Anda di halaman 1dari 20

TUGAS HUKUM PERBANKAN

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI JAMINAN


FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARIAH

OLEH :

MUHAMMAD ZULFADLY S
(1703170)
JEFRIADY
(1703064)
JAMALUDDIN
(1703098)

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM AMSIR

2020/2021

1
DAFTAR ISI

BAB I (PENDAHULUAN).

1.1 LATAR BELAKANG


1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN PENULISAN.

BAB II (KAJIAN PUSTAKA)

2.1 PENGERTIAN JAMINAN FIDUSIA


2.2 DASAR HUKUM JAMINAN FIDUSIA
2.3 UNSUR UNSUR JAMINAN FIDUSIA
2.4 PROSEDUR EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DI PENGADILAN
AGAMA / MAHKAMAH SYARIAH

BAB III ( PEMBAHASAN)

3.1 PRINSIP DAN PENYELESAIAN HUKUM ATAS EKSEKUSI


JAMINAN DALAM PERBANKAN SYARIAH
3.2 HAL HAL YANG HARUS DIPERHATIKA DALAM EKSEKUSI
JAMINAN SYARIAH

BAB IV ( PENDAPAT)
BAB V ( PENUTUP)
5.1 KESIMPULAN
DAFTAR ISI

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Jaminan fidusia merupakan produk konvensional yang diterapkan


untuk memberikan perlindungan bagi kreditur khususnya. Ketika debitur
melakukan wanprestasi, kreditur dapat meminta ganti rugi kepada debitur
melalui eksekusi atas jaminan fidusia. Dengan pendaftaran fidusia,
eksekusi barang jaminan dapat dilakukan segera tanpa menunggu putusan
pengadilan. Kondisi semacam ini memberikan kemudahan bagi lembaga
keuangan untuk menarik ganti rugi dari pembiayaan yang diberikan kepada
nasabah. Model jaminan bersumber dari konvensional tersebut tidak serta
merta dapat diterapkan di lembaga keuangan syariah.
Penelitian yang dilakukan Rusni Hassan (dkk.) membuktikan
kendala penerapan sistem keuangan syariah dalam sistem keuangan
modern.1 Indonesia menggunakan sistem hukum Barat (warisan Belanda),
sedangkan ekonomi syariah mengguanakan sistem hukum Islam. Begitu
juga dengan Malaysia, menggunakan dual banking system dan dual law
system, hukum Islam dan Common Law Inggris. Bank-bank yang berdiri
saat ini umumnya berangkat dari sistem konvensional dengan model
hukum konvensional pula, sehingga bank syariah pun banyak menerapkan
sistem konvensional sehingga ditemukan inkonsistensi.
Mestinya hukum Islam diterapkan secara utuh dalam lembaga
keuangan syariah, mulai dari prinsipnya hingga penyelesaian sengketanya.
Problem yang dihadapi LKS meliputi legislasi, jurisdiksi, pengaturan
syariah, dokumentasi, dan money laundry. Aspek legislasi terjadi karena
ada perbedaan prinsip dan mekanisme dalam hukum Islam dan
konvensional.
Dari aspek jurisdiksi, di antaranya dalam hal penyelesaian sengketa
bank syariah diselesaikan dengan opsi di pengadilan umum atau
pengadilan agama. Kompetensi hakim bidang ekonomi syariah masih
diragukan. Lembaga keuangan syariah mestinya menjalankan usaha

3
dengan model syariah (Sharia governance) bukan pada konvensional.
Dokumentasi LKS mengalami kendala karena harus memenuhi hukum
perikatan umum dan kontrak syariah. Hal ini menuntut kemampuan lebih
dari drafternya.

Pada tanggal 30 September 1999, diundangkan UU Nomor 42


tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Melalui UU tersebut, ketika terjadi
wanprestasi dari salah satu pihak yang melakukan perjanjian dalam akad
jaminan fidusia sudah ada hukum yang mengaturnya. Penegasan kontruksi
dalam UU Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bahwa benda
yang menjadi jaminan fidusia tetap berada dalam penguasaan debitur tidak
terlambat untuk usahanya dan mempergunakan benda jaminan. Melalui
pengaturan jaminan fidusia secara komprehensif dalam undang-undang,
jaminan fidusia mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur
penerima fidusia, menjamin utang baik yang telah ada maupun yang masih
ada. Jaminan fidusia tidak dapat dilakukan pembebanan ulang dan
mengikuti obyeknya di tangan siapapun.
Jaminan yang dimaksud yaitu jaminan kebendaan berupa barang
bergerak maupun yang tidak bergerak, diikat dengan jaminan fidusia sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia yang selanjutnya akan disebut dengan UUJF. Suatu jaminan fidusia
agar dapat memberikan hak istimewa atau hak preferensi bagi
pemegangnya, maka jaminan fidusia tersebut harus dibuat dalam bentuk
Akta jaminan fidusia di hadapan Notaris dan didaftarkan pada kantor
Pendaftara jaminan fidusia. Apabila debitur

wanprestasi maka kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai


hak untuk melakukan eksekusi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya
dalam rangka pelunasan hutang debitur.
Di dalam pasal 29 mengenai eksekusi diatur oleh UUJF. Penyebab
terjadinya eksekusi jaminan fidusia adalah karena debitur atau pemberi
fidusia wanprestasi atau sudah tidak membayar utang melebihi batas waktu
yang telah detentukan oleh kedua belah pihak.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perbahasan dalam


makalah ini berjudul “Tinjauan Hukum Eksekusi Gadai dalam penyelesaian
sengketa Ekonomi syariah”, maka kami peroleh permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana prinsip dan penyelesaian Hukum atas Eksekusi
Jaminan dalam perbankan syariah ?
2. Hal – hal apa saja yang harus diperhatikan dalam eksekusi
jaminan fedusia ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mendeskripsikan prinsip dan penyelesaian Hukum atas


Eksekusi Jaminan dalam perbankan syariah.
2 Untuk mendeskripsikan Hal – hal apa saja yang harus diperhatikan
dalam eksekusi jaminan fedusia di Bank Syariah.

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN JAMINAN FIDUSIA

Jaminan fidusia merupakan jaminan kepercayaan yang berasal dari

adanya suatu hubungan perasaan antara manusia yang satu dengan

manusia lainnya yang mana mereka merasa aman, sehingga tumbuh rasa

percaya terhadap teman interaksinya tersebut, untuk selanjutnya

memberikan harta benda mereka sebagai jaminan kepada tempat mereka

berhutang. Fidusia jaman romawi disebut juga Fiducia Cum Creditore,

artinya adalah penyerahan sebagai jaminan saja bukan peralihan

kepemilikan.

Fidusia tidak ada diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, dan lahir dari pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang

diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi

para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi

yang membuatnya. Artinya setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian

apa saja baik yang sudah diatur dalam undang- undang maupun belum

diatur dalam undang-undang, sehingga banyak muncul perjanjian-

perjanjian dalam bentuk baru yang menggambarkan maksud dan kehendak

masyarakat yang selalu dinamis.2

Latar belakang lahirnya lembaga fidusia adalah karena adanya

kebutuhan dalam praktek. Kebutuhan tersebut didasarkan atas fakta-fakta

6
bahwa menurut sistem hukum kita jika yang menjadi objek jaminan utang

adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai

dimana objek jaminan tersebut harus diserahkan kepada pihak yang

menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan

utang adalah benda tak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah

berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan) yang mana objek

jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan

debitur.

Akan tetapi, terdapat kasus-kasus dimana barang objek jaminan

utang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan

menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara

pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan bahkan kerepotan jika barang

tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu, dibutuhkanlah adanya suatu

bentuk jaminan utang yang objeknya masih tergolong benda bergerak

tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak

kreditur.

Akhirnya munculah bentuk jaminan baru dimana objeknya benda

bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur

kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia.

Untuk mengatasi kebutuhan akan pinjaman modal untuk usaha

serta jaminan kepastian dan perlindungan bagi lembaga keuangan,

perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta ilmu pengetahuan

menyebabkan fidusia berkembang menjadi hukum kebiasaan yang hidup

ditengah masyarakat. Jaminan fidusia berbeda dengan fidusia sebelum

lahirnya Undang- Undang Jaminan Fidusia karena jaminan fidusia harus

7
dibuat dalam bentuk akta notaril dan diberikan hak baru yaitu berupa title

eksekutorial, dimana dengan parate eksekusi yang dapat dijalankan

dengan serta merta oleh kreditur tanpa melalui putusan pengadilan yang

bersifat tetap tanpa melalui juru sita pengadilan.

Untuk itu agar jaminan fidusia dapat berlaku dan mempunyai

kekuatan hukum yang tetap maka akta jaminan fidusia harus didaftarkan

serta diterbitkan sertifikat jaminan fidusia yang didalamnya ada irah-irah

“Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga

jaminan fidusia tersebut dapat dijalankan dengan serta merta dengan

parate eksekusi.

2.2 DASAR HUKUM JAMINAN FIDUSIA

Bila dilihat dari aspek sejarah dan perkembangan fidusia di

Indonesia, termasuk dengan menelaah peraturan perundang-undangan

serta perkembangan yurisprudensi yang ada, dapat disarikan beberapa

dasar hukum tentang keberlakuan fidusia, antara lain :

1. Arrest Hoge Raad 1929, tanggal 25 Januari 1992 tentang Bierbrouwerij

Arrest.

2. Arrest Hoggerechthof tanggal 18 Agustus 1932 tentang BPM-Clynet

Arrest (Indonesia).

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

(UUJF).

8
Sebelum lahirnya UUJF, peraturan perundang-undangan yang

dijadikan sebagai landasan hukum jaminan fidusia antara lain :

1. Undang-undang yang berkaitan dengan jaminan fidusia adalah pasal

15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Pemukiman, yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di

atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan jaminan

fidusia.

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat

dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia, jika tanahnya tanah

hak pakai atas tanah negara.

Sebagaimana dilihat dari maksud pembuat undang-undang,

lahirnya UUJF bertujuan untuk :

1. Mengakomodasi dan menampung kebutuhan masyarakat mengenai

pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk

membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum

kepada para pihak yang berkepentingan.

2. Memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya,

khususnya bagi pemberi fidusia.

9
2.3 UNSUR – UNSUR JAMINAN FIDUSIA

Untuk memahami fidusia secara jelas dapat diketahui dari unsur-

unsurnya. Dalam fidusia terdapat unsur-unsur yang terdiri dari hal-hal

sebagai berikut:

a. Unsur secara kepercayaan dari sudut pemberi fidusia. Yang dimaksud

dengan kepercayaan yang diberikan dari sudut pemberi fidusia dalam

praktik selama ini, yaitu :

1. Debitur pemberi jaminan percaya, bahwa benda fidusia yang

diserahkan olehnya tidak akan benar-benar dimiliki oleh kreditur

penerima jaminan tetapi hanya sebagai jaminan saja.

2. Debitur pemberi jaminan percaya bahwa kreditur terhadap benda

jaminan hanya akan menggunakan kewenangan yang diperolehnya

sekadar untuk melindungi kepentingan sebagai kreditur saja.

3. Debitur pemberi jaminan percaya bahwa hak milik atas benda

jaminan akan kembali kepada debitur pemberi jaminan kalau utang

debitur untuk mana diberikan jaminan fidusia dilunasi.

b. Unsur kepercayaan dari sudut penerima fidusia, berarti bahwa

penerima fidusia percaya bahwa barang yang menjadi jaminan akan

dipelihara/dirawat oleh pemberi fidusia.

c. Unsur tetap dalam penguasaan pemilik benda.

10
2.4 PROSEDUR EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DI PENGADILAN AGAMA /

MAHKAMAH SYARIAH

1. Pengajuan permohonan eksekusi jaminan fidusia. Langkan pertama

adalah pemohon mengajukan permohonan eksekusi jaminan fidusia

kepada ketua pengadilan agama/mahkamah syar'iyah dengan

melampirkan kelengkapan sebagai berikut :

a. Salinan atau fotokopi perjanjian pokok.

b. Salinan sertifikat jaminan fidusia/akta jaminan fidusia. Perincian

utang atau kewajiban debitur yang harus dipenuhi.

c. Surat Peringatan (Somasi)

d. Surat pernyataan bahwa dari penjual barang yang akan dilelang

dalam penguasaan penjual.

e. Surat pernyataan dari kreditur akan bertanggung jawab apabila

terjadi gugatan.

f. Asli buku kepemilikan

g. Salinan surat pemberitahuan rencana pelaksanaan lelang kepada

debitur oleh kreditur paling lama 1 (satu) hari sebelum lelang

dilaksanakan.

h. Surat kuasa yang masih berlaku, jika pemohon eksekusi meng-

gunakan kuasa hukum.

11
2. Aanmaning

1. Ketua pengadilan agama menerbitkan penetapan untuk aanmaning,

yang berisi perintah kepada juru sita/juru sita pengganti supaya

memanggil termohon eksekusi hadir pada sidang aanmaning.

2. Juru sita/juru sita pengganti memanggil termohon eksekusi.

3. Ketua pengadilan agama/mahkamah syar'iyah melaksanakan

4. aanmaning dengan sidang insidentil yang dihadiri oleh ketua,

panitera dan termohon eksekusi (pihak yang kalah). Dalam sidang

aanmaning tersebut :

a. seyogianya pemohon eksekusi dipanggil untuk hadir.

b. Ketua pengadilan agama menyampaikan peringatan supaya

dalam tempo 8 hari dari hari setelah peringatan termohon

eksekusi melaksanakan isi putusan secara sukarela.

3. Sita Eksekusi

a. Jika setelah aanmaning termohon eksekusi debitur tidak

melaksanakan kewajibannya secara sukarela, ketua pengadilan

agama menerbitkan penetapan sita eksekusi.

b. Panitera/juru sita melaksanakan sita eksekusi, jika obyek eksekusi

belum diletakkan sita. Akan tetapi jika telah diletakkan sita jaminan,

maka sita eksekusi tidak perlu diperlukan lagi dan sita jaminan

tersebut dengan sendirinya menjadi sita eksekusi dengan

mengeluarkan surat penegasan bahwa sita jaminan itu menjadi sita

eksekusi.

c. Pelaksanaan sita eksekusi dilaksanakan oleh 2 orang panitera atau

penggantinya dengan dibantu 2 orang saksi yang memenuhi

12
persyaratan menurut perundang undangan.

d. Penitera atau penggantinya yang telah melakukan penyitaan

membuat berita acara tentang penyitaan itu dan memberitahukan

maksudnya kepada pihak yang memiliki objek tersita jika yang

bersangkutan hadir pada waktu itu.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 PRINSIP DAN PENYELESAIAN HUKUM ATAS EKSEKUSI JAMINAN


DALAM PERBANKAN SYARIAH

Perbankan syariah jika melakukan prinsip yang terkandung dalam


perbankan syariah dengan baik dalam arti bertujuan untuk ta‟awu (akad
saling tolong menolong) bukan transaksi komersil, maka dalam perbankan
syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank
syariah, yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang
membutuhkan tanpa dikenakan apapun.

Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk


mengembalikan dana tersebut, kecualijika bank mengikhlaskannya.
Artinya, apabila seseorang yang berutang dan tidak mampu membayarnya,
pertama diberi penundaan waktu pembayaran (perpanjangan waktu
peminjaman). Apabila dalam perpanjangan waktu itu tidak bisa melunasi,
maafkanlah dia dan anggap saja utang itu sebagai shodaqoh. Hal ini akan
lebih baik bagi yang meminjamkan. Dengan demikian maka keberadaan
perbankan syariah akan menjunjung tinggi konsep berkeadilan, persamaan
hak dan kedudukan seseorang dalam mendapatkan kelayakan hidup, dan
kesejahteraan, karena keberadaan perbankan syariah bertujuan untuk
membantu atau tolong menolong sesama.

Selain itu, dalam perspektif perbankan syariah dalam penyelesaian


hukum atas eksekusi jaminan harus dilakukan dengan cara atau langkah-
langkah yang baik pula. Sebab pada prinsipnya eksekusi merupakan
tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah
dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses
pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum
acara perdata sebagaimana yang diungkapkan M. Yahya Harahap.

14
Eksekusi juga dapat dilaksanakan setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Pelaksanaannya dapat dilaksanakannya yang dapat dilakukan secara
sukarela, namun sering kali pohak yang dikalahkan tidak mau
melaksanakannya, sehingga perlu bantuan dari pengadilan untuk
melaksanakan secara paksa. Dalam hal ini pihak yang dimenangkanlah
yang mengajukan permohonan tersebut.

Permohonan eksekusi diajukan kepada ketua pengadilan negeri,


karena dengan demikian eksekusi dapat dilaksanakan . Hal ini telah diatur
dalam berbagai ketentuan yang ada,yaitu sebagai berikut :

1. Pasal 195 – Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 - Pasal
240R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (Tentang Tata Cara Eksekusi Secara
Umum).

2. Pasal 225 R.Bg / Pasal 259 R.Bg (Tentang Putusan Yang Menghukum
Tergugat Untuk Melakukan Suatu Perbuatan Tertentu) dan Pasal 209-
Pasal 223 HIR / Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg yang mengatur (Tentang
Sandera (gijzeling) Tidak Lagi Diberlakukan Secara Efektif.)

15
3.2 Hal – hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

Dalam eksekusi objek fidusia, ada dua kemungkinan yang dapat


ditemui setelah objek terjual melalui pelelangan umum yaitu :

1. Kelebihan penjualan objek fidusia wajib dikembalikan. Hasil penjualan


eksekusi melebihi nilai utang yang masih tertinggal atau penjaminan,
maka kelebihan dari hasil penjualan tersebut harus dikbembalikan oleh
penerima fidusia.

2. Debitur tetap dibebani tanggun jawab untuk membayar kekurangan


utang, bila hasil eksekusi tidak mencukupi. Adakalanya dalam praktik
eksekusi di lapangan, pengadilan agama akan menemukan hasil
eksekusi lewat lembaga lelang tidak sesuai dengan harapan, artinya
hasil penjualan objek fidusia ternyata kurang dari nilai hutang sehingga
belum bisa menutupi hutang debitung kepada kreditur. Sikap ketua
pengadila agama adalah memberikan pemahaman kepada bahwa sisa
hutang yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari debitur.

3. Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan


fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Ketentuan
ini bersifat imperatif bagi pemberi fidusia, karena itu UUJF mengaturnya
secara jelas dalam Pasal 30. Bila pemberi fidusia tidak mau
menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu
eksekusi dilaksanakan, maka penerima fidusia berhak untuk mengambil
benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut dari kekuasaan
pemberi fidusia, bila diperlukan pengambilan dilakukan dengan bantuan
aparat keamanan dan pihak yang berwenang.

4. Penarikan benda fidusia dalam rangka eksekusi dapat dilakukan


dengan bantuan kepolisian. Bila objek fidusia masih berada di tangan
pemberi fidusia dan ia tidak mau menyerahkan objek tersebut dengan
sukarela maka pemegang fidusia dapat menarik objek tersebut dengan
meminta bantuan pihak kepolisian atau pengadilan agama sesuai
dengan ketentuan Pasal 200 HIR. Dalam rangka pelaksanaan
eksekusi, termasuk untuk melakukan pengamanan terhadap benda
fidusia yang akan dieksekusi. Ketentuan tentang kewenangan

16
kepolisian dalam mengamankan proses eksekusi, benda benda yang
akan dieksekusi diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8
Tahun 2011 tentang Pengamanan Barang Jaminan Fidusia.

5. Dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda
perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau bursa,
penjualannya dapat dilakukan di tempat tempat tersebut sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku.

6. Larangan membuat janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda


yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan pasal
31 UUJF.

7. Larangan membuat janji yang memberi kewenangan kepada penerima


fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila
debitur cedera janji, bila dalam hal ini ada dalam akad atau perjanjian
maka hal tersebut batal demi hukum.

17
BAB IV

PENDAPAT

Perlindungan hukum terhadap kreditor dalam hal tidak didaftarkannya


akta jaminan fidusia, diwujudkan dalam surat kuasa pendaftaran/pemasangan
akta jaminan fidusia yang dibuat terpisah dengan akta jaminan fidusia. Selain itu
kreditor selaku pemegang jaminan fidusia dapat meminta pertanggungjawaban
notaris yang tidak melaksanakan pendaftaran jaminan fidusia sesuai surat kuasa
yang diberikan. Tanggung jawab hukum notaris yang dapat dituntut oleh kreditor
adalah membayar ganti rugi kepada kreditor berdasarkan alasan hukum bahwa
notaris telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan kreditor.

18
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Prinsip dan penyelesaian hukum atas eksekusi jaminan dalam


perbankan syariah selama ini kadang tidak atau belum menyentuh dari
prinsip-prinsip perbankan syariah, baik dalam konteks al-bai‟ (jual-beli),
al-ijarah (sewa- menyewa), al-musyarakah (perkongsian), al-
mudharabah (bagi hasil), ar-rahn (gadai), al-qard (hutang piutang), ad-
dhaman dan al-kafalah (penjaminan dan garansi), al-hawalah (pemindahan
penanggung hutang), tetapi justru yang dipraktikka bank syariah kadang
sama dengan prinsip yang diterapkan oleh bank konvensional yaitu tidak
sesuai dengan prinsip ta‟awun yang merupakan slogan dari perbankan
syariah. Hal ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama (imam
Syafi‟i, Hanafi, dan Hambali) yang menyatakan bahwa secara syar‟i
tidak membolehkan memanfaatkan barang jaminan, namun apabila
pemanfatan barang tersebut telah mendapatkan izin kedua belah pihak,
maka pemanfaatan barang jaminan tersebut diperbolehkan.

Adapun pendapat imam Malik juga membolehkan tetapi dengan


syarat-syarat tertentu. Oleh karenanya, debitur kadang semakin berat
dalam menanggung hutang yang telah dilakukan dan semakin susah dalam
memenuhi kebutuhannya. Langkah yang harus dilakukan adalah harus
mengembalikan roda perbankan syariah sebagaimana ketentuan yang ada
sehingga akan berimplikasi pada konsep ta‟awun.

19
DAFTAR PUSTAKA

- Adjie, Habib , 2000, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan Atas


Tanah Bandung: Mandar Maju.
- Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta:
Kencana.
- Mulyono, Djoko, 2015. Perbankan dan Lembaga Keunagan Syariah.
Yogyakarta: Andi Offset.
- Suandi, Amran, 2019, Eksekusi Jaminan Dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah.

20

Anda mungkin juga menyukai