Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat mudah
bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa
serangan asma. Adapun manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain
mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, pilek, nyeri
dada, nadi meningkat, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea,
kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis dan gelisah (GINA, 2006).
Diagnosa masalah keperawatan yang muncul pada pasien asma salah satunya
adalah ansietas atau kecemasan (NANDA, 2009). Pada beberapa individu, stres
atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma dan bias
memperberat serangan asma yang sudah ada. Stres dapat mengantarkan seseorang
pada tingkat kecemasan sehingga memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien,
yang menyebabkan penyempitan saluran napas dimana ditandai dengan sakit
tenggorokan dan sesak napas, yang pada gilirannya bisa memicu serangan asma
(Sudhita,2005).
Cemas merupakan hal yang sering terjadi dalam hidup manusia. Cemas juga
dapat menjadi beban berat yang menyebabkan kehidupan individu tersebut selalu
dibawah bayang-bayang kecemasan yang berkepanjangan dan menganggap rasa
cemas sebagai ketegangan mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang
menyebabkan rasa tidak waspada terhadap ancaman, kecemasan berhubungan
dengan stress fisiologis maupun psikologis. Artinya, cemas terjadi ketika
seseorang terancam baik fisik maupun psikologis (Asmadi,2008).
Pada keadaan sakit dan dirawat dirumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya
sering kali terjadi dua hal yang berlawanan, disatu sisi individu yang sakit
mengalami peningkatan kebutuhan tidur. Sementara disisi yang lain pola tidur
seseorang yang masuk dan dirawat dirumah sakit dapat dengan mudah berubah
atau mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan yang kondisi
sakitnya atau rutinitas rumah sakit (Potter & Perry,2010).
Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan
gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi
penurunan aktivitas sehari-hari, rasa lelah, lemah, daya tahan tubuh menurun dan
ketidakstabilan tanda-tanda vital. Dampak psikologis meliputidepresi, cemas dan
tidak konsentrasi (Potter & Perry, 2010). Kurang tidur dapat mempengaruhi
konsentrasi dan merusak kemampuan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan
memori, belajar, pertimbangan logis, dan penghitungan matematis. Gangguan
tidur dapat mengakibatkan kemerosotan mutu hidup. Misalnya, gangguan tidur
dapat menyebabkan kelelahan pada siang hari dan mempengaruhi status
fungsional dan mutu hidup (Nancy W, 2006).
Kurang tidur dapat mengakibatkan dampak negatif. Saat kita terjaga, kita
menyimpan suatu keadaan yang disebut ‘sleep debt’ yang dapat diganti hanya
melalui tidur. Hal ini diatur oleh suatu mekanisme dalam tubuh yang disebut
sebagai “sleep homeostat”, yang mengatur keinginan kita untuk tidur. Jika jumlah
‘sleep debt’ besar, maka “sleep homeostat” akan memberitahukan pada kita
bahwa kita perlu tidur lebih banyak (Robotham, 2011).
Kurang tidur yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik dan
psikis. Dari segi fisik, kurang tidur akan menyebabkan muka pucat, mata sembab,
badan lemas, dan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit.
Sedangkan dari segi psikis, kurang tidur akan menyebabkan timbulnya perubahan
suasana kejiwaan, sehingga penderita akan menjadi lesu, lamban menghadapi
rangsangan, dan sulit berkonsentrasi(Endang, 2007).
Setiap tahun diperkirakan sekitar20%-50% orang dewasa melaporkan
adanyagangguan tidur dan sekitar 17% mengalamigangguan tidur yang serius.
Prevalensigangguan tidur pada penderita penyakit cukup tinggi yaitu sekitar 67
%. Walaupun demikian, hanya satudari delapan kasus yang menyatakan
bahwagangguan tidurnya telah didiagnosis olehdokter (Amir, 2007).
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, salah satu
diantaranya adalah kecemasan (Chayatin & Mubarak, 2007). Kecemasan sering
kali mengganggu tidur. Seseorang yang pikirannya dipenuhi dengan masalah
pribadi dan merasa sulit untuk rileks saat akan memulai tidur. Kecemasan
meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulasi sistem saraf
simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur tahap IV
NREM dan tidur REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan
lebih sering terbangun (Kozier et.al.2010).
Berdasarkan data di Catatan Medis Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Karanganyar, data penderita asma pada tahun 2013 adalah 172 penderita,
sedangkan pada tahun 2014 adalah 196 penderita. Sedangkan pada bulan
November tahun 2014 terdapat 18 pasien asma. Dari hasil studipendahuluan
peneliti menemukan bahwasebagian besar penderita asma cenderung memiliki
masalahgangguan kecemasan. Mereka merasa cemas dengan keadaan yang
mereka alami.Mereka mengeluhkan cemas dan takut pada saat terjadi serangan
asma, sehingga dengan kondisi itu kualitas tidur penderita asma tidak terpenuhi
secara optimal.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada
penderita asma di RSUD Kabupaten Karanganyar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan
kualitas tidur penderita asma di RSUD Langsa?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
penderita asma
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden
b. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan penderita asma
c. Mengetahui gambaran kualitas tidur penderita asma
d. Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
penderita asma
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini peneliti harapkan dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, meliputi :
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai informasi bagi institusi pelayanan kesehatan tentang kecemasan
pada pasien asma yang mempengaruhi pola tidur. Melalui penelitian ini
peneliti berharap dapat memperoleh informasi tentang klien danselanjutnya
berdasarkan informasi tersebut dapat pula dikembangkan bentuk pelayanan
kesehatan dan meningkatkan mutu serta standar asuhan keperawatan dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada pasien asma.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan pembelajaran khususnya
yang terkait denganpengembangan konsep asuhan keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur klien.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan
penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan
kualitas tidur penderita asma.
4. Bagi Peneliti
Manfaat bagi peneliti adalah memperoleh pengetahuan dan wawasan
mengenaihubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita
asma.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, maka ruang
lingkup penelitian ini dibatasi pada gambaran agar tidak terjadi pembahasan yang
meluas ,maka perlu kiranya dibuat suatu batasan masalah. Adapun ruang lingkup
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, yaitu hanya pada lingkup
RSUD Langsa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Definisi
Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan,
tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing
Ability/RTA), masi baik, kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami
keretakan kepribadian/splitting of personality), perilaku dapat terganggu tapi
masih dalam batas normal (Hawari,2006).
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan
mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak
menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman,
2010).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti
Widuri,2007) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang
mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan
adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan,
apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang
dalam kehidupannya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat
mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya
ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi.

2. Tingkat Kecemasan
Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau
mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu:
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Kecemasan dapat memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta
kreatifitas. Tanda dan gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat,
waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi
masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan
fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara,
tanda vital dan pupil normal.
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang
lebih terarah. Respon fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan
darah naik, mulut kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif
yaitu lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima,
berfokus pada apa yang menjadi perhatiaannya
c. Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta
tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu:
persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang
perhatian sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan
masalah, serta tidak dapat belajar secara efektif. Pada tingkatan ini
individu mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia,
palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar,
dan diare. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta seluruh
perhatian terfokus pada dirinya.
d. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah,
ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang
mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang, kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak
sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi
kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari tingkat
panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian (Ratih,2012).

3. Faktor yang mempengaruhi kecemasan


Faktor–faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah Rufaidah (2009):
a. Faktor fisik
Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu sehingga
memudahkan timbulnya kecemasan.
b. Trauma atau konflik
Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi
individu, dalam arti bahwa pengalaman-pengalaman emosional atau
konflik mental yang terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya
gejala-gejala kecemasan.
c. Lingkungan awal yang tidak baik.
Lingkungan adalah faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi
kecemasan individu, jika faktor tersebut kurang baik maka akan
menghalangi pembentukan kepribadian sehingga muncul gejala-gejala
kecemasan.
Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada
timbulnya ansietas. Individu yang mempunyai cara hidup sangat teratur
dan mempunyai. Falsafah hidup yang jelas maka pada umumnya lebih
sukar mengalami ansietas. Budaya seseorang juga dapat menjadi pemicu
terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh Mudjadid,dkk tahun
2006 di lima wilayah pada masyarakat DKI Jakarta didapatkan data bahwa
tingginya angka ansietas disebabkan oleh perubahan gaya hidup serta
kultur dan budaya yang mengikuti perkembangan kota. Namun demikian,
faktor predisposisi di atas tidak cukup kuat menyebabkan sesorang
mengalami ansietas apabila tidak disertai faktor presipitasi (pencetus)
(Ghufron, 2012).

4. Pengukuran Tingkat Kecemasan


Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner
dengan metode Zung – Self Rating Anxiety Scale. Zung – Self Rating
Anxiety Scale (SAS) merupakan instrumen untuk mengukur tingkat
kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 1-4, dimana skor 4
menggambarkan hal negatif dengan penilaian : sangat jarang (1), kadang
kadang (2), sering (3), selalu (4). Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri
dari 20 pertanyaan, yang terdiri dari 5 gejala untuk sikap dan 15 pertanyaan
untuk gejala somatis. Tingkat kecemasan di kategorikan menjadi empat,
yaitu : Normal, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 25-44,
Cemas ringan, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 45-59,
Cemas berat, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 60-74, Cemas
ekstrim, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 75-80 (Nursalam,
2012).
B. Tidur

1. Definisi
Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap
rangsangan internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya
adalah pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons
terhadap rangsangan eksternal. Otak berangsur-angsur menjadi kurang
responsif terhadap rangsang visual, auditori dan rangsangan lingkungan
lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input
sensoric walaupun mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan
tidur. Faktor homeostatik (faktor S) maupun faktor sirkadian (faktor C) juga
berinteraksi untuk menentukan waktu dan kualitas tidur (Susanne,2009).
Tidur merupakan aktifitas yang merupakan susunan saraf pusat, saraf
perifer, endokrin, kardiovasakuler, respirasi, dan muskuloskletal (Tarwoto W,
2006).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur


Faktor– faktor yang mempengaruhi tidur antara lain adalah(Alimul, 2006):
a. Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak
penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang
disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak
waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang
menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Widodo, 2009).
b. Latihan dan Kelelahan
Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak
tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini
terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai
kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena
tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek (Widodo, 2009).
c. Stres Psikologis
Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan
jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah
psikologis mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur (dr Harry,
2009).
d. Obat
Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang
dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic
menyebabkan seseorang menjadi isomnia, anti depresan dapat menekan
REM, kafein dapat meningkatkan syaraf simpatis yang menyebabkan
kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya
insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah
mengantuk (Ria Lina, 2005).
e. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat
proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses
tidur, karena adanya trytophan yang merupakan asam amino dari protein
yang dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang juga
dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur.
f. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga
dapat mempercepat terjadinya proses tidur.
g. Motivasi
Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk
tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan
untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur (dr
Brandon peters, 2006).
3. Kualitas tidur
Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang
individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun. Kualitas
tidur mencakup aspek kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek
subjektif seperti tidur dalam dan istirahat (Khasanah & Hidayati, 2012).
Menurut Hidayat dalam Khasanah & Hidayati (2012), kualitas tidur
seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukan tanda-tanda kekurangan
tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan
tidur dapat dibedakan menjadi tanda fisik dan tanda psikologis.
Tanda – tanda fisik akibat kekurangan tidur antara lain : ekspresi wajah
(area gelap disekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan
dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan, tidak mampu
berkonsentrasi, terlihat tanda – tanda keletihan. Sedangkan tanda – tanda
psikologis antara lain : menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas,
daya ingat menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan
mengambil keputusan menurun.
Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Quality of Sleep Index
(PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat ini terdiri
dari 19 poin pertanyaan yang berada di dalam 7 kompenen nilai dan 5
pertanyaan untuk teman sekamar. 19 pertanyaan itu mengkaji secara luas
faktor yang berhubungan dengan tidur seperti durasi tidur, latensi tidur, dan
masalah tidur. Setiap komponen skor memiliki rentang nilai 0-3. Ketujuh
komponen dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor lebih tinggi
dari 5 menandakan kualitas tidur yang buruk (Nancy W, 2006).

4. Tahapan Tidur
Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid eye
movement) dan tidur aktif atau REM, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tidur NonREM
Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya
mempunyai ciri tersendiri. Pada tidur tahap I terjadi bila merasakan
ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon berbunyi atau ada sesuatu sampai
terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa sebenarnya kita telah
tertidur. Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan
penurunan voltase. Tahap I ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit
pertama dari siklus tidur.
Tidur tahap II, seluruh tubuh kita seperti berada pada tahap tidur yang
lebih dalam. Tidur masih mudah dibangunkan, meskipun kita benar-benar
berada dalam keadaan tidur. Periode tahap II berlangsung dari 10 sampai
40 menit. Kadang-kadang selama tahap tidur II seseorang dapat terbangun
karena sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian
sentakan ini, sebagai akibat masuknya tahapan REM.
Tahap III dan IV. Tahap ini merupakan tahap tidur nyenyak. Pada
tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali karena tonus otot
lenyap sama. Tahap IV mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit
dibangunkan, dan orang akan binggung bila terbangun langsung dari tahap
ini, dan memerlukan waktu beberapa menit untuk meresponnya. Pada
tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna memulihkan tubuh,
memperbaiki sel, membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan
enak dan segar setelah tidur nyenyak, setidaktidaknya disebabkan karena
hormon pertumbuhan bekerja baik.
Tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut : NonREM
Tahap I kedaan ini masih dapat merespons cahaya, berlangsung beberapa
menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme menurun, bila
terbangun terasa sedang mimpi. NonREM Tahap II tubuh mulai relaksasi
otot, berlangsung 10 – 20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat
dibangunkan dengan mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari
keadaan tidur nyenyak, sulit di bangunkan, relaksasi otot menyeluruh,
tekanan darah menurun, berlangsung 15 – 30 menit. NonREM Tahap IV
sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi
dan istirahat, tonus otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola
mata cepat (Tarwoto & Wartonah, 2006).
b. Tidur REM
Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM
adalah tahapan tidur yang sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak
teratur dan tidak terjadi pembentukan keringat. Kadang-kadang timbul
twitching pada tangan, kaki, atau muka, dan pada laki-laki dapat timbul
ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang
masih tidur lelap dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota
gerak tetap lemah dan rileks. Tahap tidur ini diduga berperan dalam
memulihkan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan daya ingat dan
mempertahankan fungsi sel-sel otak.
Siklus tidur pada orang dewasa biasanya terjadi setiap 90 menit. Pada
90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM. Setelah 90
menit, akan muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap
tidur NonREM. Setelah itu hampir setiap 90 menit tahap tidur REM
terjadi. Pada tahap awal tidur, periode REM sangat singkat, berlangsung
hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur, periode REM akan
muncul lebih awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang
itu akan mendapatkan tidur tahap IIIdanIV lebih banyak. Selama tidur,
tahapan tidur akan berpindah-pindah dari satu tahap ke tahapan yang lain,
tanpa harus menuruti aturan yang biasanya terjadi. Artinya suatu malam,
mungkin saja tidak ada tahap III atau IV. Tapi malam lainnya seluruh
tahapan tidur akan didapatkannya.
Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan terbuka,
kejang otot kecil, otot besar imobilisasi, pernapasan tidak teratur, kadang
dengan apnea, nadi cepat dan ireguler, tekanan darah meningkat atau
fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat, temperatur
tubuh naik, siklus tidur : sulit di bangunkan (Alimul, 2006).

5. Pola Tidur Normal


a. Bayi
Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari,
pernapasan teratur, gerak tubuh 50% adalah tahap REM dan terbagi dalam
7 periode. Dan pada bayi tidur selama 12-14 jam sehari, sekitar 20-30%
tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan punya pola terbangun
sebentar (Asmadi, 2008).
b. Todler
Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12 jam/hari, tahap
REM 20-25%. Tidur siang dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering
terbangun pada malam hari yang menyebabkan mereka tidak ingin tidur
pada malam hari (Asmadi, 2008).
c. Preschooler
Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari, tahap REM
20%. Bisa jadi anak usia 4-5 mengalami kurang istirahat dan mudah sakit
jika kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi (Asmadi, 2008).
d. Usia sekolah
Tidur antara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap REM
berkurang sekitar 20%. Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang
lebih 10 jam setiap malam(Asmadi, 2008).
e. Adolensia
Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah kelemahan dan
kerentanan terhadap infeksi, tahap REM 20%. Pada remaja laki-laki
mengalami Noctural Emission (orgasme dan mengeluarkan cairan semen
pada tidur malam hari) yang biasa kita kenal dengan mimpi basah (Potter,
2005).
f. Dewasa muda
Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif membutuhkan waktu
tidur 7-8 jam/hari, tahap REM 20%. Dewasa muda yang sehat
membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktifitas
karena jarang sekali mereka tidur siang (Asmadi, 2008).
g. Dewasa Akhir
Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM 20-25% dan
tidur tahap IV mengalami penurunan (Asmadi, 2008)
C. Asma

1. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel
berperan terutama sel mast, esonofil, limfosit T macropag, neutropil dan sel
epitel (Hariadi, 2010). Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas
yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan
dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan
(chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini
hari (GINA, 2006). Menurut National Heart Lung and Blood Institute
(NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan
inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari
saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

2. Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi tersebut
dapat disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas;
pembengkakan membran pada bronki; pengisian bronki dengan mucus kental.
Beberapa penderita mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast dalam paru
yang menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin.
Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, pembentukan mukus
berlebihan (Smeltzer & Bare, 2006).
Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan
napas dirangsang oleh beberapa faktor, seperti udara dingin, emosi, olahraga,
merokok, polusi dan infeksi sehingga jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Peningkatan asetilkolin ini secara langsung bisa menimbulkan
bronkokonstriksi. Penderita dapat mempunyai toleransi rendah terhadap
respon parasimpatis (Smeltzer & Bare, 2006).

3. Klasifikasi Asma
a. Berdasarkan berat ringan gejala
Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat ringannya gejala,
yaitu asma intermitten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan
asma persisten berat (Tabrani , 2010).
b. Berdasarkan serangan asma
Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang
menyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap
pengobatan. Serangan asma ringan timbul kadang-kadang, tidak terdapat
atau ada hiperreaktivitas bronkus yang ringan. Serangan asma persisten
timbul sering dan terdapat hiperreaktivitas bronkus. Penderita asma berat
mempunyai saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk
mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa (Maj
Kedokteran Indonesia, 2008).
Asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma,
serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Walaupun berbagai
usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan
karena terdapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar
pasien (GINA, 2006).
Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala,
dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien. Pembagian
derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat. Gejala
nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali). FEV1≥80% predicted
atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 <
20%.
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari.
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2
kali/bulan. FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik
individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%.
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas
dan tidur. Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu. Menggunakan
agonis β2 kerja pendek setiap hari. FEV1 60-80% predicted atau PEF
60-80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi. Gejala asma
nokturnal sering terjadi. FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai
terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

4. Tanda dan Gejala


Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas secara
luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema
mukosa karena sumbatan mukus. Tanda serangan asma yang dapat kita
ketahui adalah napas cepat, merasa cemas dan ketakutan, tak sanggup bicara
lebih dari 1-2 kata setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung
bila tarik napas, bersin-bersin, hidung mampat atau hidung ngocor, gatal-gatal
tenggorokan, susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas
(Hadibroto, 2010).
Tiga gejala (Trias Asma) yang sering muncul pada asma adalah sesak
napas, napas bunyi/ wheezing, batuk-batuk terutama malam hari. Tingkat
keparahan serangan asma tergantung pada tingkat obstruksi saluran napas,
kadar saturasi oksigen, pembawaan pola napas, perubahan status mental, dan
bagaimana tanggapan penderita terhadap status pernapasannya (Smeltzer &
Bare, 2006).

5. Faktor Resiko Asma


Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah diketahuisecara
pasti, antara lain: riwayat keluarga, tingkat sosial ekonomi rendah,etnis,
daerah perkotaan, letak geografi tempat tinggal, memelihara anjingatau
kucing dalam rumah, terpapar asap rokok.Secara umum faktor risiko asma
dibagi kedalam dua kelompok besar, factor resiko yang berhubungan dengan
terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor resiko yang berhubungan
denganterjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor
ataufaktor pencetus (GINA,2006). Adapun faktor resiko pencetus
asmabronkial antara lain:
a. Asap Rokok
Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri
maupun orang-orang yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di
Finlandia menunjukkan bahwa orang dewasa yang terkena asap rokok
berpeluang menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak
terkena asap rokok (Jaakkola et al, 2001). Studi lain menunjukkan bahwa
seseorang penderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka
akan mengalami sekitar 20% kerusakan fungsi paru. Pada anak-anak, asap
rokok akan memberikan efek lebih parah dibandingkan orang dewasa, ini
disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih sempit, sehingga jumlah
nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya, jumlah asap
rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak
dibanding berat badannya. Selain itu, karena sistem pertahanan tubuh yang
belum berkembang, munculnya gejala asma pada anak-anak jauh lebih
cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006). Hasil analisis 4.000 orang
anak berumur 0-5 tahun menunjukkan bahwa anak-anak yang orang
tuanya merokok 10 batang perhari, menyebabkan peningkatan jumlah
kasus asma serta mempercepat munculnya gejala asma pada anak-
anaknya. Begitu juga anak yang kembali dari rumah sakit setelah
perawatan asma akut, penyembuhan akan terganggu karena orang tua
yang merokok (Basyir 2005). Efek asap rokok ini tidak hanya
memberikan efek negatif pada anak- anak yang telah lahir, tapi juga pada
janin yang masih ada di dalam rahim. Karena itu, di negara maju seperti
Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin tidak tersedia tempat yang bisa
merokok. Ini karena mereka benar-benar mengerti akan bahaya rokok
tersebut. Bayi yang akan dilahirkan dari seorang ibu yang merokok selama
dalam masa kehamilan akan lebih sering mengalami penyakit saluran
pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak-anak (Ramaiah,
2006). Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang
menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel
berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam
tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon
dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein. (GINA,2006).
Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni
tipe perokok yang berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe
perokok berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi dalam 1 hari, dan
tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan diri.
Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan
menjadi: Perokok pasif yakni mereka yang tidak merokok, tetapi berada di
sekeliling perokok dan menghirup asap rokok yang dihembuskan oleh
perokok.
Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok secara. Adapun
berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok dikategorikan
menjadi ; Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih
dari 31 batang perhari, Perokok berat yakni mereka yang merokok sekitar
21-30 batang perhari, Perokok sedang adalah perokok yang menghabiskan
rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok ringan yang merokok sekitar 10
batang/hari (Basyir, 2005).
b. Tungau Debu Rumah
Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi
tungau lebih sering terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi
karena rumah modern dan penggunaan teknik insulasi memuningkankan
tungau hidup lebih baik (Elek Media, 2007). Asma bronkial dikaitkan oleh
masuknya suatu alergen misalnya tungau debu. Tungau debu akan
mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir partikelnya.
Yang menyebabkan reaksi alergi bagi penderita asma apabila masuk ke
dalam saluran nafas.
Ketika tungau ini mati, tubuhnya yang membusuk bercampur dengan
debu rumah tangga (Elek Media, 2007). Tungau debu rumah memiliki
ukuran 0,1 – 0,3 mm dan lebar 0,2 mm biasanya terdapat di tempat-tempat
atau benda-benda yang banyak mengandung debu (Vitahealth, 2006).
Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang
berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran,buku,
pakaian lama (Elek Media, 2007).
c. Jenis Kelamin dan usia
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan anak perempuan (Sundaru,2006). Perbedaan jenis kelamin pada
insidensi penyakit asma bervariasi, tergantung usia dan perbedaan karakter
biologi. Insidensi penyakit asma pada anak laki-laki usia 2-5 tahun
ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada
usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering. Kunjungan ke
rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia
tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki
merupakan kebalikan dari insiden ini (Yunus, 2006).
Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan semakin sempitnya
saluran pernapasan, perubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi
peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon
bernapas (Sundaru, 2006) Didukung lagi oleh adanya hipotesis dari
observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran
pernafasam laki laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun,
kemungkinan disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada
masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan. Predisposisi perempuan
yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa puber,
sehingga prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi
dari pada perempuan mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada
perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki (GINA, 2006).
d. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,
hamster,burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab
asmaadalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian
mukadan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil
(sekitar3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan
seranganasma, terutama dari burung dan hewan menyusui karena bulu
akan rontokdan terbang mengikuti udara (Wibisono, 2010).
e. Jenis Makanan
Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu
pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai
pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma (Ramaiah,
2006). Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu
dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak
yang sensitif terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau
colitis karena alergi makanan tertentu akan cenderung menderita asma
(GINA, 2006). Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu
sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry,
mangga, durian berperan menjadi pencetus seranga asma
(Gershwin,2006). Makanan produk industri dengan pewarna buatan
(misal: tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-
MSG) juga bisa memicu serangan asma. Makanan yang terutama sering
mengakibatkan reaksi yang fatal adalah kacang, ikan laut dan telor
(Gershwin,2006). Penelitian di Arab Saudi membandingkan makanan
pengidap asma dengan tidak asma. Anak Arab Saudi yang tinggal di
daerah perkotaan banyak menunjukkan gejala nafas berbunyi atau mengi.
Anak-anak ini sering bersantap di gerai-gerai makanan cepat saji dan
secara signifikan kurang mendapatkan asupan makanan tradisional,
termasuk sayuran, susu, makanan yang kaya serat, vitamin dan mineral
(Sundaru, 2006).
f. Perabot Rumah Tangga
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar
biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic
coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang
biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC
berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray,
deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan
aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber
formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur,
karpet (Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid dapat
mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian
atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping menyebabkan
ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru.
g. Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat
menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma
menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya
konsentrasi partikel alergenik (Ramaiah, 2006). Dimana partikel tersebut
dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan
pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban
tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin
menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah, 2006). Asma
berhubungan dengan iklim, Kota besar seperti Auckland, Brisbane,
Hongkong dan New Orleans yang mempunyai suhu panas >24oC dan rata
rata curah hujan tahunan >100cm, mempunyai prevalensi asma yang
tinggi. RS Cipto menunjukkan penderita dengan perubahan udara
kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita
tanpa perubahan cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika
seikat yang membuktikan bahwa ada hubungan antara kunjungan asma
dengan cuaca dingin dan kering pada musim semi.
h. Riwayat Penyakit Keluarga
Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi
merupakan hal yang diturunkan, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Bakat alergi ini membuat penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar factor pencetus.
Penderita biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita
penyakit alergi (Hariadi, 2010). Apabila kedua orang tua memiliki riwayat
penyakit asma maka hampir 50% dari anak-anaknya memiliki
kecenderungan asma, sedangkan jika hanya salah satu orang tuanya yang
menderita asma maka kecenderungannya hanya 35%.
Lebih kurang 25% penderita penyakit asma, keluarga dekatnya juga
menderita asma, meskipun asmanya tidak aktif lagi, diantara keluarga
penderita asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif (Sundaru, 2006).
Resiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga
kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan
salah satu riwayat atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan
penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena
mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar
50% jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar
monozigot, tingkat stabilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada
kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot (Sundaru, 2006). Orang
tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan
orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau
debu rumah (Wibisono, 2010).
Kerangka Teori

Tingkat Kualitas Tidur


Pasien Asma Kecemasan

1. Ringan Faktor-faktor yang


2. Sedang mempengaruhi tidur :
3. Berat 1. Penyakit
4. panik 2. Latihan dan Kelelahan
3. Stres Psikologis
4. Obat
5. Nutrisi
6. Lingkungan
7. Motivasi
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Kecemasan :
1. Ringan Kualitas Tidur
2. Sedang 1. Baik
3. Berat 2. Buruk
4. Panik

B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis Penelitian adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan (Sugiyono, 2009).
Hipotesis dalam penelitian ini yaitu :
1. Ho = tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas
tidur pada pasien Ashma.
2. Ha = terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada
pasien Ashma.

Anda mungkin juga menyukai