Salah satu yang mempengaruhi berkembangnya filsafat pada perdaban kaum muslim adalah gelombang helenisme yang menghampiri bangsa Arab. Proses helenisme ini berkembang ketika dinasti Abbasiyah berlangsung. Peran helenisme dipengaruhi pula oleh orang-orang Persia yang kala itu dinasti Abbasiyah memiliki pertumbuhan pengaruh dari Persia, yang pemerintahannya dibawahi oleh orang-orang Sasan yang disebut sebagai kaum sekertaris (pegawai negeri). Orang-orang ini merupakan pembawa budaya Persia atau lebih tepatnya persia di Irak. Beberapa dari mereka adalah orang Kristen, namun kemungkinan besar Zoroaster, karena Zoroastrianisme yang secara resmi diakui. Salah satu sekertaris yang menonjol yaitu Ibn Al-Muqaffa, yang merupakan salah satu pencipta prosa Arab yang banyak menerjemahkan bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Bukunya yang paling terkenal adalah Kalila dan Dimna, dia menyatakan ketidaksukaannya terhadap tradisi Islam dan Arab yang dominan dengan mengadopsi sudut pandang dari Manichean (Maniisme), dan di antara karya-karyanya ada yang menyerang Al-Qur'an. Pada masa ini juga terdapat perebutan kekuasaan antara kaum sekertaris dan kaum ulama, banyak dari kaum ulama mendukung Abbasiyah daripada Umayyah. Perselisihan mereka juga dihubungkan pada perselisihan tradisi arab dan Persia juga terhadap shi’ism (syiah) dan sunnism (sunni). Perbedaan dari shi’ism dan sunnism adalah shi’ism lebih mencari sebuah sosok pemimpin yang disebut imam, sedangkan sunni mempercayai bahwa pembebasan hanya berasal dari mengikuti aturan suci seperti Al-Qur’an dan Hadits. Al-Ma’mun mencoba menyelesaikan konflik tersebut dengan meminta bahwa orang dengan posisi yang penting harus menyatakan doktrin kepercayaannya bahwa Al-Qu’an adalah kata dari Tuhan secara publik. Pandangan Al-Ma’mun hampir sama dengan pandangan Zaidiyah, salah satu dari doktrin mereka adalah bahwa imam haruslah merupakan salah satu keluarga dari sang nabi dan membuatnya klaimnya dengan sebuah pedang. Meskipun Al-Ma’mun bukanlah salah satu dari keluarga sang nabi, tetapi ia telah mengklaimkan dirinya dengan pedang. Selain menjadi khalifah yang pertama kali menggunakan term imam yang disukai oleh para syiah, ia juga beranggapan bahwa imam haruslah orang yang paling handal di dalam komunitasnya, dan poin dari ajaran zaydiyah yang lain adalah bahwa Ali menjadi penerus sang nabi karena dia yang paling handal dan bukan karena keturunan darah. Terlepas dari perdebatan antara syiah dan sunni, islam berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga banyak dari kaum muslim yang meragukan gagasan mengenai tradisi intelektual peradaban lain, terutama Yahudi dan Kristen. Kendati demikian tetap terdapat kaum muslim yang mempelajari mengenai hal-hal selain menegenai agamanya.sehingga pengaruh pemikiran yunani di masa tersebut dapat diterima walaupun banyak pula mengalami tentangan. Sistem edukasi helenistik telah diberlakukan di Irak dibawah pemerintahan Sasania dan kemudian dilanjutkan oleh kaum muslim, , subjek utama yang diajarkan mengenai ilmu kedokteran dan beberapa filsafat ditambah dengan sains bergaya Yunani. ). Pengajar biasanya adalah seorang Kristen, dan universitas yang paling terkenal berada di Gunde-Shapur. Sistem pendidikan Helenistik demikian lengkap dan tersebar di sejumlah lembaga, bahkan sebelum masa kekhalifaan Abbasiyah penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani telah lama dilakukan. Kemudian pada masa yang sama, Khalifah Al-Ma’mun meminta untuk membangun sebuah institusi dengan nama “Rumah Kebijaksanaan” (Bayt Al-Hikma), dimana buku akan di terjemahkan dan disalin, lalu perpustakaan digunakan sebagai referensi. Salah satu penerjemah yang tersohor adalah Hunayn bin is’haq, seorang Kristen dari Al-Hira yang menjadi guru dalam ilmu kedokteran di Baghdad. Tidak seperti penerjemah terdahulu yang menerjemahkannya dari bahasa Suryani, Hunayn telah belajar bahasa Yunani dan memiliki kebiasaan untuk membuat manuskrip sebelum menerjemahkan. Semua hasil terjemahan ini terjadi karena dalam beberapa poin masih dapat terhubung dengan tradisi yang masih hidup. Fakta mengenai penaklukan Syria telah menggantikan Bahasa Yunani menyarankan bahwa itu tidak berada dalam kondisi yang baik, apapun alasannya hal tersebut berhubungan dengan kelemahan kehidupan intelektual islam yang berada di Mesir, yang sekitar tahun 718 universitasnya dipindahkan ke Antiokhia. Di Antiokhia bertahan selama lebih dari satu abad, tetapi sekitar 850 bermigrasi ke arah timur ke Harrån, di sepanjang jalan menuju Mosul, dan kemudian sekitar setengah abad kemudian tertarik ke kota metropolis, Baghdad. Migrasi ini lebih ditekankan kepada para guru dan beberapa isi dari perpustakaan. Di Baghdad mereka mengambil baian penuh pengetahuan di ibukota atau paling tidak dapat bersimpati pada filsafat Selain perguruan tinggi Aleksandria di Harrån, yang berada di bawah arahan Kristen, ada pusat penyembahan berhala milik sekte yang dikenal sebagai Şabi'ans, agama mereka berisi tentang penyembahan terhadap bintang, tetapi memiliki dasar dalam filsafat Yunani, dan sebagai konsekuensinya mereka memberikan kontribusi penting bagi pengompilasian tradisi intelektual Helenistik. Di tahun 872 salah satu ulama terkemuka mereka, Thabit bin Qurra, yang telah belajar di Baghdad, berselisih dengan sektenya dan meninggalkan Harran ke kota. Di kota dengan bantuan dari beberapa khalifah ia mengabdi untuk menerjemahkan dan membuat karyanya sendiri, terkhususkan dalam bidang kedokteran dan matematika. Bagaimana tepatnya transisi dibuat dari terjemahan ke komposisi karya asli tidak sepenuhnya jelas. Kemuudian transisi ini dijelaskan oleh Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq Al-Kindi (Al- Kindi), dia adalah filsuf islam pertama dan satu-satunya yang keturunan arab. Al-Kindi tampaknya telah berbagi pandangan mereka tentang pertanyaan dogmatis, dalam hal ini ia jauh lebih dekat dengan tubuh utama pemikiran teologis Islam daripada kebanyakan filsuf lainnya, ia menghabiskan waktunya untuk belajar, dan juga ahli dalam berbagai Sains Yunani. Filsafat yang banyak ia adopsi adalah Neoplatonisme, seperti filsuf islam yang lain. Meskipun mempelajari Aristoteles secara seksama, ia tetap melihat melalui sudut pandang neoplatonis. Cendekiawan yang lain pada masa awal Abbasiyah adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakariyya ar-Razzi (Rhazes), Dia terkenal sebagai seorang dokter, dan karya medisnya banyak dibaca dan dihargai oleh Eropa. Daya tarik dari sains dan filsafat Yunani terhadap para muslim terjadi karena minat praktisnya, para khalifah memperdulikan kesehatannya dan orang-orang disekitarnya percaya bahwa sains Yunani dapat membantu mereka. Pemikiran rasional, kefilsafatan atau spekulatif teolog yang dikenal dengan nama kalam, telah ada sebelum akhir abad ke delapan. Salah satu mutakallimun yang menonjol adalah Dirar ibn-‘Amr, yang pada masa kekuasaan Harun ar-Rashid. Dia telah berkunjung di Baghdad, tapi banyak menghabiskan waktu hidupnya di Basra, yang mana ia menjadi pemimpin diskusi Kalam disana. Cendekiawan lain yang sezaman dengan Dirar dan juga berpartisipasi dengan dialog teologinya adalah Hisham ibn-al-Hakam. Sudut pandangnya hampir sama dengan Dirar, tetapi sudut pandang politiknya berbeda. Setelah periode Dirar dan Hisham, perkembangan Kalam dipegang oleh sekte Mu’tazilah, tapi beberapa orang Muktazilah belajar dengan dua orang tersebut dan terinspirasi oleh mereka.