Anda di halaman 1dari 25

HUKUM & HAK ASASI MANUSIA

Oleh : Umar Said Sugiharto*

A. Pendahuluan
Tema/Topik ini sengaja diberi nama “Hukum & Hak Asasi Manusia (HAM)”. Hak Asasi manusia,
merupakan materi mata kuliah (1) Hukum Internasional Humaniter; (2) Hukum Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia; (3) Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education), dan (4) Pendidikan Pancasila yang
berhubungan dengan HAM. Sebagai mata kuliah teori, maka Hukum dan HAM ini merupakan materi
“utama” tentang HAM di semua mata kuliah tersebut. Adapun materinya mencakup :Pengertian HAM,
Sejarah Perkembangan Ham, Asas-Asas Ham,Sumber Ham, Subyek Hukum HAM, dan Piagam PBB dan
Deklarasi Umum HAM Internasional (DUHAM), Hak Spil dan Politik, Hak Economi Sosial & Budaya,
Yuridiksi Penegakan HAM dan Sifat-sifat HAM (Universal, Partikular (relative), derogable, non derogabel,
Ham Positif (Positive rights) dan Ham Negatif (negative rights).

B. Pengertian HAM
Hak asasi manusia selanjutnya disebut HAM menurut istilah bahasa Inggris “Human
rights” atau “fundamental rights” dan “basic rights” (hak –hak dasar) atau “natural right” (hak
alami/hak kodrati). Istilah hak asasi manusia atau ha-hak kemanusiaan dalam bahasa Belanda
ialah grond rechten/mensen rechten/rechten van den mens/fundamentele rechten). Dalam bahasa
Perancis istilah hak asasi manusia ialah “droit de l’home”. Di Amerika Serikat (USA) hak asasi
manusia disebut “human rights” atau “civil rights” sebagai hak asasi manusia atau hak sipil/hak
warga/hak masyarakat. Istilah-istilah tersebut dalam bahasa Indonesia adalah “hak asasi
manusia” (HAM).
Hak asasi manusia secara harfiah adalah hak yang dimiliki oleh seseorang sekedar karena
orang itu adalah manusia (Jack Donelly, Introduction of Human Rights, editor: George Clack
dan Katheleen, 1998 : 2). Menurut Jack Donelly, adanya hak asasi manusia, karena hak-hak itu
berdasarkan keberadaan manusia itu sendiri, bersifat universal, merata, dan tidak dapat dialihkan.
Hak-hak asasi manusia milik seluruh umat manusia secara universal.
Hak asasi manusia atau hak-hak kemanusiaan (human right atau mensen rechten) ialah hak
yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa seperti
misalnya hak hidup keselamatan, kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak boleh dilanggar
oleh siapapun dan yang seolah-olah merupakan suatu “holy area” (Oemar Seno Adji, dalam
Prasaran Seminar Ketatanegaraan dalam UUD 1945, UI-Jakarta, 1966)
Menurut Wolhoff (1960 :13) , hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang berakar
dalam tabiat kodrati setiap pribadi manusia, karena itu kemanusiaannya tidak dapat dicabut oleh
siapapun juga, karena apabila dicabut hilanglah kemanusiaannya itu.
Anton Baker (Jurnal Filsafat, Mei :1980) menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah
hak itu diketemukan dalam hakekat manusia, demi kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang,
tidak dapat dicabut oleh siapapun, bahkan tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri, hak
hak itu bukan sekedar hak milik saja, tetapi lebih luas dari manusia memiliki kesadaran
(berkehendak bebas berkesadaran moral), manusia mahluk ciptaan Tuhan merupakan mahluk
ciptaan yang tertinggi diantara mahluk lainnya, yang di dalam hidupnya dikaruniai Tuhan berupa
hidup yang merupakan hak asasi yang paling pokok yang dibawa sejak lahir di dunia sebagai
anugerah Tuhan.
Menurut Ramdlon Naning (1983 :8), hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada
martabat manusia sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa. Atau hak-hak dasar yang prinsip
sebagai anugrah Illahi. Berarti hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia
menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya. Karena itu hak asasi manusia
bersifat luhur dan suci. Hak asasi manusia adalah hak kodrati manusia, begitu manusia
dilahirkan, langsung hak asasi manusia itu melekat pada dirinya sebagai manusia, dalam hal ini
hak asasi manusia berdiri di luar undang-undang yang ada, jadi harus dipisahkan hak warga
negara dan hak asasi manusia (Suara Merdeka, 21 Desember 1992).
Pengertian HAM menurut pasal 1 huruf 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada hakikat manusia dan keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari beberapa definisi HAM tersebut dapat diketahui, bahwa hak asasi manusia adalah hak
kodrati sebagai karunia/pemberian Tuhan yang melekat pada diri manusia sejak di dalam
kandungan sampai ia meninggal dunia. Karena hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang
melekat pada diri manusia dan sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa, maka siapun
termasuk negara tidak boleh mencabut atau membatasinya.
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, dilarang melakukan
pengurangan atau membatasi HAM warga negaranya, khususnya HAM yang bersifat negatif
(negatif right). Negara sebagai negara hukum tidak boleh mengintervensi HAM rakyatnya,
tetapi berhak mengatur dan melindungi secara hukum rakyatnya dalam konstitusi negara atau
undang-undang yang berlaku.
Menurut Peter R. Baehr dalam bukunya “Human Rights Universality in Practice” (1999:1-
2) menyatakan bahwa pemahaman HAM mencakup: (1) yang semula HAM bersifat hukum,
tetapi sekarang sudah menjadi bagian issue politik; (2) HAM secara internasional mengatur
warga negara, tetapi sekarang mengarah mengatur non-warga negara atau setiap orang yang
telah disepakati berdasarkan nilai-nilai atau aturan standar pengaturan yang sesuai di negara yang
bersangkutan; (3) pengaturan HAM merupakan standar umum untuk semua orang dan semua
bangsa; (4) HAM menjelaskan kepada setiap orang tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan
yang harus dilakukan; (5) HAM tidak bersifat absolute/mutlak, artinya setiap manusia memiliki
hak yang berbeda di dalam pemenuhan dan penyelesaian masalahnya.

C. Sejarah Perkembangan HAM


Pada umumnya dalam literatur Eropah dan Indonesia tentang HAM, sejarah perkembangan
HAM dimulai dari peradaban Yunani kuno abad sebelum masehi dari zaman Aristoteles (384-
322 SM) dan zaman Romawi (aliran fils. Stoa yang dikemukakan oleh Zeno (336-264 SM).
Mereka para filosof Yunani dan Romawi ini sebagai peletak dasar aliran hukum alam, yang
menyatakan bahwa hukum itu bersumber dari illahi, bersumber dari Ratio Tuhan yang berlaku
secara kodrati, berlaku secara universal terhadap semua umat manusia yang berlakunya tidak
terbatas oleh ruang dan waktu.Hukum menurut aliran hukum alam berlaku di mana-mana
melintas batas bangsa dan negara sepanjang waktu. Oleh karena itu HAM adalah milik setiap
manusia (orang) yang melekat pada diri pada yang namanya manusia, tidak dapat dikurangi atau
dicabut oleh siapapun (inalienable) dan keabsahannya tidak dapat digugat oleh siapapun
(inviolable).
Gagasan HAM yang bersumber dari aliran hukum alam mengalami perkembangan di abad
pertengahan yang tokohnya Thomas Aquino. Menurut Thomas Aquino, hukum itu bersifat abadi
bersumber dari ratioTuhan (The Reason of Devine Wisdom). HAM yang dilahirkan oleh aliran
hukum alam berkembang terus sampai abad XVI (zaman Renaissance). Tokoh hukum alam pada
abad ini adalah ahli hukum Belanda yaitu Hugo Grotius atau Hugo de Groot yang dikenal
sebagai “bapak hukum internasional”, karena Grotiuslah yang pertama kali mengembangkan
teori-teori hukum internasional. Grotius menghendaki adanya hukum yang satu yang mengatur
semua orang, semua bangsa dan negara yang disebut sebagai hukum bangsa-bangsa atau hukum
internasional. Thomas Aquino memandang manusia sebagai makhluk alamiah, makhluk rasional
dan makhluk sosial ciptaan Tuhan maka HAM selalu melekat padanya, karena itu hukum yang
berlaku pada manusia adalah hukum yang bersumber dari Ratio Tuhan. Sedangkan Grotius
berpendapat bahwa HAM adalah hak kodrati manusia yang selalu melekat pada diri manusia
sejak ia dinamakan manusia, dan karenanya hukum yang mengaturnyaadalah hukum kodrat yang
bersumber dari ratio manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Perkembangan HAM pada abad selanjutnya mengalami kemajuan pada abad XVII,
Thomas Hobbes (1588-1679) melakukan modifikasi terhadap hukum alam. Menurut Thomas
Hobbes sebelum ada hukum, manusia itu rakus, agresif dalam membela dan mempertahankan
kemauannya, ia saling bermusuhan dan menyerang berperang melawan semua terhadap semua
(bellum omnium contra omnes) dan saling membunuh sesama manusia seperti serigala
terhadap manusia lainnya (homo homini lupus). Dalam kondisi yang kacau (chaos) manusia
menginginkan hidup aman, tenteram dan damaisehingga perlu mengadakan perdamaian dengan
jalan mendakan perjanjian antara sesama manusia (contract social), untuk membentuk suatu
pemerintahan negara. Dalam perjanjian masyarakat (contract social)manusia (orang)
menyerahkan kekuasaanya (hak) sepenuhnya kepada penguasa negara (pemerintah). Pada
perkembangan berikutnya, HAM yang diperjanjikan dalam perjanjian masyarakat (kontrak
sosial) ini disempurnakan dengan yang lebih baik untuk melindungi kepentingan (hak) individu
atau hak-hak sipil (rakyat) dari kesewenang-wenangan, kekerasan dan/atau penindasan oleh
negara (pemerintah). Tokoh aliran hukum alam abad XVII-XVIII ini adalah John Locke (1632-
1704). Menurut John Locke bahwa hak-hak dasar manusia adalah hak yang alamiah dimiliki oleh
setiap manusia sebagai manusia. Hak-hak alamiah yang dimaksud Locke adalah hak hidup, hak
kemerdekaan/kebebasan, dan hak milik. Menurut Locke keberadaan Negara diperlukan untuk
melaksanakan hukum alam. Keberadaan negara itu alamiah, karena hukum alam itu mendahului
negara, atau adanya Negara karena diciptakan oleh hukum alam. Negara diciptakan karena suatu
perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuan diciptakannya negara ialah itu melakasanakan
hukum alam atau melindungi hak-hak alamiah manusia yaitu hak hidup, hak kebebasan dan hak
milik serta terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hak-hak alamiah. Teori John Lock dikenal
dengan teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Untuk membatasi kekuasaan Negara yang
absolute, menurut John Locke: Negara dibagi menjadi tiga kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislatif dan kekuasaan federatif. Pemisahan tiga kekuasaan negara tersebut menurut
John Locke menunjukkan ciri-ciri negara demokrasi. Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan
menjalankan undang-undang yang dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang (monarchi
atau aristocrat), sedangkan kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan perundang-undangan yang
dipegang oleh masyarakat keseluruhan atau parlemen sebagai wakil rakyat. John Locke
menghendaki parlemen yang kuat, Ketua/pimpinan legislatif dapat menjadi ketua perundang-
undangan. Sedangkan kekuasaan Federatif menjalankan tugas mengatur hubungan antar negara-
negara bagian (federal) dan negara-negara lain.
Dengan demikian Locke menyarankan adannya negara federal. Tujuan terbentuknya
negara federal selain mengurangi kekuasaan pemerintahan yang absolute/mutlak, juga untuk
membagi kekuasaan pemerintahan kepada kekuasaan di negara-negara bagian. Kekuasaan
mengadili (yudikatif) menurut Locke merupakan kekuasaan ”uitvoering” (Miriam Budiardjo,
2008:282) sehingga masuk kekuasaan Eksekutif untuk menjalankan undang-undang. Kemudian
pemikiran dan perjuangan Locke ini dilanjutkan oleh Montesquieu (1689-1775) dan J.J.
Rousseu (1712-1778). Montesquieu memandang ada hubungan erat antara hukum alam dengan
keadaan nyata masyarakat suatu bangsa. Menurutnya hukum alam adalah suatu hukum yang
berlaku bagi manusia sebagai manusia untuk melindungi hak-hak alam (kodrati) manusia. Tetapi
bagaimana hukum alam itu harus dikongkritkan dalam bentuk negara dan hukum tergantung dari
situasi historis, psikis dan kultural suatu bangsa. Maka menurut Montesquieu, hukum negara
(undang-undang) yang paling baik adalah Undang-Undang yang paling cocok dengan suatu
bangsa tertentu. Montesquieu terkenal dengan teori “Trias Politika”-nya. Tujuan Trias Politica
Montesquie dengan membagi menjadi 3(tiga) kekuasaan yakni : Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif, untuk membatasi kekuasaan Negara (peemerintahan dalam arti luas) agar tidak
berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Selain itu bertujuan untuk melindungi HAM
penduduk atau rakyat sipil dari kesewenang-wenangan pengusa Negara/Pemerintah.
Montesquieu mengharapkan bahwa kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman (pengadilan)
harus berdaulat dalam bidangnya atau pada waktu menjalankan tugasnya tidak boleh di
intervensi oleh siapapun termasuk oleh kekuasaan eksekutif maupun legislatif (parlemen).
Demikian pula negara (pemerintah) tidak berhak mengintervensi kekuasaan yudikatif dan HAM
warga negaranya. Prinsip kedaulatan kekuasaan yudikatip sangat berpengaruh terhadap
perkembangan negara hukum (Rechtsstaat atau Rule of Law).
Menurut J.J. Rousseau (1712-1778), bahwa manusia dapat hidup bahagia apabila hidup
sesuai dengan martabatnya (kodratnya). Rousseau menginginkan terciptanya masyarakat
manusia yang kebebasan hak-haknya benar-benar terjamin. Menurutnya, manusia pada
hakekatnya merupakan suatu makhluk yang bebas dan otonom. Kebebasan yang otonom menjadi
“dasar perasaan moral”. Agar manusia memiliki kebebasan asli harus membentuk kehidupan
bersama (masyarakat) dengan orang-orang lain yang juga memiliki kebebasan. Keinginan
berkehidupan bersama dengan orang-orang lain itu secara damai dilakukan dengan mengadakan
perjanjian antara sesama manusia (Contract social). Melalui kontrak sosial (perjanjian
masyarakat), manusia dapat menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara
moral maupun secara yuridis. Kontrak sosial Russeau ini dikenal dengan istilah “volonte
generale” (kehendak umum), artinya kontrak sosial membangkitkan masyarakat sipil sebagai
kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita individualnya. Setelah
terbentuk masyarakat sipil yang masing-masing cita-cita individualnya tercapai, maka akan lahir
masyarakat yang mempunyai cita-cita umum yang berasal dari kehendak umum. Dari kehendak
umum ini terciptalah satu tujuan umum, yakni kepentingan umum masyarakat bangsa dalam
suatu negara. Dengan adanya masyarakat bangsa dan negara, maka terciptalah masyarakat yang
demokratis. Prinsip negara “demokratis dan volonte general” menurut Rousseau adalah: (1)
rakyat harus berdaulat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara; (2) negara harus
menghormati hak-hak setiap orang (individu) sesuai dengan martabatnya sebagai manusia
(penghormatan HAM); (3) setiap warga negara berhak ikut membangun kehidupan bersama
dalam negara.
Dari sejarah perkembangan HAM tersebut, maka apabila ditelusuri dapat diketemukan
tonggak-tonggak peristiwa perjuangan HAM yang dilakukan oleh masyarakat di Eropah masa
itu, antara lain :
1. Lahirnya Magna Charta tahun 1215 di Inggris; Raja John Lacland dipaksa para bangsawan
Inggris (Baron) untuk menanda tangani perjanjian yang disebut dengan “Magna Charta”.
Intinya magna charta adalah: (a) membatasi kekuasaan Raja dan dapat dimintai petanggung
jawaban secara hukum di parlemen; (b) penarikan pajak harus seizin Great Council (parlemen
Inggris); (c) orang bebas/pengangguran/tidak mempunyai pekerjaan tetap (free man)tidak
boleh ditangkap, ditahan/dipenjarakan/dihukum mati/hukum buang tanpa berdasarkan hukum
tertulis.
2. Pada tahun 1295, Keberhasilan perjuangan rakyat Inggris menempatkan wakil-wakilnya
(House of Commons) di parlemen yang sebelumnya hanya dikuasai oleh para bangsawan
(baron) Inggris (House of Lords).
3. Pada tahun 1628, Parlemen Inggris mengajukan “Petition of Right” terhadap Raja Charles,
yang dimenangkan parlemen Inggris. Isi petisi parlemen Inggris tersebut ialah : (a) pajak dan
pungutan istiwema harus izin parlemen; (b) seseorang tidak boleh ditahan tanpa tuduhan yang
sah dan beralasan; (c) tentara/militer tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan
damai;
4. Pada tahun 1679, parlemen Inggris berhasil memaksa Raja Charles II menanda tangani
Habeas Corpus Act. Isi Habeas Corpus Act antara lain adalah : bahwa seorang yang ditahan
harus dihadapkan ke pengadilan secepatnya dalam waktu 2(dua) hari harus diberitahukan
alasan kesalahannya dan harus berdasarkan perintah hakim (kelanjutan magna charta tahun
1215);
5. Pada tahun 1689, berhasil ditetapkannya “Bill of Right” (piagam hak-hak asasi) Inggris
Raya (Britania) pada akhir Glorius Revolution di Inggris. Piagam ini dikeluarkan oleh Raja
Wiiliam V Oranye yang berisi pengakuan terhadap hak-hak parlemen Inggris, isinya adalah :
(a) rakyat mempunyai hak petisi kepada Raja; (b) pemilihan anggota parlemen secara bebas
dan rahasia; (c) berbicara dan berdebat di parlemen tidak diancam hukuman (hak kebebasan
berbicara dan mengeluarkan pendapat) di parlemen; (d) rakyat Inggris mempunyai hak yang
sama di hadapan hukum dan pemerintahan; (e) rakyat Inggris berhak dan bebas memeluk
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Glorius Revolution di Inggris yang melahirkan “Bill of Right” dipengaruhi oleh pemikiran
filosof Inggris “John Locke” (1632-1704) sebagai peletak dasar falsafah ”empirisme modern”
dan sebagai perintis ajaran “negara hukum”. Menurut Locke, setiap warga negara (rakyat)
mempunyai hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan atau dicabut atau
dibatasi oleh siapapun (inali enable). HAM yang inalienable antara lain adalah: (a) hak hidup
(life), (b) hak kemerdekaan/kebebasan (liberty), (c) hak milik (estate), dan (d) hak
kebahagian (happy/welfare). Dalam semboyan Locke yang terkenal dalam bahasa Romawi
adalah “solus populi suprema lex esto” artinya keselamatan bangsa merupakan hukum
tertinggi. Tugas negara menurut Locke, harus menjaga hak-hak warganegara (rakyat). Negara
tidak mempunyai kekuasaan untuk mencabut hak-hak alam dari pribadi manusia. Negara
tidak berkuasa atas kehidupan, kesehatan, kebebasan dan milik seorang pribadi, karena itu hak
pribadi (individu) lebih kuat daripada negara. HAM bersifat alamiah, sedangkan ha-hak
seorang penguasa negara timbul akaibat perjanjian antara warganegara (contract social).
Untuk membatasi kekuasaan negara yang absolut, Locke membagi kekuasaan negara menjadi
3 (tiga) kekuasaan yakni legislatif, eksekutif, dan federatif. Kekuasaan legislatif adalah
kekuasaan negara untuk membentuk undang-undang. Kekuasaan legislatif merupakan
kekuasaan yang tertinggi dalam negara, maka dalam membentuk undang-undang harus
tunduk pada hukum alam. Undang-Undang baru sah sebagai hukum karena dibentuk
legislatif yang mampu menentukan sanksi jika undang-undang dilanggar. Dengan adanya
kekuasaan legislatif, kuasaan pemerintah negara (eksekutif) dibatasi, karena rakyat
mempunyai kekuasaan yang melebihi kekuasaan legislatif. Rakyat berhak merebut kembali
kebebasan asli yang dimiliki rakyat, kalau pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya yang
bertentangan dan tujuan negara. Bilamana syarat-syarat perjanjian masyarakat (contract
social) dengan penguasa negara tidak dipenuhi, maka rakyat boleh merebut dengan “jalan
revolusi”. Pemikiran John Locke berpengaruh besar terhadap Revolusi di negara Eropah
(Inggris, Perancis dan rakyat Amerika yang menjadi koloni Inggris). Gagasan John Locke
sangat mempengaruhi semangat kemerdekaan rakyat Virginia dan Pensylvania di Amerika
yang akhirnya dapat memerdekakan diri dari pemerintah kolonial Inggris.
Pendapat John Locke ditentang oleh filosof empirisme Inggris yakni David Hume
(1711-1776). Menurut Hume, asal mula pembentukan negara bukan dari kontrak, dan bukan
penyerahan hak dari rakyat kepada Pemerintah. Pembentukan negara bermula dari kelompok-
kelompok kecil orang perorangan dalam membentuk keluarga yang mendiami daerah tertentu,
seterusnya keluarga kecil ini berkembang menjadi keluarga besar, dan daerah yang ditempati
juga semakin luas. Kemudian mereka keluarga-keluarga yang semakin besar, dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya saling kerja sama untuk kepentingan bersama atau
kepentingan umum. Jadi negara menurut David Hume terbentuk dengan sendirinya oleh
kelompok-kelompok masyarakat yang menempati daerah atau wilayah tertentu, zaman
primitif belum berpikir tentang kontrak sosial. Hume tidak setuju rakyat memberontak
kepada negara, hak memberontak tidak ada sama sekali, Hume juga tidak setuju atau
menolak absolutisme negara dan hak Tuhan pada seorang Raja. Kekuasaan negara memang
ada, tetapi bukan berakar dari kekuasaan yang historis (turun temurun dan karena
pendahulunya berjasa), tetapi kekuasaan pemerintahan negara harus berguna secara konkrit
bagi masyarakat.
6. Pada tahun 1775 rakyat Virginia di Amerika (koloni Inggris) melakukan pemberontakan
untuk memerdekakan diri dari kerajaan Inggris,sehingga pada tahun 1776 lahirlah “Virginia
Bill of Rights” (piagam hak asasi Virginia) yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1776.
Kemerdekaan rakyat Virginia kemudian diikuti oleh “Declaration Bill of Right” rakyat
Pensylvania dan rakyat di negara-negara bagian Amerika (koloni Inggris) untuk
memerdekakan diri dari kerajaan Inggris, yang kemudian mereka bergabung membentuk
negara Amerika Serikat. Pernyataan kemerdekaan rakyat Pensylvania dan Virginia ini
dicantumkan dalam Konstitusi Amerika Serikat.
Kemerdekaan rakyat Pensylvania dan Virginia dilanjutkan dengan sidang Conggres rakyat
Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1776 yang mewakili 13 (tiga belas) negara bagian yang
melahirkan “Declaration of Independence Amerika” yakni pernyataan kemerdekaan rakyat
Amerika dari pemerintah kerajaan Inggris untuk membentuk pemerintahan negara Amerika
Serikat.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika sebagai peletak dasar HAM di Amerika saat itu.
Deklarasi kemerdekaan Amerika itu menyatakan “ sesungguhnya semua bangsa diciptakan
untuk sama sederajat oleh sang Pencipta, dianugrahi hak-hak mutlak yakni hak hidup,
kemerdekaan dan kebebasan serta hak untuk menikmati kebahagiaan. Declaration of
independence Amerika ini tercantum dalam Konstitusi Amerika Serikat.
7. Revolusi Kemerdekaan Amerika ini mempengaruhi revolusi dan kemerdekaan Perancis. Pada
waktu revolusi dan deklarasi pernyataan kemerdekaan Amerika, seorang penulis Perancis
“Lavayette” berada di Amerika yang menulis dan merekam semua kejadian Revolusi dan
kemerdekaan Amerika. Dari tulisan Lavayette ini memotivasi terjadinya revolusi Perancis dan
menghasilkan disusunnya (pernyataan hak-hak asasi manusia dan warganegara). Berhasilnya
Revolusi Perancis pada tahun 1789 selain menghasilkan “Declaration des droit de l’homme et
du citoyen”juga menghasilkan semboyan “ liberte (kebebasan), egalite (kesamaan), dan
fraternite (persaudaraan). Terjadinya revolusi Pernacis sangat dipengaruhi oleh gagasan atau
pendapat filosof-filosof Perancis mengenai HAM, negara hukum dan demokrasi,seperti :
Montesquieu (1689-1755), Voltaire (1694-1778) dan J.J. Rousseau (1712-1778).
HAM menurut John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau meliputi :
a. Kemerdekaan atas diri sendiri;
b. Kemerdekaan beragama;
c. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat;
d. Kemerdekaan pikiran dan pers;
e. Hak write of habeas corpus (Ramdlon Naning, 1983 : 15).
Menurut Lavayette, HAM itu merupakan hak dasar kemerdekaan manusia, bahwa manusia
dilahirkan merdeka, bertempat tinggalyang merdeka, dan mempunyai hak yang sama dengan
manusia lainnya.
Menurut Voltaire (1694-1778) pendukung ide aufklarung (pencerahan) yang pemikirannya
sangat mempengaruhi revolusi dan kemerdekaan Perancis (1789), bahwa HAM itu meliputi
kebebasan, keadilan, dan persamaan atau toleransi (Masyhur Effendi, 1994 : 29).
Menurut Brierly, HAM itu meliputi (Ramdlon Naning, 1983 : 16) :
a. Hak mempertahankan diri (self preservation)
b. Hak kemerdekaan (independence)
c. Hak persamaan derajat (equality)
d. Hak untuk dihargai (respect)
e. Hak bergaul dengan orang lain (intercourse)
HAM dalam Konstitusi Perancis (1791, 1793, 1848), meliputi :
Bahwa Setiap makhluk manusia (setiap orang) berhak : dilahirkan merdeka dan tetap
merdeka; (b) hak yang sama (persamaan hak) di bidang, sosial, politik, hukum, ekonomi,
pemerintahan; (c) kemerdekaan berbuat tanpa merugikan pihak lain; (d) hak yang sama
dan kedudukan yang sama dalam pekerjaan umum; (e) hak tidak boleh dituduh dan
ditangkap selain menurut undang-undang; (f) kemerdekaan beragama dan kepercayaan; (g)
kemerdekaan mengeluarkan pikiran; (h) kemerdekaan pers; (i) kemerdekaan bersatu dan
rapat/menyampaikan pendapat; (j) hak berserikat dan berkumpul; (k) hak bekerja,
berdagang dan berusaha; (l) hak berumah tangga; (m) mempunyai hak atas milik; (n) hak
berlalu lintas; (o) hak hidup dan mencari nafkah.
Dari perjuangan dan muatan HAM di Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis tersebut
sebagian besar bermuatan hak-hak sipil dan politik, dan sedikit yang bermuatan hak-hak
sosial, ekonomi dan budaya. Hal tersebut dipengaruhi oleh perjuangan-perjuangan pengakuan
HAM dari rakyat terhadap penguasa masa itu. Selain itu juga oleh sifat-sifat yang
individualistis dari masyarakat Eropah.
Hak-hak sipil dan politik yang bersifat individual diantaranya adalah hak merdeka karena
dilahirkan merdeka, hak menentukan nasib sendiri, hak berekspresi ataumenyampaikan
pendapat secara lisan atau tulisan, hak berserikat, hak berkumpul (rapat), hak perlindungan
rasa aman, hak kemerdekaan dari rasa takut, hak perlawanan atas penindasan dan perbuatan
sewenang-wenang, hak turut serta dalampemerintahan negaranya (hak dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum), hak tidak dianiaya atau diperlakukan dengan kejam, hak tidak
dituduh/didakwa, ditangkap dan ditahan melainkan berdasarkan undang-undang. Hak-hak
tersebut adalah hak-hak sipil dan politik yang keberadaannya (penghormatan, pengaturan,
perlindungan) selalu diperjuangkan pemberlakuannya oleh negara-negara Eropah dan
Amerika Serikat yang individualis dan liberalis terhadap semua negara di dunia.Negara-
negara Eropah dan AS selalu menekan kepada negara-negara berkembang untuk
memberlakukan konvensi-konvensi internasional tentang HAM diadopsi dalam Konstitusi
mereka atau meratifikasinya dalam undang-undang. Negara-negara Eropa Barat dan Amerika
Serikat yang individualis dan liberalis selalu mengutamakan hak-hak sipil dan politik yang
bersifat negatif (negative right) bukan HAM yang bersifat positif (positifve right). Berbeda
dengan negara-negara Eropah Timur dan negara-negara berkembang yang cenderung
mengutamakan HAM yang bersifat positif (positive right) seperti hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya, dan mengabaikan HAM yang bersifat negatif (negative right).
8. Pada tanggal 6 Januari 1941 saat terjadinya Perang Dunia II, di hadapan Konggres Amerika,
Presiden “Franklin Delano Roosevelt” memperkenalkan 4 (empat) kebebasan atau “the
four freedom” yang terkenal, yaitu : (1) kemerdekaan berbicara (freedom of speech); (2)
kemerdekaan beragama (freedom of religion); (3) kemerdekaan dari rasa takut (freedom of
fear), (4) kemerdekaan dari kemiskinan/kesengsaraan (freedom from want).
Pernyataan Presiden Amerika Serikat tentang 4 (empat) hak kemerdekan dimaksudkan untuk
menentang dan melawan kekejaman yang dilakukan oleh negara-negara fasisme Hitler
(Jerman), Mussolini (Italia) dan Teno Haika (Jepang). Pernyataan Presiden AS tersebut
sekaligus bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan kemerdekaan di dunia, khususnya
terhadap negara-negara sedang mengalami kekejaman dan penindasan oleh negara kolonialis
atau penjajah. Juga sekaligus sebagai peletak dasar fundamental freedom dan fundamental
human rights (HAM) di dunia.
9. Dalam sidang Majelis Umum PBB pada bulan Juni 1945, 4 (empat) kemerdekaan yang
disampaikan Presiden Franklin D. Roosevelt dinyatakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan (integral) dengan Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional yang
disahkan pada tanggal 26 Januari 1945 di San Fransisco.
10. Berdasarkan Piagam PBB, kemudian PBB pada tahun 1945 mulai merintis penyusunan
Deklarasi HAM PBB sebagai standar utama untuk perlindungan HAM dan kemajuan umat
manusia di dunia. Tugas penyusunan Deklarasi HAM PBB selesai tahun 1948 dan disyahkan
dalam sidang umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Piagam HAM PBB ini dikenal
dengan “The Universal Declaration of Human Rights” atau Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi
Manusia (DUHAM) terdiri dari 30 pasal.

D. Asas-Asas HAM
Asas-asas HAM berlaku terhadap setiap orang dalam kondisi dan situasi apapun, baik dalam
keadaan damai atau terjadi konflik, kerusuhan atau ketegangan yang berkaitan dengan
penegakan hukum. Dalam penegakan HAM, aparat pemerintah tidak boleh bertindak
sewenang-wenang dan membatasi HAM dan kebebasan dasar para warga negara di negara
yang bersangkutan. Asas-asas hukum HAM ini telah diatur di dalam dokumen HAM yaitu :
Virginia Bill of Right yang kemudian menjadi Declaration of Independence American dan
Declaration des droit de l’homme et du citoyen Perancis serta DUHAM.
Dalam melakukan tindakan hukum atau penegakan hukum hak sipil dan politik aparat
pemerintah harus mendasarkan tindakannya pada asas-asas HAM sebagai berikut :
a. Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan bagi semua orang;
b. Larangan perbudakan;
c. Larangan penganiayaan atau penyiksaan;
d. Larangan penangkapan atau penahanan dengan sewenang-wenang;
e. Hak atas peradilan yang jujur;
f. Hak kebebasan berkarya;
g. Hak atas kepemilikan;
h. Hak kebebasan berpikir, berpendapat, dan beragama;
i. Hak kebebasan berekspresi dan berpendapat;
j. Hak kebebasan berkumpul dan bermusyawarah;
k. Hak untuk ikut serta dalam pemerintahan dalam negeri;
Sedangkan yang berkaitan dengan hak sosial dan ekonomi adalah :
a. Hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak;
b. Hak untuk standar hidup yang cukup (makanan, pakaian, kesehatan, perunahan;
c. Hak untuk memperoleh pendidikan yang setara dan layak.

E. Sumber- Sumber Hukum HAM


Sumber hukum HAM meliputi:
1. DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia)=The Universal Declaration of Human
Rights/UDHR.
2. Perjanjian/Konvensi Internasional; (ICCPR) dan (ICESCR);
3. Kebiasaan internasional dari berbagai praktek hukum;
4. Asas-asas hukum umum yang diterima berbagai negara;
5. Jurisprudensi Internasional;
6. Undang-undang negara nasional yang selaras atau tidak bertentangan dengan hukum
internasional (Indonesia : UUD 1945, UU No. 39/1999, UU No. 26/2000);
7. Doktrin ahli hukum internasional yang diterima berbagai negara.
Sumber hukum utama HAM (International Bill of Human Rights) :
a. The Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Umum Hak-hak Asasi
Manusia (DUHAM);
b. The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berikut Protokol
pilihan pertama;
c. The International Covenant on Economics, Social and Cultural Rights (ICESCR).

D. Subyek Hukum HAM


Subyek hukum atau kepribadian hukum HAM terdiri dari :

1. Negara yang berdaulat ke dalam dan keluar. Menurut pasal 1 Konvensi Montevideo (1933) tentang
hak dan kewajiban negara ditentukan bahwa negara sebagai pribadi (subyek hukum internasional harus
memiliki syarat-syarat sebagai berikut : (a) penduduk tetap; (b) wilayah tertentu; (c) Pemerintah; (d)
kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain). Selain itu secara moral dan politis
harus dipenuhi syarat (a) sesuai dengan hak menentukan nasib sendiri, dan (b) tidak rasis atau
menentang kebijakan rasis. Sampai saat ini negara dipandang memiliki kepribadian, dan karena itu
hanya negara yang merupakan subyek hukum internasional. Hanya negara yang secara eksklusif
mempunyai kecakapan-kecakapan : (a) pemegang hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional;
(b) pemegang hak istimewa prosedural penuntutan gugatan di pengadilan internasional; (c) pemilik
kepentingan untuk dibuat ketentuan oleh hukum internasional; (d) berwenang menandatangani traktat
dengan negara lain dan organisasi internasional.

2. Orang perorangan. Kecakapan orang perorangan sebagai pemilik hak dan kewajibannya diakui
berdasarkan hukum internasional, termasuk kecakapan mengajukan gugatan ke pengadilan
internasional. Kecakapan orang perorangan ini berlaku terhadap berbagai traktat HAM. Pengadilan
Kejahatan Perang Nurenberg menganut prinsip orang perorangan sebagai subyek hukum internasional.
Bahwa kewajiban hukum internasional secara langsung mengikat orang perorangan, merupakan bagian
dari hukum kebiasaan internasional terlepas dari hukum negara mereka.

3. Organisasi Internasional Publik (PBB, NATO, EU, OAS, Dewan Eropah, ASEAN, Negara G7, MEE, Pacta
Warsawa, dan lain-lainnya). Organisasi demikian pada umumnya dibentuk berdasarkan traktat banyak
pihak, sampai tingkatan tertentu yang memiliki kepribadian internasional. Dengan kepribadiannya,
organisasi ini memiliki kecakapan (kompetensi) untuk menandatangani traktat, menikmati hak-hak
istimewa dan kekebalan tertentu, mampu melakukan hak-hak dan kewajiban dan memiliki kecakapan
mengajukan gugatan di Pengadilan Internasional. Hak-hak dan kewajiban organisasi internasional ini
tidak menyebabkan organisasi internasional sama dengan negara, dan tidak menyebabkan hak-hak dan
kewajibannya sama dengan negara.

4. Badan-badan /organisasi Internasional lainnya “The Holy see dan Vatican City”. The Holy see adalah
suatu lembaga nir internasional, tidak mempunyai wilayah tertentu, tetapi tidak merupakan halangan
untuk memberikan Holy See kepribadian internasional atau untuk mengakui kedaulatan eksklusif dan
yuridiksi Holy See atas kota suci Vatikan (Vatican City). Vatican city diakui secara internasional sebagai
negara.
BAB II
Piagam PBB dan Deklarasi Umum HAM
A. Dasar Hukum
Keberadaan dan disusunnya Piagam Deklarasi HAM PBB yakni “The Universal
Declaration of Human Rights” atau Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) ialah
berdasarkan Mukadimah dan ketentuan pasal-pasal HAM Piagam PBB. Mukadimah dan pasal-
pasal mengenai HAM dalam Piagam PBB adalah :
1. Mukadimah Piagam PBB yang menyatakan “Wepeople of the United Nation determined to
save succeeding generations from the sourge of war, which twice in our live time has
brought untold sorrow to mankind, and to reaffirm faithin fundamental humanrights, in the
dignity and worth of the human person, in the equal rights of man and women and of
nations large of small, and to establish conditions under which justice and respect for the
obligations arising from treaties and other sources of international law can be maintened,
and to promote social progress and better standards of life inlager freedom” (terj. Kami
anggota PBB bertekat untuk menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari
bencana perang yang telah dua kali menimbulkan kesengsaraan yang tidak terhingga bagi
umat manusia, dan untuk mempertegas kepercayaan kita pada HAM pada harkat dan
martabat manusia pada persamaan hak-hak antara pria maupun wanita dan antara bangsa
besar dan kecil, dan untuk menciptakan kondisi yang berkeadilan dan penghormaatan
terhadap kewajiban-kewajiban dari perjanjian-perjanjian dan sumber hukum internasional
dapat dipelihara; dan untuk meningkatkan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih
baik di dalam kebebabasan.
2. Pasal 1 ayat (3) Piagam PBB, bahwa untuk mewujudkan kerjasama internasional dalam
menyelesaikan masalah-masalah internasional, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan
kemanusiaan dan mengembangkan serta meningkatkan peghormatan terhadap HAM dan
kebebasan dasar bagi semuanya dengan tidak membedakan ras, jenis kelamin, atau agama.
3. Pasal 13, menentukan bahwa Majelis Umum memprakarsai dan membuat rekomendasi
dengan dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional di bidang ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan dan kesehatan, serta membantu pelaksanaan HAM dan kebebasan
dasar bagi semua manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
4. Pasal 55 huruf (c) menentukan bahwa, untuk menghasilkan kondisi yang stabil dan sejahtera
yang perlu bagi perdamaian hubungan natara bangsa-bangsa yang didasarkan terhadap
prinsip-prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri, PBB akan meningkatkan
penghormatan terhadap HAM dan terhadap kebebasan dasar bagi semua orang tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
5. Pasal 62 menetapkan bahwa, Dewan Ekonomi dan Sosial dapat membuat rekomendasi
dengan tujuan untuk meningkatkan penghormatan dan ketaatan pada HAM dan kebebasan
dasar bagi setiap orang.
6. Pasal 68 menentukan bahwa, Dewan Ekonomi dan Sosial harus menyusun komisi dalam
bidang ekonomi dan sosial serta untuk meningkatkan HAM, dan komisi-komisi ini
diperlukan untuk melaksanakan fungsinya.
7. Pasal 76 menetapkan bahwa, membangkitkan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan
dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan
mendorong saling kerjasama antara bangsa-bangsa di dunia.
Berdasarkan Piagam PBB, kemudian pada tahun 1945 dirintis penyusunan Deklarasi HAM
PBB “The Universal Declaration of Human Rights” (UDHR) atau Deklarasi Umum Hak-
Hak AsasiManusia (DUHAM) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10
Desember 1948.
Keberadaan UDHR (DUHAM) PBB merupakan keberhasilan PBB di bidang HAM. Apabila
ditelaah dari 30 pasal itu terdiri dari 3(tiga) bagian utama, yaitu : pertama mulai pasal 1 – 21
mengatur hak-hak pribadi atau hak-hak sipil dan politik (manusia dilahirkan merdeka,
bermartabat dan mempunyai hak yang sama; tidak ada perbedaan agama dan politik; hak
penghidupan, kemerdekaan, keselamatan (pasal 1-3); hak tidak diperbudak atau
diperhambakan atau diperdagangkan sebagai budak (pasal 4); hak tidak dianiaya atau
diperlakukan dengan kejam atau dihinakan (pasal 5); hak diakui sebagai manusia pribadi
oleh undang-undang (pasal 6); hak perlakuan yang sama dalam undang-undang dan
perlindungan hukum; berhak atas pengadilan yang terbuka dan jujur; berhak tidak ditangkap
atau ditahan atau dibuang sewenang-wenang melainkan berdasarkan hukum atau undang-
undang; hak diperlakukan sama di muka umum dan diperlakukan secara adil di pengadilan,
berhak dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan menurut undang-undang di pengadilan,
dan berhak mendapat pembelaan hukum (hak hukum pasal 6-11); hak tidak diganggu
dengan sewenang-wenang dalam urusan perseorangan dan keluarga, dalam surat menyurat,
berhak mendapatkan perlindungan dari gangguan terhadap pribadi dan keluarganya (pasal
12); hak kemerdekaan bergerak, berdiam dalam lingkungan batas-batas negara, berhak ke
luarnegeri dan kembali ke negerinya; berhak mencari suaka politik ke negara lain yang
bukan dikarenakan perbuatan kriminal (kejahatan non politik); berhak atas
kewarganegaraannya, berhak tidak dikeluarkan dari kewarganegaraannya, berhak mengganti
kewarganegaraan; hak menentukan suami-isteri dalam perkawinan tidak dibatasi,
kemerdekaan hak milik pribadi atau bersama-sama (hak pribadi dan keluarga pasal12-17);
hak kebebasan : berpikir, beragama, berganti agama atau kepercayaannya, beribadah baik
sendiri atau bersama (pasal 18); hak menyampaikan pendapat dan mencari informasi (pasal
19), hak berkumpul, berorganisasi dan rapat (pasal 20); berhak ikut serta dalam
pemerintahan dan jabatan pemerintah negaranya, hak untuk dipilih dan memilih wakil-
wakinya dalam pemilihan umum secara bebas dan rahasia (pasal 21). Kedua, hak sosial,
ekonomi dan budaya(pasal 22-27) berhak atas jaminan sosial, berusaha, hak ekonomi, hak
sosial dan kebudayaan sesuai dengan martabat dan kepribadiannya (pasal 22); berhak atas
pekerjaan dan bebas bekerja, berhak meperoleh keadilan di bidang perburuhan, berhak atas
upah yang sama untuk pekerjaan yang sama dan adil, berhak mendapat bantuan sosial bagi
keluarga buruh, berhak membentuk serikat kerja; hak berhak atas liburan pada hari libur dan
pembatasan jam kerja (pasal 23-24); berhak atas jaminan tingkat hidup, jaminan kesehatan
baik untuk diri dan keluarganya termasuk soal makanan, pakaian, perumahan, perwatan
kesehatan serta usaha sosial yang diperlukan, berhak jaminan waktu penganglid, janda,
lanjut usia atau kekurangan nafkah di luar kemampuannya, ibu dan anak berhak mendapat
perwaatan dan bantuan yang sama, anak luar nikah berhak mendapat perlindungan sosial
yang sama (pasal 25); setiap orang berhak mendapat pengajaran yang sama, pengajaran
cuma-cuma untuk pengajaran rendah atau tingkat dasar, penjaran sekolah rendah harus
diwajibkan, ibu bapak mempunyai hak utama memilih macam pengajaran untuk anak-
anaknya (pasal 26); setiap orang berhak ikut dengan bebas dalam berkebudayaan,
berkesenian dan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan manfaatnya, berhak melindungi
moralnya sebagai akibat ahasil suatu produksi ilmu pengetahuan, kesustraan dan kesenian
(pasal 27). Ketiga tentang berhak dan berkewajiban atas ketertiban Sosial serta
melaksanakan DUHAM, bahwa setiap orang berhak atas susunan internasional dalam hak-
hak dan kebebasan menurut pernyataan ini (DUHAM) untuk dilaksanakan sepenuhnya
(pasal 28); bahwa setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat dalam
melaksanakan HAM harus tunduk pada pembatasan atau tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang (hukum), untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang layak bagi
hak-hak dan kebebasan orang lain yang memenuhi syarat kesusilaan dan ketertiban umum
masyarakat yang demokratis; hak-hak kebebasan tidak boleh dilakukan dengan cara yang
bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip dasar PBB (pasal 29); setiap orang, golongan
dan negara wajib melaksanakan dan tidak melakukan perbuatan/tindakan yang bertujuan
merusak/menghancurkan hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam DUHAM (pasal 30).
Dengan dideklarasikan pernyataan umum hak-hak asasi manusia oleh PBB berarti DUHAM
dan ketentuan-ketentuan HAM yang dimuat di dalamnya berlaku secara “universal” dapat
dapat diberlakukan di semua negara anggota PBB. Universalisme HAM terletak pada
melekatnya hak-hak asasi dalam diri manusia.
Ketentuan Pernyataan umum hak-hak asasi manusia (DUHAM) menjadi standar minimal
bagi pelaksanaan perlindungan HAM bagi setiap negara, khususnya negara anggota PBB
(UNO). Ketentuan DUHAM tidak mengikat secara yuridis, melainkan mengikat secara
moral bagi negara-negara anggota. Standar minimal artinya bahwa, pengaturan dan
pelaksanaan HAM di setiap negara-negara anggota setidak-tidaknya materi muatannya sama
seperti yang diatur dalam DUHAM, dan mengikat secara moral artinya ketentuan HAM
dalam DUHAM dapat dijadikan dasar atau pedoman pengaturan, pengakuan, pelaksanaan
dan perlindungan HAM bagi negara-negara anggota. Bila terjadi pelanggaran terhadap
pelaksanaan DUHAM oleh negara anggota, maka tidak dapat diberi sanksi secara yuridis,
melainkan sanksi secara moral atau politis. Sanksi politis, misanya negara-negara pelanggar
HAM dinnyatakan sebagai negara tidak beradab, tidak menghargai atau menghormati HAM.
Juga apabila terjadi pelanggaran HAM terhadap warga negara dari negara pelanggar HAM,
maka gugatannya dapat diabaikan atau tidak diproses. Bagi negara-negara anggota yang
menetapkannya sebagai hukum positif atau dengan cara mengadopsi ke dalam konstitusi
negaranya, maka DUHAM berlaku sebagai hukum positif yang mengikat negara dan
warganya. Dalam kenyataanya tidak banyak negara yang mengadopsi DUHAM sebagai
hukum positif suatu negara, kecuali negara Indonesia pernah mengadopsinya ke dalam UUD
RIS1949 dan UUDS 1950.
Tugas lain PBB di bidang HAM setelah dideklarasikan UDHR (DUHAM), antara lain : (a)
memproklamirkan dan mensosialisasikan DUHAM ke seluruh dunia bahwa DUHAM
sebagai standar utama perlindungan HAM untuk kemajuan umat manusia di semua negara;
(b) menyusun beberapa traktat (convention) internasional utamanya mengenai HAM
dibidang hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan lain-lainnya agar
mengikat negara-negara anggota atau negara peratifikasi; (c) mendirikan suatu badan
supervisi untuk mengadakan observasi, penyelidikan dan pengawasan pelaksanaan
perjanjian internasional (convensi/traktat) mengenai HAM.
Bedasarkan tugas-tugas PBB di bidang HAM, kemudian dimulailah perancangan-
perancangan perjanjian internasional (traktat/convensi) mengenai HAM di bidang hak-
hak sipil dan politik dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Prinsip Dasar HAM dalam (UDHR= DUHAM).
Pasal 1 meletakkan dasar filosofis HAM yakni hak kebebasan dan persamaan antar
manusia. Hak ini diperoleh manusia setiap manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut
darinya. Pasal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk rasional dan bermoral
yang dianugrahi akal dan budi nurani sehingga berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.
Pasal 2 mengatur prinsip dasar dari persamaan dan non diskriminasi dalam pemenuhan
HAM dan kebebasan dasar, melarang adanya pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau perbedaan pendapat, asal-usul bangsa
atau social, harta, kelahiran dan status lainnya.
Pasal 3 sebagai prinsip dasar hak hidup, kebebasan dan keamanan atau keselamatan
seseorang. Pasal 3 DUHAM ini merupakan hak-hak yang essensial pada diri manusia guna
pemenuhan hak-hak lainnya.
Pasal 4-21 DUHAM sebagai pengaturan dasar hak-hak sipil dan politik lainnya, termasuk
kebebasan dari perbudakan dan perhambaan (Pasal 4); kebebasan dari penyiksaan atau
penganiayaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
kemanusiaan (Pasal 5); berhak diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun ia berada
(Pasal 6); mempunyai hak yang sama dalam undang-undang dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa ada perbedaan (Pasal 7); berhak untuk memperoleh upaya
pemulihan yang efektif melalui peradilan (Pasal 8); kebebasan dari penangkapan, penahanan
atau pengasingan secara sewenang-wenang (Pasal 9); hak untuk mendapatkan pemeriksaan
yang adil dan peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak
(Pasal 10); hak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya oleh pengadilan
yang berwenang (Pasal 11); kebebasan dari intervensi secara sewenang-wenang atas
kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat (Pasal12); kebebasan untuk
bergerak dan bertempat tinggal (Pasal 13); hak atas suaka (Pasal 14); hak atas
kewarganegaraan (Pasal 15); hak untuk menikah dan membentuk keluarga (Pasal 16); hak
untuk memiliki harta benda dan tidak dapat dirampas dengan sewenang-wenang (Pasal 17);
hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18); hak kebebasan berpendapat
dan menyatakan pendapat serta kebebasan mencari dan menerima informasi (Pasal 19); hak
kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai (Pasal 20); hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan negaranya dan mendapat akses yang sama ke dalam pelayanan public
negaranya (Pasal 21).
Pasal 22-27 DUHAM mengatur tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya. Hak-hak
ekonomi, social dan buadaya merupakan tonggak atau generasi kedua Deklarasi HAM.
Sedangkan Tonggak atau generasi pertama HAM dalam DUHAM adalah hak-hak sipil dan
politik.
Pasal 22-27 DUHAM tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak yang
tidak dapat dikesampingkan/diabaikan dari martabat manusia dan kebebasan untuk
mengembangkan kepribadian yang harus diwujudkan atau diupayakan secara nasional dan
melalui kerjasama internasional. Pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini
keberhasilannya tergantung pada sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing Negara.
Hak-hak ekonomi, sosial dan buadaya yang diatur dalam Pasal 22-27 DUHAM ini meliputi
hak-hak atas jaminan sosial dan mewujudkan serta mengembangkan hak-hak ekonomi,
social dan budaya (Pasal 22); hak bekerja; hak untuk mendapatkan penghasilan yang sama
untuk upah yang sama (Pasal 23); hak untuk beritirahat dan berliburan (Pasal 24); berhak
atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan bagi kehidupan
keluarganya (Pasal 25); hak atas pendidikan (Pasal 26); dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan budaya dan bermasyarakat (Pasal 27). Pasal 28-30 DUHAM merupakan pasal
penutup bahwa setiap orang berhak atas ketertiban social dan internasional di mana hak-hak
asasi manusia dan kebebasan dasar yang dinyatakan dalam DUHAM dapat dilaksanakan
sepenuhnya (Pasal 28)yang menekankan kewajiban dan tanggung jawab setiap individu dan
masyarakat internasional. Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan dasar manusia,
setiap manusia hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh hukum
yang semata-mata bertujuan menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-
hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan moralitas, ketertiban umum
dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis. Selain itu bahwa
hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar tidak dapat dilaksanakan apabila bertentangan
dengan tujuan –tujuan dan prinsip-prinsip dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pasal 29).
Dalam Pasal 30 DUHAM ditegaskan bahwa tidak ada suatu Negara, kelompok atau orang
manapun yang dapat menggunakan hak-hak dalam DUHAM, untuk melakukan kegiatan
atau melaksanakan perbuatan yang bertujuan untuk menghancurkan atau merusak hak-hak
dan kebebasan yang diatur dalam DUHAM.

B. Hak-Hak Sipil dan Politik


Setelah dideklarasikannya Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi manusia (DUHAM)
oleh PBB, kemudian dimulailah merancangkan 2 (dua) perjanjian internasional mengenai HAM,
yaitu Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil Politik dan Perjanjian Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya agar dapat mengikat negara-negara peserta
perjanjian.
Kedua perjanjian internasional yang dimaksud ialah Perjanjian Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik ( The International Covenant on Civil and Political Rights) dan Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights), dan Protokol pilihan (Optional Protocol) yang disyahkan
oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966.
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Conventionon Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) mulai berlaku pada tanggal 3
Januari 1976. Sampai dengan Desember 1997 sebanyak 138 negara yang meratifikasi ICESCR.
Sedangkan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant
on Civil and Political Righ/ICCPR) dan Protokol pilihan perjanjian diberlakukan pada tanggal
23 Maret 1976. Sampai dengan Desember 1997 sebanyak 141 negara yang sudah meratifikasi
ICCPR, serta 93 negara telah meratifikasi dan mengaksesi Protokol pilihan pertama ICCPR .
Protokol Pilihan kedua Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik disahkan oleh
Majelis Umum PBB pada tanggal 15 Desember tahun1989, sampai Desember 1997 diratifikasi
oleh 32 negara. Protokol pilihan kedua Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik bertujuan untuk “penghapusan hukuman mati” di negara-negara yang meratifikasi atau
mengaksesinya.
Pemerintah Negara Republik Indonesia telah meratifikasi kedua perjanjian internasional
pada tahun 2005. Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik diratifikasi oleh
Pemerintah RI dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, sedangkan Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya diratifikasi dalam Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2005.
Menurut para penulis dan pegiat HAM, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik dikenal sebagai HAM “generasi I (pertama)”, sedangkan Perjanjian Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya disebut sebagai HAM “generasi ke 2 (kedua)”.
Belakangan muncul HAM “generasi ke3 (ketiga)” yang merupakan cerminan bangkitnya
nasionalisme di negara-negara berkembang dan tuntutan terhadap pemerataan kekuasaan,
pembangunan, kekayaan alam/Sumber Daya Alam, pelestarian lingkungan hidup, dan nilai-nilai
penting secara gelobal (Hakim Garuda Nusantara dan Asmara Nababan, dalam Diseminasi
HAM, Cesda-LP3ES, 2000 : xviii).
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (The International Covenant on
Civil and Political Rights) materi muatannya terdiri dari 53 pasal, yang meliputi : hak
menentukan nasib sendiri di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya; secara bebas mengatur
segala kekayaan dan sumber alam, suatu bangsa tidak dibenarkan merampas hak penghidupan
rakyatnya (Pasal 1); negara peserta kovenan wajib menghormati dan menjamin : hak individu
setiap orang dalam wilayahnya dan mentaati kekuasaan pengadilan, hak-hak dalam perjanjian
tanpa perbedaan suku, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau lainnya, asal-usul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain (Pasal 2 ayat (1 dan 2); negara
peserta kovenan harus menjamin memberikan perlindungan dan proses hukum yang adil
terhadap orang-orang yang haknya dilanggar oleh pejabat resmi menurut hukum yang berlaku
(Pasal 2 ayat (3); negara peserta wajib menjamin hak persamaan antara pria dan wanita untuk
menikmati hak sipil dan politik yang diatur dalam kovenan (Pasal 3). Dalam keadaan bencana
nasional yang mengancam kehidupan bangsa yang dinyatakan secara resmi, negara peserta dapat
mengambil tindakan yang memperlunak kewajibannya menurut kovenan untuk mengatasi
keadaan darurat tanpa diskriminasi (Pasal 4); negara peserta dilarang menghapus, membatasi
atau mengurangi salah satu hak (inalienable rights) yang diatur dalam kovenan (Pasal 5); hak
hidup adalah hak setiap orang, negara yang belum menghapus hukuman mati, putusan hukuman
mati hanya untuk kejahatan-kejahatan berat menurut undang-undang yang berlaku pada waktu
kejahatan dilakukan (asas legalitas), seseorang yang dihukum mati berhak memohon
pengampunan atau keringanan hukuman (amnesti). Hukuman mati tidak boleh diberlakukan
terhadap seseorang di bawah umur 18 tahun dan tidak boleh dilakukan terhadap wanita hamil
(Pasal 6); Setiap orang berhak tidak dikenakan siksaan atau perlakuan hukuman yang kejam
yang tidak berperikemanusiaan, tidak boleh dijadikan percobaan ilmiah tanpa persetujuannya
(Pasal 7); hak tidak diperbudak, diperdagangkan sebagai budak, melakukan kerja paksa atau
dihukum penjara dengan kerja paksa (Pasal 8); berhak atas keamanan pribadi, berhak tidak
ditahan secara sewenang-wenang, berhak tidak dirampas kebebasannya, kecuali berdasarkan
undang-undang; orang yang ditahan, dituduh harus secepatnya dihadapkan ke pengadilan untuk
diperiksa, berhak menuntut ganti rugi akibat penahanan yang dipaksakan (Pasal 9); setiap orang
yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi, harus dibedakan dengan
orang-orang terhukum (terpidana) dengan orang yang bukan terpidana, dibedakan antara
terdakwa dewasa dengan yang belum dewasa (Pasal 10); Hak tidak ditahan dengan alasan
melanggar kontrak keperdataan (Pasal 11); hak bebas bergerak di wilayah negaranya, bebas
meninggalkan negaranya, dan kembali ke negaranya (Pasal 12); orang asing yang secara sah
berada di negara peserta tidak dapat diusir dengan sewenang-wenang, kecuali berdasarkan
hukum dan kepentingan nasional negara peserta (Pasal 13); semua orang mempunyai hak yang
sama di hadapan pengadilan dan tribunal (majelis hakim), diperiksa secara adil, dianggap tidak
bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum (asas presemption of innoncence), berhak
membela diri atau memperoleh bantuan hukum yang dipilihnya sendiri, atau diberikan bantuan
hukum dengan cuma-cuma apabila tidak mempunyai dana, tidak boleh dipidana dua kali atas
suatu pelanggaran yang hukumannya telah dilakukan dan sudah dibebaskan (asas ne bis in
idem) sesuai dengan undang-undang yang berlaku (Pasal 14). Seorang tidak boleh dianggap
bersalah melakukan tindak pidana, dan saat dilakukan atau tidak dilakukan bukan merupakan
tindak pidana berdasarkan hukum nasional maupun internasional (asas legalitas), dan tidak
boleh dikenakan hukuman yang lebih berat apabila saat kejadian undang-undang diberlakukan
(Pasal 15); setiap orang berhak diakui sebagai subyek hukum (Pasal 16); setiap orang berhak
tidak diintervensi kepribadiannya, keluarga, rumah tangganya, surat menyurat, tidak diganggu
kehormatannya secara tidak sah, berhak memperoleh perlindungan hukum apabila hak
pribadinya diintervensi (Pasal 17); berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan untuk
beragama baik sendiri maupun bersama-sama dan mewujudkan agama kepercayaannya, negara
peserta wajib menghormati kebebasan orang tua/wali menentukan pendidikan agama dan budi
pekerti anak mereka menurut keyakinan sendiri (Pasal 18); setiap orang berhak
berpendapat/menyatakan pendapat, menerima dan memberi keterangan/informasi baik lisan
maupun tulisan tanpa gangguan, guna mengormati nama baik orang lain dan keamanan nasional
(Pasal 19); propaganda perang wajib dilarang dengan undang-undang, demikian pula
penganjuran/membela kebencian nasional, rasial atau agama merupakan hasutan diskriminasi,
permusuhan dan tindak kekerasan harus dilarang dengan undang-undang (Pasal 20); hak
berkumpul tidak boleh dibatasi, kecuali ditentukan oleh undang-undang untuk kepentingan
keamanan nasional, dan ketertiban umum, serta untuk menjaga kesehatan atau kesusilaan umum
atau menjaga hak kebebasan orang lain (Pasal 21); setiap orang berhak berasosiasi atau
berorganisasi, dan memasuki serikat bekerja untuk menjaga kepentingannya (Pasal 22); berhak
atas perlindungan keluarga, menentukan suami atau isteri dalam perkawinan dengan persetujuan
sukarela kedua calon pengantin(Pasal 23); perlindungan hak anak tanpa diskriminasi untuk
memperoleh statusnya sebagai anak bawah umur dari keluarga, masyarakat dan negara, berhak
atas nama, didaftarkan dan mendapat kewarganegaraan (Pasal 24); berhak menentukan urusan
umum, memilih waki-wakilnya melalui pemilihan umum secara langsung/tidak langsung secara
bebas ( Pasal 25); semua orang adalah sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); pengakuan hak-hak minoritas etnik, agama,
bahasa untuk menikmati budanya, menjalankanibadah agamanya atau menggunakan bahasanya
sendiri (pasal 27). Pasal 28 – 53 mengatur tentang tugas dan kewenangan Komite HAM PBB.

C. Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.


Hak-hak Ekonomi, sosial dan budaya di dalam pernyataan umum hak-hak Asasi manusia PBB
dicantumkan dalam pasal 22 – 28 UDHR (DUHAM). Berdasarkan tugas program PBB kemudian
disyahkanlah International Covenant on Ekonomic, Social and Cultural Rights (ICESCR) bersama-sama
dengan International Covenant on Civil and Political Rights(ICSPR).

The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Perjanjian


Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) diberlakukan pada tanggal 3 Januari
1976 terdiri dari 31 pasal. Secara garis besar yang dilindungi dalam ICESCR adalah sebagai
berikut :
1. Hak bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan;
2. Hak atas perlindungan sosial, atas standar hidup yang pantas, dan hak-hak atas standar
kesejahteraan fisik dan mental yang teringgi bisa dicapai;
3. Hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan
kemajuan ilmu pengetahuan.

Apabila dirinci, hak-hak ekonomi,sosial dan budaya yang diatur dalam perjanjian
internasional (ICESCR) adalah (a) hak menentukan dirinya sendiri, bebas menentukan status
politik, ekonomi, sosial dan budayanya, berhak mengatur sumber daya alam untuk
kepentingannya (Pasal 1); (b) negara peserta berusaha menjamin hak-hak yang sama bagi pria
dan wanita atas nikmat hak ekonomi, sosial,dan budaya yang tercantum dalam kovenan (Pasal 2
dan 3); (c) negara tidak boleh membatasi atau mencabut ha-hak ekonomi, sosial budaya
(inalienable rights) dalam kovenan, kecuali ditetapkan dalam undang-undang untuk
meningkatkan kesejahteraan umum dalam usaha masyarakat yang demokratis (Pasal 4 dan 5); (d)
pengakuan hak bekerja, mencari nafkah secara merdeka (Pasal 6); (e) hak menikmati pekerjaan
secara adil dan menguntungkan tentang upah, kondisi kerja, istirahat, libur berkala (Pasal 7); (f)
pengakuan hak untuk membentuk serikat kerja, hak mogok sesuai dengan undang-undang yang
berlaku (Pasal 8); (g) pengakuan hak jaminan sosial dan asuransi (Pasal 9); (h) perlindungan hak-
hak keluarga khususnya perawatan, pendidikan anak-anak, perkawinan berdasarkan kemauan
kedua calon suami-isteri, pemberian cuti kepada ibu hamil dengan upah cukup, jaminan sosial
cukup (Pasal 10); (i) mengakui hak-hak berkehidupan yang layak atas keluarga, termasuk hak
atas sandang, pangan, tempat tinggal, dan perbaikan lingkungan hidup, berhak bebas dari
kelaparan dan kehausan, hak kesehatan dan mendapat perawatan medis (pasal 11-12); (j)
pengakuan hak pendidikan, peserta kovenan wajib melaksanakan pendidikan dasar, lanjutan,
pendidikan teknik dan kejuruan tingkat menengah secara terbuka bagi semua orang; memberikan
pendidikan dasar secara cuma-cuma dan bertahap, orang tua/wali berhak menentukan pendidikan
anak-anaknya sendiri (Pasal 13-14); (k) pengakuan hak kebudayaan, seni dan berkarya ilmiah
serta menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Pasal 15).
Negara peserta berjanji melaporkan tindakan yang diambil yang berkaitan hak-hak yang
diakui dalam kovenan (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights);
laporan diajukan kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk dikirimkan salinannya ke Dewan
Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) sebagai pertimbangan (Pasal 16). Pasal 17 – 31 mengenai tugas
PBB yang berkaitan dengan pelaporan pelaksanaan kovenan dinegara anggota atau peratifikasi.
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR)
memberikan instrumen pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan buada secara menyeluruh
tanpa adanya perbedaan bagi semua negara anggota atau peratifikasi. Negara yang menjadi
peserta/pihak perjanjian diharuskan secara berkala menyampaikan laporan tentang pelaksanaan
kovenan di negaranya kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk dibahas oleh Dewan Ekonomi dan
Sosial (ECOSOC) dengan Komite HAM untuk dipelajari dan rekomendasi umum atas laporan,
informasi yang diajukan oleh negara peserta. Komite HAM tentang hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya sebagai badan ahli yang terdiri dari 18 orang yang dibentuk oleh Dewan (ECOSOC)
untuk memberikan bantuan dalam pelaksanaan perjanjian, mempelajari, membahas,
mendiskusikan dan memberikan rekomendasi atas laporan dengan wakil-wakil pemerintah dari
negara pihak atau pelapor. Komentar dan rekomendasi Komite HAM bertujuan untuk membantu
negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya serta saran-saran atau rekomendasi perbaikan apabila ada kekurangan.

D. Yurisdiksi Penegakan Hukum Ham


Yurisdiksi Penegakan Hukum di bidang HAM terdiri dari 5 (lima) asas yaitu :
1. Asas teritorial, artinya menetapkan yurisdiksi kejahatan HAM berdasarkan “tempat”
dilakukannya kejahatan, atau tempat terjadinya akibat konstituennya;
2. Asas nasional, adalah menentukan yurisdiksi berdasarkan “kebangsaan” atau “karakter
nasional” dari pelaku kejahatan; Undang-undang HAM berlaku terhadap pelaku kejahatan
HAM oleh WNI.
3. Asas perlindungan, ialah menentukan yurisdiksi berdasarkan “kepentingan nasional” yang
dirugikan oleh tindak kejahatan; Undang-undang HAM berlaku terhadap siapa saja yang
melakukan kejahatan HAM terhadap WNI (sebagai pihak yang dirugikan);
4. Asas universal, adalah menetapkan yurisdiksi berdasarkan “tempat penahanan” orang yang
melakukan kejahatan;
5. Asas personalitas pasif, ialah menentukan yurisdiksi berdasarkan “kebangsaan” atau
“karakter nasional” dari orang yang dirugikan oleh kejahatan. Undang-undang HAM berlaku
terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan HAM terhadap WNI.
Bandigkan dengan asas-asas yurisdiski KUHP (WvS)terhadap pelaku kejahatan.
E. The International Bill of Human Rights
International Bill of Human Rights adalah istilah yang digunakan sebagai acuan dasar
kolektif 3 (tiga) instrumen pokok hak-hak asasi manusia dan protokol opsinya, yaitu :
1. Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights);
2. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (The International Covenant on
Civil and Political Rights);
3. Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International
Covenant on Economics, Social and Cultural Rigths);
4. Protokol opsi pertama dan kedua International Covenant on Civil and Political Rights.
Oleh pengamat dan praktisi HAM, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights) dikenal sebagai HAM
generasi pertama, sedangkan Perjanjian Internasioal tentang Hak-hak Sosial, Ekonomi dan
Budaya (The International Covenant on economics, Social and Cultural Rights) sebagai HAM
generasi kedua.
Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan dua kovenan pokok (utama)
HAM yaitu Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) sebagai Bill of Rights
sebagai dasar atau pedoman masyarakat internasional secara terus menerus merancang traktat-
traktat yang difokuskan pada bidang-bidang tertentu atau topik-topik khusus di bidang HAM.
Kedua kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) dan kovenan
internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ICESCR) adalah traktat yang
menimbulkan kewajiban hukum atau mengikat secara yuridis bagi negara yang menjadi pihak
(peratifikasi). Kedua kovenan atau perjanjian internasional tersebut menyatakan bahwa, asas-
asas hukum internasional umum atau hukum kebiasaan internasional yang menurut hukum
mengikat negara-negara, termasuk negara-negara yang bukan merupakan pihak peserta convensi
internasional, maka sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan kovenan diterima sebagai asas-asas
umum atau kebiasaan (C. De Rover, 2000 : 57).
Berdasarkan Bill of Human Rights di muka dirancangkan traktat-traktat yang selaras
dengan UDHR (DUHAM) sebagai pelaksanaan hasil Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian.
Traktat-traktat khusus yang terpenting adalah :
a. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948) atau
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida;
b. Convention relating to the Status of Refugees (1951) atau Konvensi tentang status
pengungsi;
c. Protocol relating to the Status of Refugees (1967) atau protokol tentang status pengungsi;
d. Convention on the Elimination of all Forms of Racial Discrimination (CERD) atau Konvensi
Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965);
e. Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW)
atau Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (1979);
f. Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or degrading Treatment or Punishmen
(CAT) atau Konvensi terhadap Penyiksaan dan Kekejaman lainnya Perlakuan atau
Penghukuman tidak manusiawi atau yang merendahkan Martabat (1984);
g. Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Konvensi tentang Hak-hak Anak (1989);
h. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights Aiming
on the Abolition of the Death Penalty not yet into force 30 june 1990 atau Protokol opsi kedua
pada ICCPR, yang bertujuan menghapus hukuman mati.
Dua kovenan serta konvensi-konvensi yang berkaitan dengan penghapusan diskriminasi rasial (CERD),
penghapusan penyiksaan terhadap prempuan (CEDAW) dan hak-hak anak (CRC), masing-masing telah
mempunyai semua komite yang bertugas mengawasi efektivitas pelaksanaan ketentuan-ketentuan
covenan/covensi oleh negara pihak/pelaksana. Komite-komite bertugas sebagai badan pemantau
traktat (treaty monitoring bodies).

F. Harmonisasi Traktat HAM


Menurut Pasal 2. Ayat (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Traktat (the Vienna Convention on the
Law of Treaties), yang dimaksud dengan traktat adalah “persetujuan internasional yang ditandatangani
di antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan yang diatur oleh hukum internasional, baik dibuat
dalam satu instrumen atau dalam dua instrumen atau lebih yang berkaitan dan apapun sebutan
khususnya. Setiap negara cakap untuk menandatangani (meratifikasi) traktat (pasal 6 Konvensi Wina).
Kecakapan suatu negara sebagai pihak sebagai bukti sifat keberadaan suatu negara seperti ditentukan
dalam “Konvensi Montevideo” . Traktat kebanyakan digunakan untuk berbagai transaksi/ hubungan
internasional, juga untuk membebankan aturan-aturan berbagai bidang hukum, misalnya hukum
tentang HAM, hukum humaniter, hukum lingkungan). Traktat pada umumnya ditandatangani
(diratifikasi) baik dalam bentuk persetujuan antar negara, persetujuan antar kepala negara atau antar
pemerintah.

Pasal 7 dan Pasal 8 Konvensi Wina menentukan perwakilan negara yang berhak mengadopsi, atau
mengesahkan traktat (meratifikasi) atau yang menyatakan persetujuan bahwa negara mereka terikat
pada atau menjadi bagian traktat (aksesi). Kompetensi didasarkan kepada perwakilan yang membawa
kuasa penuh (full powers)secara layak yaitu pembawa dokumen dari penguasa yang berwenang dari
negara yang menunjuk seseorang untuk mewakili negara untuk melakukan tindakan yang berkaitan
dengan traktat. Kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri layak untuk mewakili
negara mereka berdasarkan fungsinya, tanpa harus menunjuk kuasa (pasal 7 ayat (2a). Untuk
mengadopsi traktat atas nama negara dapat diwakili oleh misi diplomatik (pasal 7 ayat (2b) atau oleh
para wakil yang diakreditasi oleh negara yang bersangkutan pada konferensi internasional atau
organisasi internasional atau salah satu organnya (pasal 9 Konvensi Wina). Persetujuan suatu negara
untuk terikat oleh traktat mungkin dinyatakan dengan penandatanganan, pertukaran instrumen yang
membuat traktat, ratifikasi, penerimaan (adopsi), persetujuan atau aksesi, atau dengan cara-cara yang
disepakati (pasal 11).

Aksesi adalah pernyataan dari pemerintah suatu negara yang menyatakan ikut terikat atau
menyatakan persetujuan dan menjadi bagian dari suatu traktat. Aksesi dilakukan terhadap traktat
yang tidak ditandatanganinya pada saat traktat dibuat dan disetujui para pihak.

Ratifikasi ialah persetujuan atas Traktat (Perjanjian Internasional ) yang disertai dengan
penandatanganan atau pengesahan atas suatu traktat) yang diadakan/diikuti oleh perwakilan masing-
masing negara/peserta perjanjian.

Reservasi, ialah pernyataan sepihak suatu negara ketika menandatanganinya, meratifikasi, menerima,
menyetujui atau mengaksesi suatu traktat dengan tujuan untuk mengecualikan atau memodifikasi
akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam penerapannya kepada negara tersebut.... (pasal
2 ayat (1d). Reservasi ini dilakukan oleh negara pihak yang menyetujui traktat, tetapi pelaksanaannya
tidak sepenuhnya tetapi hanya untuk bagian-bagian tertentu dari traktat. Reservasi ini dapat dilakukan
pada saat traktat ditandatangani/diratifikasi, saat menyetujui kemudian atau mengaksesi.

Reservasi diperbolehkan, kecuali :

a. Reservasi yang dilarang oleh traktat;


b. Traktat menetapkan bahwa hanya reservasi khusus yang tidak termasuk reservasi yang boleh
dibuat;
c. Reservasi tidak berada di bawah sub. a dan b, dan tidak bertentangan dengan obyek serta
tujuan traktat (pasal 19 Konvensi Wina).
G. Jus Cogens
Traktat menjadi batal apabila pada waktu penandatanganannya bertentangan dengan
peremptory norm hukum internasional umum. Peremptory norm merupakan kaidah (norm) yang
diterima dan diakui oleh masyarakat internasional guna tercapainya tujuan konvensi. Peremptory
norm tidak boleh disimpangi dan tidak boleh diubah secara sepihak. Peremptory norm hanya
dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umum yang mempunyai sifat yang sama.
Peremptory norm (norma umum yang telah sepakati) dari aturan hukum internasional umum
inilah yang disebut “jus cogens”.
Sifat-sifat peremptory norm hukum internasional (HAM) adalah memerintahakan
(commanding), memaksa (compelling), mewajibkan (mandatory), bersifat memaksa
(imperative), dan tidak dapat dibantah (irrefutable), yang merupakan pengenal dari kaidah-
kaidah yang harus diterima sebagai yang bersifat mendasar dan tidak dapat diganggu gugat
(untouchable/).

H. Sifat-Sifat Hak Asasi Manusia.


Sifat atau ciri-ciri HAM menurut beberapa ahli, pegiat dan pengamat HAM adalah sebagai
berikut :
1. HAM Universal, artinya HAM selalu melekat pada diri individu manusia sebagai pemberian
pencipta (Tuhan) nya yang tidak dapat diganggu gugat atau dikurangi oleh siapapun termasuk
oleh penguasa negara. HAM bersifat universal berlaku di mana saja dan kapan saja dalam
keadaan yang sama, demikian pula penegakannya. HAM universal “bersifat mutlak” tidak
dapat diganggu gugat dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sedangkan HAM
universal yang “bersifat relative” adalah HAM universal yang hanya dapat dibatasi oleh
hukum atau undang-undang negara yang dibuat secara demokratis dan guna melindungi
HAM yang lebih luas atau yang lebih besar.
2. HAM Partikularistik, artinya HAM disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat
setempat, demikian pula penegakannya disesuaikan dengan keragaman sosial dan budaya
masyarakat setempat. HAM partikularistik (absolut/mutlak) harus mengutamakan
kepentingan kolektif daripada kepentingan individu. HAM partikularistik (relatif) tidak boleh
bertetangan dengan keyakinan agama/kepercayaan dan budaya masyarakat setempat. HAM
partikularistik (relatif) harus seimbang antara Hak Azasi Manusia dengan Kewajiban Azasi
Manusia.
3. HAM negatif (negative rights), artinya hak-hak dan kebebasan asasi manusia akan terpenuhi
apabila peran negara dibatasi atau negara tidak terlibat atau pasif dalam hak-hak dan
kebebasan dasar manusia. Hak-hak sipil dan politik (ICCPR) merupakan ham yang bersifat
negatif (negative rights). Peran negara dalam hak-hak negatif harus pasif, karena itu
dirumuskan dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari). Negara dianggap melanggar
ICCPR apabila terlalu aktif dalam berperan di bidang hak-hak sipil dan politik. Pelanggaran
hak-hak negatif menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk “obligations of conduct”.
Pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik dapat dituntut di pengadilan (justiciable),
misalnya seseorang yang dirampas haknya oleh aparatur negara , maka ia dapat menuntut
tanggung jawab negara atas pelanggaran hak-hak negatif ke pengadilan. Secara ideologis,
pelanggaran hak-hak sipil dan politik (negative right) tidak bermuatan ideologis (non
ideologis). Artinya hak-hak sipil dan politik dapat diberlakukan untuk semua sistem ekonomi
danpemerintahan apapun.
4. HAM positif (positive rights), artinya hak-hak azazi manusia dapat terealisasi atau tercapai
apabila negara ikut terlibat atau berperan aktif di dalamnya (pelaksanaan ICESCR). Negara
dianggap melanggar ICESCR apabila tidak berperan aktif di bidang hak ekonomi sosial dan
budaya. Pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi dan budaya, menuntut tanggung jawab
negara dalam bentuk “obligations of result”. Pelanggaran hak-hak sosial ekonomi dan
budaya tidak dapat dituntut ke pengadilan (non justiciable), misalnya seseorang yang
kehilangan pekerjaannya, maka ia tidak dapat menuntut negara ke pengadilan. Secara
ideologis, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bermuatan ideologis. Artinya hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya hanya dapat diberlakukan pada suatu sistem ekonomi tertentu.
5. HAM derogabel (derogable right), adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Pengurangan atau pembatasan hak-hak kebebasan
dasar sebagai kewajiban untuk : (a) memenuhi hak-hak kebebasan azasi manusia; (b)
keamanan nasional atau keteriban umum; (c) menghormati hak-hak dan kebebasan azasi
orang lain. Pembatasan hak-hak dan kebebasan tidak boleh melebihi dari yang ditentukan
dalam Kovenan.
Hak dan kebebasan dalam jenis ini adalah : (a) hak atas kebebasan berserikat dan
berkumpul secara damai; (b) hak buruh membentuk serikat buruh (pekerja); (c) hak atas
kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk hak kebebasan mencari, menerima
dan memberikan informasi serta gagasan secara tertulis atau lisan.
6. HAM yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights), adalah hak-hak yang bersifat
absolut yang tidak boleh dikurangi apalagi dicabutpemenuhannya oleh negara-negara pihak
walaupun dalam keadaan darurat. Hak-hak yang termasuk non derogable adalah : (a) hak atas
hidup (rights to live); (b) hak sebagai subyek hukum; (c) hak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan, beragama; (d) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (e) hak bebas
dari penahanan karena gagal membayar utang atau gagal memenuhi perjanjian utang piutang;
(f) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from torture); (g) hak bebas dari perbudakan
(right to be free from slavery).
Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap HAM dalam jenis “non
derogable”dikecam sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross
violation of human rights).
*Materi Perkuliahan Pendidikan Pancasila (Pancasila sbg.Sumber HAM) pertemuan ke XII-XIII
(12 &19 Juni 2020) Fakultas Teknik Sipil- Universitas Islam Malang Malang.

Anda mungkin juga menyukai