Anda di halaman 1dari 67

FUNGSI DAN PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN ANAK AUTIS BERINTERAKSI DI LINGKUNGANNYA


(STUDI PADA KOMUNITAS YAYASAN RUMAH AUTIS DI BEKASI)

Disusun oleh :

Kelompok 4
Damayanti Polapa (20200920100030)
Dayana Noprida (20200920100003)
Fenty Efendy (20200920100050)
Pipit Pitriani (20200920100048)
Idawati (20200920100043)
M. Didin Wahyudin (20200920100035)
Sahariah (20200920100038)
Sarini (20200920100039)
M. Didin Wahyudin (20200920100035)
Tri Imroatun (20200920100023)
Wisnu Handoko (20200920100027)

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah proposal riset
kualitatif dengan judul “Peran orang tua dalam meningkatkan kemampuan anak
autis berinteraksi dengan lingkungannya di Komunitas Yayasan Rumah Autis di
Bekasi ”.
Penyusunan makalah ini adalah salah satu tugas pada mata kuliah riset kualitatif
dalam keperawatan pada program magister keperawatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta. Penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang mendukung
dalam pembuatan makalah ini maka makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, hal itu karena keterbatasan
penulis sebagai mahasiswa yang dalam hakikatnya sebagai manusia. Oleh karena itu,
permohonan maaf kami haturkan sebelumnya serta segala kritik dan saran sangat kami
harapkan adanya.
Penulis berharap dengan adanya makalah ini semakin akan semakin meningkatkan
ilmu pengetahuan terkait peningkatan kualitas peran orang tua dengan anak autis untuk
mengenalkan lingkungan kepada anaknya.
Jakarta, Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................... i


KATA PENGANTAR ……………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1


1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 8
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ......................................................... 8
1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………………………………………… 10


2.1 Konsep Anak Autis ............................................................. 10
2.1.1 Defenisi Anak Autis ................................................... 10
2.1.2 Ciri-Ciri Anak Autis ................................................... 15
2.1.3 Penyebab terjadi Autis ................................................ 17
2.1.4 Gejala Anak Autis ..................................................... 19
2.1.5 Interaksi Sosial Anak Autis ........................................ 20
2.1.6 Penanganan Anak Autis .............................................. 23
2.2 Penerimaan dan Pemahaman Orang Tua Terhadap Anak Autis 25
2.3 Peran dan Fungsi Orang Tua Terhadap Anak Autis ……….. 29
2.4 Landasan Teori …………………………………………… .. 36
2.4.1 Tindakan Sosial Menurut Goerge Herbert Mead …….. 36
2.4.2 Sosialisasi Menurut Goerge Herbert Mead ………….. 39
2.4.3 Teori Fungsi ............................................................... 42
2.5 Penelitian Yang Relevan ………………………………… .. 45
2.6 Kerangka Berfikir ………………………………………….. 50

BAB III METODE PENELITIAN …………………………………........ 53


3.1 Jenis penelitian ..................................................................... 53
3.2 Lokasi Penelitian ............................................................................53
3.3 Unit Analisis dan Informan.............................................................54
3.3.1.1 Unit Analisis .....................................................................54
3.3.1.2 Informan ...........................................................................54
3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................54
3.5 Alat Pengumpulan Data ................................................................54
3.6 Interpretasi Data ………………..............………….....…………..56
3.7 Keterbatasan Penelitian …………………..............….....………...56
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak Autism Spectrum Disorder atau autisme secara umum merupakan

kombinasi dari beberapa kegagalan perkembangan antara lain pada keterlambatan

dalam hal interaksi sosial, masalah dalam bahasa yang digunakan dalam

komunikasi sosial, perkembangan bahasa sangat lambat serta fungsi saraf. Hal

tersebut dapat terlihat dengan tidak ada kontak mata, adanya keganjilan perilaku

dan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitar

dan seakan-akan mempunyai kehidupannya sendiri. Anak penyandang autis

berserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki,

tingkat intelegensi, maupun perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak

berbicara, ada juga yang terbatas bahasannya sehingga sering ditemukan

mengulang-ngulang kata atau pun kalimat. Ada juga diantara mereka yang

memiliki kemampuan tingkat bahasannya yang tinggi sehingga mereka

menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep yang abstrak.

Cara bermain anak autis sangat kurang variatif, kurang imajinatif serta

tidak dapat meniru. Anak autis secara tiba-tiba sering menangis tanpa sebab,

menolak untuk dipeluk, tidak menengok atau menoleh bila dipanggil namanya

bahkan tidak tertarik pada berbagai jenis atau bentuk permainan, namun seringkali

bermain dengan benda-benda yang bukan permainan, misalnya bermain sepeda

bukan dinaiki tapi sepeda tersebut dibalik dan ia memutar-mutar bolanya, dapat

menggambar sesuatu objek secara baik dan rinci tetapi sebaliknya tidak dapat
mengancing bajunya, pintar atau trampil bongkar pasang permainan tertentu tapi

sangat sulit/sukar mematuhi dan mengikuti perintah, dapat berjalan tepat pada

usia normal tapi tidak dapat berkomunikasi, sangat lancar membeo bicara tapi

tidak dapat atau sulit berbicara dari diri sendiri, pada suatu waktu dapat secara

tepat dan cepat melakukan sesuatu tapi pada lain waktu tidak sama sekali. Anak

tersebut hanya bermain sendiri, tidak dapat bermain dengan anak yang lain, tidak

mengikuti aktifitas kelompok, atau malah hanya malah mengganggu kelompok

atau aktifitas kelompok.

Ciri-ciri anak autis dapat kita ringkas sebagai anak dalam kategori asosial

yang ditandai dengan menarik diri dan menghindar secara sukarela terhadap

interaksi sosial apapun. Beberapa gejala sosial, baik dalam komunikasi maupun

interaksi sosial yang di alami anak autis, yaitu tidak mampu menjalin interaksi

sosial yang memadai, seperti kontak mata yang tidak jelas, ekspresi dan gerak

gerik yang kurang tertuju, tidak bisa bermain dengan baik dengan teman-

temannya, ia lebih suka bermain sendiri seolah-olah ia mempunyai dunianya

sendiri, kurang mampu bahkan tidak mampu mengadakan hubungan sosial dan

emosional yang timbal balik, ada satu pola yang dipertahankan sehingga itu

menjadi suatu kebiasaan, rutinitas atau kesenangan tersendiri baginya, saat ia

mempunyai minat dalam satu hal, maka ia hanya akan fokus pada satu hal saja.

Menurut Leonardo dan Paolo (2018), pada 2016, ada diperkirakan

62.000.000 kasus ASD di seluruh dunia, akuntansi untuk prevalensi 0,83%.

Dalam hal beban penyakit, ASD menyumbang secara global selama lebih dari

9.000.000 tahun tinggal dengan cacat dan untuk 121 Cacat disesuaikan hidup

tahun per 100.000 populasi, sedangkan di Indonesia menurut Badan Pusat

Statistik Indonesia dalam Raden dan Ilmi (2015), jumlah anak autis usia 5 hingga

19 tahun yang berhasil didata pada tahun 2014 ada sekitar 112 ribu jiwa.
Mengutip dari klinikautis.com, pada tahun 2015 satu per 250 anak mengalami

gangguan autisme dan terdapat kurang lebih 12.800 anak dengan autisme dan

134.000 orang dengan autisme di Indonesia. Jumlah penderita autis di Indonesia

diperkirakan mengalami penambahan sekitar 500 orang setiap tahun.

Menurut Diah (2018), berdasarkan dari Badan Pusat Statistik pada 2016

menunjukkan 4,6 juta anak adalah autisme. Jumlah anak autis di Jakarta pusat

sepanjang tahun 2020 sejumlah 49 anak dan jumlah ini diperkirakan akan terus

bertambah dari tahun ke tahun.

Ada beberapa gejala autisme diantaranya sangat ringan, sedang, hingga

parah. Parah atau ringannya gangguan autisme sering diparalelkan dengan

keberfungsian. Gejala-gejala yang dialami oleh anak tersebut membuat orangtua

merasa aneh dan menjadi suatu permasalahan bagi mereka. Mengingat sifat

gangguan autisme yang kompleks dan mengenai hampir seluruh aspek

perkembangan pada anak, maka gangguan autisme tidak dapat dipandang sebelah

mata bagi orangtua.

Ada beberapa cara dalam penanganannya sehingga gangguan autisme

dapat dikurangi. Dikutip dari kemenpa.go.id, menurut Rudy Sutadi (2016),

walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi

sehingga ia bisa tumbuh normal tetapi kondisi masing-masing anak sangat

berbeda sehingga modal awal dan hasil akhir sangat tergantung pada kuantitas dan

kualitas gejala autisme. Di antaranya intensitas penanganan dini, tingkat

inteligensi anak, kemampuan komunikasi dan sosial, perilaku, konsistensi pola

asuh keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat dalam membantu anak

tersebut. Namun walaupun dikatakan bahwa anak autis tersebut sulit disembuhkan

, tetapi ada beberapa anak autis yang juga berhasil di tengah lingkungan

masyarakat. Dikutip dari kompasiana.com (2015), beberapa contoh bahwa anak


autis dapat berhasil di tengah lingkungan masyarakat diantaranya Muhammad

Vadil kelahiran 24 Mei 1994, tercatat ia beberapa kali turut memperkuat DKI

Jakarta dalam sejumlah kejuaraan renang. Berkat terapi yang dilakukan secara

intensif dan terpadu ia dapat berkomunikasi dengan baik dan tampil sebagai

pembicara memaparkan perjuangannya melawan autisme, Rendy Ariesta

kelahiran Jakarta, 8 Oktober 1997 juga merupakan penderita autis yang berhasil

sembuh melalui terapi Aplied Behaviro Analisis (ABA). Ia menjalani kehidupan

normal sebagaimana pelajar lainnya dengan perolehan nilai yang bagus dan dapat

menjalani aktivitas secara mandiri seperti naik angkutan kota ke sekolah, bergaul

dengan teman sebaya dan mengembangkan hobi menyanyi, menulis lagu dan

bermain gitar, Hasan Al Faris Tanjung lahir pada 14 Juni 1998 itu berhasil

sembuh dan sejak sekolah dasar menempuh pendidikan di sekolah reguler Al Fikri

Depok meraih nilai rata-rata 8,8 pada ujian nasional. Faris berhasil sembuh

setelah menjalani terapi ABA serta diet dan intervensi biomedis sejak usia 1,5

tahun.

Keluarga merupakan suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh

manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh

adanya kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan

sebagainya. Keluarga juga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat dimana

di keluarga memainkan peranan sangat penting dalam sosialisasi primer yang

mempunyai arti paling strategi dalam mengisi dan membekali nilai-nilai dan

aturan- aturan masyarakat yang berlaku di dalam masyarakat dan dibutuhkan

anggotanya dalam mencari makna kehidupannya. Nilai-nilai dan aturan dalam

masyarakat tersebut dibangun lewat hubungan-hubungan kemanusiaan yang akrab

dan harmonis serta lahir dan tumbuh di lingkungan pergaulan keluarga.


Bagaimanapun wujud pergaulan dan hubungan tersebut, didalamnya terjalin dan

berjalan pengaruh berlangsunya secara kontiyu antara keduanya.

Setiap keluarga juga memiliki karakteristik yang membedakannya dari

keluarga yang lain. Sistem-sistem dalam keluarga merupakan sarana untuk

menjalani kehidupan berkeluarga dan berinteraksi bagi anggotanya. Keluarga

memegang fungsi sentral bagi orang tua untuk mengontrol anak-anaknya dan

pemusatan perekonomian, hubungan kekerabatan, dan sosialisasi nilai-nilai

budaya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi

dengan lingkungan. Melalui keluarga anak belajar merespon dan menyesuaikan

diri dengan lingkungan. Melalui proses interaksi itu anak secara bertahap belajar

mengikuti apa yang disosialisasikan oleh orangtuanya.

Orangtua menjadi guru pertama yang mengajarkan nilai-nilai, norma-

norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kepada anak-

anaknya. Nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan oleh

orang tua mencerminkan harapan dan cita-cita mereka. Apa yang disosialisasikan

kepada anak-anak akan mempengaruhi perilaku mereka dalam menjalani

kehidupannya sendiri. Semua orangtua lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk

mendidik anak supaya anak memperoleh dasar-dasar pergaulan hidup yang benar

dan baik karena setiap orang tua juga memiliki fungsi dan peran untuk

membentuk potensi anak. Makna dan corak fungsi dan peran itu serta

penerapannya dipengaruhi oleh kebudayaan sekitar dan intensitas keluarga.

Melalui fungsi dan peran orang tua inilah anak lebih mengenal dunia sekitar dan

pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari sehingga anak mengalami proses

sosialisasi awal.

Berdasarkan hasil observasi peneliti pada orang tua anak autis di

komunitas Rumah Rachel Jakarta Pusat, pemahaman dan pengetahuan tentang


anak autis seharusnya dimiliki sejak awal setiap orang tua yang anaknya

mengalami anak autis tetapi kebanyakan dari mereka terlambat untuk menyadari

bahwa anak mereka memiliki perbedaan dengan anak-anak yang lain saat

berinteraksi dengan lingkungannya dan akan menjalani terapi ketika anak tersebut

telah di diagnosa sebagai anak autis. Mereka hanya menganggap autis hanya

gangguan mental saja, dan masalah itu adalah hal yang sepele, ada juga sebagian

yang menganggap autis adalah hukuman atas dosa yang mereka perbuat dimasa

lalu, dan sampai ada yang menganggap autis adalah penyakit keturunan. Selain

itu, di dalam proses mengasuh anak mereka, banyak tantangan dan permasalahan

yang dimiliki oleh orangtua terhadap anak autis. Hal inilah yang menarik bagi

peneliti bagaimana mereka melakukan peran dan tanggung jawab kepada anaknya

yang menderita autis agar mampu berperan sebagai anggota masyarakat.

Di Jakarta Pusat ditemukan komunitas yang memiliki anak autis bernama

“Yayasan Rumah Autis”. Komunitas ini merupakan yayasan yang menjadi tempat

berbagi pengalaman orang tua dalam mendidik anak autis. Ia memiliki beberapa

cabang antara lain Tangerang, Tanjung Priuk, Depok, Bekasi dan Karawang.

Peneliti melihat komunitas tersebut memiliki ciri-ciri yang dibutuhkan oleh

peneliti terutama di Cabang Pusat yang berada di kota Bekasi dengan jumlah

anggota 58 orang anak penderita autisme. Adapun fokus penelitian ini adalah

untuk menganalisis fungsi dan peran orang yang memiliki anak Autism Spectrum

Disorder yaitu fungsi orang tua yang berhasil dan disfungsinya serta peran dan

tindakan sosial orang tua terhadap anak autisnya agar dapat berinteraksi sosial dan

beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari fokus penelitian tersebut, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana

fungsi dan peran orang tua dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi anak

autis di lingkungannya (Studi Pada Yayasan Rumah Autis Cabang Bekasi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis fungsi dan peran

orang tua dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi anak autis di

lingkungannya (studi pada Komunitas Yayasan Rumah Autis Cabang Bekasi.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan anak autis. Dengan penelitian ini

diharapkan orang-orang bisa lebih memberikan perhatian khusus terhadap

anak-anak penyandang autis agar adanya upaya dalam peningkatan kualitas

dalam menangani anak yang mengalami autis.

b. Agar masyarakat memberi perhatian kepada mereka khususnya dalam hal

kehidupan sosial mereka dan perlu adanya suatu program atau kegiatan

yang dapat menunjang kehidupan sosial mereka dengan masyarakat

sekitarnya.

c. Dengan adanya penelitian ini, penulis dan pembaca bisa mengetahui

bagaimana kehidupan sosial anak autis.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi para

orang tua yang memiliki anak autis.

b. Untuk menambah referensi kajian penelitian yang dapat dijadikan bahan

rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa Magister Keperawatan

selanjutnya, serta memberikan sumbangan bagi cakrawala pengetahuan.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa, keluarga dan

pemerintah khususnya untuk memberikan perhatian khusus terhadap orang

tua yang memiliki anak autis.


BAB II
TINJAUAN TEORI

1.1 Konsep Anak Autis

1.1.1 Definisi Anak Autis

Secara etimologi kata “autisme” berasal dari kata “auto” dan “isme” yang

artinya “auto” yaitu diri sendiri sedangkan “isme” yaitu paham. Autism Spectrum

Disorder atau yang lebih dikenal dengan autism merupakan gangguan yang terjadi

pada otak, yang menyebabkan beberapa area berbeda di otak tidak mampu

bekerjasama. Sehingga penderita autisme sulit berkomunikasi dan berhubungan

sosial dengan orang lain. Menurut Rury (2018), Autisme pertama kali ditemukan

oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Secara alami anak dengan autisme terlahir

memiliki perbedaan sehingga tidak memiliki ketertarikan atau minim terhadap

interaksi sosial dengan lingkungannya, yang menyebabkan terhambat tumbuh

kembang pada kemampuan bahasa dan sosialnya. Anak yang terlahir dengan

autisme tidak memiliki ketertarikan terhadap hubungan antar manusia. Anak

dengan autisme didefinisikan sebagai anak yang menolak perubahan, menyukai

kesamaan, sangat kaku dengan rutinitas, memiliki stereotipe (stimming), bahasa

mereka pun tidak umum seperti robot, echolalia, kesulitan memahami kata ganti

orang, dll. Menurut Kanner dalam Rury (2018), sempat melontarkan gagasan
bahwa autisme terjadi karena orangtua yang dingin atau sering disebut sebagai

model ‘refrigerator mother’. Namun, beberapa tahun kemudian dia meralat bahwa

autisme sebagai kelainan diotak.

Menurut Gregorius dan Lubriady (2017), autis adalah gangguan

perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan

dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,komunikasi dan


interaksi sosial. Menurut Mudjito dalam Hevi (2014), autisme adalah anak yang

mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami

gangguan sensoris, pola bermain dan emosi. Menurut Autism Society of America

dalam Engelbertus (2015), pengertian autis di bagi menjadi lima jenis autis yaitu :

1. Sindrom Asperger

Jenis gangguan ini ditandai dengan defisiensi interaksi sosial dan kesulitan

dalam menerima perubahan rutinitas sehari-hari. Pada sindrom Asperger,

kemampuan bahasa tidak terlalu terganggu bila dibandingkan dengan gangguan

lain. Anak yang menderita jenis autisme ini kurang sensitif terhadap rasa sakit,

namun tidak dapat mengatasi paparan suara keras atau sinar lampu yang tiba-tiba.

Anak dengan sindrom Asperger memiliki kecerdasan rata-rata atau di atas rata-

rata sehingga secara akademik mampu dan tidak bermasalah.

2. Autistic Disorder

Autistic disorder disebut juga sebagai true autism atau childhood autism

karena sebagian besar berkembang pada tiga tahun awal usia anak. Pada sebagian

besar kasus, anak yang terkena autis tidak memiliki kemampuan berbicara dan

hanya bergantung pada komunikasi non-verbal. Kondisi ini mengakibatkan anak

menarik diri secara ekstrim terhadap lingkungan sosialnya dan bersikap acuh tak

acuh. Anak tidak menunjukkan kasih sayang atau kemauan untuk membangun

komunikasi.

3. Pervasif Developmental Disorder

Autisme jenis ini meliputi berbagai jenis gangguan dantidak spesifik terhadap

satugangguan.Tingkatkeparahanmulaidariyangringansampaiketidakmampuan
yang ekstrim. Umumnya didiagnosis dalam 5 tahun pertama usia anak. Pada

gangguan ini, keterampilan verbal dan non-verbal efektif terbatas sehingga pasien

kurang bisa komunikasi.

4. Childhood Disintegrative Disorder

Gejala-gejalagangguaninimunculketikaseoranganakberusiaantara3sampai 4

tahun. Pada dua tahun awal, perkembangan anak nampak normal yangkemudian

terjadi regresi mendadak dalam komunikasi, bahasa, sosial, dan keterampilan

motorik.Anakmenjadikehilangansemuaketerampilanyangdiperolehsebelumnya

dan mulai menarik diri dari semua lingkungansosial.

5. RettSyndrome

Rett syndrome relatif jarang ditemukan dan sering keliru didiagnosis sebagai

autisme. Sindrom ini terutama memengaruhi perempuan dewasa atau anak

perempuan yang ditandai oleh pertumbuhan ukuran kepala yang abnormal. Rett

syndrome disebabkan oleh mutasi pada urutan sebuah gen tunggal. Gejala awal

yang teramati diantaranya adalah kehilangan kontrol otot yang menyebabkan

masalah dalam berjalan dan mengontrol gerakan mata. Keterampilan motorik

terhambat dan mengganggu setiap gerakan tubuh,mengarah ke perkembangan

stereotip serta gerakan tangan dan kaki yang berulang.

Menurut Rury (2018), jenis-jenis autis yang diatas merupakan bagian dari

defenisi Diagnostic and Stastical Manual of Mental Disorder IV (DSM IV) yang

dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA) tetapi yang digunakan

sebagai standar dunia pada tahun 2013 dikeluarkan Diagnostic and Stastical

Manual of Mental Disorder V (DSM V) yang semua berada di payung Autism


Spectrum Disorder (ASD). Menurut DSM V ini,individu denga autisme

didefinisikan sebagai:

1. Kekurangan dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial diberbagai konteks

secara terus menerus yang dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Kekurangan dalam hubungan sosial-emosional timbal balik yang

bervariasi misalnya pendekatan susila yang tidak normal, kegagalan dalam

percakapan timbal balik, tidak tertarik untuk berbagi ketertarikan, emosi

atau perasaan, kegagalan untuk memulai atau merespons interaksi sosial.

2) Kekurangan dalam behavior yang berbentuk komunikasi non-verbal yang

digunakan untuk interaksi sosial yang bentuknya bervariasi mulai dari

bentuknya verbal dan non-verbal yang kurang terintegrasi, abnormal di

kontak mata dan bahasa tubuh atau kekurangan dalam memahami dan

menggunakan bahasa tubuh, sampai tidak memiliki ekspresi wajah dan

komunikasinon-verbal.

3) Kekurangan dalam mengembangkan, mempertahankan dan memahami

hubungan dengan manusia lain yang bentuknya bervariasi. Mulai dari

kesulitan menyesuaikan behavior pada situasi sosial tertentu, sampai

kesulitan dalam berbagai permainan imaginatif atau berteman, dan tidak

memiliki keinginan untukberteman.

2. Behavior, ketertarikan atau aktivitas yang terbatas dan berulang yang

ditunjukkan paling tidak dua dari contoh di bawah ini (saat ini atau

sebelumnya) dengan gambaran di bawah ini sebaga ilustrasi:


1) Stereotip atau gerakan motor yang berulang dengan menggunakan objek,

suara (contohnya stereotip motor sederhana, membariskan mainan atau

membalik-balikkan obyek, echolalia, frasa yang unik danindividu).

2) Bersikeras (menyukai) kesamaan, tidak fleksibel terhadap rutinitas atau

pola ritual behavior verbal dan non-verbal (contohnya stres terhadap

perubahan kecil, kesulitan padat transisi, cara berpikir yang kaku, ritual

pada salam, butuh melalui rute yang sama setiap bepergian atau makan

makanan yang sama setiap hari).

3) Minat yang sangat terbatas, terpaku pada ketertarikan terhadap sesuatu

yang tidak normal pada intensitas dan fokus (misalnya ketertarikan yang

kuat atau easyikan pada benda-benda yang tidak biasa, keterbatasan minat

atau ketertarikan yang lama pada minat itu).

4) Hiper atau hipo reaktif terhadap sensori input dan minat yang tidak biasa

dalam aspek sensori di lingkugan (ketidakpedulian terhadap perubahan

terhadap rasa sakit,suhu lingkungan,respon negative terhadap suara

tertentu atau tekstur tertentu, indera penciuman dan peraba yang

berlebihan, ketertarikan yang kuat terhadap cahaya atau gerakan).

3. Gejala-gejala di atas harus terlihat dalam perkembangan anak usia dini (tetapi

mungkin tidak sepenuhnya dilihat sampai adanya tuntutan sosial sesuai

umurnya, atau mungkin tertutupi oleh strategi terapi yang dilakukan kemudian).

4. Gejala-gejala menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis di dalam

sosial, okupasi atau area lain untuk berfungsi sebagai individunormal.


Dari defenisi diatas kita bisa melihat bahwa anak dengan autisme memang

memiliki perbedaan. Autisme Spectrum Disorder merupakan tampilan anak yang

sangat unik dan berbeda di setiap anaknya karena diagnosa anak autis bisa

berbentuk anak yang tampilannya berbeda sehingga kita juga tidak bisa

membandingkan antara anak autis yang satu dengan anak autis lainnya tetapi kita

bisa melihat tingkat keparahan autism berdasarkan pada gangguan komunikasid

an pola behavior yang berulang.

1.1.2 Ciri-ciri Anak Autis

Secara umum anak dengan autisme memiliki ciri-ciri dimana tidak memiliki

ketertarikan dan motivasi untuk berinteraksi dengan lingkungan luar. Mereka

seakan-akan memiliki dunianya sendiri sampai pada akhirnya mereka terisolasi

dengan lingkungan sekitar. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk belajar yang

mengakibatkan terhambatnya proses belajar bahasa di usia dini. Akhirnya anak

mengalami keterlambatan bicara bahkan sampai tidak bias bicara sama sekali.

Anak dengan autisme juga memiliki kemampuan bahasa yang berbeda dan

memiliki keterbatasan dalam komunikasi dua arah seperti mereka mengetahui dan

paham akan benda yang di pegangnya tetapi mereka sulit dan bingung untuk

menyampaikan apa nama benda yang sudah dipegangnya tersebut dan dilain

waktu mereka berbicara tetapi hanya meniru dan mengulang-ngulang kata tanpa

makna. Menurut Dessy, Meilanny dan Yessi (2017), secara umum ada beberapa

ciri-ciri anak penyandang autisme yaitu seperti:


Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata

sangat kurang hidup, ekspresi muka kurang hidup, ekspresi mata kurang hidup,

dan gerak-geriknya kurang tertuju dan tidak dapat bermain dengan teman sebaya.

1. Aspek Komunikasi

Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang dan jika bicara,

biasanya tidak dipakai untuk berkomunikasi.

2. Aspek Perilaku

Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tidak ada gunanya

dan seringkali sangat terpukau pada benda.

Selain itu Menurut Sunu dalam Jojor (2017), adapun ciri-ciri anak autis

sebagai berikut :

1. Kurangnya motivasi, anak autis biasanya terlihat menarik diri dari lingkungan

sosial dan sibuk dengan dunianya sendiri. Beberapa anak autis biasanya tidak

memiliki keinginan untuk ingin tahu dunia yang ada di sekitarnya. Mereka tidak

memilikikeinginanuntukmemberitahulingkungandanmemperluasruanglingkup

mereka.

2. Selektif terhadap stimulasi rangsang dari lingkungan sekitarnya, sehingga

seringkali kesulitan menangkap informasi secara maksimal dan sekitarnya.

Sikap ini sering membuat anak autis menjadi kurang peka jika ada bahaya di

sekelilingnya. Misalnya saat anak tersebut berada di kolam renang atau di jalan

raya.

3. Motivasi untuk stimulasi diri tinggi. Anak autis sering terlihat sibuk

menghabiskan waktunya untuk menstimulasi diri sendiri dengan banyak cara,


seperti mengibas-ngibaskan tangan (flapping) atau menggerak-gerakkan jarinya

dan memandanginya sendiri.

4. Merespon imbalan secara langsung. Hal ini akhirnya menjadi salah satu cara

yang dipakai dalam terapi perilaku, seperti dengan memanfaatkan

responlangsung anak autis pada imbalan sebagai sarana untuk mengetahui

perilaku baru yang diinginkan.

1.1.3 Penyebab Terjadinya Autis

Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang mengalami autisme belum

diketahui secara pasti tetapi kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan

penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan

metabolik. Hasil-hasil penelitian lebih banyak menunjukkan bahwa autisme lebih

dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan), faktor biologis, faktor lingkungan,

dan faktor pemicu lainnya.

Menurut Soetjiningsih dan Ranuh (2015), Autisme dapat terjadi karena

berbagai faktor, antara lain adanya pengaruh psikososial terkait dengan

pengasuhan orangtua, masalah saat kehamilan, saat melahirkan dan ketika sesudah

proses melahirkan, adanya riwayat penyakit autoimun yang berasal dari orangtua,

pengaruh genetik, terdapat masalah dalam neuroanatomi dan neurotransmiter serta

adanya pertumbuhan jamur berlebih yang menyebabkan gangguan pada sistem

pencernaan anak dengan autisme. Menurut Mega,dkk (2018), penyebab autis

karena adanya kerusakan bagian otak sehingga mempengaruhi pikiran, persepsi,

dan perhatian. Kelainan ini dapat menghambat, memperlambat, ataumengganggu


sinyal dari mata, telinga, dan organ sensori yang lain. Hal ini umumnya

memperlemah kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain,

mungkin pada aktivitas sosial atau penggunaan keterampilan komunikasi seperti

bicara, kemampuan imajinasi dan menarik kesimpulan. Sehingga kelainan ini

mengakibatkan gangguan atau keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa,

perilaku, komunikasi dan interaksi sosial sedangkan menurut Leonardo dan Paolo

(2018), penyebab autis lebih besar pengaruhnya berasal dari gen tetapi faktor

lingkungan juga menentukan dimana termasuk usia orang tua, komplikasi

kehamilan dan kondisi ibu, racun organik, polusi udara, atau paparan obat selama

kehamilan.

Selain dari beberapa faktor diatas, beberapa penelitian juga menyebutkan

bahwa banyak orang tua yang mengalami keterlambatan kesadaran orang tua pada

identifikasi perkembangan anak autis. Menurut Muhammad, dkk (2018)

keterlambatan kesadaran orang tua disebabkan karena kurangnya kesadaran dan

pengetahuan yang cukup tentang autisme di antara orang tua. Selain tanda dan

gejala, orang tua juga tidak menyadari metode diagnosis dan pengobatan. Hal ini

mengakibatkan keterlambatan identifikasi dan intervensi orang tua terhadap anak

autis.

Selain itu, peran dan fungsi didalam suatu keluarga yang telah berubah dan

mengalami pergeseran juga mempengaruhi perkembangan terhadap anak autis.

Menurut Seffia (2015), Anak autis memerlukan perhatian yang lebih banyak dari

orang tua terutama ibu yang terlibat langsung dalam kepengasuhan anak sepanjang

hari tetapi fungsi pengasuhan oleh keluarga akhir-akhir ini cenderung


dikesampingkan, dan pergeseran peran keluarga jelas mempengaruhi kesehatan

mental anggota keluarga terutama pada anak autis. Menurut Faturohman dalam

Nunung (2014), Orang tua yang sibuk bekerja menyebabkan berkurangnya

interaksi orang tua dengan anak. Hal ini akan memberikan sumbangan dan

berdampak pada perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial tertentu

pada anak yang lambat laun akan mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut

biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis internal dan eksternal yang salah

satunya adalah mempunyai anak yang mengalami mental disorder. Banyak

orangtua yang menganggap keterlambatan berkomunikasi dan interaksi yang

terjadi pada anaknya tersebut adalah hal yang wajar atau tidak menganggap

gangguan autis yang terjadi pada anak mereka.

1.1.4 Gejala Anak Autis

Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada

anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hal ini juga

dijelaskan pada DSM IV bahwa autis lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan pada perempuan, dengan perbandingan 4-5:1 untuk kasus autis pada

laki-laki dan perempuan terutama untuk jenis autistic disorder. Penanganan

autisme ini dapat diawali dengan deteksi dini pada anak-anak yang mempunyai

karakteristik autis. Deteksi dini dapat dilakukan oleh orang tua, dokter anak,

keluarga ataupun guru anak. Mayoritas orangtua yang memiliki anak dengan

autisme biasanya terdeteksi dari usia 1 tahun sampai 3 tahun disaat anak normal

sudah pandai berbicara dan komunikasi, sementara anak dengan autism memiliki
keterlambatan bicara atau memiliki bahasa yang aneh. Menurut Khaula (2018),

ASD dapat dideteksi mulai usia 18 bulan dan dapat didiagnosis dengan pasti sejak

usia 2 tahun.

Menurut Samantha (2018), secara umum gejala autis sudah terlihat dimana

orang-orang dengan ASD memiliki beberapa bentuk perilaku terbatas atau

berulang yang dapat mencakup: ucapan berulang atau gerakan; keinginan kuat

untuk kesamaan, dapat diprediksi dan rutin; minat yang intens atau luar biasa dan

sensitivitas hipo atau hiper untuk dalam sensorik seperti cahaya, suara dan sensasi

fisik.Gejala-gejala ini hadir dalam kombinasi yang berbeda dan dengan

variabilitas yang hebat dalam presentasi dan dampaknya pada fungsi harian

seseorang.Namun, pada beberapa kasus, anak sudah memperlihatkan gejala

autisme sejak bayi.

1.1.5 Interaksi Sosial Anak Autis

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang bersifat dinamis

yang dapat berupa hubungan antar individu, antar individu dan kelompok,maupun

antar kelompok. Di dalam interaksi sosial juga terdapat simbol-simbol yang

diartikan sebagai sesuatu yang dianggap nilai atau maknanya yang diberikan oleh

mereka yang menggunakannya. Thibaut dan Kelley dalam Ditha (2017), bahwa

interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua

orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain

atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap

orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.


Interaksi sosial dalam penelitian ini merupakan sebagai hubungan timbal

balik dari keterlibatan dan ketertarikan anak autis terhadap sesuatu yang berada di

lingkungannya. Biasanya interaksi ini menggunakan simbol-simbol tertentu atau

denganmenggunakangerakan-gerakanuntukbisamengutarakankeoranglain.Hal ini

dikarenakan bahwa anak autis kurang mampu menjalin hubungan dengan baik,

seperti kontak mata sangat kurang ketika berinteraksi dengan orang lain, ekspresi

wajah yang kurang hidup, gerak gerik yang kurang fokus, tidak bisa bermain

dengan teman sebaya, tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, serta

kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

Beberapa gangguan interaksi social pada anak autism yang telah disebutkan,

menimbulkan hambatan sosial bagi anak autis. Hambatan sosial anak autis akan

berubah sesuai dengan perkembangan usia. Menurut Asrizal (2016), sejak tahun

pertama, anak autis mungkin telah menunjukkan adanya gangguan pada interaksi

sosial yang timbal balik, seperti menolak untuk disayang atau dipeluk, tidak

menyambut ajakan ketika akan diangkat dengan mengangkat kedua lengannya,

kurang dapat meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal menunjukkan suatu

objek kepada orang lain, serta adanya gerakan pandangan mata yang abnormal;

Permainan yang bersifat timbal balik mungkin tidak akan terjadi. Sebagian anak

autis tampak tidak acuh atau tidak beraksi terhadap pendekatan orang tuanya,

sebagian lainnya malahan merasa cemas apabila berpisah dan melekat pada orang

tuanya. Anak autis gagal dalam mengembangkan permainan teman-temannya,

mereka lebih suka bermain sendiri. Keinginan untuk menyendiri yang sering

tampak pada masa kanak-kanak akan makin menghilangdengan bertambahnya


usia, walaupun mereka berminat untuk mengadakan hubungan dengan teman,

sering kali terdapat hambatan karena ketidakmampuan mereka untuk memahami

aturan-aturan yang berlaku dalam interaksi sosial. Kesadaran sosial yang kurang

inilah yang mungkin menyebabkan mereka tidak mampu untuk memahami

ekspresi wajah orang, ataupun untuk mengekspresi perasaannya, baik dalam

bentuk vokal maupun ekspresiwajah.

Hambatan-hambatan sosial yang dapat terjadi terhadap anak autis dalam

berinteraksi membuat peran orang tua sangat diharapkan guna meningkatkan

interaksi sosial pada anak autis. Menurut Suharni dkk (2016), cara untuk

meningkatkan interaksi sosial pada anak autis yang cukup maka peran orang tua

sangat diharapkan memberi dukungan kepada anak autis untuk melakukan

interaksi sosial yang cukup. Dalam hal ini perlu kerjasama antara orang tua dan

anak karena kerjasama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang utama

dan sebagai suatu usaha untuk memberikan proses penyembuhan yang baik

terhadap anak autis. Sedangkan yang harus dilakukan orang tua dalam melakukan

interaksi sosial dengan anak autis yakni melakukan kontak langsung dengan anak

autis seperti berbicara,tersenyum dan Bahasa isyarat. Disamping orang tua sebagai

pembimbing dan penolong bagi anak-anaknya, mereka juga harus memperkaya

ilmu untuk memilih terapi yang tepat dan sesuai sehingga dapat menentukan

dalammembantu anak untuk mencapai perkembangan dan pertumbuhan optimal.


1.1.6 Penanganan Anak Autis

Anak dengan autisme sejauh ini memang belum bisa disembuhkan tetapi

masih dapat diterapi. Menurut Thomas dan Joel (2015), diagnosis dini dan

penerapan berbasis intervensi, bukti meningkatkan kemungkinan bahwa seorang

anak akan memiliki hasil yang lebih baik dan mengurangi gangguan fungsional.

Tujuan pengobatan adalah untuk meminimalkan efek mengganggu dan untuk

meningkatkan fungsi adaptif. Dengan begitu adanya intervensi yang tepat,

perilaku- perilaku yang tidak diharapkan dari pengidap autism dapat berkurang

dan dirubah tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada, kecepatan

diagnosis dan terapi yang didapat.

Gejala yang timbul pada anak autis sangat bervariasi, oleh karena itu terapi

sangat individual dan tergantung keadaan dan gejala yang timbul dan harus

ditanganin secara holistic oleh tim ahli. Menurut Sri (2014), ada beberapa terapi

anak autis di antaranya :

1. Terapibicara

Terapi bicara yaitu terapi yang melatih dan melancarkan otot-otot mulut anak

sehingga membantu anak berbicara lebih baik.

2. Terapibiomedik

Terapi biomedik yaitu penanganan biomedis melalui perbaikan kondisi tubuh

agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak misalnya keracunan logam berat,

allergen, dan lain-lain.

3. Terapimakanan

Terapi makanan beberapa anak autis pada umumnya mempunyai riwayat alergi

terhadap beberapa makanan sehingga pengalaman dan perhatian orangtua dalam


mengatur dan menyiapkan menu makanan serta mengamati gejala yang timbul

akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam menentukan terapi selanjutnya.

Terapi diet disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak.

4. Terapiperilaku

Terapi perilaku yaitu terapi yang bertujuan agar perilakuanakmenjadi

terkendali dan mengerti norma social yang berlaku. Fokus penanganan dalam

terapi perilaku adalah pemberian reinvorcement positif setiap kali anak

merespondengan benar sesuai dengan instruksi yang diberikan dalam terapi

perilaku ini tidak menerapkan hukuman bila anak merespon negative atau salah

atas instruksi yang diberikan. Perlakuan ini diharapkan dapat meningkatkan

respon positifanakdan mengurangi kemungkinan ia merespon negatif terhad apa

instruksi yang diberikan. Pada penanganan yang tepat, dini, intensif dan optimal,

penyandang autisme dapat membantu mereka untuk berkembang dan mandiri di

masyarakat bahkan ada juga yang berprestasi.

1.2 Penerimaan dan Pemahaman Orang Tua Terhadap Anak Autis

Setiap orang tua pasti menginginkan anak yang sehat dari segi fisik maupun

mental dengan harapan dapat menjadi generasi penerus orangtua dan berguna bagi

keluarga dan orang lain. Namun ketika orang tua memiliki anak dengan kondisi

mengalami hambatan dalam perkembangan yang tidak selayaknya dengan anak

seusia yang lain akan menjadi suatu tantangan bagi orang tua tersebut seperti

memiliki anak autis. Seperti yang sudah di jelaskan di atas bahwa anak autis
memiliki sindrom yang membuat anak-anak yang menyandangnya tidak mampu

menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin

komunikasi dua arah.

Saat menerima masalah tersebut, banyaknya reaksi yang ditimbulkan dari

orang tua terhadap anak autisme seperti tidak percaya, sedih, kecewa, merasa

bersalah, marah dan menolak. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami

autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk

menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengalami fakta yang obyektif

dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan

terpaksa menerima kenyataan bahwa anak mereka mengalami autisme.

Menurut Mangunsong dalam Ade dan Ira (2016), reaksi yang muncul pada

orang tua ketika anaknya dikatakan memiliki permasalahan pada kondisi fisik

maupun kesehatan adalah tidak percaya, terjadi goncangan batin, terkejut dan

tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anak mereka. Bukan hal yang

mudah bagi orang tua untuk percaya bahwa anaknya dikatakan bermasalah,

apalagi anaknya dikatakan menyandang autisme. Beberapa orang tua ada yang

memiliki dorongan untuk melarikan diri dari masalahnya, berpurapura bila anak

mereka tidak memiliki kekurangan. Mereka merasa tidak nyaman dengan

perasaan berpura-pura itu sehingga mereka mengambil tindakan sebaliknya,

mereka menjadi terlalu cemas dan terlalu berlebihan dalam menjaga anak.

Beberapa orang tua ada yang memiliki dorongan untuk melarikan diri dari

masalahnya, berpura-pura bila anak mereka tidak memiliki kekurangan. Mereka

takut anaknya hilang dari pandangannya, tidak membiarkannya berinteraksi

dengan orang lain, dan bahkan mereka cenderung


melarang anaknya untuk melakukan sesuatu hal sendiri tanpa bantuan mereka.

Selain itu, masih banyak terdapat orangtua yang belum mampu menerima dan

bahkan malu ketika mengetahui sang anak mengalami autisme, sementara

penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua merupakan aspek yang penting untuk

anak dengan autisme (Priherdityo, 2016).

Tidak mudah bagi orangtua yang anaknya menyandang autisme untuk

mengalami fase seperti ini sampai pada akhirnya ke tahap penerimaan dan

pemahaman. Menurut Rikha (2014), beberapa orangtua dapat menerima buah

hatinya dengan ikhlas, dalam artian dapat merawat serta melihat anak agar dapat

mandiri dalam mengikuti tumbuh kembangnya seperti anak yang normal. Namun

ada beberapa orangtua merasa bahwa dengan memiliki anak seperti itu adalah

suatu yang memalukan sehingga orangtua menganggap bahwa anak tidak akan

dapat bertumbuh dan berkembang seperti anak yang normal, bahkan banyak

orangtua menganggap anak seperti itu membutuhkan banyak finansial sehingga

tidak perlu diterapi. Ada indikasi terburuk apabila orangtua tidak mau merawat

anaknya maka orangtua bertindak cuek dan seperti tidak mempunyai anak yang

seperti itu. Berikut ciri-ciri orangtua yang memiliki bentuk penerimaan positif:

1. Dapat menerima kenyataan bahwa anaknya autis.

2. Mengupayakan penyembuhan untuk anaknya yang menderita autis yang

disesuaikan dengan kebutuhan.

3. Tidak merasa rendah diri dan bersikap terbuka terhadap orang lain tentang

kondisi anaknya.
Ciri-ciri orangtua yang memiliki bentuk penerimaan negatif:

1. Tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknyaautis.

2. Tidak melakukan upaya penyembuhan apapun terhadap keadaan anaknya

(cenderung bersikap acuh, bahkan tidak peduli).

3. Merasa rendah diri dan bersikap tertutup terhadap orang lain tentang kondisi

anaknya.

Menurut Selvi dan Shanty (2017), sangatlah penting bagi seorang orangtua

yang memiliki anak dengan autisme untuk dapat menerima diri mereka sendiri

dan menerima keadaan anaknya sehingga orangtua dapat mengasuh dan merawat

anaknya dengan baik meskipun dihadapkan pada situasi-situasi yang unik atau

berbeda dalam prosesnya. Menurut Astutik (2014), tingginya penerimaan orangtua

akan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif bagi anak, serta

mampu mengatasi kendala yang dihadapi anak dengan memberikan tritmen

sederhana sesuai dengan kebutuhan anak, sehingga optimalisasi perkembangan

dapat diupayakan dengan lebih efektif untuk menjadikan anak yang memiliki

kebutuhan khusus lebih mandiri. Anak autisme yang diterima oleh orang tua akan

dapat mampu bekerja sama dengan orang lain, bersahabat, ceria, dan bersikap

optimis. Dari beberapa penjelasan diatas bahwa betapa pentingnya sikap

penerimaan orangtua saat bersama anak autism. Hal ini dapat menentukan dan

akan mempengaruhi perkembangan anak autisme. Bila orang tua bersikap

mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran, anak

autism cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali ke dunianya dan jika

sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan

pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula.


Menurut Rikha (2014), pemahaman adalah kemampuan untuk menangkap

sifat, arti atau keterangan tentang sesuatu. Dapat juga diartikan sebagai

kemampuan untuk memahami tentang sesuatu sehingga muncul konsep-konsep

atau sesuatu hal yang kita pahami dan kita mengerti dengan benar. Pemahaman

tentang anak autis merupakan pengetahuan yang mencakup segala informasi yang

berhubungan dengan gangguan pada anak yang mencakup perilaku, bahasa, dan

sosialisasi yang perlu diketahui oleh orangtua. Disini orangtua harus memahami

tentang anak autisme dengan cukup baik. Orangtua yang banyak memperoleh

pengetahuan tentang autisme akan merasa betapa pentingnya pemahaman tentang

autis yang pada akhirnya dapat menerapkan bagaimana memberikan tindakan

pada anak penyandang autisme sebaliknya apabila orangtua kurang memiliki

pemahaman tentang autisme maka dapat berakibatan kurangnya perhatian dan

tindakan yang diambil pada anak dan menganggap anak tersebut mengalami cacat

atau bahkan tidak bisa berbicara selamanya. Orangtua adalah penentu kehidupan

anak sebelum dan sesudah dilahirkan karena itu adalah tanggung jawab orangtua

sepenuhnya untuk menentukan apakah akan menggunakan teknik khusus dalam

mendidik anak- anak autis ataut idak.

1.3 Peran Dan Fungsi Orang Tua Terhadap Anak Autis

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan

merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk

sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh

dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang


menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapai

interaksi yang baik antara orang tua dengan anak-anaknya maka di dalam keluarga

itu harus menjalankan peranannya sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Setiap

orang tua di dalam keluarga memiliki fungsi-fungsinya tersendiri yang dapat

mendukung seorang anak untuk melangsungkan kehidupannya secara normal dan

wajar. Fungsi orang tua di dalam keluarga merupakan suatu ukuran orang tua di

dalam suatu keluarga agar sebuah keluarga dapat beroperasi sebagai unit dan

bagaimana anggota di dalam suatu keluarga dapat berinteraksi satu sama lain. Hal

ini dapat mencerminkan gaya pengasuhan, konflik di dalam keluarga, dan kualitas

hubungan antar anggota didalam suatu keluarga. Menurut Khairuddin dalam

Randi (2016) fungsi keluarga menurut teori keluarga adalah sebagai berikut:

1. Fungsi pengaturan seksual

Keluarga adalah lembaga pokok yang meruupakan wahana bagi masyrakat

untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan kenginan seksual.

2. Fungsi reproduksi

Urusan memproduksi anak sikap masyarakat terutama tergantung keluarga.

Cara lain hanya lah kemungkinan teoritis saja dan sebagian masyarakat yang

menerapkan norma untuk memperoleh anak kecualisebagai bagian keluarga.

3. Fungsi sosialisasi

Fungsi ini diberikan bagi anak-anak kedalam alam dewasa yang dapat

berfungsi dengan baik dalam masyarakat.

4. Fungsi efeksi
Keluarga bertujuan memberikan kebutuhan akan kasih sayang atau rasa cinta bagi

anggota keluarga.

5. Fungsi penentuan status

Keluarga berfungsi memberikan status keluarga berdasarkan umur, jenis

kelamin, dan urutan kelahiran. Ini berfungsi sebagai dasar untuk member status

sosial.

6. Fungsi perlindungan

Keluarga berfungsi memberikan perlindungan baik itu fisik, ekonomi,

psikologi, bagi seluruh anggota keluarga.

7. Fungsi ekonomi

Keluarga memberikan fungsi ekonomi guna memenuhi semua kebutuhan

sandang, pangan, dan papan

Dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga sangatlah dibutuhkan peranan

dari orang tua sebagai orang terdekat dengan anak-anaknya. Peranan orang tua

menggambarkan pola perilaku interpersonal, sifat dan kegiatan yang berhubungan

dengan individu dalam situasi dan posisi tertentu. Menurut John W. Santrock

dalam Aisyah (2016), dalam peran orang tua pada masa anak disini dijadikan

sebagai manajerial terutama penting dalam perekembangan sosioemosional anak.

Orang tua boleh mengatur kesempatan anak untuk melakukan berinteraksi dengan

lingkungan disekitarnya. Selain itu aspek penting lainnya dari peran manajerial

adalah pemantauan efektif atas anak yang meliputi mengawasi pilihan anak

tentang tempat sosial, aktivitas dan teman. Menurut Istiati dalam Wilda (2017),

adapun peran orang tua sebagai berikut :


1. Peran Ayah

Sebagai seorang suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya, ayah berperan

sebagai kepala keluarga, pendidik, pelindung, mencari nafkah, serta pemberi rasa

aman bagi anak dan istrinya dan juga sebagai anggota dari kelompok sosialnya

serta sebagai anggota masyarakat di lingkungan di mana dia tinggal.

2. Peran Ibu

Sebagaiseorang istri dari suami dan ibu dari anak-anaknya, dimana peran ibu

sangat penting dalam keluarga antara lain sebagai pengasuh dan pendidikan anak-

anaknya, sebagai pelindung dari anak-anak saat ayahnya sedang tidak ada

dirumah, mengurus rumah tangga, serta dapat juga berperan sebagai pencari

nafkah. Selain itu ibu juga berperan sebagai salah satu anggota kelompok dari

peranan social serta sebagai anggota masyarakat di lingkungan dimana dia tinggal.

Kita ketahui bahwa orang tua merupakan pendidik utama bagi anak tetapi banyak

hal yang mempengaruhi akan perubahan peran dalam keluarga. Adanya berbagai

perubahan dalam bidang kehidupan, sebagai masyarakat akan mengalami

perkembangan dan perubahan. Perubahan yang tampaknyata dalam masyarakat

khususnya dalam keluarga adalah fungsi-fungsi dari lembaga keluarga itu sendiri

yang mulai beralih pada lembaga social lainnya sehingga peran di dalam suatu

keluarga tersebut juga ikut berubah, diantaranya sebagai berikut:

1. Kekacauan

Yaitu pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran

social jika salah satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan

kewajiban peran mereka secukupnya.


2. Ketidaksahan

Merupakan unit keluarga yang tak lengkap dapat dianggap sama dengan

bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga. Setidak-tidaknya ada satu

sumber ketidaksahan dalam kegagalan anggota-anggota keluarga baik ibu maupun

bapak dalam menjalankan kewajiban peranannya.

3. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan

Terputusnya keluarga disini karena salah satu atau kedua pasangan dalam

keluarga tersebut memutuskan untuk saling meninggalkan dan dengan demikian

berhenti melaksanakan kewajiban peranannya.

4. Keluarga selaput kosong

Anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa

atau bekerjasama antara satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan

dukungan emosional satu dengan yang lain. Hal ini menjadikan peranan yang

seharusnyadijalankan sesuai dengan semestinya menjadi terhambat bahkan dapat

mengalami perubahan karena adanya selaput kosong ini.

5. Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yan tidak diinginkan

Beberapa keluarga terpecah karena suami atau istri telah meninggal,

dipenjarakan atau terpisah dari keluarga karena peperangan, depresi atau hal-hal

lain. Dengan keadaan seperti ini menjadikan adanya perubahan peranan. Misalnya

ayah yang meninggal dunia, menjadikan istri dari ayah tersebut untuk mampu

berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan yang menafkahi anak-anaknya

(keluarganya).

6. Kegagalan peran penting yang tidak diinginkan


Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental,emosional,

atau badaniah yang parah. Misalnya anak yang mungkin terbelakang mentalnya

atau seorang anak atau suami atau istri mungkin menderita penyakit jiwa, penyakit

yang parah dan terus menerus mungkin juga menyebabkan kegagalan atau

perubahan dalam menjalankan peran utamanya dalam peranannya dikeluarga.

7. Adanya konflik dalam keluarga

Suatu konflik menjadikan adanya suatu permasalahan yang dapat memicu

suatu keegoisan diri. Konflik di dalam suatu keluarga sering terjadi yang akhirnya

menjadikan adanya perubahan peranan di dalam keluarga.

Terkait dengan persoalan dengan anak autis, untuk meningkatkan

pengembangan diri anak autis agar dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan

lingkungannya bukan hanya dari pelaku terapis saja tetapi peran dan fungsi orang

tua secara langsung sangat diperlukan karena memiliki anak autis berarti juga

memiliki kendala yang lebih dibandingkan dengan anak yang normal. Menurut

Pamela,dkk (2017), keterlibatan orangtua sangat penting mengingat bahwa

memiliki anak dengan ASD menimbulkan banyak tantangan yang unik untuk

sistem keluarga, seperti peningkatan kekakuan dari jadwal keluarga karena

kesulitan dengan transisi yang dialami oleh banyak anak dengan ASD,

peningkatan
isolasi sosial yang dialami oleh orang tua yang sering harus menarik (secara

sukarela atau terpaksa) dari lingkungan sosial karena masalah-masalah kelakuan

anak-anak; dan sering dibebani dengan menuntut tugas-tugas perawatan anak

yang dapat bertentangan dengan orang tua bekerja komitmen, dan yang mungkin

dampak keuangan keluarga. Selanjutnya peran ayah dan ibu sangatlah membantu

dalam tercapainya perkembangan secara optimal khususnya pada anak autisme.

Menurut Mulyadi dan Sutadi (2014), dalam penatalaksanaan masalah anak,

peran orangtua yaitu ayah dan ibu adalah hal yang utama. Peran orangtua

merupakan salah satu aspek dalam keberhasilan proses terapi, selain profesional

dan terapis. Dibutuhkan penangangan dalam waktu yang lama bahkan bisa

dikatakan sampai sepanjang hidupnya. Bila mereka tidak mampu menanganinya

sebagi terapis, maka harus menjadi terapi dari seluruh sumber daya yang telah

disediakan dan mereka harus menjadi organizer dari semua terapis dalam

penanganan anak mereka.

Pada kenyataannya sering dijumpai orangtua menyerahkan sepenuhnya

terapi anak autisnya pada klinik terapi yang dipilih. Menurut Dian (2017), hal ini

dikarenakan dengan alasan sudah membayar dengan mahal dan terapislah yang

memahami metode terapi, padahal kerjasama profesional (psikiater, psikolog,

dokter anak, terapis) dan orangtua (ayah dan ibu) diperlukan untuk keberhasilan

terapi. Bentuk peran orang tua yang diharapkan dalam pelaksanaan terapi adalah

menyediakan waktu untuk mengantar anak terapi, patuh menerapkan diet,

menambah ilmu seputar autisme, menjalin komunikasi dengan terapistentang


kemajuanbelajaranak,membacabukupenghubung,konsistendanmenindaklanjuti

program terapi dirumah.

Dikutip dari puterakembara.org, menurut Dra.Dyah Puspita peran orangtua

dalam penangan anak autisme sebagai berikut:

1. Memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan

kekurangan).

2. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak.

3. Melakukan intervensi dirumah

4. Melakukan evaluasi secara periodik atas apapun program penanganan yang

diterapkan pada anak.

1.4 LandasanTeori

Teori adalah alat untuk menganalisis sebuah penelitian. Penelitian dikatakan

ilmiah jika penelitian tersebut dianalisis menggunakan sebuah teori. Adapun teori

yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1.4.1 Tindakan Sosial Menurut Goerge Herbert Mead

Tindakan social merupakan tindakan individu yang diarahkan pada orang

lain dan memiliki arti, baik bagi diri si pelaku maupun bagi orang lain. Dalam

tindakan sosial mengandung tiga konsep, yaitu tindakan, tujuan dan pemahaman.

Ciri-ciri

Dari tindakan social adalah : tindakan memiliki makna subjektif, tindakan nyata

yang bersifat membatin dan bersifat subjektif, tindakan berpengaruh positif,

tindakan diarahkan pada orang lain dan tindakan merupakan respon terhadap

tindakan orang lain. Berdasarkan pemahaman dan penelitian, teori tindakan yang

digunakan adalah teori tindakan Goerge Herbert Mead.


Dalam menganalisis tindakan, pendekatan Mead hampir sama dengan

pendekatan behavioris dan memusatkan perhatian pada rangsangan (stimulus) dan

tanggapan (response). Mead menyatakan ada empat tahapan yang dilakukan oleh

seseorang hingga ia mengambil keputusan untuk dilakukan (Ritzer, 2014), yaitu :

1. Impuls

Tahap pertama adalah dorongan hati/impuls (impulse) yang meliputi

“stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera” dan

reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu

terhadap rangsangan itu. Rasa lapar adalah contoh dari impuls. Aktor

(binatang maupun manusia) secara spontan dan tanpa piker memberikan reaksi

atas impuls, tetapiaktor manusia lebih besar kemungkinannya akan

memikirkan reaksi yang tepat (misalnya, makan sekarang atau nanti). Dalam

berpikir tentang reaksi, manusia tak hanya mempertimbangkan situasi kini,

tetapi juga pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibat dari tindakan di

masa depan. Secara menyeluruh,impuls, seperti semua unsur teori Mead,

melibatkan aktor danlingkungan.

2. Presepsi

Tahap kedua adalah persepsi (perception). Aktor menyelidiki dan bereaksi

terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls dalam hal ini rasa

lapar dan juga berbagai alat yang tersedia untuk memuaskannya. Manusia

mempunyai kapasitas untuk merasakan dan memahami stimuli melalui

pendengaran, senyuman, rasa, dan sebagainya. Persepsi melibatkan

rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya.

Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar,tetapi memikirkannya

sebentar dan menilainya melalui bayangan mental. Aktor biasanya berhadapan

dengan banyak rangsangan yang berbeda dan mereka mempunyai kapasitas


untuk memilih yang mana perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan

juga berbagai alat yang tersedia untuk memuaskannya. Manusia mempunyai

kapasitas untuk merasakan dan memahami stimuli melalui pendengaran,

senyuman, rasa, dan sebagainya. Persepsi melibatkan rangsangan yang baru

masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan

menanggapi stimuli dari luar, tetapi memikirkannya sebentar dan menilainya

melalui bayangan mental. Aktor biasanya berhadapan dengan banyak

rangsangan yang berbeda dan mereka mempunyai kapasitas untuk memilih

yang mana perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan.

3. Manipulasi

Tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation). Segera setelah impuls

menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya

adalah manipulasi objek atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek

itu. Disamping keuntungan mental, manusia mempunyai keuntungan lain

ketimbang binatang. Tahap manipulasi merupakan tahap jeda yang penting

dalam proses tindakan agar tanggapan tak diwujudkan secara spontan.

4. Konsumsi

Ini merupakan tahap keempat tindakan, yakni tahap

pelaksanaan/konsumasi (consummation), atau mengambil tindakan yang

memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Binatang tergantung pada metode

coba-coba (trial-and-error) dan ini adalah metode yang kurang efisien

ketimbang kemampuan manusia untuk berpikir melalui tindakannya

Teori tindakan sosial ini digunakan sebagai teori utama dalam penelitian

ini. Dalam teori tindakan sosial dijelaskan bahwa tindakan sosial adalah

tindakanindividu sepanjang tindakannya mempunyai makna atau arti subjektif

bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Tindakan individu
yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah tindakan orang tua yang

memiliki anak autis dalam menyiapkan anaknya agar dapat berinteraksi

dengan lingkungannya. Jika dianalisis dengan menggunakan teori tindakan

sosial, tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan

diarahkan kepada anaknya. Tindakan yang dilakukan oleh orang tua tersebut

merupakan tindakan apa saja yang dilakukan oleh orangtua sebagaimana dia

mengarahkan anaknya dalam mempersiapkan serta membantu agar anak autis

tersebut dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungannya kelak.

1.4.2 Sosialisasi Menurut Goerge Herbert Mead

Sosialisasi merupakan sebagai suatu proses belajar mengajar. Melalui

sosialisasi, individu belajar menjadi anggota masyarakat, dimana prosesnya

tidak semata mata mengajarkan pola pola perilaku sosial kepada individu

tetapi juga individu tersebut mengembangkan dirinya atau melakukan proses

pendewasaan dirinya. Proses sosialisasi kepada generasi muda berupaya

menghasilkan kondisi tertentu pada anak-anak, keadaan moral, sosial, fisik,

dan dewasa yang akan menghasilkan suatu tindakan diarahkan untuk

mempersiapkan ke arah tertentu. Vembriarto dalam Mentari (2014), hakikat

sosialisasi adalah sebagai berikut :

1. Proses sosialisasi adalah peroses belajar, yaitu proses akomodasi yang mana

individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil

cara hidup atau kebudayaanmasyarakatnya.Melalui proses sosialisasi itu

individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide- ide, pola-pola, nilai, tingkah

laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup.

2. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu

disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam

diripribadinya.
Dalam kajian teori sosialisasi George Herbert Mead menjelaskan bahwa

sosialisasi merupakan proses dimana manusia belajar melalui cara, nilai dan

menyesuaikan tindakan dengan masyarakat dan budaya, isinya melihat bagaimana

manusia meningkatkan pertumbuhan pribadi mereka agar sesuai dengan keadaan,

nilai, norma dan budaya sebuah masyarakat.

Di dalam teori George Herbert Mead menguraikan tahap pengembangan diri

manusia. Manusia yang baru lahirbelum mempunyai diri. Diri manusia

berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota. Secara singkat

di dalam teori George Herbert Mead (Ahmad: 2016), proses sosialisasi dilakukan

melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seseorang anak

mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh

pemahaman tentang diri. Pada tahap ini, anak-anak talah mulai kegiatan meniru

meski tidak sempurna.

2. Tahap Meniru

Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan

peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai

terbentukkesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya,

dan yang lainnya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu

dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anaknya. Dengan kata lain, kemampuan

untuk menempatkan diri pada posisi orang lain sudah mulai terbentuk

3. Tahap Siap Bertindak

Pada tahap ini, peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan

digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh

kesadaran. Kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat
sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia

mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan berkerjasama

dengan teman-temannya. Pada tahap ini, lawan berinteraksi semakin banyak dan

hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-

teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya

secara bertahap juga mulai dipahami. Bersama dengan itu, anak mulai memahami

bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

4. Tahap Penerimaan Norma Kolektif

Pada tahap ini,seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat

menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain ia

dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi

dengannya tapi juga dengan masyarakat secara luas.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaitkan komponen dan komposisi

tindakan sosial mulai dari sosialiasasi, dan pengambilan peran. Hal ini mencakup

pembahasan dari turunan teori tindakan sosial dari Mead. Penelitian ini juga

menjadikan konsep seperti pengambilan peran yang mana actor peran disini

adalah informan penelitian yang merupakan orang tua yang memiliki anak autis.

Aktor dalam peran penelitian ini adalah posisi seseorang atau individu

yang dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Posisi seseorang

atau individu dalam masyarakat sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu

bahwa perilaku yang diharapkan tidak berdiri sendiri, melainkan individu yang

selalu dalam berkaitan dengan adanya orang-orang lain.Dari sudut pandang dan

analogi diatas maka lahirlah teori peran dalam masyarakat pada umumnya.

Kemudian pengambilan peran termasuk dalam kaitannya dengan fungsi dan peran

orang tua yang disini sebagai aktor dalam proses-proses kehidupan anak autis.

Setelah pembahasan mengenai konsep pengambilan peran yang hal ini sangat
berkaitan dengan teori fungsi dalam pembahasan selanjutnya di penelitian ini.

Fungsi dan peran erat kaitannya dengan turunan dari teori tindakan sosial dari

Mead mengenai teori tindakan sosial dalammasyarakt.

1.4.3 Teori Fungsi

Keluarga memiliki berbagai fungsi penting yang menentukan kualitas

kehidupan baik kehidupan individu, keluarga, bahkan kehidupan sosial. Salah satu

teori yang dapat digunakan dalam menjelaskan fungsi keberlangsungan keluarga

adalah teori AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency), yang

diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Berdasarkan hasil penelitian yang mendalam

mengenai struktur dari proses interaksi, Parsons menyatakan bahwa keluarga dapat

dianggap sebagai contoh dari kelompok kecil dalam sistem sosial. Menurut

Syamsul, dkk (2016) teori Talcott Parson ada empat fungsi penting untuk semua

sistem “tindakan” yaitu :

1. Adaptasi (Adaption)

Dalam Sosiologi, Parson menjelaskan bahwa sebuah sistem melaksanakan

fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan. Proses

adaptasi melibatkan organisme perilaku, organisme perilaku yang menjalankan

adaptasi. Adaptasi yang dilakukan oleh suatu sistem keluarga bertujuan untuk

mempertahankan kelangsungan hidup semua anggota keluarga sehingga setiap

permasalahan yang terjadi didalam suatu keluarga, keluarga perlu

mengembangkan strategi adaptasi yang memadai. Setiap proses adaptasi yang

digunakan oleh keluarga pastilah berbeda menurut derajatnya, mulai dari

mempertahankan masalah hidup dan mati sampai dengan mempertahankan hidup

agar dapat menjalankan aktivitas sehari-hari.

2. Fungsi Pencapaian Tujuan (GoalAttainment)

Fungsi pencapaian tujuan merupakan peryaratan fungsional yang


berasumsi bahwa tindakan itu selalu diarahkan pada tujuannya, terutama pada

tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial. Sistem meliputi spectrum

konsep yang sangat luas, pengertian sistem tidak lain adalah suatu kesatuan unsur-

unsur yang saling berinteraksi. Setiap keluarga mempunyai tujuan atau rencana

yang akan dicapai (output), dengan syarat adanya sumberdaya keluarga (input)

baik materi, energi, dan informasi. Sehingga keluarga dapat mencapai tujuannya,

dan dapat menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan menggunakan sumberdaya

keluarga,

makaperlumelaluiprosesyangharusditempuh.Masalahpencapaiantujuandalamsuatu

keluarga dapat diukur dari kualitas dan performace tujuan itu sendiri. Pencapaian

tujuan berdasarkan kualitas dapat diukur dari nilai yang didapat dari pencapaian

tujuan, biasanya berupa kepuasan dan penghargaan terhadap sesuatu yang telah

dicapai.

3. Intergrasi (Intergration)

Integrasi merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara

para anggota dalam suatu sistem sosial. Konsep Parson tentang sistem sosial,

berawal pada tingkat mikro antara ego dan alter-ego yang didefinisikan sebagai

bentuk sistem sosial paling mendasar. Parson berkomitmen untuk melihat sistem

sosial sebagai sebuah interaksi dan menggunakan status-peran sebagai unit dasar

dari sistem. Konsep ini merupakan komponen struktural dari sistem sosial.

Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan suatu kelompok yang

terdiri dari subsistem yang saling berhubungan dan berinteraksi sehingga sulit

untukdipisahkandanmempunyaitujuanyangakandicapai.Hubunganyangterikat

begitu erat yang terjadi pada satu bagian pasti mengakibatkan perubahan dalam

seluruh sistem yang menjadi sifat dan karakteristik baru yang merupakan suatu

fungsi dari keterkaitan tersebut. Hal ini terkait dengan tindakan integrasi di dalam
keluarga. Tindakan integrasi dalam suatu keluarga merupakan hal penting dalam

kelangsungan hidup berkeluarga, karena integrasi melibatkan keempat variabel

AGIL sehingga adanya suatu keterikatan yang saling membangun dan tetap

bertahan diantara semua anggota keluarga di dalam lingkungannya.

4. Fungsi Pemeliharaan Sistem(latency)

Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik


motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang
motivasi. Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai tugas dan
fungsi agar system dapat berjalan dengan baik. Tugas didalam suatu system
keluarga tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integrasi, solidaritas, dan
pemeliharaan keluarga. Pembagian peranan dalam keluarga dapat membantu
berjalannya fungsi keluarga secara optimal agar fungsi keluarga berada pada
kondisi optimal dan perlu dilakukan fungsionalisasi serta struktur yang jelas.
Pemeliharaan sistem atau latency mengacu pada proses dimana energi dorongan
disimpan dan didistribusikan di dalam sistem yang melibatkan dua masalah saling
berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah. Adapun masalah
pemeliharaan sistem di dalam keluarga seperti pembagian peran masing-masing
anggota keluarga, bantuan yang diterima untuk memotivasi anggota keluarga serta
peraturan dan norma yang berlaku dalamkeluarga.

1.5 Penelitian Yang Relevan

Terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain:

1. Menerapkan Pola Asuh Konsisten Pada Anak Autis disusun oleh Rina Mirza

(ISSN : 0854 – 2627). Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sumatera

Utara Medan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi pemahaman pada

masyarakat pada umumnya dan orangtua yang memiliki anak autis pada

khususnya mengenai berbagai teori yang berkaitan dengan autis, terapi yang bisa

diberikan pada anak autis serta penerapan pola asuh yang tepat untuk

mendampingi anak autis. Penelitian ini memfokuskan pada latar belakang dimana

gangguan autis adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga anak yang
mengalami autis memerlukan terapi untuk membantunya dalam merubah

perilakunya agar dapat bertahan dimasa yang akan datang. Terapi yang dilakukan

ini nantinya harus terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda

pula tentunya sesuai kebutuhan si anak. Penanganan ataupun intervensi terapi

pada anak autis harus dilakukan dengan intensif, terpadu dan konsisten.

Disamping itu, seluruh keluarga juga harus terlibat secara aktif untuk memacu

komunikasi dengan anak dan menerapkan kekonsisten ini pula. Dalam hal ini,

orang tua mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar dalam mendidik

anak-anaknya, termasuk anak dengan autis ini. Penerapan pola asuh yang

diberikan orang tua secara konsisten juga mempunyai peranan yang penting dalam

upaya membantu anak autis untuk dapat bertahan dengan kondisi lingkungan

kedepannya. Dengan kata lain bahwa, disamping memberi pelatihan/ terapi yang

tepat untuk perubahan perilaku, penerapan pola asuh yang konsisten juga salah

satu upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua pada anaknya. Dalam hal

kaitannya dengan penelitian saya adalah sama-sama meneliti tentang anak autis

tetapi di dalam penelitian ini, saya lebih memfokuskan pada tindakan orangtua apa

saja agar dapat menyiapkan anak autis tersebut agar mampu berinteraksi

denganlingkungannya.

2. Strategi Sosial Terhadap Anak Kepada Anak Autis, disusun oleh Aisti Rahayu

Kharisma Siwi dan Nisa Rachmah Nur Anganti (ISSN :2541450X), Fakultas

Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk memahami strategi orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial pada anak

penyandang autis. Penelitian ini memfokuskan pada latar belakang dimana adanya

pendampingan atau sering disebut sebagai pola asuh akan mempermudah anak

autis dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Kesulitan

yang dialami orang tua untuk mengajarkan interaksi kepada orang lainya itu anak
tersebut belum bisa fokus terhadap lingkungan, jika diajak berbicara masih

melihat benda- benda di sekitar lingkungan dan tidak melihat orang yang diajak

berbicara. Selain itu, karena anak tersebut dianjurkan diet makanan berbahan

tepung, maka ibunya menghindari untuk memberikan makanan berbahan tepung,

namun karena anak tersebut mempunyai adik, maka kadang kecolongan dalam

melakukan pengawasan untuk tidak memberikan makanan berbahan tepung.

Dalam hal kaitannya dengan penelitian saya adalah sama-sama meneliti tentang

ocara orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial pada anak autis tetapi di dalam

penelitian ini, saya meneliti tentang apa saja peran yang dilakukan oleh orang tua

untuk menyiapkan anak autis tersebut dapat berinteraksi dengan lingkungannya

serta melihat apakah fungsi orang tua di dalam suatu keluarga tersebut berjalan

dengan semestinya atau tidak. Selain itu penelitian ini hanya berfokus dua arah

yaitu antara peran dan fungsi orang tua dengan anak autis saja tidak dengan

anggota keluarga yang lainnya.

3. Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Perilaku Anak Autis Di Kota

Pekanbaru, disusun oleh Aminatul Fitri, Zulfan Saam, dan Yulis Hamidy (ISSN

1978-5283), Universitas Riau Pekanbaru, Riau. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk menganalisis pengaruh dukungan emosional, penghargaan, instrumental dan

dukungan informasi keluarga terhadap perilaku anak autis.

Penelitianinimemfokuskan pada latar belakang dimana Perilaku hiperaktif

yang terus menerus menyebabkan anak tidak dapat menerima stimulus dengan

baik saat belajar, sulitnya anak untuk beradaptasi dengan lingkungan karena

gerakan yang berlebihan yang berakibat kurangnya pemahaman orang lain dan

lingkungan sulit menerima keadaan anak autis. Perilaku defisit kebalikan dari

perilaku hiperaktif, ditandai dengan anak cenderung duduk diam dan tidak mau

diajak bermain, mendengar suara suka menutup kupingnya. Hal ini tentunya
menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap perkembangan anak autis

kedepan. Hasil pengamatan di lokasi penelitian masih banyak anak berperilaku

hiperaktif dan ada yang defisit. Anak autis akan menjadi pribadi yang semakin

dewasa setiap harinya dan tidak terlepas dari lingkungan social dan fisik

disekitarnya. Untuk itu diperlukan dukungan sosial keluarga dan lingkungan fisik

serta perhatian khusus keluarga dalam mengendalikan perilaku anak ke arah yang

positif karena keluarga mempunyai waktu lebih banyak bersama anak dan

diharapkan lebih memahami anak. Untuk itu pentingnya peranan keluarga dalam

perkembangan anak menjadi lebih baik. Anak yang dukungan sosial keluarganya

baik cenderung akan berdampak terhadap perilaku anak yang lebih terarah. Dalam

hal kaitannya dengan penelitian saya adalah sama-sama meneliti tentang anak

autis tetapi di dalam penelitian ini, selain di lihat dari dukungan sosial yang

diberikan orangtua terhadap anak autisme tetapi apa saja usaha yang dilakukan

oleh orangtua agar mereka mendapatkan dukungan sosial yang baik dan lebih

terarah sehingga dapat lebih kuat dalam menyiapkan anak autisnya untuk

berinteraksi dan beradaptasi denganlingkungannya.

4. Bermain Peran : Sebuah Metode Pembelajaran Untuk Mengembangkan

Keterampilan Sosialisasi Anak Autis, disusun oleh Mega Iswari, Elsa Efrina,

Kasiyati dan Arisul Mahdi (ISSN : 2598-5183), Universitas Negeri Padang,

Indonesia. Penelitian ini membahas tentang metode bermain peran untuk

mengembangkan sosialisasi anak autis. Empat sekolah inklusif yang memiliki

anak autis dipilih dalam studi ini. Jumlah partisipan yang terlibat yaitu tujuh orang

anak autis, tujuh orang tua dari anak autis, empat orang kepala sekolah, empat

orang guru kelas dan empat orang guru khusus. Penelitian dilakukan secara

kualitatif dan data yang dikumpulkan berupa kemampuan dasar sosialisasi anak

autis di sekolah dan informasi mengenai potensi sekolah yang kemampuan


dijadikan dasar merancang metode bermain peran yang akan dilaksanakan untuk

mengembangkan kemampuan social anak autis disekolah inklusif. Hasilnya,

kemampuan social anak autis terlihat rendah, namun mereka rata-rata memiliki

intelektual yang bagus. Dari lingkungan keluarga khusus dan kepala sekolah

memiliki potensi untuk berkoordinasi dalam melaksanakan metode bermain peran

untuk mengembangkan kemampuan sosial anak autis. Penelitian ini salah satu

penelitian yang relevan untuk dijadikan sebagai referensi bagi peneliti. Objek

dalam penelitian sama yaitu tentang mengembangkan kemampuan anak autis

tetapi yang membedakan dengan penelitian ini adalah subjek dalam penelitian ini.

Penelitian yang akan diteliti ini subjek peneliti hanya orang tua dan hanya melihat

fungsi dan peran apa saja yang di lakukan oleh orang tua tersebut, sehingga

mereka dapat menyiapkan anak mereka agar dapat berinteraksi dan beradaptasi

dengan lingkungan sekitar mereka.

5. Pengasuhan (Good Parenting) Bagi Anak Disabilitas, Disusun Oleh Gabriela

Chrisnita Vani, Santoso Tri Raharjo, & Eva Nuriyah Hidayat (ISSN : ISSN: 2442-

4480), Universitas Padjajaran, Bandung Indonesia. Penelitian ini membahas

tentang Anak dengan disabilitas memerlukan penanganan khusus, tetapi tidak

semua orangtua yang tulus menerima anak dengan disabilitas dan memberikan

kasih sayang secara penuh hal ini dapat terlihat dari penerimaan orangtua yang

sedih, malu, dan terkejut. Dengan penerimaan tersebut, akan mengakibatkan

orangtua tidak memperdulikan anak dengan disabilitas dan kurangnya perhatian

atau kasih saying orang tua kepada anak dengan disabilitas. Belum banyak orang

tua yang menerima anak dengan disabilitas dengan hati yang tulus, yang

mengakibatkan kurang terpenuhinya hak dan kebutuhan anak dengan disabilitas.

Dalam hal ini, perlu adanya pengasuhan baik dari keluarga terutama kedua orang

tua anak. Pengasuhan yang baik akan menghasilkan anak dengan disabilitas dapat
memenuhi kebutuhan dan mendapatkan hak mereka sehingga dapat berfungsi

secara sosial. Atas dasar hasil penelitian diatas bahwa penelitian ini dapat

dijadikan sebagai referensi bagi peneliti tersebut. Hal yang dapat membedakan

dengan penelitian tersebut adalah objek kajian yang diteliti yaitu anak disabilitas

secara kompleks dan juga membahas tentang parent support group yang dapat

dilakukan oleh pekerja sosial dalam memberdayakan orangtua serta anak

dengandisabilitas.

1.6 Kerangka Berfikir

Anak merupakan suatu bentuk investasi dan harapan masa depan baik bagi

orang tua maupun sebagai penerus bangsa. Di dalam masa

perkembangan,masatumbuh kembang anak-anak harus diupayakan secara optimal.

Hal ini dikarenakan menyangkut akan masa depan anak tersebut. Perlu adanya

optimalisasi perkembangan anak, karena selain krusial juga pada masa itu anak

membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau keluarga sehingga

secara mendasar hak dan kebutuhan anak dapat terpenuhi secara baik sehingga

dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani,

cerdas, bahagia, bermoral tinggi dan terpuji. Namun tidak semua anak dilahirkan

dan tumbuh dalam keadaan normal. Beberapa diantaranya mengalami

keterbatasan fisik maupun psikis salah satunya adalah anak mengalami gangguan

autis.

Permasalahan secara umum yang dialami oleh anak autisme merupakan

kombinasi dari beberapa kegagalan perkembangan antara lain pada perkembangan

interaksi dengan lingkungan yang sangat lambat atau bahkan tidak ada sama

sekali. Bagi orang tua melihat permasalahan yang seperti ini merupakan suatu

bagian permasalahan yang begitu berat dan harus diterima oleh orangtua.

Beragam reaksi yang ditimbulkan dari orang tua juga berbeda antara yang satu
dengan yang lain termasuk juga peran yang diambil oleh orangtua. Peran dari

orang tua tersebut merupakan lingkungan yang utama untuk mendapatkan

pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak karena sebagian besar dari

kehidupan anak adalah didalam rumah. Untuk itu didalam penelitian ini peneliti

berusaha untuk menganalisis bagaimana fungsi dan peran orang tua dalam

mengasuh anak autis agar dapat meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan

lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang menjadi bentuk usaha-usaha mereka yang

harus ditentukan dan diterapkan dalam penanganan anak autis sehingga anak

mereka dapat terjun ke dalam lingkungan bermasyarakat. Berikut gambaran

kerangka berfikir

Alur kerangka berfikir

Orang Tua

Anak Autis

Penerimaan dan pemahaman


Orang Tua terhadap anak autis

Peran dan fungsi orang tua Agar dapat


meningkatkan Kemampuan berinteraksi
terhadap lingkungannya

Tindakan social dan sosialisasi yang dilakukan oleh


orang tua terhadap anak autisnya

Interaksi yang dilakukan orang tua dan anaknya dengan keluarga


dan lingkungan sekitarnya
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus dengan
pendekatan kualitatif fenomenologis. Pendekatan fenomenologi merupakan
pendekatan dengan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada
pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi dunia (Moleong:
2016). Penelitian dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-
fenomena yang bersifat deskriptif. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
fenomenologi dengan pertimbangan bahwa fenomenologi memungkinkan untuk
mengetahui fungsi dan peran orangtua terhadap anak autis agar dapat berinteraksi
dan beradaptasi dengan lingkungansekitarnya

Penelitian ini akan dilakukan dalam natural setting (suasana alamaiah)


artinya peneliti tidak akan memanipulasi keadaan guna mencari data. Peneliti
membutuhkan kondisi yang tidak direkayasa dan terjadi apa adanya. Harapan
peneliti dengan menggunakan metode deskriptif, peneliti dapat mendapatkan data
sebanyak mungkin dan mengolah data dan menggambarkan yang jelas dan tepat
tentang apa yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian. Demikian juga
halnya dengan penelitian ini yang bertujuan untuk memperoleh informasi-
informasi mengenai peran orang tua yang memiliki anak autisme dan identifikasi
keluarga yang memiliki anak autisme khususnya pada Komunitas Yayasan Rumah
Autis Cabang Bekasi.

3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di rumah orang tua yang memiliki anak autis dalam
Komunitas Yayasan Rumah Autis Cabang Bekasi. Alasan peneliti memilih tempat
ini dikarenakan agar peneliti dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang
mandalam yang berasal dari orang tua yang cukup intens dalam penanganan anak
autisnya.
3.3 Unit Analisis dan Informan
3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan yang diteliti. Dalam, penelitian biasanya yang
menjadi unit analisisnya bisa berupa invidu, kelompok yang kemudian disebut
sebagai informan atau informan. Adapun yang menjadi unit analisis dalam
penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak autis di Komunitas Yayasan
Rumah Autis Cabang Bekasi yang memiliki anggota sebanyak 58 orang dan ada
beberapa anggota yang berada di komunitas tersebut yang memiliki konsentrasi
dan intens dalam pendampingan serta penguatan bagi orang tua yang memiliki
anak autis. Hal inilah yang menjadi unit analisis peneliti.
3.3.2 Informan
Adapun teknik pengambilan informan menggunakan menggunakan teknik
purposive sampling. Sugiyono (2015), mendefinisikan purposive sampling
sebagai teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pada penelitian
ini, penulis tidak menggunakan populasi dan sampel tapi menggunakan subyek
penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian. Subyek penelitian ini
menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan
selama proses penelitian. Adapun informan penelitian ini meliputi 3 jenis
informan, yaitu:
1. Informan Kunci merupakan mereka yang memiliki berbagai informasi pokok
yang dibutuhkan oleh penelitian serta mendapatkan informan yang sesuai
dengan karakteristik peneliti. Informan kunci di dalam penelitian ini adalah
ketua di Komunitas Yayasan Rumah Autis Cabang Bekasi. Alasan dipilihnya
narasumber tersebut adalah guna dapat memberikan informasi yang tepat
mengenai data-data yang dibutuhkan oleh peneliti. Selain itu informan juga
memiliki pengetahuan lebih mendalam tentang anak autis.
2. Informan Utama merupakan mereka yang terlibat langsung dalam penelitian.
Informan utama dalam penelitian ini merupakan orang tua yang memiliki anak
autis di Komunitas Yayasan Rumah Autis Cabang Bekasi. Alasan dipilihnya
informan tersebut bawasannya orangtua merupakan sasaran peneliti untuk dapat
mengetahui apa-apa saja yang dibutuhkan oleh peneliti seperti yang sudah
dicantumkan di rumusan masalah.
Adapun yang menjadi kriteria informan utama adalah:
1. Orang tua yang memiliki anak autis dan termaksud anggota dari Komunitas
Yayasan Rumah Autis Cabang Bekasi dengan kategori tingkat autisme
ringan, sedang dan parah.
2. Tidak dibatasi dengan karir orang tua.
3. Jenis kelamin dan umur anak autis tidak ditentukan.
4. Anak tidak dibatasi dengan mengikuti terapi atau tidak.
3. Informan Tambahan merupakan mereka yang memiliki informasi tambahan
walaupun tidak terlibat secara langsung dalam penlitian tersebut. Informan
tambahan ini merupakan Psikolog dan Asisten Rumah Tangga di lingkungan
rumah orang tua yang memiliki anak autis tersebut. Dasar pertimbangan informan
tersebut dipilih bawasannya untuk mendapatkan informasi tambahan tentang
bagaimana tanggapan mereka mengenai peran yang dilakukan oleh orang tua yang
memiliki anak autis tersebut terutama dalam pengenalan di lingkungan
disekitarnya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan menggunakan dua sumber data
yaitu :
1. Data primer yaitu informasi yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung
ke lokasi penelitian (fieldresearch) untuk mencari data-data yang lengkap dan
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Untuk mendapatkan data primer dapat
dilakukan dengan:

a. Observasi yaitu pengamatan oleh peneliti baik secara langsung ataupun


secara tidak langsung. Namun, dalam penelitian ini metode observasi yang
digunakan peneliti adalah metode observasi partisipan. Observasi ini
dilakukan untuk mengamati aktivitas orang tua yang memiliki anak autis
tersebut yang diharapkan membantu data yang di dapat dari metode
wawancara.

b. Wawancara mendalam ditujukan untuk memperoleh data dan informasi yang


jelas dan lengkap mengenai eksistensi orang tua terhadap anak autis. Dalam
wawancara mendalam ini peneliti ingin melihat dan mengetahui sejauh mana
eksistensi orang tua terhadap anak autis dan identifikasi keluarga yang
memiliki anak autisme di Bekasi.
2. Data sekunder yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka
dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi yang diperlakukan untuk
mendukung data primer. Bentuk data sekunder diperoleh dari buku, data dari
internet dan dokumentasi yang dianggap relevan dan berhubungan dengan
masalah yang diteliti sehingga memudahkan bagi peneliti dalam menuliskan
laporan penelitian.

3.5 Alat Pengumpulan Data


Peneliti sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih
topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis,
menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian. Akan tetapi dalam
mengumpulkan data-data peneliti membutuhkan alat bantu (instrumen penelitian)
untuk lebih mempermudah pengumpulan data. Peneliti membutuhkan alat bantu
seperti alat perekam (tape recorder), pedoman umum wawancara, pedoman
umum observasi, alat tulis dan kertas untuk mencatat.

3.6 Interpretasi Data


Data-data yang sudah dikumpulkan akan di interpretasikan dengan
menggunakan teori dalam kajian pustaka, sampai pada akhirnya akan berbentuk
laporan yang sudah diatur, diurutkan, dikelompokkan ke dalam kategori tertentu
berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, selanjutnya akan
dipelajari sehingga menghasilkan kesimpulan yang baik.

3.7 Keterbatasan Penelitian


Mengingat penelitian menyangkut tentang analisi peran dan fungsi orang tua
terhadap anak autis, ada beberapa keterbatasan yang ditemukan pada penelitian ini
adalah :
1. Informan tidak terlalu transparan dalam menyampaikan informasi sehingga
penulis mengalami kesulitan dalam pengumpulan data terutama terkait
dengan hal-hal yang sangat pribadi.
2. Informan tidak memiliki waktu yang banyak pada saat melakukan proses
wawancara sehingga penulis kesulitan mengumpulkan data lebih dalam.
3. Emosi informan yang kurang stabil dan sering tidak fokus dalam
menyampaikan informasi, sehingga peneliti mengalami kesulitan untuk
bertemu dan mengumpulkan informasi yang lebih dalam.

4. Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman


yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Peneliti
menyadari masih terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam hal
kemampuan pengalaman dalam melakukan penelitian ilmiah. Walaupun
demikian peneliti berusaha melakukan semaksimal mungkin agar data dan
tujuan yang ingin dicapai.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi, K. & Sutadi, R. 2014. Autism is curable. Jakarta: Elex Media


Komputindo.

Moleong, Lexy. J. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.


Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.

Sastry, A. & Aguirre, B. 2014. Parenting anak dengan autisme: Solusi,


strategi, dan saran praktis untuk membantu keluarga anda.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soeriawinata, Rury. 2018. Verbal Behavior & Applied Behavior Analysis.


Yogyakarta: Quantum

Soetjiningsih, & Ranuh, I. G. 2015. Tumbuh kembang anak edisi 2. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran.

Sugiyono.2015. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&B. Bandung: Aflabeta.

Asrizal. 2016. Penanganan Anak Autis dalam Interaksi Sosial. Universitas


Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

ASTRI VENIA RAZI, Syamsul Rizal dan. 2017. DARI TALCOTT


PARSON UNTUK MENJADI MAHASISWA IDEALDI
PERGURUAN TINGGI IAIN ZAWIYAH COT KALA LANGSA.
ISSN 2620-5858.
<http://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/at/article/view/150> • Vol 9 No 2
Vol. 9 No 2 Desember 2016

Aisti Rahayu Kharisma Siwi dan Nisa Rachmah Nur Anganti. 2017. Strategi
Sosial Terhadap Anak Kepada Anak Autis. ISSN :2541450X.
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Aisyah, Feni Nur Afni. 2016. PERAN ORANG TUA DALAM


MENANAMKAN SIKAP KEBERAGAMAAN ANAK USIA
SEKOLAH DASAR : STUDI KASUS DI LINGKUNGA2N
MASYRAKAT RT 03 RW 01 KELURAHAN BEDILAN
KECAMATAN GRESIK. Undergraduate
thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Aminatul Fitri, Zulfan Saam, dan Yulis Hamidy. 2016. Pengaruh Dukungan
Sosial Keluarga Terhadap Perilaku Anak Autis Di Kota Pekanbaru.
ISSN 1978- 5283. Jurnal Ilmu Lingkungan. Universitas Riau
Pekanbaru, Riau

Chrisnita Vani, Gabriela , Tri Raharjo, Santoso & Nuriyah Hidayat, Eva.
2017. Pengasuhan (Good Parenting) Bagi Anak Disabilitas DOI :
https://doi.org/10.24036/4.1296 7. Jurnal Aplikasi IPTEK Indonesia
Universitas Negeri Padang.
Dessy, Hasanah S. Meilannya, Budiarti. Yessi, Rachmasari. 2017.Peran
Pekerja Sosial Dalam Penanganan Anak Autis ISSN:25281577.
Universitas Padjajaran. Bandung

Dwi, Rikha Rachmawaty. 2014. Pemahaman Autisme Pada Orang Tua Yang
Memiliki Anak Autis Di Lembaga Potensi Perkembangan Anak
“Triple A” Malang. P-ISSN: 0853-8050, E-ISSN: 2502-6925.
Fakultas Psikologi. Universitas Wisnuwardhana. Malang

Essie, Octaria dan Zilda, Fahnia. 2014. Presentasi Moloklusi Pada Anank
Autis dan Anak Normal Di Kota Medan. Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Anak.Fakultas Kedoteran Gigi. Universitas Sumatera
Utara.

Emberti Gialloreti, Leonardo and Curatolo, Paolo. 2018. Autism Spectrum


Disorder: Why Do We Know So Little?. Department of biomedicine
and prevention, tor vergata Universty of rome, Italy doi:
10.7759/cureus.3299

Engelbertus, Ola Duli. 2015. Komunikasi Nonverbal Anak Autis Di Sekolah


Luar biasa (SLB) Pembina Provinsi Kalimanatan Timur. 2015, 3
(2):311-321 ISSN 0000-0000Universitas Mulawarman. Samarinda

F. Boat Thomas and T. Wu. Joel. 2015. Mental Disorders and Disabilities
Among Low-Income Children. Institute of Medicine. Division of
Behavioral and Social Sciences and Education
https://doi.org/10.17226/21780. THE NATIONAL ACADEMIES
PRESS. Washington, DC

Fuld, Samantha. 2018. Autism Spectrum Disorder: The Impact of Stressful


and Traumatic Life Events and Implications for Clinical Practice doi:
10.1007/s10615-018-0649-6. NYu silver school of social work, New
York University

Hendita, Gregorius Artha Kusuma. 2017. Sistem Identifikasi Penyakit Autis


Anak Berbasis Web. ISSN: 2302-3252. Jurusan Teknik Informatika
Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Jakarta

Hevi, Susanti. 2014. Representasi Konsep Diri Orang Tua Yang Memiliki
Anak Autis. Universitas Riau. Pekanbaru

Husaini, wilda. 2017. Hubungan fungsi Keluarga Dengan Pemberian Asi


Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura. Fakultas
Kedokteran. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Iswari, Mega, dkk. 2018. Bermain Peran : Sebuah Metode Pembelajaran


Untuk Mengembangkan Keterampilan Sosialisasi Anak Autis ISSN :
2598-5183. Universitas Negeri Padang,Indonesia.

Jennifer Sianipar, Jojor.dkk. 2017. Identifikasi Diagnosis Gangguan Autisme


Pada Anak Menggunakan Metode Modified K-Nearest Neighbor
(MKNN). Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu
Komputer, Universitas Brawijaya

Muji Rahayu, Sri. 2014. Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis. Jurnal
Pendidikan Anak Volume III Edisi 1 Juni 2014. SLB Pamardi Putra.
Bantul

Nunung, Sri Rochaniningsih. 2014, Dampak Pergerseran Peran Dan Fungsi


Keluarga Pada Perilaku Menyimpang Remaja Online ISSN (e-ISSN):
2502-1648. Universitas Negeri Yogya. Yogyakarta.

Prasanti, Ditha. 2017. INTERAKSI SOSIAL ANGGOTA KOMUNITAS


LET’S HIJRAH DALAM MEDIA SOSIAL GROUP LINE.
Fakultas Ilmu
Komunikasi. UNPAD. Bandung.

Retno Anggraini, Diah. 2018. Peran Caragiver Dalam Mengenalkan Anggota


Tubuh Pada Individu Autistik Usia Prasekolah e-ISSN: 2549-2845.
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris ,Universitas
Muhammadiyah Tangerang

Rina Mirza, 2016. Menerapkan Pola Asuh Konsisten Pada Anak Autis ISSN :
08542627. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sumatera
Utara Medan.

Riandini, Seffia. Pengaruh Pola Pengasuhan dengan Perkembangan


Komunikasi Anak Autis kepada Orang Tua. 2015. Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung

Roro, Raden Jane Adjeng P, dkk. 2015. Pengaruh Terapi ABA terhadap
Interaksi Sosial Anak Autis di SLB Autis Prananda Bandung.
Fakultas Psikologi ISSN: 2460-6448430. Universitas Islam Bandung.
Bandung.
Salar Anwar, Muhammad, dkk. 2018. Knowledge, Awareness, and
Perceptions Regarding Autism Among Parents in Karachi, Pakistan
DOI : 10.3389/fneur.2018.00670. Dow University Health science,
Karachi, PAK

Sahida, Khaula. 2018. Parent Child Characteristics And Its Correlation To


Parental Rejection Of Autism Spectrum Disorder Children DOI-
https://dx.doi.org/10.20319/lijhls.2017.41.5464. Nursing Science,
Faculty of Nursing, Universitas Indonesia, Depok, West Java,
Indonesia

Selvi, Shanty, Sudarji. 2017. Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi


Penerimaan Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autisme. ISSN:
1979-3707. Program Studi Psikologi. Universitas Banda Mulia.
Jakarta

Suharni, Ni Luh Putu Eka, Neni Maemunah. 2016. Hubungan Pola Asuh
Orang Tua Terhadap Interaksi Sosial Pada Anak Autis Di Yayasan
Insan Mandiri jl. Pisang kipas no. 34 A Kelurahan Jatimulyo Malang.
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Malang

Surya Febrianto, Ade dan Darmawanti Ira. 2016. Studi Kasus Penerimaan
Seorang Ayah Terhadap Anak Autis ISSN: 2087-1708. Program Studi
Psikologi Universitas Negeri Surabaya. Surabaya

Ventola, Pamela. 2017. Parenting a Child with ASD: Comparison of


parenting style between ASD, anxiety, and typical development doi:
10.1007/s10803-017- 3210-5. Department of Pyschology, University
of Alabama. Tuscaloosa. USA
Wahyu Merianto, Randi. 2016. Peran Orang Tua dalam Menangani Anak
Autis (Studi Kasus 4 Keluarga Anak Autis di Kota Pekanbaru).
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau

M.Arrozy, Ahmad. 2016. Dasar Pemikiran Goerge Herbert Mead Hingga


Interaksionis Simbolik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

https://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-di-
indonesia

http://puterakembara.org/rm/peran ortu.htm

https://www.kompasiana.com/pewarisnegri/54f77e25a333111a648b4690
/mereka-berhasil-sembuh-dari-autis Diperbarui: 23 Juni 2015

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/603/partisipasi-
keluarga-untuk-anak-autistik# Dipublikasikan Pada : Rabu, 24
Februari 2016
56

Anda mungkin juga menyukai