PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat mudah
bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa
serangan asma. Adapun manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain
mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, pilek, nyeri
dada, nadi meningkat, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea,
kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis dan gelisah (GINA, 2006).
Diagnosa masalah keperawatan yang muncul pada pasien asma salah satunya
adalah ansietas atau kecemasan (NANDA, 2009). Pada beberapa individu, stres
atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma dan bias
memperberat serangan asma yang sudah ada. Stres dapat mengantarkan seseorang
pada tingkat kecemasan sehingga memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien,
yang menyebabkan penyempitan saluran napas dimana ditandai dengan sakit
tenggorokan dan sesak napas, yang pada gilirannya bisa memicu serangan asma
(Sudhita,2005).
Cemas merupakan hal yang sering terjadi dalam hidup manusia. Cemas juga
dapat menjadi beban berat yang menyebabkan kehidupan individu tersebut selalu
dibawah bayang-bayang kecemasan yang berkepanjangan dan menganggap rasa
cemas sebagai ketegangan mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang
menyebabkan rasa tidak waspada terhadap ancaman, kecemasan berhubungan
dengan stress fisiologis maupun psikologis. Artinya, cemas terjadi ketika
seseorang terancam baik fisik maupun psikologis (Asmadi,2008).
Pada keadaan sakit dan dirawat dirumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya
sering kali terjadi dua hal yang berlawanan, disatu sisi individu yang sakit
mengalami peningkatan kebutuhan tidur. Sementara disisi yang lain pola tidur
seseorang yang masuk dan dirawat dirumah sakit dapat dengan mudah berubah
atau mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan yang kondisi
sakitnya atau rutinitas rumah sakit (Potter & Perry,2010).
Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan
gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi
penurunan aktivitas sehari-hari, rasa lelah, lemah, daya tahan tubuh menurun dan
ketidakstabilan tanda-tanda vital. Dampak psikologis meliputidepresi, cemas dan
tidak konsentrasi (Potter & Perry, 2010). Kurang tidur dapat mempengaruhi
konsentrasi dan merusak kemampuan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan
memori, belajar, pertimbangan logis, dan penghitungan matematis. Gangguan
tidur dapat mengakibatkan kemerosotan mutu hidup. Misalnya, gangguan tidur
dapat menyebabkan kelelahan pada siang hari dan mempengaruhi status
fungsional dan mutu hidup (Nancy W, 2006).
Kurang tidur dapat mengakibatkan dampak negatif. Saat kita terjaga, kita
menyimpan suatu keadaan yang disebut ‘sleep debt’ yang dapat diganti hanya
melalui tidur. Hal ini diatur oleh suatu mekanisme dalam tubuh yang disebut
sebagai “sleep homeostat”, yang mengatur keinginan kita untuk tidur. Jika jumlah
‘sleep debt’ besar, maka “sleep homeostat” akan memberitahukan pada kita
bahwa kita perlu tidur lebih banyak (Robotham, 2011).
Kurang tidur yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik dan
psikis. Dari segi fisik, kurang tidur akan menyebabkan muka pucat, mata sembab,
badan lemas, dan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit.
Sedangkan dari segi psikis, kurang tidur akan menyebabkan timbulnya perubahan
suasana kejiwaan, sehingga penderita akan menjadi lesu, lamban menghadapi
rangsangan, dan sulit berkonsentrasi(Endang, 2007).
Setiap tahun diperkirakan sekitar20%-50% orang dewasa melaporkan
adanyagangguan tidur dan sekitar 17% mengalamigangguan tidur yang serius.
Prevalensigangguan tidur pada penderita penyakit cukup tinggi yaitu sekitar 67
%. Walaupun demikian, hanya satudari delapan kasus yang menyatakan
bahwagangguan tidurnya telah didiagnosis olehdokter (Amir, 2007).
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, salah satu
diantaranya adalah kecemasan (Chayatin & Mubarak, 2007). Kecemasan sering
kali mengganggu tidur. Seseorang yang pikirannya dipenuhi dengan masalah
pribadi dan merasa sulit untuk rileks saat akan memulai tidur. Kecemasan
meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulasi sistem saraf
simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur tahap IV
NREM dan tidur REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan
lebih sering terbangun (Kozier et.al.2010).
Berdasarkan data di Catatan Medis Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Karanganyar, data penderita asma pada tahun 2013 adalah 172 penderita,
sedangkan pada tahun 2014 adalah 196 penderita. Sedangkan pada bulan
November tahun 2014 terdapat 18 pasien asma. Dari hasil studipendahuluan
peneliti menemukan bahwasebagian besar penderita asma cenderung memiliki
masalahgangguan kecemasan. Mereka merasa cemas dengan keadaan yang
mereka alami.Mereka mengeluhkan cemas dan takut pada saat terjadi serangan
asma, sehingga dengan kondisi itu kualitas tidur penderita asma tidak terpenuhi
secara optimal.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada
penderita asma di RSUD Kabupaten Karanganyar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan
kualitas tidur penderita asma di RSUD Langsa?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
penderita asma
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden
b. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan penderita asma
c. Mengetahui gambaran kualitas tidur penderita asma
d. Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
penderita asma
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini peneliti harapkan dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, meliputi :
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai informasi bagi institusi pelayanan kesehatan tentang kecemasan
pada pasien asma yang mempengaruhi pola tidur. Melalui penelitian ini
peneliti berharap dapat memperoleh informasi tentang klien danselanjutnya
berdasarkan informasi tersebut dapat pula dikembangkan bentuk pelayanan
kesehatan dan meningkatkan mutu serta standar asuhan keperawatan dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada pasien asma.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan pembelajaran khususnya
yang terkait denganpengembangan konsep asuhan keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur klien.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan
penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan
kualitas tidur penderita asma.
4. Bagi Peneliti
Manfaat bagi peneliti adalah memperoleh pengetahuan dan wawasan
mengenaihubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita
asma.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, maka ruang
lingkup penelitian ini dibatasi pada gambaran agar tidak terjadi pembahasan yang
meluas ,maka perlu kiranya dibuat suatu batasan masalah. Adapun ruang lingkup
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, yaitu hanya pada lingkup
RSUD Langsa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan
1. Definisi
Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan,
tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing
Ability/RTA), masi baik, kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami
keretakan kepribadian/splitting of personality), perilaku dapat terganggu tapi
masih dalam batas normal (Hawari,2006).
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan
mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak
menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman,
2010).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti
Widuri,2007) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang
mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan
adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan,
apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang
dalam kehidupannya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat
mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya
ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk
akan terjadi.
2. Tingkat Kecemasan
Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau
mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu:
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Kecemasan dapat memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta
kreatifitas. Tanda dan gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat,
waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi
masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan
fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara,
tanda vital dan pupil normal.
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang
lebih terarah. Respon fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan
darah naik, mulut kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif
yaitu lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima,
berfokus pada apa yang menjadi perhatiaannya
c. Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta
tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu:
persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang
perhatian sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan
masalah, serta tidak dapat belajar secara efektif. Pada tingkatan ini
individu mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia,
palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar,
dan diare. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta seluruh
perhatian terfokus pada dirinya.
d. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah,
ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang
mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang, kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak
sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi
kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari tingkat
panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian (Ratih,2012).
1. Definisi
Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap
rangsangan internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya
adalah pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons
terhadap rangsangan eksternal. Otak berangsur-angsur menjadi kurang
responsif terhadap rangsang visual, auditori dan rangsangan lingkungan
lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input
sensoric walaupun mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan
tidur. Faktor homeostatik (faktor S) maupun faktor sirkadian (faktor C) juga
berinteraksi untuk menentukan waktu dan kualitas tidur (Susanne,2009).
Tidur merupakan aktifitas yang merupakan susunan saraf pusat, saraf
perifer, endokrin, kardiovasakuler, respirasi, dan muskuloskletal (Tarwoto W,
2006).
4. Tahapan Tidur
Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid eye
movement) dan tidur aktif atau REM, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tidur NonREM
Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya
mempunyai ciri tersendiri. Pada tidur tahap I terjadi bila merasakan
ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon berbunyi atau ada sesuatu sampai
terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa sebenarnya kita telah
tertidur. Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan
penurunan voltase. Tahap I ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit
pertama dari siklus tidur.
Tidur tahap II, seluruh tubuh kita seperti berada pada tahap tidur yang
lebih dalam. Tidur masih mudah dibangunkan, meskipun kita benar-benar
berada dalam keadaan tidur. Periode tahap II berlangsung dari 10 sampai
40 menit. Kadang-kadang selama tahap tidur II seseorang dapat terbangun
karena sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian
sentakan ini, sebagai akibat masuknya tahapan REM.
Tahap III dan IV. Tahap ini merupakan tahap tidur nyenyak. Pada
tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali karena tonus otot
lenyap sama. Tahap IV mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit
dibangunkan, dan orang akan binggung bila terbangun langsung dari tahap
ini, dan memerlukan waktu beberapa menit untuk meresponnya. Pada
tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna memulihkan tubuh,
memperbaiki sel, membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan
enak dan segar setelah tidur nyenyak, setidaktidaknya disebabkan karena
hormon pertumbuhan bekerja baik.
Tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut : NonREM
Tahap I kedaan ini masih dapat merespons cahaya, berlangsung beberapa
menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme menurun, bila
terbangun terasa sedang mimpi. NonREM Tahap II tubuh mulai relaksasi
otot, berlangsung 10 – 20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat
dibangunkan dengan mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari
keadaan tidur nyenyak, sulit di bangunkan, relaksasi otot menyeluruh,
tekanan darah menurun, berlangsung 15 – 30 menit. NonREM Tahap IV
sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi
dan istirahat, tonus otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola
mata cepat (Tarwoto & Wartonah, 2006).
b. Tidur REM
Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM
adalah tahapan tidur yang sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak
teratur dan tidak terjadi pembentukan keringat. Kadang-kadang timbul
twitching pada tangan, kaki, atau muka, dan pada laki-laki dapat timbul
ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang
masih tidur lelap dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota
gerak tetap lemah dan rileks. Tahap tidur ini diduga berperan dalam
memulihkan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan daya ingat dan
mempertahankan fungsi sel-sel otak.
Siklus tidur pada orang dewasa biasanya terjadi setiap 90 menit. Pada
90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM. Setelah 90
menit, akan muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap
tidur NonREM. Setelah itu hampir setiap 90 menit tahap tidur REM
terjadi. Pada tahap awal tidur, periode REM sangat singkat, berlangsung
hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur, periode REM akan
muncul lebih awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang
itu akan mendapatkan tidur tahap IIIdanIV lebih banyak. Selama tidur,
tahapan tidur akan berpindah-pindah dari satu tahap ke tahapan yang lain,
tanpa harus menuruti aturan yang biasanya terjadi. Artinya suatu malam,
mungkin saja tidak ada tahap III atau IV. Tapi malam lainnya seluruh
tahapan tidur akan didapatkannya.
Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan terbuka,
kejang otot kecil, otot besar imobilisasi, pernapasan tidak teratur, kadang
dengan apnea, nadi cepat dan ireguler, tekanan darah meningkat atau
fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat, temperatur
tubuh naik, siklus tidur : sulit di bangunkan (Alimul, 2006).
1. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel
berperan terutama sel mast, esonofil, limfosit T macropag, neutropil dan sel
epitel (Hariadi, 2010). Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas
yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan
dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan
(chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini
hari (GINA, 2006). Menurut National Heart Lung and Blood Institute
(NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan
inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari
saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.
2. Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi tersebut
dapat disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas;
pembengkakan membran pada bronki; pengisian bronki dengan mucus kental.
Beberapa penderita mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast dalam paru
yang menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin.
Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, pembentukan mukus
berlebihan (Smeltzer & Bare, 2006).
Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan
napas dirangsang oleh beberapa faktor, seperti udara dingin, emosi, olahraga,
merokok, polusi dan infeksi sehingga jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Peningkatan asetilkolin ini secara langsung bisa menimbulkan
bronkokonstriksi. Penderita dapat mempunyai toleransi rendah terhadap
respon parasimpatis (Smeltzer & Bare, 2006).
3. Klasifikasi Asma
a. Berdasarkan berat ringan gejala
Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat ringannya gejala,
yaitu asma intermitten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan
asma persisten berat (Tabrani , 2010).
b. Berdasarkan serangan asma
Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang
menyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap
pengobatan. Serangan asma ringan timbul kadang-kadang, tidak terdapat
atau ada hiperreaktivitas bronkus yang ringan. Serangan asma persisten
timbul sering dan terdapat hiperreaktivitas bronkus. Penderita asma berat
mempunyai saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk
mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa (Maj
Kedokteran Indonesia, 2008).
Asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma,
serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Walaupun berbagai
usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan
karena terdapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar
pasien (GINA, 2006).
Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala,
dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien. Pembagian
derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat. Gejala
nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali). FEV1≥80% predicted
atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 <
20%.
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari.
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2
kali/bulan. FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik
individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%.
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas
dan tidur. Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu. Menggunakan
agonis β2 kerja pendek setiap hari. FEV1 60-80% predicted atau PEF
60-80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi. Gejala asma
nokturnal sering terjadi. FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai
terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.
A. Kerangka Konsep
Tingkat Kecemasan :
1. Ringan Kualitas Tidur
2. Sedang 1. Baik
3. Berat 2. Buruk
4. Panik
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis Penelitian adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan (Sugiyono, 2009).
Hipotesis dalam penelitian ini yaitu :
1. Ho = tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas
tidur pada pasien Ashma.
2. Ha = terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada
pasien Ashma.