Anda di halaman 1dari 6

Lopinavir/Ritonavir

Lopinavir/ritonavir merupakan antivirus yang bekerja dengan cara menghambat protease


(protease inhibitor) dan digunakan pada pasienpasien yang terinfeksi human immunodeficiency
virus selama ini. Lopinavir terbukti memiliki mekanisme menghambat kerja enzim 3CL protease
(atau disebut juga dengan 3CLpro atau Mpro) dan papain-like protease PLpro yang berperan
penting pada proses replikasi coronavirus. Ritonavir merupakan penghambat sitokrom P-450
yang jika digunakan bersama lopinavir akan menyebabkan peningkatan bioavailabilitas
lopinavir. Hasil penelitian in-vitro oleh Chu et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan
lopinavir/ritonavir bersama dengan ribavirin menunjukkan efek sinergistik terhadap SARSCoV-
1. Penelitian tersebut juga menyatakan, penambahan ribavirin akan meningkatkan potensi
lopinavir sebanyak empat kali lipat. Selain itu, melalui penelitian tersebut dapat diketahui
konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek antivirus terhadap SARSCoV-1 adalah 4
μg/Ml (Setiadi, 2020).

Remdesvir (RDV)

Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas yang telah digunakan secara luas untuk virus
RNA, termasuk MERS/SARS-CoV, penelitian in vitro menunjukkan obat ini dapat menginhibisi
infeksi virus secara efektif. Remdesivir merupakan suatu phosphoramidate prodrug, yang di
dalam tubuh akan termetabolisme menjadi C-adenosine nucleoside analogue GS-441524 sebagai
metabolit aktifnya. Mekanisme kerja remdesivir terutama terkait dengan replikasi virus. Uji
klinis fase 3 acak tersamar terkontrol plasebo pada pasien COVID-19 telah dimulai di China.
Studi ini membandingkan remdesivir dosis awal 200 mg diteruskan dosis 100 mg pada 9 hari dan
terapi rutin (grup intervensi) dengan plasebo dosis sama dan terapi rutin (grup kontrol). Uji klinis
ini diharapkan selesai pada April 2020. Obat ini juga masuk dalam uji klinis SOLIDARITY
(Susilo, 2019).

Klorokuin (CQ/CLQ) dan Hidroksiklorokuin (HCQ)

Klorokuin, obat antimalaria dan autoimun, diketahui dapat menghambat infeksi virus dengan
meningkatkan pH endosomal dan berinteraksi dengan reseptor SARS-CoV. Efektivitas obat ini
semakin baik karena memiliki aktivitas immunomodulator yang memperkuat efek antivirus.
Selain itu, klorokuin didistribusi secara baik di dalam tubuh, termasuk paru. Yao, dkk.96
mengajukan HCQ sebagai alternatif klorokuin. Studi in vitro tersebut menelaah efektivitas kedua
obat. Hasil studi menunjukkan HCQ lebih baik dalam pengobatan yang dibuktikan dengan nilai
EC50 yang lebih rendah (0.72 vs 5.47 μM). Selain itu, HCQ lebih ditoleransi. Penelitian pada
manusia direkomendasikan dengan dosis anjuran yang memiliki potensi tiga kali lipat
dibandingkan klorokuin, yaitu hidroklorokuin 400 mg dua kali sehari sebagai dosis awal
dilanjutkan 200 mg dua kali sehari selama 4 hari sebagai dosis lanjutan. Uji klinis tak tersamar
tanpa acak yang dilaporkan Gautret, dkk.97 meneliti efektivitas HCQ terhadap jumlah virus
SARS-CoV-2 yang dilakukan evaluasi setiap harinya sampai 6 hari pasca perekrutan. Total
sampel 42 dengan rincian 26 masuk kelompok HCQ. Dari 20 kelompok HCQ, enam diantaranya
mendapat azitromisin sebagai profilaksis bakteri. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
perbedaan bermakna kadar virus pada kelompok HCQ dan kelompok dengan tambahan
azitromisin menunjukkan supresi virus sebanyak 100% dibandingkan kelompok HCQ. Hasil
yang menjanjikan ini dapat menjadi landasan penggunaan HCQ sebagai pengobatan COVID-19.
Namun, hasil ini perlu diwaspadai juga karena 6 dari pengguna HCQ lost to follow-up dan tidak
dianalisis (termasuk 1 meninggal dan 3 dipindahkan ke perawatan intensif). Perlu juga
diperhatikan interaksi obat HCQ dan azitromisin, karena penggunaan bersama dapat
menyebabkan pemanjangan gelombang QT (Susilo, 2019).

Favipiravir (FAVI)

Favipiravir merupakan obat baru golongan inhibitor RNA-dependent RNA polymerase (RdRp)
yang dapat menghambat aktivitas polimerasi RNA. Hasil penelitian sementara di China
menunjukkan bahwa favipiravir lebih poten dibandingkan LPV/r dan tidak terdapat perbedaan
signifikan reaksi efek samping. Studi uji klinis tanpa acak tak tersamar menunjukkan favipiravir
lebih baik dalam median waktu bersihan virus dibandingkan LPV/r (4 hari vs 11 hari). Selain itu,
favipiravir juga lebih baik dalam perbaikan gambaran CT scan dan kejadian lebih sedikit efek
samping (Susilo, 2019).

Arbidol

Arbidol merupakan salah satu antivirus dengan spektrum luas yang banyak digunakan khususnya
di Rusia dan China untuk indikasi anti-influenza dan stimulasi imunitas (immune stimulating
effect). Cakupan antivirus arbidol meliputi: virus influenza, respiratory syncytial virus,
parainfluenza virus, rhinovirus 14, hepatitis B dan C, virus coxsackie. Arbidol bekerja dengan
cara menghambat masuknya virus pada sel target, memblok ikatan antara virus dengan membran
sel, dan menghambat proses replikasi virus (Setiadi, 2020).

Interferon-α (IFN-α)

IFN-α terbukti menghambat produksi SARS-CoV secara in vitro. Uji klinis penggunaannya
sedang berlangsung (Susilo, 2019).

Tocilizumab (inhibitor reseptor IL-6)

Obat ini telah dicoba pada 21 pasien COVID-19 berat atau kritis di China dalam studi observasi.
Tocilizumab digunakan bersamaan dengan terapi standar lainnya, yaitu LPV/r dan
metilprednisolon. Dilaporkan bahwa demam pada semua pasien hilang dalam satu hari setelah
mendapatkan tocilizumab, diikuti dengan perbaikan klinis dan radiologis. Demikan juga dengan
kadar CRP, kebutuhan dan saturasi oksigennya. Laporan ini tentunya menjanjikan, tetapi perlu
disikapi dengan cermat karena studi masih dalam skala kecil dan tidak ada kelompok
pembanding (Susilo, 2019).

Meplazumab/antibodi anti-CD147

Antibodi anti-CD147 diketahui mampu menghambat kemotaksis sel T yang diinduksi CyPA dan
berdampak berkurang inflamasi. Selain itu, antibodi ini juga dapat menghambat replikasi SARS-
CoV-2 berdasarkan studi in vitro yang membuat pengetahuan baru, ada kemungkinan virus
masuk melalui reseptor CD147. Bian, dkk. menunjukkan penambahan meplazumab
mempercepat waktu rawat, perbaikan klinis dan bersihan virus (Susilo, 2019).

Nitazoxanide

Wang, dkk. melakukan uji in vitro guna mengetahui efektivitas nitazoxanide. Obat antiprotoza
ini diketahui memiliki potensi antivirus karena dapat menghambat SARS-CoV-2 (EC50=2.12
µM) dengan meningkatkan regulasi mekanisma antivirus bawaan via amplifikasi jalur IFN tipe I
dan sensing sitoplasmik RNA. Dosis yang diajukan 600 mg, 2 kali sehari atau 500 mg, 3 kali
sehari selama 7 hari (Susilo, 2019).

Direct-acting Antiviral (DAA)


Sofosbuvir, salah satu obat DAA yang biasanya digunakan untuk terapi HCV, diketahui
memiliki kemampuan untuk menempel pada tempat aktif RdRp, bersaing dengan nukleotida
fisiologis. Efilky105 melakukan uji genetik untuk melihat kekuatan afinitas sofosbuvir dan obat
lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa sofosbuvir memiliki afinitas yang kuat terhadap COVID-
19 dan SARSCoV dan atas dasar ini sofosbuvir berpotensi sebagai antivirus SARS-CoV-2
(Susilo, 2019).

Imunoglobulin Intravena (IVIg)

Cao W, dkk. melaporkan serial kasus COVID-19 yang menambahkan IVIg (dosis 0,3-0,5
g/kgBB) selama lima hari pada terapi standar. Seluruh pasien yang diberikan merupakan pasien
kategori berat. Hasil terapi menunjukkan terdapat percepatan perbaikan klinis demam dan sesak
napas serta perbaikan secara CT-scan (Susilo, 2019).

Oseltamivir

Oseltamivir merupakan bagian dari golongan neuraminidase inhibitors (NAIs) yang mempunyai
mekanisme kerja dengan cara menghambat neuraminidase virus. Dampak dari hambatan tersebut
adalah menghambat pelepasan partikel virus dari sel yang terinfeksi sehingga mengurangi
penyebaran virus pada saluran napas. Awal penggunaan oseltamivir sebagai terapi pasien
COVID-19 dimulai pada sebuah rumah sakit di Wuhan, China, yakni Wuhan Jinyintan
Hospital.14 Hasil pengamatan secara retrospektif terhadap 99 pasien menunjukkan sebanyak 75
pasien mendapatkan berbagai terapi antivirus, dan salah satu antivirus yang digunakan adalah
oseltamivir dengan dosis 75 mg setiap 12 jam secara oral. Durasi pemberian antivirus pada
artikel terpublikasi tersebut adalah selama 3–14 hari (median 3 hari [IQR 3–6]) (Setiadi, 2020).

Kortikosteroid

Shang, dkk. merekomendasikan pemberian kortiksteroid. Landasannya adalah studi Chen, dkk.
pada 401 penderita SARS yang diberikan kortiksteroid, 152 di antaranya termasuk kategori
kritis. Hasil studi menunjukkan kortikosteroid menurunkan mortalitas dan waktu perawatan pada
SARS kritis. Dosis yang diberikan adalah dosis rendah-sedang (≤0.5-1 mg/kgBB
metilprednisolon atau ekuivalen) selama kurang dari tujuh hari. Dosis ini berdasarkan konsensus
ahli di China. Russel CD, dkk. justru merekomendasikan untuk menghindari pemberian
kortikosteroid bagi pasien COVID-19 karena bukti yang belum kuat dan penyebab syok pada
COVID-19 adalah sekuens non-vasogenik. Hal ini didukung studi telaah sistematik Stockman,
dkk. yang menyatakan bahwa belum dapat disimpulkan apakah terapi ini memberi manfaat atau
justru membahayakan. Society of Critical Care Medicine merekomendasikan hidrokortison 200
mg/hari boleh dipertimbangkan pada kasus COVID-19 yang kritis (Susilo, 2019).

Vitamin C

Vitamin C diketahui memiliki fungsi fisiologis pleiotropik yang luas. Kadar vitamin C
suboptimal umum ditemukan pada pasien kritis yang berkorelasi dengan gagal organ dan luaran
buruk. Penurunan kadar vitamin C disebabkan oleh sitokin inflamasi yang mendeplesi absorbsi
vitamin C. Kondisi ini diperburuk dengan peningkatan konsumsi vitamin C pada sel somatik.
Oleh karena itu, dipikirkan pemberian dosis tinggi vitamin C untuk mengatasi sekuens dari kadar
yang suboptimal pada pasien kritis. CITRIS-ALI merupakan studi terbaru yang menilai
efektivitas dosis tinggi vitamin C pada sepsis dan gagal napas. Hasil studi menunjukkan tidak
terdapat perbedaan antara grup vitamin C dengan dosis 50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 96 jam
dengan plasebo pada penurunan skor SOFA. Namun, terdapat perbedaan bermakna pada
mortalitas 28-hari, bebas ICU sampai 28 hari dan bebas perawatan rumah sakit sampai 60 hari.
Oleh karena itu, dosis tinggi vitamin C dapat dipertimbangkan pada ARDS walaupun perlu
dilakukan studi pada populasi khusus COVID-19. Saat ini, terdapat satu uji klinis yang melihat
efektivitas vitamin C dosis 12gram terhadap waktu bebas ventilasi pada COVID-19 (Susilo,
2019).

Profilaksis Tromboemboli Vena

Profilaksis menggunakan antikoagulan low molecular-weight heparin (LMWH) subkutan dua


kali sehari lebih dipilih dibandingkan heparin. Bila ada kontraindikasi, WHO menyarankan
profilaksis mekanik, misalnya dengan compression stocking (Susilo, 2019).

antimikroba empiris

Meskipun pasien diduga terjangkit COVID-19, berikan antimikroba empiris yang sesuai dalam
waktu 1 jam sejak identifikasi sepsis (5). Pengobatan antibiotik empiris harus didasarkan pada
diagnosis klinis (pneumonia dapatan masyarakat, pneumonia terkait perawatan kesehatan jika
infeksi terjadi di tempat perawatan kesehatan] atau sepsis), epidemiologi setempat dan data
kerentanan, dan panduan pengobatan nasional untuk sepsis. Jika terjadi penyebaran influenza
musiman lokal, terapi empiris dengan inhibitor neuraminidase perlu dipertimbangkan untuk
merawat pasien influenza atau yang berisiko terkena penyakit parah (WHO, 2020).

Referensi :

Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M., Herikurniawan, H., ...
& Chen, L. K. (2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45-67. From:
http://www.jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/415

Setiadi, A. P., Wibowo, Y. I., Halim, S. V., Brata, C., Presley, B., & Setiawan, E. (2020). Tata
Laksana Terapi Pasien dengan COVID-19: Sebuah Kajian Naratif. Indonesian Journal of
Clinical Pharmacy, 9(1), 70-94. From: http://jurnal.unpad.ac.id/ijcp/article/view/26774

WHO. 2020. Tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat (SARI) suspek penyakit
COVID-19. https://www.who.int/docs/default-
source/searo/indonesia/covid19/tatalaksana-klinis-suspek-penyakit-covid-
1935867f18642845f1a1b8fa0a0081efcb.pdf?sfvrsn=abae3a22_2

Anda mungkin juga menyukai