dan berbasis Pola interaksi antar individu terjadi ketika
pada strategi dan teknik yang sesuai dengan seorang penggiat budaya bersilaturahmi
keanekaragaman hayati dan keanekaragaman dengan ketua adat untuk membicarakan ritual
budaya sebagai identitas Pangandaran. adat yang bisa diangkat untuk dijadikan objek
Untuk melakukan place branding wisata, setelah itu penggiat budaya tersebut
Pangandaran sebagai kawasan geopark membicarakan hasil pertemuannya dengan
diperlukan upaya untuk mengkomunikasikan ketua adat kepada komunitas penggiat budaya
kawasan tersebut yang didasarkan pada lainnya, selanjutnya komunitas penggiat
keunikan wilayahnya, baik berupa kondisi fisik budaya berdiskusi dengan kelompok penggerak
(geologis), maupun kearifan lokal yang ada wisata tentang pengangkatan aktivitas budaya
dan dilakukan oleh masyarakat Pangandaran. (kearifan lokal) yang berpotensi untuk dijadikan
Komunikasi merupakan proses penyamaan objek wisata geopark di Pangandaran.
makna bersama di antara para pesertanya, Interaksi yang terjadi di antara para
yang dalam hal ini adalah para pemangku pemangku kepentingan dalam pengembangan
kepentingan yang mendukung pengembangan pariwisata geopark berbasis kearifan lokal di
wisata geopark di Kabupaten Pangandaran. Pangandaran yang terjadi seperti pertemuan
Aktivitas komunikasi dalam mewujudkan silaturahmi, pertemuan bersama, dan
pariwisata geopark di Pangandaran ini dapat sebagainya menggambarkan pula aktivitas
menggambarkan sebuah model komunikasi komunikasi di antara mereka. Untuk itu dalam
pariwisata berbasis kearifan lokal, hal ini sesuai penulisan ini bertujuan untuk mengetahui,
dengan hasil penelitian (Nugraha et al. 2017), kearifan lokal yang mendukung terbentuknya
yang menyatakan: kawasan wisata geopark Pangandaran, pola
Model komunikasi pariwisata yang interaksi di antara pemangku kepentingan, dan
berbasiskan kearifan lokal merupakan saluran komunikasi yang digunakan dalam
bagian dari praktik komunikasi yang mewujudkan Pangandaran sebagai destinasi
secara praktis dapat memberikan nuansa wisata geopark berbasis kearifan lokal.
pembaharuan kegiatan wisata selama ini
yang berorientasi pada model “modern” METODE PENELITIAN
yang berbasiskan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Model yang Penelitian ini menggunakan metode
berbasiskan kearifan lokal, dilakukan eksploratif. Metode eksploratif ”bertujuan
dalam upaya untuk memberikan alternatif untuk menggali secara luas tentang sebab-
pemilihan destinasi wisata yang akan sebab atau hal-hal yang mempengaruhi
dikunjungi oleh para wisatawan. terjadinya sesuatu” (Arikunto, 2005), di
mana dalam penelitian ini penulis mencoba
Untuk mengembangkan model komunikasi untuk menginventarisir berbagai gejala
pariwisata geopark berbasis kearifan lokal yang berkaitan dengan pelaksanaan kearifan
di Pangandaran, berupa gambaran tentang lokal yang masih dilakukan oleh masyarakat
aktivitas-aktivitas tradisi/budaya lokal yang Pangandaran yang mendukung terbentuknya
masih dilaksanakan di wilayah tersebut, geopark Pangandaran, pola interaksi yang
diperlukan pula gambaran tentang pola terjadi di antara para pemangku kepentingan
interaksi yang berlangsung di antara pemangku di Pangandaran, dan menginventarisir saluran
kepentingan, dan saluran komunikasi yang komunikasi yang digunakan yang mendukung
digunakan dalam kegiatan tersebut. terbentuknya geopark Pangandaran.
Pola interaksi dalam mengembangkan

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
220 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230

HASIL DAN PEMBAHASAN tarik wisata selain wisata pantai, dan pemerintah
mendukung kelompok-kelompok penggiat
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, budaya dan pariwisata untuk menjadikan
diperoleh gambaran umum bahwa Kabupaten budaya khas Pangandaran jadi pendukung
Pangandaran banyak memiliki wilayah dan destinasi wisata.
budaya yang dapat dijadikan destinasi wisata Berkaitan dengan aktivitas budaya di
geopark. Hal ini dimungkinkan, karena Pangandaran tersebut, salah satu tokoh adat
Pangandaran merupakan suatu kawasan yang menyatakan bahwa sesungguhnya mereka belum
memiliki karakteristik geologi, budaya, sejarah, tahu tentang geopark, namun diakui bahwa
serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang di banyak kegiatan budaya lokal yang salah
turut menjaga dan melestarikan. Dengan kata satunya yang diselenggarakan di bulan muharam
lain, masyarakat di Kabupaten Pangandaran sebagai bentuk silaturahmi dan rasa syukur
sudah mengembangkan budaya-budaya lokal kepada yang memiliki Kuasa atas keselamatan
untuk mendukung pengembangkan kawasan yang diberikan-Nya. Sementara itu tokoh
wisata geopark di Pangandaran. formal (kepala Desa) Cikalong menyatakan
Beberapa budaya lokal yang masih budaya babarit berupa ritual tahunan di bulan
dilaksanakan menurut penggiat budaya di Hapit ini rutin dilaksanakan untuk tolak bala
Pangandaran di antaranya adalah Hajat Laut, dan rasa syukur masyarakat, dan masyarakat
Hajat Leuweung, Babad Cijulang, Uga Lokal berpatisipasi setiap ada ritual tersebut. Pendapat
(pernyataan sebagai rencana atau agenda), Kepala desa tersebut sesuai dengan pernyataan
cacagan (peribahasa) yang dibacakan di seorang warga yang menyebutkan bahwa “saya
Nusawiru pada bulan Mulud dan Muharam belum pernah mendengar istilah geopark,
serta dihadiri oleh semua sesepuh komunitas namun saya selalu ikut kegiatan selamatannya
adat di Pangandaran seperti Aki Ajim, Tradisi setiap tahun dan harus disyukuri. Bahkan warga
Layang Syeikh, Babarit, dan sebagainya. lainnya menyatakan tidak tahu mengenai apa
Rencana pengembangan destinasi wisata itu geopark?, saya selalu ikut berpartisipasi
Geopark di Kabupaten Pangandaran menurut dalam kegiatan budayanya seperti ritual babarit,
penggiat budaya di Kabupaten Pangandaran sebab kalau tidak ikut ritual tersebut saya malu
Erik Krisna Yudha, “Sudah ada penelitian di dengan tetangga”.
Green Canyon yang bekerjasama antara dinas Pola interaksi antar pemangku kepentingan
pariwisata Kabupaten Pangandaran dan Unpad, yang mendukung terbentuknya geopark
namun tindak lanjutnya sampai saat ini belum
ada”. Hal senada dinyatakan pula oleh penggiat
budaya lainnya bahwa rencana Pangandaran
sebagai kawasan wisata geopark sudah lama,
tapi belum ada wujudnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Budaya
Dinas Pariwisata Kabupaten Pangandaran
menyatakan bahwa “rencana pengembangan
wisata geopark di Kabupaten Pangandaran
masih sekedar statement politik bahwa
Pangandaran merupakan kawasan geopark kaya
Ciletuh”. Pendapat yang berbeda dinyatakan
oleh Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Sumber: Data Penelitian, 2018
Pangandaran menyatakan ada pembangunan
semacam Sea World, ada kawasan Mangrove, Gambar 1 Budaya lokal dan rencana pengembangan
Cagar Alam (Batu Kalde), dan ada penelitian kawasan wisata geopark Pangandaran
kemaritiman.
Berkaitan dengan budaya di Pangandaran,
kedua pejabat tersebut menyatakan hal Pangandaran berbeda di antara pemangku
yang relatif sama, bahwa pihak pemerintah kepentingan dari kalangan dinas/instansi terkait
telah menginventarisasi aktivitas budaya di dengan pemangku kepentingan dari kalangan
Kabupaten Pangandaran untuk dijadikan daya komunitas adat, dan penggiat budaya. Menurut

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230 221

Kepala Bidang Budaya Dinas Pariwisata yang Saluran komunikasi yang mendukung
menyatakan bahwa Dinas pernah menerima terbentuknya kawasan geopark Pangandaran.
informasi tentang wacana pengembangan Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
kawasan wisata Pangandaran menjadi geopark kepada Kabid Budaya Dinas Pariwisata
pada saat rapat pimpinan dengan Bupati, Kabupaten Pangandaran menyebutkan bahwa
namun sampai saat ini belum ada follow up saluran komunikasi yang digunakan oleh
nya”, sementara Sekretaris Dinas Pariwisata dinas terkait dalam mendukung terbentuknya
menyatakan bahwa sebagai aparatur sipil negara, geopark Pangandaran secara resmi belum
pihak Dinas masih menunggu instruksi dari ada, karena sejak diwacanakan oleh bupati
pimpinan sehingga kami belum melakukan aksi sampai saat ini belum ada tindaklanjutnya.
yang berkaitan dengan geopark Pangandaran. Hal senada dinyatakan pula oleh Sekretaris
Namun demikian, kedua pejabat dari instansi Dinas Pariwisata, “Kami menunggu instruksi
terkait tersebut menyatakan hal senada, selaku selanjutnya tentang rencana pengembangan
aparatur pemerintahan akan saling mendukung kawasan geopark di Pangandaran, sampai saat
sesuai dengan tupoksinya, karena belum ada ini belum ada komunikasi”.
leading sector mengenai konsep pengembangan Saluran komunikasi di kalangan panggiat
geopark Pangandaran, maka sekarang setiap budaya dan pariwisata menurut penggiat wisata
dinas-dinas berjalan sendiri-sendiri mengenai yaitu pola komunikasi yang terjalin masih
pelaksanaan rencana pengembangan geopark bersifat person to person belum terlembagakan,
Pangandaran. pertemuan kelompok, dan mengunggah foto-
Sementara itu, pola interaksi di antara foto pariwisata di Facebook dan Instagram.
pemangku kepentingan dari komunitas adat Selanjutnya, kami juga sering menghadiri ritual
dan penggiat budaya di Pangandaran menurut adat di setiap kecamatan di wilayah Pangandaran
salah seorang penggiat budaya dilakukan ini. Hal yang sama dinyatakan oleh penggiat
dengan cara bertemu untuk silaturahmi dengan wisata lainnya yang menyampaikan bahwa
sesama penggiat budaya lain, dan juga dengan kami sering berkomunikasi dengan dinas
komunitas adat, bahkan banyak belajar dari pariwisata, berbicara dengan tokoh masyarakat
mereka tentang kehidupan ini. Hal ini dilakukan

Sumber: Data Penelitian, 2018

Gambar 3 Arus komunikasi dalam mendukung


pengembangan kawasan geopark
Pangandaran

dan adat, berdiskusi dengan kelompok penggiat


budaya dan pariwisata. Selain itu, dalam hal
pemanfaatan teknologi informasi, kami juga
memanfaatkan WhatsApp dan Facebook untuk
Sumber: Data Penelitian, 2018 menyampaikan informasi mengenai potensi
pariwisata Pangandaran agar menjadi destinasi
Gambar 2 Pola interaksi dalam rencana baru.
pengembangan kawasan wisata geopark Pembahasan penelitian: kearifan lokal
Pangandaran
yang mendukung terbentuknya geopark
dalam rangka berdiskusi untuk membicarakan Pangandaran. Kabupaten Pangandaran selain
masalah pariwisata di daerah masing-masing, memiliki destinasi wisata pantai, juga memiliki
bahkan membuka tempat wisata baru yang ada destinasi wisata alam lain, yaitu perbukitan,
tradisi buhunnya. goa, sungai, dan aktivitas budaya yang sangat
Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
222 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230

potensial untuk dikembangkan. Khusus potensi statement politis saja. Pejabat dari dari dinas
budaya, di Kabupaten Pangandaran banyak terkait sampai saat ini masih menunggu instruksi
aktivitas budaya sebagai kearifan lokal yang dari atasannya, dan mereka siap melaksanakan
rutin dilaksanakan secara turun-temurun oleh instruksi tersebut sesuai dengan tupoksinya.
masyarakatnya. Kearifan lokal tersebut bisa Wacana pengembangan destinasi
mendukung rencana pengembangan destinasi wisata geopark di Pangandaran ini belum
wisata geopark di Pangandaran. Apalagi memberi kepastian bagi pejabat dari dinas
bila ditunjang dengan tempat yang strategis, terkait, kapan dan bagaimana hal tersebut
konsep wisata yang menarik, dan keramahan bisa diimplementasikan menjadi kebijakan
masyarakatnya, menjadi bahan pertimbangan yang harus mereka paham dan laksanakan.
wisata alam mengambil keputusan untuk Mengonstruksi pemahaman (makna) geopark
mengunjunginya (Yusuf, 2014). sebagai destinasi wisata di Pangandaran tidak
Namun demikian, rencana pengembangan sederhana, karena menurut Sparingga, “wacana
kawasan geopark tersebut masih belum terwujud harus dilihat sebagai sebuah konstruksi dari
secara formal, walaupun sudah dilakukan keseluruhan entitas dan hubungan sosial, bukan
riset sebelumnya tentang kondisi alam, dan merupakan representasi atau perwakilan dari
budaya di wilayah Pangandaran, yang hasilnya semua itu” (Basrowi & Sukidin, 2002). Jadi
Kabupaten Pangandaran memiliki potensi untuk wacana tentang geopark di Pangandaran menjadi
mengembangkan destinasi wisata berbasis sangat kompleks, tidak hanya menyangkut
geoprak. Riset ini sangat penting sebelum suatu lokasi atau objeknya saja, melainkan berkaitan
program ditetapkan “untuk merencanakan pula dengan pengelolaannya, infrastrukturnya,
dan mengevaluasi suatu tindakan dibutuhkan permodalan, dan sebagainya.
informasi awal yang bersumber dari hasil riset” Rencana pengembangan destinasi wisata
(Lattimore et al., 2010). geopark di Pangandaran yang menurut pejabat
Riset yang dilakukan oleh tim dari dari dinas terkait masih wacana dan statement
Unpad ini telah mendapatkan informasi politis tersebut, menyebabkan dinas terkait
tentang potensi alam dan budaya, dan potensi belum bisa bergerak, karena mereka masih
penunjang lainnya seperti ekonomi, sosial, dan menunggu instruksi. Sementara itu, para
sebagainya, kemudian digabungkan, disusun, penggiat budaya dan pariwisata mempunyai
dianalisis, disimpulkan, dan direkomendasikan inisiatif sendiri untuk mengembangkan objek
kepada pemerintah Kabupaten Pangandaran, wisata di wilayahnya masing-masing dengan
bahwa potensi alam, budaya, sosial, ekonomi memanfaatkan kearifan lokal yang masih
dapat dijadikan modal untuk mengembangkan dilaksanakan secara turun-temurun, atau
destinasi wisata berbasis geopark di Kabupaten mengangkat kembali aktivitas-aktivitas budaya
Pangandaran. Rekomendasi tersebut sesuai dahulu yang sudah jarang, bahkan tidak pernah
dengan (Sutarso, 2012): dilaksanakan.
Kecenderungan bidang pariwisata masa Pada umumnya para penggiat budaya dan
depan bersumber dari potensi budaya dan pariwisata belum tahu rencana pengembangan
kearifan lokal, sehingga gagasan tentang destinasi wisata geopark di Pangandaran,
pola pengembangan wisata yang berbasis namun mereka siap mendukung, bahkan ketua
budaya dan kearifan lokal sebagai daya adat dan penggiat budaya dan pariwisata telah
tarik wisata yang lebih estetis (edipeni) dan melaksanakan aktivitas budaya/kearifan lokal
etis (adiluhung) perlu didukung. secara rutin yang notabene, faktor budaya/
kearifan lokal tersebut merupakan salah satu
Walaupun rekomendasi dari hasil riset syarat pengembangan kawasan geopark.
sudah disampaikan kepada Pemerintah Daerah Upaya yang dilakukan para penggiat
Kabupaten Pangandaran, dan telah juga budaya dan pariwisata merupakan langkah
disosialisasikan kepada jajarannya (instansi proaktif mereka dalam mendiversifikasi dan
terkait), namun sampai saat ini rekomendasi mempromosikan objek wisata selain pantai
tersebut belum dijadikan keputusan resmi kepada khalayak. Bagi mereka, budaya
pemda untuk mengimplementasikan program (kearifan lokal) harus dimunculkan sebagai
pengembangan destinasi wisata geopark di respons terhadap dinamika lingkungan yang
Pangandaran, bahkan masih wacana, dan selalu berubah, baik berupa perubahan positif,

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230 223

maupun perubahan negatif. tersebut. Sebagai sebuah proses komunikasi


Perubahan positif berupa pengaktifan ritual, dalam ritual Layang Syeikh dan
kembali tradisi lokal yang sudah ditinggalkan Babarit, tidak terbentuk pola pengiriman dan
oleh sebagai masyarakat yang oleh penggiat penerimaan pesan dari satu pihak kepada pihak
budaya dan pariwisata diangkat kembali dan lain, tapi lebih kepada pembacaan mantra dan
dijadikan sebagai objek wisata yang terintegrasi doa tertentu yang diresapi oleh para pesertanya.
dengan alam sekitarnya, sehingga pengunjung Hal ini sesuai dengan pendapat Carey (Astuti,
(wisatawan) selain dapat melihat dan menikmati 2016) menyatakan:
keindahan alam, juga menikmati suguhan Komunikasi ritual bukan proses
budaya, seperti hajat leuweung, babarit, penyampaian informasi dari komunikator
ronggeng gunung, dan sebagainya. Dengan kepada komunikan, melainkan:
demikian, keragaman budaya di lokasi yang “communication is linked to terms such as
akan dijadikan destinasi wisata geopark di “sharing,” “participation,” “association,”
Pangandaran dapat memberikan nilai tambah “fellowship,” and “the possession of
bagi wisatawan yang berkunjung ke lokasi a common faith. Jadi komunikasinya
tersebut. lebih kepada fungsi komunikasi itu
Dengan demikian, dalam pengembangan sendiri, yaitu untuk saling berbagi,
pariwisata di Kabupaten Pangandaran, kearifan membangun partisipasi, membangun
lokal yang merupakan manifestasi dari budaya perkumpulan, membangun persahabatan,
lokal memiliki nilai strategis dan menjadi dan mempertegas sebuah keyakinan yang
sumber inspirasi daerah. Oleh karena itu, dimiliki bersama.
kearifan lokal harus dipelihara dan dilestarikan,
yang di antaranya melalui expose dalam berbagai Rothenbuhler dan Coman menekankan
event tertentu, atau dilaksanakan setiap tahun bahwa:
sesuai dengan tradisi lokal. Dengan demikian Pada dasarnya Komunikasi ritual
“dalam pengembangan kegiatan pariwisata, merupakan salah satu bentuk dan model dari
nilai budaya dan spirit lokal harus diperhatikan” komunikasi sosial (social communication),
(Nawangsih, 2017). di mana proses komunikasi yang terjadi
Aktivitas budaya yang rutin dilaksanakan di dalamnya lebih mengetengahkan saling
antara lain adalah Layang Syeikh dan babarit. berbagai (sharing) tentang kebersamaan
Layang Syeikh yang dalam termonologi islam dalam budaya (common culture), bukan
sama dengan manaqib Syekh Abdul Qodir semata-mata berfokus pada pemindahan
Jaelani, yang dalam pelaksanaannya terdapat (transfer) informasi. Oleh karena itu dalam
perpaduan antara budaya berupa pembacaan komunikasi ritual, proses pemindahan
naskah kuno, mantra, dan perlengkapan pesan bukan sesuatu yang ditekankan
ritual, dan agama berupa pembacaan doa dan (Andung, 2010).
tawasulan,. yang dilakukan oleh secara bersama-
sama, dalam rangka membangun perasaan Pengusungan ritual budaya (kearifan lokal)
dan pengertian bersama yang memungkinkan seperti babarit, layang syeikh, dan sebagainya
pesertanya bertransendensi dari segi waktu, menjadi satu paket perjalanan wisata dapat
tempat, dan bahkan diri mereka sendiri. meningkatkan jumlah pengunjung (wisatawan)
Demikian halnya dengan ritual Babarit ke Kabupaten Pangandaran, karena wisatawan
yang merupakan proses pengabaran sarat yang akan mengetahui dan merasakan pengalaman
irit berupa makanan, minuman, serta buah- perjalanan dan keunikan seperti apa yang akan
buahan, upaya untuk tolak bala (bencana), dinikmati selama perjalanan berdasarkan paket-
rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan paket wisata yang disediakan (Priyanto &
dan kesejahteraan, silaturahmi masyarakat Safitri, 2016).
dengan makan bersama di perempatan, dan doa Dengan demikian, kearifan lokal memiliki
bersama. potensi yang sangat besar dalam pengembangan
Kedudukan tokoh-tokoh (adat, budaya pariwisata geopark di Kabupaten Pangandaran,
dan agama) yang terlibat dalam ritual karena keaslian dan keunikannya dapat menjadi
tersebut menjadi perekat dalam mewujudkan daya tarik bagi wisatawan lokal maupun
harmonisasi kehidupan sosial di wilayah mancanegara untuk datang ke lokasi di mana

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
224 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230

kearifan lokal tersebut ditampilkan. Pengunjung dan peranannya sebagai ketua adat/komunitas,
dapat berinteraksi dengan pelaku ritual karena terutama pada saat melaksanakan berbagai
kebersamaan, dan kesalingan berbagi menjadi ritual. Di antara mereka telah terjalin kerjasama
spirit bagi praktik kearifan lokal tersebut. dalam mempertahankan tradisi buhun dan
Pola interaksi yang terjadi antar pemangku menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,
kepentingan yang mendukung terbentuknya seperti memakai ikat kepala, melaksanakan
geopark Pangandaran. Upaya pengembangan ritual mingguan, dan tahunan.
pariwisata berbasis kearifan lokal di Kabupaten Selain itu, pola interaksi yang terjadi
Pangandaran melibatkan berbagai elemen pada penggiat budaya dan pariwisata lebih
yang menjadi pemangku kepentingan bagi dinamis dan dua arah yang berlangsung dalam
pengembangan wisata di wilayah tersebut. kegiatan silaturahmi dan dialog antara penggiat
Para pemangku kepentingan tersebut ketika budaya dan pariwisata dengan ketua adat,
melakukan aktivitas pengembangan pariwisata serta silaturahmi di antara penggiat budaya
berinteraksi satu sama lain, di mana dalam dan pariwisata itu sendiri. Menurut Gillin dan
interaksi, terjadi kontak dan komunikasi yang Gillin, “terjalinnya hubungan-hubungan sosial
mengarah kepada kerja sama di antara mereka. yang dinamis berupa hubungan antara orang-
Menurut Soekanto, “interaksi sosial merupakan orang perorangan, hubungan antara kelompok-
syarat utama terjadinya aktivitas sosial dan kelompok manusia, maupun hubungan antara
merupakan hubungan yang dinamis yang orang perorangan dengan kelompok manusia
menyangkut hubungan antar individu, antar bisa terwujud dengan interaksi sosial”
kelompok dan antara individu dan kelompok” (Soekanto, 2005).
(Soekanto, 2005). Pola interaksi yang dinamis dan positif di
Interaksi yang terjadi di antara pemangku antara penggiat budaya dan pariwisata dengan
kepentingan dalam pengembangan pariwisata ketua dari komunitas adat atau sesama penggiat
geopark berbasis kearifan lokal di Kabupaten sudah berlangsung cukup lama dan secara
Pangandaran ternyata polanya berbeda. Pola rutin dilakukan, karena mereka menyadari
interaksi di antara dinas terkait cenderung bahwa budaya atau kearifan lokal di wilayah
statis dan satu arah, diawali dengan sosialisasi Kabupaten Pangandaran sangat lengkap dan
yang disampaikan oleh Bupati dalam rapat perlu dilestarikan dan diperkenalkan ke dunia
pimpinan pemerintah Kabupaten Pangandaran, luar sebagai pelengkap, bahkan yang utama
namun masih bersifat informatif. Jadi dalam dalam mengembangkan destinasi wisata di
hal ini Bupati hanya menyampaikan informasi wilayah masing-masing. Hal ini sesuai dengan
tentang rencana pengembangan destinasi pendapat Rachmawati et al. bahwa “interaksi
wisata berdasarkan riset yang dilakukan Unpad, yang sifatnya positif menjadi modal dasar
informasinya masih umum, belum kepada hal- dalam membangun jaringan sosial, sehingga
hal teknis, dan sebagainya. dapat mendukung keberhasilan pengembangan
Pesan yang bersifat informatif ini menurut wisata alam” (Rachmawati et al., 2011).
Cassandra adalah: Untuk mewujudkan pengembangan
Proses penyampaian informasi bersifat destinasi wisata berbasis budaya atau kearifan
difusi atau penyebarluasan di mana pesan lokal tersebut, mereka kemudian bersilaturahmi
yang disampaikannya lebih simpel, jelas, kepada para sesepuh/Ketua adat di setiap
dan tidak banyak menggunakan istilah wilayah. Silaturahmi ini dilakukan untuk
(jargon) yang tidak populer di kalangan menyambung sesuatu (makna) ritual adat yang
khalayak, karena tujuannya banyak untuk selama ini terlupakan bahkan hilang menjadi
meningkatkan wawasan dan membangun sesuatu yang kembali utuh, sehingga menjadi
kesadaran khalayak (Cangara, 2004). sumber kekuatan bagi para penggiat budaya dan
pariwisata dalam mengembangkan destinasi
Pola interaksi di antara pemangku wisata berbasis kearifan lokal di Pangandaran.
kepentingan dari komunitas adat di Pangandaran Silaturahmi kepada sesepuh adat bagi
relatif lebih mapan, karena di antara mereka, penggiat budaya dan pariwisata sangat penting,
baik secara individu maupun kelompok karena sesepuh merupakan sumber utama
telah terjalin interaksi sejak lama dan masih yang dapat memberi informasi tentang sejarah,
bertahan sampai saat ini sesuai dengan status isi, tujuan, dan manfaat ritual budaya bagi

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230 225

kelangsungan hidup manusia dan alam (Idum et budaya dan pariwisata, dan di antara para
al., 2017): penggiat budaya dan pariwisata sendiri tercapai
Kepala adat merupakan pemimpin informal kesepakatan bersama untuk berkolaborasi
yang memimpin masyarakat adat, dan dalam mewujudkan destinasi wisata berbasis
menjadi panutan masyarakat adat, sehingga budaya/kearifan lokal di wilayahnya masing-
keberadaannya sangat dibutuhkan, karena masing.
dapat menjadi kunci keberlangsungan Menurut Devine et al., “dilihat dari sektor
dan keberhasilan pelaksanaan acara adat publik, pada saat kolaborasi menjadi bagian yang
tahunan. Oleh karena itu, peran kepala adat sangat penting, karena melalui kolaborasi para
menjadi sangat penting. pemangku kepentingan masing-masing dapat
duduk bersama dalam satu wadah, membangun
Selain dengan sesepuh adat, penggiat kesepahaman dan komitmen bersama, serta
budaya dan pariwisata juga berdiskusi di antara merasa tanggung jawab (sense of responsibility)
mereka untuk membahas potensi wisata di dalam kelangsungan pembangunan pariwisata”
wilayah masing-masing dengan memanfaatkan (Fairuza, 2017).
kearifan lokal sebagai daya tariknya. Dalam Namun demikian, kolaborasi yang
diskusi tersebut terjadi proses pertukaran terbentuk dalam mengembangkan destinasi
gagasan, berbagi informasi yang berlangsung wisata berbasis budaya dan kearifan lokal
secara dialogis dan informal tanpa sekat di di Pangandaran ternyata memerlukan modal
antara mereka, sehingga di antara mereka sosial berupa hubungan yang didasarkan pada
terjalin persaudaraan dan kerja sama untuk saling percaya di antara pihak-pihak yang
mencapai tujuan bersama. berkepentingan. Selanjutnya, modal sosial
Timbulnya kerja sama didasarkan kepada merupakan “institusi sosial yang melibatkan
kesadaran yang dimiliki mereka bahwa jaringan (network), norma-norma (norm),
dirinya memiliki berbagai kepentingan dan kepercayaan sosial (social trust) yang
yang sama sehingga memiliki cukup mendorong pada sebuah kolaborasi sosial
pengetahuan dan pengendalian diri sendiri (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan bersama.
tersebut (Soekanto, 2005). Modal sosial sudah dimiliki oleh
masyarakat Pangandaran terutama yang
Terjalinnya kerja sama di antara penggiat daerahnya akan dijadikan objek wisata, baik itu
budaya dan pariwisata merupakan hasil dari berupa jaringan di antara berbagai komunitas
proses pengakomodasian berbagai kepentingan budaya, norma-norma yang berkaitan dengan
di antara mereka, karena setiap penggiat budaya sikap dan nilai kehidupan sunda, serta rasa
dan pariwisata mewakili daerah masing-masing saling percaya di antara mereka dan masyarakat
yang notabene mempunyai jenis aktivitas dalam mengembangkan objek wisata dengan
budaya yang berbeda. Ada yang di daerahnya memanfaatkan tradisi buhun yang masih
aktivitas budayanya masih berlangsung ada dan dilaksanakan oleh masyarakat yang
secara turun-temurun seperti Layang Syeikh dipimpin oleh sesepuh adatnya.
dan babarit, ada juga aktivitas budaya yang Berjalannya kolaborasi di antara berbagai
dicoba diaktifkan kembali untuk kepentingan pihak dalam mengembangkan destinasi
daya tarik wisata di wilayahnya, seperti hajat wisata berbasis budaya atau kearifan lokal di
leuweung di desa Selasari yang disertai dengan Pangandaran tersebut tidak lepas dari faktor
festival kolecer. Proses pengakomodasian perilaku komunikasi. Maharani memaparkan
berbagai kepentingan di antara penggiat budaya bahwa perilaku komunikasi merupakan setiap
dan pariwisata ini sesuai dengan pendapat, yaitu aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan
“untuk membangun kesepahaman bersama memperoleh informasi dari berbagai sumber
di antara orang perorangan atau kelompok- dan untuk menyebarluaskan informasi kepada
kelompok manusia sebagai akibat perbedaan pihak manapun yang memerlukan (Maharani,
paham, sehingga pertentangan dapat dikurangi” 2014). Hal ini penting, karena komunikasi
(Soekanto, 2005). dapat membangun pemahaman yang tentang
Berdasarkan silaturahmi dan diskusi, serta informasi yang disampaikan.
dialog di antara sesepuh adat, dengan penggiat Pentingnya komunikasi dalam membangun

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
226 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230

kolaborasi ini, karena di antara sesama penggiat menyajikan keunikan-keunikan budaya di


budaya dan pariwisata, dan juga para sesepuh Kabupaten Pangandaran.
adat memilik frame of reference dan field of Tercapainya keseimbangan yang didasarkan
experience yang relatif berbeda, yang harus pada pengakomodasian berbagai kepentingan
di”satukan” pemahamannya dalam rangka melalui tindakan kolaboratif tersebut bisa
mencapai tujuan dari komunikasi itu sendiri, terjadi karena di antara aktor-aktor yang terlibat
yaitu perubahan, pengetahuan, sikap dan perilaku memiliki kedekatan hubungan, disertai dengan
dari peserta komunikasi itu sendiri. Selain itu, tindakan komunikasi yang efektif dengan
membangun keterampilan, keterbukaan, dan mengesampingkan ego sektoral, dan dilandasi
saling menghormati ketika berkomunikasi, dapat oleh rasa saling percaya untuk mencapai tujuan
mengintegrasikan para peserta komunikasi itu bersama berupa pengembangan pariwisata
sendiri, sehingga terbangun kolaborasi di antara geopark berbasis kearifan lokal di Kabupaten
mereka (Rokhmah & Anggorowati, 2017). Pangandaran. Hal ini sesuai dengan pendapat
Dengan demikian, interaksi di antara Healey bahwa yang diperlukan dalam kolaborasi
pemangku kepentingan seperti kelompok antara lain modal yang strategis, yaitu modal
budaya dan kelompok penggiat wisata lainnya sosial berupa kepercayaan, komunikasi, dan
menjadi dasar membangun jaringan sosial kemauan bertukar pikiran, dan modal intelektual
dalam upaya mengembangkan pariwisata yang terdiri dari pemahaman (Fairuza, 2017).
geopark berbasis kearifan lokal di Kabupaten Saluran komunikasi yang mendukung
Pangandaran. Dikatakan: “Bentuk interaksi terbentuknya kawasan geopark Pangandaran.
tersebut dapat ditingkatkan menjadi interaksi Pengembangan pariwisata geopark berbasis
yang mengarah pada kerja sama melalui kearifan lokal di Kabupaten Pangandaran
komunikasi lebih intensif yang difasilitasi oleh melibatkan berbagai elemen yang menjadi
pengelola kawasan” (Rachmawati et al., 2011). pemangku kepentingannya. Mereka terlibat
Kerja sama di antara pemangku secara proaktif dalam mengembangkan dan
kepentingan tersebut bisa terbangun dengan mempromosikan objek wisata berbasis kearifan
mengakomodasi kepentingan masing- lokal yang unik. Dalam pengembangan wisata
masing. Kepentingan penggiat budaya adalah tersebut, para pemangku kepentingan terutama
memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya dari penggiat budaya, dan pariwisata menjalin
sebagai kearifan lokal yang unik yang harus relasi sosial melalui tindakan komunikasi, baik
disosialisasikan kepada khalayak, kepentingan, dengan memanfaatkan saluran komunikasi
penggiat pariwisata adalah mengembangkan antarpersona, kelompok, maupun bermedia.
dan memasarkan objek wisata, perjalanan Pemanfaatan saluran komunikasi
wisata, memandu wisata, memfasilitasi hunian antarpersonal, kelompok, dan bermedia yang
bagi wisata, dan menyediakan makanan/ sesuai “memudahkan proses komunikasi
minuman, dan sovenir bagi wisatawan, dan dan menjadikan komunikasi lebih efektif”
sebagainya. Ternyata, relasi sosial di antara (Mingkid, 2015). Sedangkan menurut Harjana,
pemangku kepentingan sangat kondusif, karena “Komunikasi menjadi efektif apabila pesan
kepentingan masing-masing pihak terlah yang disampaikan oleh pengirim dapat diterima
terakomodir melalui keseimbangan yang dijalin dan dimengerti, dan ditindaklanjuti dengan
oleh nilai dan norma-norma sosial yang berlaku. aksi nyata oleh penerima pesan dengan tanpa
Keseimbangan yang terbangun berkat memperoleh hambatan dalam aksinya tersebut”
kesepahaman mereka tentang nilai-nilai dan (Rokhmah & Anggorowati, 2017).
norma sosial dalam pengembangan wisata Efektivitas komunikasi dapat dilihat
geopark berbasis kearifan lokal di Kabupaten dari perubahan pengetahuan, dukungan, dan
Pangandaran bisa dipahami, karena pada partisipasi para pemangku kepentingan sesuai
dasarnya mereka diikat oleh kepentingan dengan bidang keahliannya masing-masing
yang sama yang merupakan keputusan dalam pengembangan wisata geopark berbasis
kolektif di antara pemangku kepentingan, kearifan lokal di Kabupaten Pangandaran.
yaitu mengembangkan objek wisata yang Saluran komunikasi yang digunakan oleh dinas
lama, membangun objek wisata yang baru, terkait khusus untuk mendukung terbentuknya
dan mempromosikan semua objek wisata geopark Pangandaran belum terbentuk secara
tersebut kepada wisatawan/pengunjung dengan formal, karena sejak diwacanakan oleh bupati

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230 227

sampai saat ini belum ada kelanjutannya. (bergilir), sifat komunikasi di antara peserta
Jadi mereka menunggu instruksi selanjutnya, yang terlibat dalam hubungan tersebut
sedangkan saluran komunikasi yang digunakan dipengaruhi pula oleh perkembangan
oleh komunitas budaya dan pariwisata relasional (Rakhmat, 2008).
menggunakan saluran media berupa WhatsApp,
Facebook, dan Messenger, saluran interpersonal Para penggiat budaya dan pariwisata selain
seperti silaturahmi kepada sesepuh adat, tokoh melaksanakan silaturahmi dengan sesepuh adat,
agama, dan tokoh masyarakat lainnya, dan juga melaku diskusi dengan sesama penggiat
saluran kelompok seperti pertemuan kelompok dalam suatu forum pertemuan kelompok.
komunitas budaya, ritual adat bersama, Pertemuan kelompok ini membahas potensi
kelompok penggiat pariwisata, dan sebagainya. daerah di mana penggiat budaya dan pariwisata
Saluran komunikasi antarpersona yang tersebut berdomisili. Hampir setiap daerah
menurut mereka disebut person to person. di wilayah Pangandaran memiliki objek baik
Saluran komunikasi yang terjadi di level berupa alam maupun kearifan lokal yang bisa
pemerintahan tidak aktif, sedangkan saluran diangkat untuk destinasi wisata.
komunikasi yang terbangun di para penggiat Melalui diskusi kelompok tersebut dibahas,
budaya dan pariwisata sangat intensif baik permasalahan, kendala, maupun solusinya
dilakukan, baik antarpersona, kelompok supaya potensi tersebut bisa diwujudkan
maupun bermedia. Seperti sudah di jelaskan menjadi objek wisata. Diskusi di antara
sebelumnya, komunikasi antarpersona (person penggiat budaya dan pariwisata ini merupakan
to person) terjadi ketika seorang tokoh penggiat aktivitas komunikasi kelompok, yang menurut
budaya dan pariwisata melakukan silaturahmi Burgoon bertujuan untuk berbagi informasi,
kepada sesepuh/ketua adat. menjaga diri, pemecahan masalah, sehingga
Dialog yang terjadi bersifat informal, di antara para pesertanya satu sama lain dapat
santai, membahas makna ritual adat yang masih saling mengingat karakteristik pribadi masing-
dilaksanakan, dan kemungkinan ritual tersebut masing dengan cepat sebagai wujud dari
dijadikan daya tarik dalam pengembangan interaksi secara tatap muka yang dilakukannya
destinasi wisata di wilayah adat tersebut (Wiryanto, 2005).
dilaksanakan. Komunikasi antarpersona ini Para penggiat budaya dan pariwisata yang
menurut Graham, “sebagai tempat membangun terlibat dalam pengembangan destinasi wisata
pemahaman dan identitas juga menjadi tempat geopark berbasis budaya dan kearifan lokal di
untuk mengikat masyarakat dalam dialog Pangandaran merupakan sekelompok orang
tentang tujuan, perhatian, dan pengetahuan yang memiliki komitmen terhadap persoalan
untuk mencapai kesepakatan dan pembuatan budaya, pariwisata, dan lingkungan. Sebagai
keputusan” (Depoe, 2004). Saluran komunikasi anggota kelompok, mereka membangun
antarpersona ini yang dilakukan dengan efektif kebersamaan dan kesepahaman, dan konsensus,
dapat membangun kedekatan emosional, yang pada akhirnya melahirkan identitas
memudahkan penerimaan, pelaksanaan, kelompoknya sebagai sekelompok penggiat
dan pencapaian tujuan dari pesan yang budaya dan pariwisata. Hal ini sesuai dengan
disampaikannya (Yodiq, 2016). pengamatan Bormann bahwa “identitas
Komunikasi antarpersona yang terjadi di kelompok dapat dipertahankan apabila di
antara sesepuh adat dengan penggiat budaya antara anggota yang terlibat kelompok tersebut
dan pariwisata ini dapat memperkuat relasi dan memiliki perasaan yang sama, dan kesamaan
perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku perasaan tersebut merupakan bentuk investasi
tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan sosial” (West & Turner, 2009).
pengembangan destinasi wisata berbasis budaya Pengaruh kelompok ini cukup besar bagi
atau kearifan lokal di wilayah tersebut. Oleh anggotanya, karena apa yang dipahami dan
karena itu menurut Miller: dilakukan tentang potensi wisata di suatu
Memahami hubungan simbiotis antara daerah oleh orang-orang dalam kelompok
komunikasi dengan perkembangan tersebut, ada kecenderungan orang-orang lain
relasional merupakan tuntutan dalam dalam kelompok tersebut akan melakukan hal
memahami proses dari komunikasi yang sama. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme
interpersonal, karena secara serentak penggiat budaya dan pariwisata dalam

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
228 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230

kelompok yang telah membangun objek wisata menggunakan media sosial berbasis internet
di suatu tempat, seperti objek wisata Santirah, yang untuk menyampaikan dan menerima pesan
maka penggiat budaya dan pariwisata yang melalui Instagram, Facebook, dan WhatsApp
lain mengikuti hal yang sama membangun yang tersedia di HP atau di laptopnya. Media
objek wisata Sutrareregan. Dengan demikian sosial ini cukup efektif, efisien, dan terjangkau,
pengaruh kelompok tersebut cukup efektif serta mudah mengoperasionalkannya dan
dalam membangun konformitas di wilayah mudah dibawa ke berbagi lokasi objek wisata.
tersebut. Dengan media sosial tersebut, penggiat budaya
Konformitas sendiri menurut Kiesler dan dan pariwisata bisa berinteraksi secara pribadi
Kiesler merupakan “perubahan perilaku atau di dunia maya, berbagi informasi program,
kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai mengirim dan menerima saran, kritikan dengan
akibat tekanan kelompok – yang real atau yang leluasa. Hal ini bisa terjadi, karena itu menurut
dibayangkan” (Rakhmat, 2008). Tentu saja Van Dijk (Nasrullah, 2015) “media sosial dapat
terjadinya konformitas dalam kelompok penggiat dilihat sebagai medium (fasilitator) online
budaya dan pariwisata dalam pengembangan yang menguatkan hubungan antar pengguna
destinasi wisata berbasis budaya dan kearifan sekaligus sebuah ikatan sosial.
lokal di Pangandaran tidak terjadi begitu saja, Pemanfaatan media sosial, selain karena
tetapi melalui interaksi yang intensif di antara lebih simpel dan fleksibel, serta mudah di
mereka dengan memperhatikan berbagai faktor bawa ke mana saja, juga dalam penyimpanan,
situasi dan kondisi wilayah yang akan dijadikan penerimaan, dan pengiriman pesan sangat
objek wisata, dan faktor personal yang terlibat efektif dalam pengembangan destinasi
di dalamnya. Menurut Rakhmat: wisata geopark berbasis budaya dan kearifan
Interaksi antara faktor-faktor situasional lokal di Pangandaran. Selain itu, informasi
dan faktor-faktor personal menghasilkan yang disampaikan dan diterima oleh peserta
konformitas, di mana kejelasan situasi, komunikasi tersebut selalu aktual. Di samping
konteks situasi, cara penyampaian itu juga, media sosial (HP) dapat menjadi media
penilaian, karakteristik sumber pengaruh, transmisi seketika yang dapat dibawa ke mana-
ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan mana, dikatakan “menjadi multi media yang
kelompok merupakan faktor-faktor dapat menyediakan segala macam kebutuhan,
situasional yang menentukan konformitas baik sebagai media penyimpanan, media
tersebut (Rakhmat, 2008). processing, maupun sebagai media penyiaran
yang dapat secara real time berfungsi sebagai
Kecenderungan anggota kelompok media transmisi” (Bungin, 2007).
penggiat wisata budaya dan wisata untuk Pengembangan pariwisata geopark berbasis
bekerja sama, bersepakat, dan berkomitmen kearifan lokal di Kabupaten Pangandaran
untuk mengembangkan destinasi wisata masih belum jelas, bukan disebabkan oleh
geopark berbasis budaya dan kearifan lokal faktor alam dan keanekaragaman budayanya,
telah membentuk identitas kelompok yang melainkan lebih kepada masalah kebijakan
kuat dan solid, atau dengan kata lain kelompok pemerintah daerah yang kurang responsif.
ini memiliki tingkat kohesivitas yang tinggi. Pemerintah daerah Kabupaten Pangandaran
Oleh karena itu, menurut Bettinghouse, lebih memprioritaskan objek wisata yang sudah
“komunikasi dengan kelompok kohesif harus ada dengan menata infrastruktur menjadi lebih
memperhitungkan distribusi komunikasi di baik demi kenyamanan wisatawan. Namun
antara anggota-anggota kelompok. Anggota demikian, bukan berarti rencana pengembangan
biasanya bersedia berdiskusi dengan bebas wisata geopark dihentikan, mungkin masih
sehingga saling pengertian akan mudah menunggu moment yang tepat. Padahal
diperoleh. Saling pengertian membantu dukungan sumber daya alam dan budaya, serta
tercapainya perubahan sikap” (Rakhmat, 2008). sumber daya manusia untuk mendukung ke arah
Selain memanfaatkan saluran antarpersona, pengembangan pariwisata tersebut cukup besar.
dan kelompok, penggiat budaya dan wisata Khususnya dukungan sumber daya
juga menggunakan media sosial dalam manusia sebagai pemangku kepentingan
pengembangan destinasi wisata geopark berbasis dalam mendukung pengembangan pariwisata
budaya dan kearifan lokal tersebut. Mereka di Kabupaten Pangandaran dapat dilihat dari

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230 229

aktivitas para penggiat budaya dan pariwisata, pariwisata tersebut memiliki konformitas dan
seperti kompepar, paguyuban pemandu wisata, kohesivitas yang tinggi dalam mengembangkan
pengusaha Travel, pengusaha hotel dan restoran destinasi wisata geopark berbasis budaya dan
telah bergerak cepat. kearifan lokal di Pangandaran. Sementara media
Kiprah mereka sangat tinggi dalam sosial (HP) berbasis Internet telah membantu
mengembangkan objek wisata dan mereka untuk berbagi informasi program,
meningkatkan kedatangan pengunjung ke mengirim dan menerima saran serta kritikan
Kabupaten Pangandaran, sehingga keberadaan dengan leluasa, sehingga semakin menguatkan
para pemangku kepentingan ini sangat penting, hubungan dan ikatan sosial di antara mereka.
karena bisa menjadi mitra bagi pemerintah
daerah dan instansi terkait lainnya seperti DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pariwisata dan Budaya. Oleh karena
itu, “keberadaan pemangku kepentingan Abdul, E. S Y. (2014). Pengaruh atribut
menyebabkan adanya tuntutan untuk produk wisata terhadap place branding
melibatkan mereka dalam proses perencanaan, dan implikasinya terhadap keputusan
penentuan kebijakan pengembangan hingga mengunjungi destinasi wisata pantai.
pada pengelolaan daya tarik wisata ataupun Jurnal Ilmiah Solusi, 1(1), pp.87–94.
usaha pariwisata” (Darwis & Junaid, 2016). Andung, P. A. (2010). Perspektif komunikasi
ritual mengenai pemanfaatan natoni
SIMPULAN sebagagai media komunikasi tradisional
dalam masyarakat adat Boti dalam di
Potensi pariwisata di Pangandaran tidak kabupaten Timor Tengah Selatan, propinsi
hanya wisata pantai, tetapi juga wisata budaya, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu
karena di wilayah tersebut banyak bertebaran Komunikasi, 8(1), pp.1–10.
situs-situs peninggalan zaman sunda buhun, Arikunto, S. (2005). Prosedur penelitian.
baik berupa makam-makam keramat maupun Jakarta: Rineka Cipta.
petilasan-petilasan para tokoh zaman dulu, serta Astuti, L. (2016). Pemaknaan pesan pada
berbagai ritual warisan sesepuh jaman dahulu. upacara ritual tabot (studi pada simbol-
Tradisi budaya lokal, seperti, layang Syeikh, simbol kebudayaan Tabot di provinsi
babarit, hajat leuweung, dan sebagainya Bengkulu). Jurnal Professional FIS
telah dimanfaatkan untuk menambah daya UNIVED, 3(1), pp.16–24.
tarik wisata di berbagai wilayah di Kabupaten Basrowi & Sukidin. (2002). Metode
Pangandaran. penelitian perspektif mikro: grounded
Pola interaksi pada tataran birokrat theory, fenomenologi, etnometodologi,
masih belum jelas, karena rencana tersebut etnografi, dramaturgi, interaksi simbolik,
baru sebatas wacana atau statement politis, hermeneutik, kontruksi sosial, analisis
sedangkan pada tataran masyarakat (penggiat wacana, dan metodologi refleksi. Surabaya:
budaya dan pariwisata) sudah terbentuk melalui Insan Cendekia.
forum silaturahmi dengan sesepuh adat, dan Bungin, B. (2007). Penelitian kualitatif:
diskusi kelompok penggiat budaya dan wisata, komunikasi, ekonomi, kebijakan publik,
sehingga terbangun kesepahaman, kesepakatan, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta: Kencana.
kerjasama, dan kolaborasi di antara mereka. Cangara, H. (2004). Pengantar ilmu komunikasi,
Saluran komunikasi yang terbentuk dalam
Jakarta: Raja Grafindo.
pengembangan destinasi wisata geopark
Darwis & Junaid, I. (2016). Kemitraan sebagai
berbasis budaya dan kearifan lokal bersifat
strategi pengembangan pariwisata dan
person to person (antarpersona) antara penggiat
industri hospitality. Jurnal Kepariwisataan,
budaya dan pariwisata dengan sesepuh adat yang
10(1), pp.1–13.
didasarkan pada keterbukaan, kesamaan, dan
Depoe, S. P. (2004). Communication and public
empati di antara kedua belah pihak, sehingga
participation in environmental decision
melahirkan kesepakatan dan kerja sama untuk
making. New York: State University of
memanfaatkan aktivitas budaya dijadikan daya
New York Press.
tarik wisata. Sedangkan saluran kelompok yang
terbangun pada komunitas penggiat budaya dan Fairuza, M. (2017). Pembangunan inklusif pada

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)
230 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 6, No. 2, Desember 2018, hlm. 217-230

sektor pariwisata (studi kasus wisata Pulau terhadap desa wisata di jawa tengah. Jurnal
Merah di kabupaten Banyuwangi). Jurnal Vokasi Indonesia, 4(1), pp.76–84.
Kebijakan dan Manajemen Publik, 5(3), Rachmawati, E., Muntasib, H. & Sunkar, A.
pp.1–13. (2011). Interaksi sosial masyarakat dalam
Idum, V., Linggi, R. K. & Hatuwe, M. (2017). pengembangan wisata alam di kawasan
Peran kepala adat dalam melestarikan Gunung Salak Endah. Jurnal Forum
kesenian daerah di desa batu majang Pascasarjana, 34(1), pp.23–32.
kecamatan long bagun kabupaten mahakam Rakhmat, J. (2008). Psikologi komunikasi.
ulu. eJurnal Ilmu Pemerintahan, 5(4), Bandung: Remaja Rosda Karya.
pp.1765–1778. Rakib, M. (2017). Strategi pengembangan
Lattimore, D., Heiman, B. O. & Toth, E. L. ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal
(2010). Public relations: profesi dan sebagai penunjang daya tarik wisata. Jurnal
praktik. Jakarta: Salemba Humanika. Kepariwisataan. 1(2), pp.54–69.
Maharani, D. (2014). Makna pariwisata Pulau Rokhmah, N. A. & Anggorowati (2017).
Kemaro menurut pengunjung dan perilaku Komunikasi efektif dalam kolaborasi
komunikasinya. Jurnal Kajian Komunikasi, interprofesi sebagai uaya meningkatkan
2(1), pp.73–84. kualitas pelayanan. Journal of Health
Mingkid, E. (2015). Penggunaan media Studies, 1(1), pp.65–71.
komunikasi promosi pariwisata oleh Soekanto, S. (2005). Sosiologi suatu pengantar,
pemerintah Kota Manado. Jurnal Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Sosiohumaniora, 18(3), pp.188–192. Sutarso, J. (2012). Menggagas pariwisata
Nasrullah, R. (2015). Media sosial perspektif berbasis budaya dan kearifan lokal.
komunikasi, budaya, dan sosioteknologi. in menggagas pencitraan berbasis
Bandung: Simbiosa Rekatama. kearifan lokal. Purwokerto: Jurusan Ilmu
Nawangsih. (2017). Nilai kearifan lokal Komunikasi Fisip Unsoed, pp. 505–515.
kawasan wisata menggunakan pendekatan West, R. & Turner, L. H. (2009). Teori
green marketing berbasis masyarakat. komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Jurnal Penelitian Ilmu Ekonomi WIGA, Wibawanto, S. (2015). Pendekatan konseptual
7(1), pp.57–65. place marketing dan place branding dalam
Nugraha, A. R., Perbawasari, S., & Zubair, F. destination branding. Jurnal Fokus Bisnis,
(2017). Model komunikasi pariwisata yang 14(2).
berbasiskan kearifan lokal. Jurnal The Wiryanto. (2005). Pengantar ilmu komunikasi.
Messenger, 9(2), pp.231–240. Jakarta: Gramedia.
Permana, C. E. R. (2010). Kearifan lokal Yodiq, M. (2016). Peran komunikasi
masyarakat baduy dalam mitigasi bencana. interpersonal kepala sekolah terhadap
Jakarta: Wedatama Widya Sastra. motivasi kerja guru di sekolah menengah
Priyanto & Safitri, D. (2016). Pengembangan atas islam samarinda. ejournal Ilmu
potensi desa wisata berbasis budaya tinjauan Komunikasi, 4(2), pp.24–35.

Pengembangan Model Komunikasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Geopark Pangandaran
(Iriana Bakti, Suwandi Sumartias, Trie Damayanti, dan Aat Ruchiat Nugraha)

Anda mungkin juga menyukai