Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KRISIS TIROID
Disusun Oleh :
Dr. Puji Aulia Zani
Pembimbing :
Dr. Hasnur Rahmi, Sp.PD
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa
dan ditandai oleh demam tinggi, disfungsi sistem kardiovaskular, sistem
saraf, dan sistem saluran cerna.5 Awalnya, timbul hipertiroidisme yang
merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang
beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika
jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih
berat, yaitu tirotoksikosis.1 Krisis tiroid merupakan keadaan dimana terjadi
dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut.6 Tipikalnya terjadi
pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas
terobati, dapat dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.1
B. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter
multinodular toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas
deQuevain, karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor penghasil
TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah
penyakit Graves (goiter difus toksik).7 Meskipun tidak biasa terjadi, krisis
tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini
diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada pasien
hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah
operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien
mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika
dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus
seperti ini dapat menyebabkan kematian.8
3
C. Patofisiologi
Pada keadaan normal, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-
releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior
untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon
inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya,
kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami
deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu
triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang
tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada
thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang tidak terikat
sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini
mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah
yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.1
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang
diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase,
simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang
merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar
tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH
dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon
tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas
imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon
tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3’5’cyclic adenosine
monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang
uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.3
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid
yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid
(dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon
4
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon
ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan
kematian.2 Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin, epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.7
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai
akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat
yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan
mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon
dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama
palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi
radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk
perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip
katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik
langsung dari hormon tiroid sebagai akibat kemiripan strukturnya dengan
katekolamin.2
D. Gambaran klinis
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau
gejala-gejala seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan
kurang dengan berat badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi
suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan rentang
perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien
adalah demam, berkeringat banyak, penurunan nafsu makan dan
kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering diutarakan oleh
pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice. Sedangkan
keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas, perubahan perilaku,
kejang dan koma.2
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur
dapat melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia
hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular
5
yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar
atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi
tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain
aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi
takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda
neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda
piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis
mencakup tanda orbital dan goiter.2
Kecurigaan terjadinya krisis tiroid apabila terdapat triad 1)
Menghebatnya tanda tirotoksikosia 2). Kesadaran menurun, dan 3).
Hipertermia. Apabila terdapat tanda-tanda tersebut maka kita dapat
meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis krisis tiroid dari
Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok: hipertermi, takikardia
dan disfungsi susunan saraf. 18
Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, >45 highly suggestive,
25-44 suggestive of impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil.
6
seperti asidosis laktat dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini dimana keduanya
merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini menunjukkan
bahwa kedua sistem organ ini terlibat dalam krisis tiroid dan penting untuk
mengenali gambaran atipik ini pada kasus-kasus krisis tiroid yang
dihadapi.12
E. Gambaran laboratoris
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya
akan ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat
hanya jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan
mungkin tidak akan didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu
untuk penanganan segera. Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar
T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake resin T3, pen murunan
kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.2
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan
tetapi hal ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan
kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk
SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada
analisis gas darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan
urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor penanganan jangka
pendek.2
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah.
Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan
aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan
kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan
7
dekompensasi multi organ. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti
oleh pengobatan definitif untuk mencegah kekambuhan. Krisis tiroid
merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan
pengawasan terus-menerus.4
1. Penatalaksanaan : Umum 18
Diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan
cairan lain) dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, kalau perlu obat
sedasi, kompres.
8
wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol
selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk
aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.4
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan
tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi
dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU
dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan
perawatan suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak
kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap metimazol dan tidak ada
lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar
menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan,
kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya
mata maupun kulit pasien.4
9
darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada
pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini awal. Preparat
intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per 8-12
jam) telah ditarik dari pasaran.4
4. Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon
tiroid. Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan
mencegah konversi T4 menjadi T3. Dosis yang diberikan adalah
1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan tercapai
atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 20-40mg/6jam secara oral atau
melalui nasogastric tube (NGT). Obat ini menimbulkan perubahan
dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala.
Namun, propranolol menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada
krisis tiroid hanya pada dosis yang besar. Pemberian secara intravena
memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama jantung
pasien.4
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang
berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-
selektif, seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau
riwayat asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat
seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan reserpin berhasil
pada kasus- kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar
propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan
pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.4
10
umumnya terlihat dalam 24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga
seminggu.
G. Komplikasi
Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid
yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun
11
yang mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit
dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan
adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat
meningkat hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang
atipik menunjukkan keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat,
perlu dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini
karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting
pula untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus
krisis tiroid yang atipik.15
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara
lain hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens,
hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal. Komplikasi lain berupa
gangguan visual atau diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema
pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi,
pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal.1
H. Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka
kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-
20% tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%,
tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis
tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat,
prognosis biasanya akan baik.1
I. Kesimpulan
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa
dan ditandai oleh demam tinggi, disfungsi sistem kardiovaskular, sistem
saraf, dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan
krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid
timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat.
12
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus
menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis
dan membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian
keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%.
Namun, dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat,
prognosis biasanya baik.
BAB III
LAPORAN KASUS
13
Identitas Pasien
Nama : Melia Rahmadona
Usia : 26 Th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pulasan
No. RM : 074587
Masuk RS Tanggal : 16 April 2019
Keluhan Utama
Berdebar-debar sejak 3 jam SMRS
14
x 10 mg, propranolol 2 x 10 mg, cetirizine 1 x 10 mg, lansoprazole 1 x 30
mg, sucralfate 3 x cth 2, domperidone 3 x 10 mg.
Sejak saat itu pasien belum ada kembali kontrol.
Pemeriksaan Fisik
15
Gastrointestinal-hepatic dysfunction (Mual dan muntah) : 10
Heart Rate (149x/menit) : 25
CHF :0
AF :0
Precipitating Event : 10
Total : 65
Kesan : highly suggestive
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
GDS : 81 mg/dl
EKG
16
EKG : Irama sinus, regular, HR 149x/i, axis normal, gelombang P normal,
PR interval <0,2 detik, QRS kompleks <0,12 detik, ST-T change (-), LVH
(-), RVH (-).
Diagnosis Kerja
Krisis thyroid
Susp. CAP
Penatalaksanaan
IGD
O2 3l / nasal canula
Rawat HCU
Istirahat, Diet ML
IVFD asering 1000cc/24 jam
Digoxin 1 x 0,25 mg
17
Propanolol 2 x 10 mg
PTU 4 x 100 mg
Clobazam 1 x 10 mg
Dexamethason 3 x 1 amp (iv)
Omeprazole 2 x 40 mg (iv)
Ceftriaxon 2 x 1gr (iv)
Follow Up
18 April 2019
S/ Berdebar debar (+) sesekali.
Sesak nafas (+)
O/ TD : 137/80 mmHg
ND : 120x/menit
NF : 26x/menit
T : 36,7oC
Mata : eksoftalmus +/+
Leher : Pembesaran thyroid (+) diameter ± 4 cm
Thorax
Pulmo : Sn. Bronchovesikuler, rh+/+
Cor : Bj S1-S2 reguler, murmur (-), S3 Gallop
Abdomen :Distensi (-), NTE (+), NL (-) BU(+)
Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk, Edema -/-
A/ Krisis thyroid
Bronkopneumonia
P/ Ro thorax PA : Bronkopneumonia
Istirahat, Diet ML
IVFD asering 1000cc/24 jam
Digoxin 1 x 0,25 mg
Propanolol 2 x 10 mg
18
PTU 4 x 100 mg
Clobazam 1 x 10 mg
Dexamethason 3 x 1 amp (iv)
Omeprazole 2 x 40 mg (iv)
Ceftriaxon 2 x 1gr (iv)
20 April 2019
S/ Berdebar debar (-), demam (-), nyeri dada (-)
Sesak nafas (-) batuk sesekali (+)
O/ TD : 108/61 mmHg
ND : 91x/menit
NF : 22x/menit
T : 36,7oC
Mata : eksoftalmus +/+
Leher : Pembesaran thyroid (+) diameter ± 4 cm
Thorax
Pulmo : Sn. Bronchovesikuler, rh+/+
Cor : Bj S1-S2 reguler, murmur (-), S3 Gallop
Abdomen :Distensi (-), NTE (+) Berkurang, NL (-) BU(+)
Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk, Edema -/-
A/ Krisis thyroid
Bronkopneumonia
P/ Istirahat, Diet ML
EKG Ulang
IVFD asering 1000cc/24 jam
Digoxin 1 x 0,25 mg
Propanolol 2 x 10 mg
Clobazam 1 x 10 mg
19
Omeprazole 2 x 40 mg (iv)
Ceftriaxon 2 x 1gr (iv)
Azitromisin 1 x 500 mg
Digoxin 1 x 0,25 (aff)
Dexamethason 3 x 1 amp (iv) ↓ Dexamethason 2 x 1 amp
22 April 2019
S/ Berdebar debar (-) Demam (-)
Sesak nafas (-) batuk sesekali (+)
O/ TD : 110/63 mmHg
ND : 81x/menit
NF : 22x/menit
20
T : 36,5oC
Mata : eksoftalmus +/+
Leher : Pembesaran thyroid (+) diameter ± 4 cm
Thorax
Pulmo : Sn. Bronchovesikuler, rh-/-
Cor : Bj S1-S2 reguler, murmur (-), S3 Gallop
Abdomen :Distensi (-), NTE (-), NL (-) BU(+)
Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk, Edema -/-
A/ Krisis thyroid
Bronkopneumonia
P/ Pasien Boleh Pulang, Obat pulang :
Azitromisin 1 x 500 mg
Propanolol 1 x 10 mg
PTU 3 x 100 mg
Omeprazol 1 x 20 mg
Cefixime 2 x 200 mg
Clobazam 1 x 10 mg
BAB IV
21
DISKUSI
Pasien juga merasakan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, sesak nafas dipengaruhi oleh aktivitas, tidak dipengaruhi cuaca dan
makanan. Sesak saat berbaring (-), riwayat tidur dengan bantal tinggi (-). Batuk
(+) sejak 3 hari SMRS, batuk berdahak, dahak berwarna putih kental. Pada
keluhan ini pasien juga memilik keluhan sistem pernafasan, berupa
bronkhopneumonia yang di tegakkan dari ekspertise rontgen, yang bisa menjadi
faktor pencetus pada pasien ini.
Terdapat benjolan di leher sejak lebih kurang 6 bulan yang lalu, pasien
sudah dikenal dengan grave disease, pasien terakhir berobat lebih kurang 6 bulan
yang lalu, dan obat terputus. Hal ini juga dapat dimasukkan pada faktor pencetus.
Dari semua keluhan yang ditemukan, didapatkan index Burch-Wartosky adalah
65, yang mana di kategorikan pada higly sugestive thyroid storm.
22
belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat
dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera.2
Pemberian cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida sekitar 1 jam
setalah pemberian PTU atau MMI dapat digunakan untuk menghambat sekresi
hormon tiroid, namun cairan tersebut tidak diberikan karena tidak tersedia pada
rumah sakit. Penatalaksanaan untuk menghambat aksi perifer hormon tiroid
diberikan propranolol 2 x 10mg. Propranolol menghambat reseptor beta-
adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3.
23
mendasari penggunaan digoksin pada pengobatan fibrilasi atrium. 20 pada pasien
ini didapatkan irama detak jantung yang sangat cepat, namun belum ada gambaran
fibrilasi atrium, pemberian digoksin mungkin lebih bertujuan untuk mengontrol
rate agar kemungkinan terjadinya gangguan irama dapat berkurang. Selain itu ,
digoksin juga memiliki efek inotropik positif, yang mana pada akhirnya dapat
mengakibatkan kontraktilitas sel otot jantung yang meningkat. Manfaat ini
berhubungan pada kondisi pasien yang di curigai dengan adanya gejala gagal
jantung atau pada kasus ini adanya thyroid heart disease.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya keluhan nyeri dada atau angina,
kemungkinan adanya kelainan gelombang T pada pasien disebabkan oleh digoksin
pada pasien, sehingga penggunaan digoksin di hentikan. Pasien di rawat di HCU
RSUD Sijunjung selama 7 hari, dalam masa rawatan pasien menunjukan adanya
24
perbaikan klinis, dengan mulai menghilangnya tanda-tanda tirotoksikosis, seperti
jantung berdebar, agitasi, mual muntah, dan demam seperti yang dirasakan pasien
ketika awal masuk.
25
DAFTAR PUSTAKA
at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print.
http://emedicine.medscape.com/article/394932-print.
http://emedicine.medscape.com/article/234233-print.
http://emedicine.medscape.com/article/213213-print.
key=thyroid_crisis.
http://emedicine.medscape.com/article/946738-print.
26
12. Jiang Y, Hutchinson KA, Bartelloni P, Manthous A. Thyroid storm presenting
16. Margaret G, Rosman NP, Hadddow JE. Thyroid strom in an 11-years-old boy
17. Roizen M, Becker CE. Thyroid strom. The Western Journal of Medicine
1971;115:5-9.
18. Sudoyo AW. Buku ajar penyakit dalam jilid II edisi IV. Jakarta Pusat 2007.
20. Lupiyatama S. Gambaran peresepan digoksin pada pasien gagal jantung, yang
21. Kenny BJ, Brown KN. ECG T Wave, NCBI, Kansas city university of
medicine, 2019.
27