OLEH:
KELAS REGULER A
Kata Pengantar
Puji dan syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah FILSAFAT PENDIDIKAN ini tepat
pada waktunya .Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen Dr.Jasper Simanjuntak,M.pd pada mata kuliah Filsafat pendidikan .Selain itu makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Filsafat Pendidikan bagi para pembaca dan juga
bagi penulis .
Kami mengucapkan terimah kasih kepada bapak Dr.Japer Simanjuntak,M.pd ,selaku dosen
mata kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.Kami juga
mengucapankan terima kasih kepada semua pihak yng telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karna itu
kami mohon maaf apabila ada penulisan yang salah dalam makalah ini. Sekian dan terima kasih.
i
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan..............................................................................................................1
Bab II Pembahasan..............................................................................................................2
Daftar Pustaka.....................................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hampir semua orang dikenai pendidikan dan melaksanakan pendidikan. Sebab pendidikan tidak
pernah terpisah dengan kehidupan manusia. Anak-anak menerima pendidikan dari orang
tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka juga akan mendidik
anak-anaknya. Begitu pula di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa dididik
oleh guru dan dosen. Pendidikan adalah khas milik dan alat manusia. Tidak ada mahluk lain
yang membutuhkan pendidikan.
Kegiatan pendidikan merupakan usaha manusia yang disengaja untuk memberikan jawaban
terhadap hidup dan kehidupan, baik secara pribadi maupun kelompok. Kegiatan ini bukan
monopoli dari salah satu kelompok masyarakat, tetapi dilakukan dan merupakan kebutuhan
dari setiap kelompok dan anggota kelompok masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu ada suatu tulisan atau kajian mengenai landasan
pendidikan yang dapat dijadikan rujukan bagi guru, pendidik, praktisi pendidikan, dan pakar
pendidikan agar kegiatan pendidikan lebih berkembang dan maju di masa yang akan dating.
-Landasan Agama
-Filsafat
-Sosiologi
-Hukum, dan
-Landasan Moral
1
BAB II
Pembahasan
Landasan agama pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang
menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Seseorang yang
tidak memahami agama tidak akan mampu mengembangkan pengetahuan yang mereka dapat.
Seperti yang kita ketahui ilmu tanpa agama akan menjadi buta, dan agama tanpa ilmu akan
menjadi lumpuh. Dalam mengembangkan ilmu yang kita dapatkan, maka peranan agama
sangat berpengaruh.Sehingga ajaran agama dan ilmu yang kita dapatkan harus berjalan dengan
seimbang. Selain itu ilmu juga bisa kita dapatkan pada kitab suci, seperti umat Hindu dapat
mempelajari kitab suci Weda untuk mendapatkan ilmu, dan dapat mengembangkannya sesuai
dengan ajaran – ajaran kitab suci tersebut.
Pendididkan adalah suatu usaha disengaja yang dibutuhkan dalam usaha upaya untuk
mengantarkan peserta didik menuju pada tingkat kematangan atau kedewasaan, baik moral
maupun intelektual. Di Indonesia banyak kita lihat penurunan kualitas akhlak atau moralitas
masyarakat Indonesia ; tawuran antar pelajar, pengeroyokan, pencurian, kekerasan dalam
rumah tangga hingga korupsi di kalangan pejabat negara, baik di tingkat eksekutif, yudikatif
maupun legislatif. Di antara penyebabnya ; moral, politik, pendidikan, kesempatan kerja,
pengaruh budaya asing dan penegak hukum.
Agama tidak bisa berhenti pada tahap informatif (pengetahuan) tapi juga harus bersifat
aplikatif. Maka bagi seorang pendidik tidak boleh hanya menyuruh muridnya untuk menghapal
segala yang berkaitan dengan agama tanpa mengaplikasikannya, karna akan sangan
membosankan bagi peserta didiknya. Karna bahaya apabila peserta didik merasa bosan dan
segan pada pelajaran agama. Karna pendidikan agama harus bisa menyadarkan para peserta
didik akan fitrahnya sebagai manusia.
2
Kepentingan pendidikan agama tidak hanya berorientasi pada cita – cita intelektual saja, namun
tidak melupakan nilai – nilai keTuhanan, individual dan sosial dan tingkah laku kesehariannya.
Apalagi apabila pendidikan keagamaan dilaksanakan pada semua jejang dan jenis pendidikan
menjadi suatu kewajiban dan keharusan.
Sebagaimana terdapat dala UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sindiknas pasal 30 ayat 3 : “
pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non-formal dan
informal”. Pasal ini mengimplikasi bahwa pada setiap jenjang pendidikan harus di adakannya
pendidikan keagamaan.
Oleh karena itu, A. Tafsir menjelaskan bahwa pendidikan agama itu tidak akan berasil apabila
hanya diserahkan pada guru agama saja. Karena inti dari pendidikan keagamaan itu, selain dari
hafal juga mencakup keimanan dan ketakwaan, maka pendidikan keagamaan juga merupakan
tugas bersama antara guru, sekolah, orang tua dan masyarakat. Dalam artian, harus adanya
keterpaduan baik keterpaduan tujuan, materi, proses dan lembaga.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan
kebenaran filsafat adalah kebenaran ilmu yang sifatnya relative. Karena kebenaran ilmu hanya
ditinjau dari segi yang biasa diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung
es, kita hanya mampu melihat yang diatas permukaaan laut saja. Sementara itu filsafat
mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada
melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisika, epistimologi, logika, dan etika,
dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut :
3
Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam
ini. Dalam kaitanya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu :
a. Manusia pada hakekatnyanya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa atau roh, yang lain
adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah
untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis,Scholastik, dan bebrapa
Realis.
Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, Ada lima
sumber pengetahuan yaitu :
Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan
memahami filsafat logika di harapkan manusia bisa berpikir dengan mengemukakan
pendapatnya secara tepat dan benar.
Etika ialah filsafat yang menguraikan tentang perilaku manusia mengenai nilai dan norma
masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat
besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku
manusia, anatara lain afeksi peserta didik. (Made Pidarta, 1997: 77-78).
4
2.3. Landasan Hukum Pendidikan
5
Pasal-tersebut mengandung arti bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
sebuah pendidikan,jika tidak berhak menuntut oemerintah dengan undang-undang
tersebut.Namun begitu pula sebaliknya jika warga negara tidak mau melaksanakan kewajiban
pendidikannya maka negara berhak memberi sanksi hukum terhadap warga negara tersebut.
Sedangkan pasal 32 berbunyi,”Pemerintah memajukan kebudayaan nasional indonesia.” Sebab
kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat.Karena kebudayaan
adalah hasil budidaya manusia jadi apabila pendidikan maju kebudayaan pun juga akan maju.
B.Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional
Undang-undang ini paling banyak membicarakan pendidikan jika dibandingkan dengan
peraturan perundang-undangan RI lainya,karena undang-undang ini bisa disebut peraturan
perundang-undangan pendidikan.undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya,jadi
segala sesuatu bertalian dengan pendidikan mulai dari persekolahan sampai perguruan tinggi
ditentukan dalam undang-undang ini.
Namun disini tidak smua pasal akan kami bahas,hanya pasal-pasal penting dan terutama
yang membutuhkan penjelasan mendalam dan menjadi acuan untuk mengembangkan
pendidikan. Pasal-pasalnya antara lain,pasal 1 ayat 2 dan ayat 7. Ayat 2 berbunyisebagai
berikut: pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar kepada kebudayaan bangsa
indonesia dan yang berdasarkan pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berarti
undang-undang ini mengharuskan pendidikan berakar dari kebudayaan bangsa indonesia yang
berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan pancasila.
Tetapi kenyataannya saat ini kita belum mempunyai teori-teori yang khas sesuai
dengan kebudayaan bangsa ini. Teori pendidikan kita masih dalam proses
pengembangan(sanusi,1989). Saat ini kita masih mencontoh teori-teori dari luar negeri
kemudihan diterapkan disini bahkan teori-teori tersebut tidak dilakukan penelitian didalam
negeri terlebih dahulu singga kebanyakan langsung diterapkan begitu saja,sehingga tidak bisa
sesuai dengan karakter budaya bangsa indonesia.
6
Dengan demikian teori-teori kita belum sesuai dengan harapan yang tercantum didalam
undang-undang pendidikan kita. Oleh sebab itu kondisi seperti ini menjadi pekerjaan rumah
yang harus segera diselesaikan oleh kita,terutama tantangan terhadap para ahli untuk
menemukan teori yang sesuai dengan bangsa ini. Memang tidak mudah dan tidak singkat
namun jika ditekuni dengan terus diteliti secara sabar suatu saat pasti akan tertemukan teori-
teori yang sesuai dengan bangsa ini.
Kemudian,Pasal 1 ayat 7 berbunyi:Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat
yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan. Menurut ayat ini yang berhak
menjadi tenaga pendidikan ialah setiap anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya menjadi
tenaga kependidikan. Sedangkan yang dimaksut didalam tenaga kependidikan tertera dalam
Pasal 27 ayat 2 yang isinya adalah tenaga kependidikan mencakup tenaga
pendidik,pengelola/kepala lembaga pendidikan,penilik/pengawas,peneliti,dan pengembang
pendidikan,pustakawan,laboran,dan teknisi sumber pendidikan.
Dari macam-macam tenaga pendidikan tersebut yang sudah jelas kedudukan dan
wewenangnya baik karena keahlian atau surat yang diterimanya yaitu penilik,pengawas,peneliti
dan pengembang pendidikan,pustakawan,laboran,dan teknisi sumber belajar. Sedangkan tega
pendidik dan tenaga pengelola sudah jelas surat pengangkatannya namun sebagian lagi juga
ada yang belum jelas karena kebanyakan mereka pendidik atau pengelola diluar jalur
pendidikan sekolah,baik pendidikan keluarga maupun pendidikan masyarakat. Namun secara
hukum mereka termasuk mengabdikan diri terhadap dunia pendidikan. Yang paling penting
adalah mengabdikakn diri untuk sebuah kemajuan pendidikan adalah perbuatan yang sangat
mulia.
7
4. Landasan Sosiologi
Individu adalah manusia perseorangan sebagai satu kesatuan yang tak dapat dibagi, unik, dan
sebagai subjek otonom. Masyarakat di definisikan Ralph Linton sebagai “setiap kelompok
manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri
mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas”;
sedangkan Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang yang hidup
bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan
sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Dalam masyarakat terdapat struktur sosial dan dalam struktur sosial tersebut setiap individu
menduduki status dan peranan tertentu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan atau untuk
mencapai tujuannya, setiap indivdu maupun kelompok melakukan interaksi sosial, adapun
dalam interaksi sosialnya mereka melakukan tindakan sosial.
Tindakan sosial yang dilakukan individu hendaknya sesuai dengan status dan perananya yang
mengacu pada sistem nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat, atau secara umum
harus sesuai dengan kebudayaan masyarakatnya. Masyarakat menuntut demikian agar terjadi
conformity. Jika tidak demikian halnya, idividu akan dipandang melakukan penyimpangan
tingkah laku terhadap nilai dan norma masyarakat (deviant behavior). Terhadap individu
demikian masyarakat akan melakukan social controll.
Manusia hakikatnya adalah makhluk bermasyarakat dan berbudaya, dan masyarakat menuntut
setiap individu mampu hidup demikian. Namun karena manusia tidak secara otomatis mampu
hidup bermasyarakat dan berbudaya, maka masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisi
(socialization) dan atau enkulturasi (enculturation). Dengan demikian diharapkan setiap
individu mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga tidak terjadi penyimpangan
tingkah laku terhadap sistem nilai dan norma masyarakat.
8
Individu maupun masyarakat sebagai suatu kesatuan individu-indi vidu mempunyai berbagai
kebutuhan untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut masyarakat membangun atau
mempunyai pranata sosial. Salah satu diantaranya adalah pranata pendidikan. Pendidikan
merupakan pranata sosial yang berfungsi melaksanakan sosialisasi atau enkulturasi. Terdapat
hubungan antara pendidikan dengan masyarakat dan kebudayaannya. Kebudayaan
menentukan arah, isi dan proses pendidikan (sosialisasi atau enkulturasi). Sedangkan
pendidikan memilki fungsi konservasi dan atau fungsi kreasi (perubahan, inovasi) bagi
masyarakat dan kebudayaannya.
Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang
bertolak pada interaksi antar individu sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu (pendidik dan
peserta didik) bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi muda mengembangkan diri.
Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, kegiatan
pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pendidikan keluarga sangat penting, karena keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama
bagi setiap manusia. Proses sosialisasi dimulai dari keluarga dimana anak mulai
mengembangkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan sikap yang dapat
mempengaruhi perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya dan
ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga.
Kehidupan masyarakat dipastikan satu kesatuan dengan budaya. Budaya adalah cara berpikir
dan berperilaku, merupakan tradisi suatu kelompok, ide-ide, kebiasaan, nilai-nilai, dan
kebiasaan yang digunakan sebagai aturan bersama.
Sosialisasi mempersiapkan anak-anak untuk berfungsi sebagai induvidu yang menstransmisikan
budaya yang dengan demikian memungkinkan masyarakat untuk berfungsi secara baik.
9
Keluarga penting bagi pertumbuhan sosial anak-anak, tetapi dalam era modern, lembaga
formal juga membantu dalam menentukan anak-anak dalam belajar sosial dan kesiapan untuk
terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah merupakan lembaga utama yang berfungsi
untuk menjaga dan melestarikan budaya. Perantara sosial yang berperan adalah keluarga,
teman sebaya, sekolah, media massa seperti televisi.
a. Keluarga
Keluarga merupakan perantara sosial paling awal dalam bermasyarakat. Secara tidak langsung,
keluarga lah awal dari transfer nilai-nilai budaya kepada anak-anak. Keluarga adalah tempat
seutuhnya untuk anak-anak, kedua orang tua mengajarkan hal-hal yang penting bagi
kelangsungan hidupnya, mendorong dan mencegah serta menanamkan sikap kedisiplinan, juga
memberi orientasi anak terhadap dunia. Banyak anak sukses dalam lingkungan bermasyarakat
dikarenakan keharmonisannya terjaga. Akan tetapi, keharmonisan keluarga yang tidak
terbentuk dengan baik, ada kalanya juga mempengaruhi ketidak mampuan anak-anak untuk
terjun dalam kegiatan bermasyarakat.
b. Teman Sebaya
Sedangkan hubungan keluarga mungkin merupakan pengalaman pertama seorang anak hidup
kelompok, interaksi peer-group segera mulai membuat efek kuat mereka bersosialisasi.
Kelompok sebaya memberi banyak pengalaman belajar dan cara berinteraksi dengan orang
lain, bagaimana dapat diterima oleh orang lain, dan bagaimana untuk mencapai status dalam
lingkup teman. Orang tua atau guru kadang-kadang dapat memaksa anak-anak untuk
mematuhi aturan mereka, tapi rekan-rekan tidak memiliki kewenangan formal untuk
melakukan hal ini; sehingga anak-anak bisa belajar yang berarti pertukaran, kerjasama, dan
ekuitas lebih mudah dalam pengaturan rekan.
c. Budaya sekolah
Pendidikan di sekolah, dibandingkan dengan pengalaman belajar di keluarga atau rekan-
kelompok, terjadi dengan cara-cara yang relatif formal.
10
d. Televisi dan Digital Media
Beberapa ilmuwan sosial menyebut televisi sebagai "kurikulum pertama" karena muncul untuk
mempengaruhi anak-anak dalam hal mengembangkan keterampilan belajar dan menyesuaikan
diri terhadap mengakuisisi pengetahuan dan pemahaman. Meskipun penelitian menunjukkan
hubungan antara prestasi sekolah dan menonton televisi, sifat hubungan ini tidak sepenuhnya
jelas. Beberapa studi menunjukkan bahwa menonton televisi dapat mengurangi kegiatan
membaca siswa. Terlepas dari efek yang mungkin negatif terhadap prestasi sekolah, televisi dan
media lain, seperti film, video game, dan industri musik, sangat berpengaruh sosialisasi anak
dan remaja. Media baik merangsang dan mencerminkan mendasar perubahan sikap dan
perilaku yang berlaku dalam masyarakat kita
11
5.Landasan Moral
Pengertian Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya
mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis,
terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada
perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa
moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994:
31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak,
tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan
tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya. Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986: 22)
merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip rumusan formalnya sebagai berikut :
1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu
yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama
tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia
terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam lingkungannya.
Agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas perlu diberikan ulasan bahwa substansi materiil
dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan tetapi bentuk
formal ketiga batasan tersebut berbeda. Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu
seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang tingkah laku. Sedangkan batasan
ketiga adalah tingkah laku itu sendiri Pada batasan pertama dan kedua, moral belum berwujud
tingkah laku, tapi masih merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan pertama, moral
dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral. Pada batasan kedua, moral dapat dipahami sebagai
nilai-nilai moral atau norma-norma moral. Sedangkan pada batasan ketiga, moral dapat
dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian semua batasan
tersebut tidak salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih
12
sebagai seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kongkrit dari itu ,
moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang
didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa
Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu Bertens (1993: 6) mengartikan etika sejalan
dengan arti dalam kamus tersebut. Pertama, etika diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Dengan kata lain, etika di sini diartikan sebagai sistem nilai yang dianut oleh
sekelompok masyarakat dan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Sebagai contoh, Etika
Hindu, Etika Protestan, Etika Masyarakat Badui dan sebagaimya. Kedua, etika diartikan sebagai
kumpulan asas atau nilai moral, atau biasa disebut kode etik. Sebagai contoh Etika Kedokteran,
Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Guru dan sebagainya. Ketiga, etika diartikan sebagai ilmu
tentang tingkah laku yang baik dan buruk. Etika merupakan ilmu apabila asas-asas atau nilai-
nilai etis yang berlaku begitu saja dalam masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian secara
sistematis dan metodis.
Sementara itu menurut Magnis Suseno, etika harus dibedakan dengan ajaran moral. Moral
dipandang sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan,
entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup
dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah orang-
orang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan
agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Paku Buwana
IV. Sumber dasar ajaran-ajaran adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau
ideologi- ideologi tertentu. Sedangkan etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral,
melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran- ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika adalah
ajaran-ajaran moral tidakberada pada tingkat yang sama. Yang mengatakan, bagimana kita
harus hidup bukan etika, melainkan ajaran moral. (Magnis Suseno, 1987; 14).
13
Pendapat Magnis bahwa etika merupakan ilmu tidak berbeda dengan Bertens, sebagaimana
terminologinya yang ketiga tersebut, di samping pada bagian lain juga menyatakan bahwa etika
adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 1993:
4). Namun menurut Bertens, pengertian etika selain sebagai ilmu, juga mencakup moral, baik
arti nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik. Adapun pendapat Magnis yang
menyatakan etika sebagai filsafat juga sesuai dengan pandangan umum yang menempatkan
etika sebagi salah satu dari enam cabang filsafat, yakni metafisika, epistemologi, metodologi,
logika, rtika, dan estetika. Bahkan. oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 s.M.), etika
sudah digunakan dalam pengertian filsafat moral.
Etika sebagai ilmu biasa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif, etika normatif,
dan meta etika. Etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat
kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan yang diwajibkan, diperbolehkan, atau
dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan budaya, atau periode sejarah. Sebagai contoh,
pengenalan terhadap adat kawin lari di kalangan masyarakat Bali, yang disebut mrangkat atau
ngrorod (Koetjaraningrat, 1980: 288). Di sini, etika deskriptif tugasnya sebatas menggambarkan
atau memperkenalkan dan sama sekali tidak memberikan penilaian moral. Pada masa sekarang
obyek kajian etika deskpiptif lebih banyak dibicarakan oleh antropologi budaya, sejarah, atau
sosiologi. Karena sifatnya yang empiris, maka etika deskriptif lebih tepat dimasukkan ke dalam
bahasan ilmu pengetahuan dan bukan filsafat.
14
Adapun meta etika tidak membahas persoalan moral dalam arti baik atau buruk-nya suatu
tingkah laku, melainkan membahas bahasa-bahasa moral. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan
dianggap baik, maka pertanyaannya adalah : apakah arti “baik” dalam perbuatan itu, apa
ukuran-ukuran atau syarat-syaratnya untuk disebut baik, dan sebagainya. Pertanyaan-
pertanyaan semacam itu dapat juga dikemukakan secara kritis dan mendalam tentang makna
dan ukuran adil, beradab, manusiawi, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, keadilan,
kesejahteraan dan sebagainya. Metaetika seolah-olah bergerak pada taraf yang lebih tinggi dari
pada perilaku etis, dengan begerak pada taraf bahasa etis (meta artinya melebihi atau
melampui).
15
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Landasan agama pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang
menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
Landasan sosiologi Individu adalah manusia perseorangan sebagai satu kesatuan yang tak dapat
dibagi, unik, dan sebagai subjek otonom. Masyarakat di definisikan Ralph Linton sebagai “setiap
kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat
mengatur diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
dengan jelas”; sedangkan Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang
yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya
mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis,
terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada
perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda.
3.2 Saran
Melalui makalah ini pembaca diharapkan lebih memahami landasan pendidikan itu sendiri dan
semoga pembaca dapat mengapresiasikan materi hakikat manusia dalam kehidupan sehari-
hari.
16
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/17856293/makalah_landasan_pendidikan
https://rahmawatiindahlestari.wordpress.com/semester-1/lkpp/landasan-hukum-pendidikan/
http://landasanpendidikandasar.blogspot.com/2013/04/landasan-landasan-dasar.html?m=1
17