Anda di halaman 1dari 37

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. IMPLAN GIGI
1. Definisi Implan Gigi
Implan merupakan suatu peralatan medis yang dibuat khusus untuk
menggantikan struktur dan fungsi dari suatu bagian tubuh yang bersifat biologis.
Implan gigi ditempatkan ke dalam jaringan lunak dan jaringan keras tulang
mandibula atau maksila melalui prosedur pembedahan dengan tujuan untuk
mengantikan fungsi fungsional gigi dan akar yang hilang serta memberi dukungan
tambahan bagi gigi tiruan maupun jembatan dan mengembalikan fungsi estetik yang
akan memberikan kenyamanan bagi pengguna.4.
Bagian tubuh yang secara langsung berkontak dengan implan mungkin akan
memberikan reaksi penolakan yang dianggap sebagai benda asing. Oleh karena itu,
untuk mencegah reaksi penolakan tersebut maka suatu bahan material implan harus
memiliki sifat dasar utama yaitu biokompatibel, biofungsional atau biomekanik.5.
Biokompatibel berarti bahwa bahan material tersebut memiliki kemampuan untuk
berinteraksi dengan sel atau jaringan sekitar tanpa menimbulkan reaksi penolakan dan
tidak bersifat toksik yang dapat memicu reaksi imun atau komplikasi, demikian juga
sebaliknya di mana tubuh tidak memberi reaksi yang merugikan terhadap material
tersebut.4. Biofungsional atau biomekanik yang berarti bahwa bahan material tersebut
diharapkan mampu menahan beban mekanik yang tinggi saat sedang berfungsi
terutama pada beban pengunyahan.
Bahan meterial tersebut harus dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan memiliki
elastisitas yang sama atau hampir sama dengan jaringan sekitar sehingga memiliki
retensi yang tinggi terhadap suhu serta aktif terhadap jaringan sekitar sehingga tahan
terhadap korosi saat bereaksi dengan cairan-cairan tubuh terutama yang ada di dalam
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

4
rongga mulut, ini dimaksudkan agar dapat terjadi penyatuan material implan dengan
jaringan sekitar yang disebut sebagai osseointegrasi.4. Osseointegrasi ini mengacu
pada struktur biologi dan fungsional serta koneksi langsung antara logam implan
dengan tulang yang sehat tanpa adanya intervensi jaringan ikat sehingga
memungkinkan tulang untuk menyesuaikan diri dengan implan dan beban yang
diterimanya.6,7.
2. Macam Macam Implan Gigi
Jenis implan gigi yang digunakan saat ini umumnya berbentuk sekrup dan
silinder dengan modifikasi lurus, runcing, kerucut, oval atau trapesium yang terbuat
dari material titanium murni atau paduan logam titanium dengan permukaan yang
dilapisi bahan hidroksiapatit (HA).8.
Komponen implan gigi jenis sekrup secara umum yang biasa digunakan terdiri
dari mahkota, abutment, healing cup dan fixture. Mahkota merupakan protesa gigi
porselen yang memberikan penampilan oklusal dan estetika mirip dengan gigi asli
yang kemudian ditempatkan pada abutmen dengan sementasi (dengan mahkota tipe
cemented) atau dengan sekrup (dengan mahkota tipe screwing). Abutment merupakan
komponen yang menyediakan dukungan bagi mahkota (satu sampai beberapa
mahkota atau mahkota jembatan) dan menjadi penghubung antara mahkota dengan
implan. Komponen implan ini disekrup dan dimasukan langsung ke dalam badan
implan atau fixture dan dipasang untuk menggantikan healing cup yang merupakan
komponen berbentuk kubah dengan permukaan halus yang dibuat dari logam titanium
dengan panjang dari 1 mm sampai 10 mm yang ditempatkan pada permukaan implan
sebelum penempatan abutment. Fixture merupakan komponen yang dapat berupa
silinder berulir atau tidak berulir dan menyerupai akar atau berbentuk pipih yang akan
ditempatkan di dalam tulang.9.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

5
Gambar1. Perbedaan antara gigi asli dengan gigi tiruan implant.10.

Implan gigi dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori utama yaitu implan


berdasarkan jenis bahan yang digunakan, implan berdasarkan penempatannya dalam
jaringan dan implan berdasarkan pilihan perawatan.
a. Berdasarkan bahan yang digunakan
Bahan yang sempurna untuk aplikasi medis tidak hanya bersifat
biokompatibel, tetapi juga memiliki sifat biomekanik yang sama dengan
jaringan yang akan diganti atau yang akan diperbaiki. Bahan material
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis.5.
1) Bioinert. Sifat material yang langsung dapat ditempatkan dalam tubuh
dan memiliki sedikit interaksi dengan jaringan sekitarnya, sebagai
contoh adalah titanium, zirconium, dan alumina.
2) Bioactive. Sifat material yang dapat berinteraksi dengan tulang
sekitarnya dan dalam beberapa kasus dapat berinteraksi dengan
jaringan lunak, contoh utama dari bahan ini adalah hidroksiapatit
sintetis, kaca dan keramik (bioglass).
3) Bioresorbable. Sifat material dapat diserap oleh tubuh dan secara
perlahan digantikan oleh jaringan seperti tulang, contohnya adalah
trikalsium fosfat [Ca (PO)] dan 3 4 2 polylactic, asam polyglycolic,

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

6
kopolimer. Kalsium oksida, kalsium karbonat dan gipsum adalah
bahan umum lainnya yang telah digunakan selama tiga dekade
terakhir.
Berdasarkan penelitian, logam titanium memiliki sifat
biokompatibilitas dan biomekanis yang lebih baik dari jenis logam lainya
karena memiliki ketahanan korosi yang sangat baik, ini disebabkan
karena terbentuknya lapisan titanium oksida yang disebut dengan passive
layer. Terdapat tiga titanium oksida yang dibentuk diantaranya adalah
TiO (Anastase), TiO2 (Rutile) dan Ti2O3 (Brookite).
TiO2 adalah titanium oksida yang paling stabil dan paling umum
terbentuk pada permukaan titanium. Lapisan ini tidak larut dalam cairan
tubuh dan mencegah lepasnya ion logam yang dapat bereaksi dengan
jaringan tubuh sehingga dapat membantu penyembuhan permukaan
jaringan yang mengalami trauma selama penempatan implan. Modulus
elastisitasnya adalah setengah dari paduan logam lainnya dan 5 sampai
5,6 kali lebih besar dari tulang, ini membuat pendistribusian tekanan
didapat secara merata. 5.
Alasan lain yang menyatakan bahwa titanium merupakan bahan yang
ideal untuk implan gigi, yaitu :11.
1) Titanium adalah logam reaktif. Ini berarti titanium akan membentuk
lapisan oksida secara spontan pada permukaan logam tersebut. Oksida
ini merupakan salah satu jenis mineral yang paling resisten yang akan
membentuk lapisan tebal yang dapat melindungi logam tersebut dari
pengaruh kimia termasuk cairan tubuh.
2) Titanium memiliki sifat yang cocok dalam jaringan. Lapisan oksida
yang berkontak dengan jaringan tidak dapat larut, yang berarti tidak
ada ion yang dilepas sehingga tidak mungkin menimbul reaksi dengan
molekul organik.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

7
3) Titanium memiliki sifat mekanis yang baik. Kekuatan dan ketahanan
terhadap daya rentang mendekati stainless steel dan jauh lebih kuat
dibandingkan dengan tulang kortikal atau dentin serta dapat dibentuk
dengan mudah sehingga bahan ini dapat memiliki bentuk yang lebih
ramping tapi mampu menahan beban yang besar tanpa mengalami
kerusakan.
4) Titanium tidak bersifat pasif terhadap jaringan dan tulang. Pada tulang
dengan permukaan yang kasar, logam tersebut dapat menyatu dalam
satu reaksi dengan kata lain bersifat bioaktif. Pengikatan ini sering
disebut osseointegrasi.
b. Berdasarkan penempatannya dalam jaringan
1) Implan subperiosteal. Implan ini pertama kali diperkenalkan oleh
Muller dan Dahl pada tahun 1948. Implan ini tidak ditanam ke dalam
tulang, melainkan diletakkan diatas tulang alveolar dan dibawah
periosteum. Implan ini memerlukan teknik insersi dua tahap.
Indikasinya adalah kondisi rahang yang mengalami atrofi hebat, pada
pasien yang telah mengalami kegagalan berkali-kali dalam pemakaian
protesa dan pada kasus dimana proses atrofi menimbulkan rasa sakit
pada daerah mentalis. Kontraindikasinya adalah tidak untuk tempat
yang antagonisnya merupakan gigi asli. Penggunaan implan
subperiosteal pada rahang atas telah dibatasi karena dilaporkan bahwa
keberhasilannya dalam lima tahun tidak mencapai 75%.12.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

8
Gambar 2. Subperiosteal “on top of the bone” terdiri dari kerangka logam yang
melekat di atas tulang rahang dan di bawah jaringan gusi.13.

2) Implan endosteal. Terdapat 3 jenis disain dasar implan jenis ini yaitu
blade, cylinder dan screw. Implan ini ditanam ke dalam tulang rahang
melalui gusi dan periosteum, sebagian tertanam dalam jaringan tulang
dan sebagian lagi muncul pada permukaan mukosa. Ditinjau dari
teknik bedahnya, implan ini terdiri dari teknik insersi satu tahap dan
insersi dua tahap. Pada teknik insersi satu tahap, pembedahan hanya
dilakukan sekali sehingga abutment menonjol keluar mukosa setelah
operasi selesai. Sedangkan pada teknik dua tahap, operasi dilakukan
dua kali yaitu operasi tahap pertama untuk meletakkan implan pada
tulang rahang, setelah masa penyembuhan selesai dilakukan operasi
tahap kedua untuk pemasangan abutment. Tingkat keberhasilan akan
ketahanannya dapat melebihi waktu 15 tahun apabila teknik bedah dan
perawatan pasca bedah dilakukan dengan baik.12.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

9
Gambar 3. Endosseous “within the bone” berbentuk seperti sekrup atau silinder dan
terbuat dari logam yang dilapisi dengan bahan keramik dan ditempatkan
dalam tulang rahang.13.

3) Implan transosteal atau transosseous. Implan ini dipasang menembus


tulang rahang dan hanya digunakan pada rahang bawah. Implan jenis
ini jarang dipakai dan dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan yang
rendah.12.

Gambar 4. Transosteal “through the bone” berbentuk seperti pin logam atau bingkai
berbentuk “U” yang melewati tulang rahang dan jaringan gusi dalam
mulut.13.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

10
c. Berdasarkan pilihan perawatan
Misch mengklasifikasikan bahwa terdapat 5 pilihan perawatan
berdasarkan prostetik pada implan. Dari kelima pilihan perawatan
tersebut tiga yang pertama merupakan Fix Protesa (FP) yang
menggantikan sebagian (satu atau beberapa) atau seluruh gigi yang
direkatkan ataupun disekrukan secara cekat. Pemilihan tersebut
tergantung pada jumlah struktur jaringan keras dan jaringan lunak yang
akan diganti dan aspek estetik. Dua jenis restorasi implan yang terakhir
adalah Removeable Protesa (RP), protesa ini tidak berdasarkan pada
penampilan prostesa tapi tergantung pada jumlah dukungan implan yang
digunakan yaitu kekuatannya.14.
1) Fixed Protheses (FP) atau protesa cekat.
FP-1 : Tipe ini merupakan restorasi yang hanya menggantikan
mahkota gigi klinis saja dengan kehilangan jaringan keras dan jaringan
lunak yang minimal. Volume dan posisi dari sisa tulang harus dalam
keadaan yang ideal untuk penempatan implan sesuai dengan lokasi
akar yang sama pada gigi asli yang hilang. Ukuran dan kontur mirip
dengan protesa cekat konvensioanal yang biasa digunakan. FP-2 : Tipe
ini merupakan restorasi yang mengembalikan mahkota dan sebagian
akar dari gigi asli yang hilang. Volume dan topografi yang tersedia
pada tulang lebih kearah apikal dibandingkan dengan posisi tulang
yang ideal pada akar gigi yang asli (1 sampai 2 mm di bawah batas
antara mahkota dan sementum) dan menyerupai penempatan implan
pada protesa FP-1 yang lebih ke apikal. Gambarannya terletak pada
anatomi insisal dengan posisi yang benar namun dengan gingiva yang
terlihat lebih panjang (apikal dan lingual berada pada posisi yang
normal, apikal bukal labial pada posisi yang tidak normal). Restorasi
ini mirip dengan gigi yang kehilangan jaringan tulang periodontal dan
resesi gingiva. FP-3 : Tipe ini dapat menggantikan mahkota yang
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

11
hilang dan memiliki bahan restorasi yang sewarna dengan gingiva
sehingga dapat untuk menggantikan sebagian gingiva pada area
edentulous. Bahan yang biasa digunakan dapat berupa akrilik, porselen
atau logam. Mirip dengan FP-2, tinggi tulang asli yang tersedia akan
mengurangi resopsi atau osteoplasty pada saat penempatan impan.
Penempatan ujung insisal harus tepat sesuai dengan estetik, fungsi,
dukungan bibir dan berbicara, serta penyesuaian dengan tinggi dimensi
vertical. Berbeda dengan FP-2, protesa ini mungkin akan
mempengaruhi estetik pada pasien yang memiliki garis bibir normal
yang tinggi pada maksila ketika tersenyum atau garis bibir yang rendah
pada mandibula ketika berbicara. Tinggi garis senyum yang ideal
memperlihatkan papilla interdental pada gigi depan maksila tapi tidak
untuk jaringan lunak yang ada di atas regio petengahan servikal.
Sekitar 7% pria dan 14% wanita memiliki senyum yang tinggi atau
gummy smile yang memperlihatkan gingiva dari batas servikal gigi
hingga 2 mm atau lebih dari batas mukosa bergerak (unattached) dan
mukosa tidak bergerak (attached) gingiva.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

12
Gambar 5. Restorasi cekat FP-1 (ideal), FP-2 (hypercontoured), dan FP-3
(menggantikan gingiva dengan pink porselen atau akrilik). Perbedaan
antara FP-2 dan FP-3 paling sering berhubungan dengan posisi tinggi
bibir maksila selama tersenyum atau posisi bibir mandibula selama suara
berdesis dan membutuhkan dukungan permukaan yang lebih luas dengan
meningkatkan jumlah dan ukuran implan serta disesuaikan dengan
pertimbangan disain.14.

2) Removable protheses atau protesa lepasan. RP-4 : Protesa dengan


dukungan gigi tiruan pada implan, gigi dan bahkan keduanya.
Penempatan gigi tiruan biasanya dihubungkan dengan protesa lepasan
pada bar atau splints di abutment implan. Biasanya terdapat 5 atau 6
implan pada mandibula dan 6 sampai 8 implan pada maksila untuk
dukungan protesa RP-4 agar mendapatkan hasil perawatan yang
optimal. RP-5 : Protesa dengan kombinasi dukungan gigi tiruan antara
jaringan lunak dan implan. Jumlah dari dukungan implan bervariasi,
mandibula dengan seluruh daerah tidak bergigi mungkin akan
memiliki 2 implan anterior yang tidak bergantung antara satu dengan
yang lainya, splin implan dapat digunakan pada daerah kaninus untuk
meningkatkan retensi dan pada daerah premolar serta daerah
pertengahan antara gigi insisiv digunakan untuk menyediakan
keseimbangan. Splin implan dengan bar dapat bermanfaat untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya abrasi jaringan dan untuk
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

13
membatasi jumlah jaringan lunak yang membutuhkan dukungan
protesa.

Gambar 6. Restorasi removable berdasarkan dukungan implan. RP-4 merupakan


prostesis yang memiliki dukungan implan lengkap anterior dan posterior.
Pada mandibula suprastruktur bar sering menjadi penyangga dari implan
yang diposisikan antara foramen tersebut. Pada maxillary RP-4 biasanya
memiliki implan yang lebih banyak dan sedikit atau tanpa penyangga.
Pada RP-5 restorasi memiliki dukungan implan terutama pada anterior
dan posterior jaringan lunak dalam rahang atau mandibula dan biasanya
hanya terdapat sedikit implan yang diperlukan dengan graft tulang yang
minimal.14.

3. Diagnosis
a. Evaluasi Edentulous Area
Tinggi, lebar dan kontur edentulous area dapat dinilai dengan visual
dan palpasi yang baik. Penilaian yang harus diambil adalah : 1) profil atau
angulasi dari kontur dan hubungannya terhadap gigi lawan, 2) jarak
antara kontur edentulous dan gigi lawan untuk memastikan adanya cukup
ruangan untuk komponen prostodontik, 3) besar ruang vertical (panjang)
dan horisontal (lebar) dari ridge yang tersedia pada rahang atas maupun
rahang bawah, 4) panjang mesiodistal dari kontur edentulous untuk

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

14
mengindikasi kemungkinan jumlah implan yang akan dipasang, 5) ruang
antar mahkota termasuk kontur maksimum mahkota dan 6) ketinggian
kontur edentulous area.15.
Penilaian yang ideal mengenai ketersediaan tinggi, lebar, jarak, sudut
dan ruang mahkota untuk penempatan implan adalah sebagai berikut :
1) Teori mengatakan bahwa tinggi tulang alveolar ideal yang harus tersedia
adalah 12 mm, sedangkan dalam penatalaksaannya tinggi tulang alveolar
ideal yang direkomendasikan adalah 14 mm, hal ini dimaksudkan dengan
sisa ketinggian 2 mm dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan
perforasi atau untuk tindakan osteoplasty agar mendapatkan panjang
tambahan.
2) Ketebalan akar implan biasanya dapat mencapai diameter 4 mm, oleh
karena itu dibutuhkan ketersediaan lebar tulang alveolar kira-kira 6 mm,
hal ini dimaksudkan agar implan yang ditempatkan tepat ditengah tulang
alveolar dengan sisa ketebalan 1 mm di daerah mid-lingual atau mid-
palatal dan 1 mm di daerah mid-bukal atau mid-labial dapat memastikan
ketebalan tulang yang cukup untuk menjaga fiksasi implan dan suplai
darah yang adekuat disekitar implan.
3) Pada dasarnya implan harus berjarak 1,5 mm dari gigi asli dan 3 mm dari
sesama implan yang akan ditempatkan, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya kegagalan penempatan dan mengkompensasi
lebar implan untuk menghindari tejadinya kerusakan tulang yang lebih
banyak
4) Gigi anterior maksila ditempatkan pada sudut 12 derajat dari bidang
oklusal, gigi anterior mandibula ditempatkan tegak lurus terhadap kurva
Wilson atau Spee, gigi regio premolar ke dua atas dan bawah di
tempatkan pada sudut 10 derajat ke arah horisontal dari dibidang oklusal,
pada gigi regio molar pertama atas dan bawah ditempatkan 15 derajat dari

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

15
bidang oklusal dan pada gigi regio molar ke dua atas dan bawah,
ditempatkan dengan sudut antara 20 sampai 25 derajat dari bidang oklusal
5) Ruang mahkota didefinisikan sebagai jarak atau dimensi vertikal dari
puncak ridge ke bidang oklusal. Untuk mendapatkan rencana perawatan
yang ideal, ruang mahkota harus sama dengan atau kurang dari 15 mm
(disesuaikan dengan dimensi vertikal).14.
b. Ronsen Foto
Pemeriksaan radiografi wajah terutama maksila dan mandibula dapat
memberi informasi diagnosis yang akurat. Indikasi utama pemeriksaan
radiografi adalah : 1) untuk mendapatkan gambaran anatomis mengenai
tinggi dan lebar dari proses alveolar yang cukup memadai dan untuk
pemilihan ukuran implant yang tepat, 2) menemukan kemungkinan
adanya lesi patologis dan hunbungannya dengan struktur anatomi dari
sinus maksilaris yang apabila terjadi perforasi dapat menimbulkan infeksi
oroantral yang meningkatkan kemungkinan gagalnya perawatan implan
serta memastikan tidak terjadinya cedera pada bundel neurovaskular
dalam mandibula yang dapat mengakibatkan paresthesia wajah, 3)
menentukan hubungan fossa hidung, foramen mentale, kemungkinan
kelainan seperti supernumerary teeth, sisa-sisa akar atau lain sebagainya,
dan 6) evaluasi dan identifikasi lesi dalam ukuran, bentuk dan batasan
serta perkembangan lesi dan pengaruh lesi pada korteks tulang dan gigi
yang berdekatan.15,16.
Pengklasifikasian tipe kualitas berdasarkan Lekholm dan Zarb
menyatakan bahwa terdapat 4 tipe kualitas tulang yaitu: anterior
mandibula memiliki tulang terpadat, diikuti oleh posterior mandibula,
anterior maksila dan posterior maksila. Misch, mengklasifikasikan
kepadatan tulang yang berkorelasi dengan pengukuran Hounsfield
sebagai berikut : D1 (tulang kortikal padat) memiliki kepadatan >1250,
D2 (porus tulang kortikal dan tulang trabekular yang kasar) memiliki
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

16
kepadatan dengan kisaran 850-1250, D3 (porus tulang kortikal dan tulang
trabekular halus) memiliki kepadatan dengan kisaran 350-850, D4 (tulang
trabecular halus) memiliki kepadatan dengan kisaran 150-350, dan D5
(tulang non mineralized dewasa) memiliki kepadatan <150. Misch
menyatakan bahwa kepadatan tulang posterior maksila 90% termasuk
dalam klasifikasi D3 dan D4. Sedangkan anterior maksila 75% termasuk
klasifikasi D2 dan D3. Relatif 72% anterior mandibula adalah klasifikasi
D1 dan D2, sementara 96% posterior mandibula termasuk dalam
klasifikasi D2 dan D3.14,17.

Tabel 1. Klasifikasi Kepadatan Tulang dan Lokasi.14.

Kualitas
Deskripsi Perabaan Lokasi Kepadatan
tulang
Tulang kortikal Pohon oak Anterior mandibula
D1 >1250
padat
Porus kortikal dan Pohon pinus Anteroposterior
D2 trabekular kasar mandibula dan 850-1250
anterior maksila
Porus kortikal dan Pohon balsa Anteroposterior
D3 trabekular halus maksila dan 350-850
posterior mandibula
D4 Trabekular halus Sterofom Posterior maksila 150-350
D5 <150

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

17
Gambar 7. Empat tipe kepadatan tulang yang ditemukan di daerah edentulous dari
maksila dan madibula. D1 adalah tulang tulang cortikal yang padat, D2
adalah tulang kortikal tebal yang berpori pada bagian puncak dan tulang
trabekular yang kasar di dalamnya, D3 adalah tulang kortikal tipis berpori
pada bagian puncak dan tulang trabekular halus dalamnya, dan D4 adalah
tulang yang hampir tidak memiliki kortikal crestal dan disusun oleh tulang
trabekular yang halus di hampir semua total volume tulang.14.

Teknik-teknik radiografi yang dapat digunakan adalah :


1) Teknik proyeksi periapikal, teknik ini dapat memberi gambaran
rinci mengenai struktur tulang dan gigi yang ada pada rahang
atas dan rahang bawah
2) Teknik proyeksi panoramik, teknik ini memberi informasi
penting mengenai tulang dan korelasinya dengan kanal
mandibula, sinus maksilaris, dan lekukan lubang hidung. Teknik
ini dapat memberi informasi secara keseluruhan dari sistem
dentoalveolar dan memungkinkan untuk mempelajari gigi yang
ada, serta adanya lesi tulang, sisa-sisa akar, gigi-gigi yang
impaksi dan lain sebagainya.6. Kombinasi radiografi dengan
teknik panoramik dan periapikal cukup cocok digunakan untuk
mengevaluasi daerah penempatan implan gigi,18.
3) Teknik proyeksi oklusal atau axial scan, teknik ini memiliki
keuntungan yang sama dengan radiografi periapikal, dapat
memberi gambaran yang lebih luas dan tiga dimensi apabila
digunakan bersama dengan radiografi periapikal atau
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

18
panoramik, teknik ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
lengkung rahang, kualitas tulang dan pemeriksaan dimensi
buccolingual terbesar dari mandibula. Biasanya digunakan untuk
penilaian simfisis mandibula.
4) Lateral oblique projection of mandible, teknik ini memberi
gambaran rahang atas dan rahang bawah daerah anterior dan
membantu dalam penempatan implan di daerah simfisis,6, 19.
5) Computed Tomography (CT-scan ), dikenal dengan istilah CT
csan yang memberi gamabaran 3 dimensi mengenai arsitektur
tulang, saraf, sendi, sinus dan struktur lain jauh lebih lengkap
dari pada radiografi jenis lainya.19. Cone Beam Computed
Tomography (CBCT-3D) merupakan salah satu dari jenis CT-
scan yang paling banyak digunakan, teknik ini diindikasikan
pada penilaian rahang untuk penempatan implan gigi, rencana
perawatan ortodontik dan evaluasi TMJs. Teknik ini secara
akurat dapat menilai posisi dari kanal alveolar inferior, foramen
mental dan kontur permukaan lingual mandibula.
Data yang diperoleh dari CBCT-3D dapat diformat ulang
menjadi 3 jenis gambar dua dimensi. Pertama adalah axial-scan
(pandangan oklusal yang tegak lurus terhadap sumbu tubuh dan
sejajar dengan bidang oklusal, bagian ini sangat baik untuk
mengevaluasi bagian yang terlihat dari leher dan tulang
belakang leher, integritas bukal dan palatal pelat kortikal, sinus
dan rongga hidung), yang kedua adalah cross-sectional (cross-
sectional secara otomatis diformat ulang oleh komputer pada CT
scan dari aksial, gambar diambil dengan kemiringan yang pada
umumnya dilakukan setiap 2 mm di seluruh kelengkungan ridge
alveolar, dan dapat memberikan gambaran yang baik mengenai
kanal mandibula, foramen mental dan foramen mandibula serta
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

19
ketinggian tulang yang tersedia juga dapat diukur dengan tepat
karena menunjukan struktur anatomi dengan ukuran sebenarnya
(skala 1:1), dan yang ketiga adalah panoramic reconstructions
(gambaran yang sejajar dengan kelengkungan ridge alveolar dan
tidak ada pengukuran yang dibuat pada bagian ini serta hanya
berfungsi sebagai penunjuk lokalisasi dan dimungkinkan untuk
untuk membantu memvisualisasikan bentuk mandibula secara
utuh.

Gambar 8. Teknik proyeksi gabungan yang memberikan gambaran 3 dimensi.19.

c. Study Kasus dan Penetapan Diagnosis


Penetapan diagnosis dapat dinilai dari beberapa pemeriksaan,
diantaranya: 1) anamensis umum mengenai kondisi sistemik dan kondisi
rongga mulut pasien, 2) pemeriksaan klinis extra oral mengenai kondisi
dentofacial, hubungan temporo mandibular dan pemeriksaan klinis intra
oral mengenai ketersediaan ridge, posisi lidah yang mungkin abnormal
atau bahkan mungkin terdapat lesi yang terpapar pada rongga mulut, 3)
pemeriksaan penunjang seperti radiografi yang dapat menggambarkan

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

20
anatomi tulang lengkap dengan volume, kualitas dan kepadatan serta
menentukan jumlah dan posisi atau lokasi optimal untuk penempatan
implan, hubungan oklusal terhadap gigi antagonis dan menentukan jenis
implan yang akan digunakan, 4) pemeriksaan lab untuk mendukung
diagnosis yang akan ditetapkan.12.
Studi kasus dapat menggunakan model study sebagai pengukuran
untuk mendapatkan gambaran yang akurat mengenai anatomi tulang
seperti volume, kualitas dan struktur vital tulang. Model study dapat
digunakan untuk memilih ukuran, bentuk dan panjang implan yang sesuai
dengan ketinggian occlusoapical dan sudut kesejajaran implan pada gigi
alami atau implan lainya untuk mendapatkan stabilitas primer dan posisi
optimal serta jumlah implan yang akan digunakan. Implan dapat
diposisikan pada gips sebagai model study baik menggunakan gigi tiruan
atau gigi yang diukir dengan menggunakan wax.15,16.
4. Indikasi dan Kontraindikasi Pemasangan Implan
Secara umum indikasi implan gigi harus dilakukan pada pasien yang mempunyai
motivasi, kooperatif dan oral higiene yang baik. Tidak ada batasan usia untuk
pemasangan implan, akan tetapi lebih baik diatas usia 16 tahun karena apabila
perawatan implan ini dilakukan pada pasien dengan usia pertumbuhan maka implan
dapat mengganggu pertumbuhan tulang maksilla ataupun mandibula. Mengembalikan
fungsi estetik, fungsional (mastikasi termasuk stabilitas oklusi, fonetik) dan
kenyamanan juga merupakan indikasi utamanya.18.
Indikasi khususnya adalah pada pasien dengan ketebalan tulang rahang yang
cukup dan tidak dapat dirawat dengan teknik atau cara lain, contohnya pada pasien
dengan kehilangan semua atau sebagian gigi geliginya dan sulit untuk memakai gigi
tiruan konvensional akibat kurangnya koordinasi otot mulut sehingga stabilitas gigi
tiruan sulit dicapai atau karena adanya over sensitivitas sehingga menimbulkan
refleks muntah yang berlebihan atau juga pada pasien yang menolak gigi aslinya

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

21
diasah untuk pembuatan gigi tiruan cekat sehingga diidentifikasikan memiliki hasil
yang lebih fungsional dengan penggunaan implan.6.
Kontraindikasi umum implan gigi pada pasien dengan usia di bawah 16 tahun,
pengguna obat, alkoholik, kebiasaan buruk (bruksism dan merokok), oral hygiene
yang jelek termasuk kontrol plak yang sangat kurang dan penyakit periodontal kronis.
Kontraindikasi khususnya seperti pasien dengan radioterapi tulang rahang, diagnosis
tumor ganas dengan pronosis yang buruk, keadaan patologi jaringan lunak atau
jaringan keras dalam rongga mulut, gangguan imunosupresi seperti pasien yang baru
menjalani transplantasi organ dimana hal ini dikaitkan dengan reaksi penolakan yang
mungkin terjadi pada implan yang dianggap sebagai benda asing sehingga memiliki
prognosis yang kurang bagus, penyakit sistemik seperti DM tipe 2 yang tidak
terkontrol, gangguan pada pembekuan darah dan sistem endokrin serta terapi penyakit
kardiovaskuler yang resisten, gangguan metabolisme, pasien dengan gangguan sistem
imun yang permanen (HIV), gangguan mental/ kepribadian (psychopathy), luka
ekstraksi atau inflamasi kronis, dan pasien dengan hipersensitif terhadap salah satu
komponen implan.18.
Teradapat 2 kelompok utama faktor resiko yang mempengaruhi keberhasilan dan
kegagalan dalam perawatan, yaitu faktor sistemik dan faktor lokal. Beberapa
diantaranya adalah umur, penyakit periodontal, penyakit jantung dan hipertensi, DM,
osteoporosis, hormon, radioterapi, kelainan darah seperti neutropenia berat,
trombositopenia, anemia hemolitik, anemia aplastik, pansitopenia, bisitopenia dan
dapat juga yang diperparah dengan penggunaan antibiotik (sefalosporin, makrolid,
penisilin, dan kuinolon), penggunaan obat-obatan sistemik seperti dilantin natrium
(fenitoin), nifedipine, siklosporin, tacrolimus dan obat lain seperti Calcium channel
blockers, antikoagulan (aspirin), terapi kortikosteroid sistemik jangka
panjang.7,16,18,20,21.
5. Operasi Pemasangan Implan
Untuk pasien dengan kontrol sistemik yang baik pada penderita DM, dapat
dilakukan prosedur pemasangan implan yang standar seperti :16.
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

22
a. Asepsis
Asepsis kontrol silang infeksi tidak hanya untuk mencegah
kontaminasi tapi juga untuk mengurangi jumlah bakteri patogen selama
tindakan, diperlukan strelisasi yang mencakup :
1) Ruang operasi, tidak hanya bersih tapi juga harus bebas dari debu.
Teknik asepsis untuk ruangan dapat dilakukan dengan penyaringan
udara seperti menggunakan pendingin udara yang efektif dan efisien,
penyaring udara ini dapat digunakan untuk menyaring debu yang
menyebabkan kontaminasi mikroba udara dapat. Selain itu teknik
asepsis untuk debu lantai dapat direkomendasikan dengan penggunaan
deterjen fenolik.
2) Set peralatan atau instrumen, teknik asepsis yang dapat dilakukan
adalah dengan penyikatan yang dikombinasi dengan penggunaan air
sabun sebelum strelilisasi dengan tujuan untuk menghilangkan semua
mikroorganisme. Pada tahap selanjutnya strelilisasi dapat dilakukan
dengan metode fisik (panas kering atau lembab), bahan kimia (etilena
oksida, formaldehid, alkohol), radiasi (ultraviolet, katoda) atau dengan
metode mekanik (filtrasi).
3) Protokol asepsis tim bedah dapat mencakup kebersihan tangan dengan
teknik scrub menggunakan bahan anstiseptik berupa iodophors
(Betadine), chlorhexidine (Hibiclens), dan hexachlorophene.
4) Pakaian steril yang mencakup baju, penutup kepala, masker, sarung
tangan.
b. Teknik bedah atraumatik
Teknik ini mencakup disain insisi yang cocok agar didapat akses
daerah kerja yang optimal dan menghindari trauma berlebih pada proses
pemasangan implan. Disain insisi dan flap dapat bervariasi karena lokasi
anatomi penempatan implan dan gigi yang berbeda. Insisi dibuat pada
daerah mesiodistal sepanjang sisi bukal crest alveolar yang meluas
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

23
melalui mucoperiosteum dan attached gingiva ke tulang. Insisi harus
cukup panjang untuk memungkinkan refleksi yang memadai tanpa
merobek jaringan.16.
c. Penggunaan handpiece dan irigasi saat implantasi
Persiapan ruang implan pada tulang dilakukan dengan pengeburan dari
arah oklusal langsung ke apikal dengan gerakan intermiten untuk
menghindari terjadinya osteotomy ovalshaped dan overheating yang
dapat merusak vitalitas tulang. Penggunaan handpiece berkecepatan
rendah (disesuaikan dengan sistem yang digunakan, umumnya berada di
kisaran 800 sampai 2.000 rpm) dengan torsi tinggi serta irigasi internal
dan eksternal menggunakan jarum suntik steril yang diisi dengan cairan
salin dapat memperkecil kemungkinan terjadinya overheating yang
menyebabkan terjadinya nekrosis tulang.16,18.
d. Tahap penjahitan
Setelah prosedur implantasi selesai dilakuan, diperlukan penjahitan
dan pentutupan luka primer bedah flap untuk mendapatkan penyembuhan
luka yang optimal. Permukaan tulang yang tidak rata atau kasar setelah
proses osteotomi, perlu dilakukan penghalusan untuk menghindari
terjadinya iritasi gingiva. Jahitan harus dapat mempertahankan
kekuatannya untuk menjaga jaringan pada tepi luka hingga sembuh
dengan sempurna. Penjahitan yang baik dan tidak terlalu kencang dapat
meminimalkan trauma berlebih dan membantu proses penyembuhan
berjalan lebih cepat.6.
Pemilihan jenis benang jahit dapat mempengaruhi proses
penyembuhan jaringan lunak dan kerentanan terhadap inflasmasi
terutama pada pasien DM. Beberapa jenis bahan jahit yang tersedia yang
dapat diklasifikasikan berdasarkan bahannya (organik dan sintetis), dan
berdasarkan pada daya tahannya dalam jaringan (resorbable dan
nonabsorbable). Prinsip penting dalam tindakan penjahitan adalah
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

24
simpul, tegangan ikatan, reaktivitas jaringan dan keamanan luka.
Penelitian menunjukan bahwa bahan sintetis (nilon, poliester, ePTFE,
poluglycaprone 25 dan PGA) memberikan hasil yang lebih baik pada
jaringan mulut dalam hal reaksi inflamasi dibandingkan dengan bahan
jahit non sintetik (sutra dan katun) karena ditemukannya sejumlah besar
leukosit polimorfonuklear neutrofilik dan jaringan fibroblast serta kapiler
baru yang terbentuk lebih lambat dalam jaringan mulut di sekitarnya,
selain itu yang mungkin memicu reaksi jaringan adalah kemampuan
bakteri untuk menempel pada bahan jahitan. Bakteri memiliki 5 sampai 8
kali kemampuan untuk menempel pada bahan jahitan non sintetik seperti
sutra dibandingkan dengan bahan jahitan sintetik seperti nilon. Dapat
disimpulkan bahwa penjahitan dengan bahan sutra (non sintetik) dapat
menunda penyembuhan karena menimbulkan reaksi yang kurang
kompatibel terhadap jaringan.22.

B. DIABETES MELLITUS
1. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme dengan beberapa etiologi
yang ditandai dengan hiperglikemia kronis pada metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein yang merupakan hasil dari proses patogenesis. Proses tersebut
menghancurkan sel beta pankreas dengan defisiensi insulin konsekuen yang
mengakibatkan resistensi atau ketidakpekaan terhadap tindakan atau kerja insulin dan
bahkan mengganggu sekresi pankreas yang mengakibatkan berkurangnya produksi
jumlah insulin itu sendiri sehingga efek insulin yang bekerja pada jaringan target
berkurang.23,24.
Kondisi ini muncul tanpa gejala atau dengan gejala yang ringan sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan jangka panjang tanpa diketahui seperti disfungsi dan
kegagalan berbagai organ. Hiperglikemia ringan yang dapat bertahan selama
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

25
bertahun-tahun cukup untuk menyebabkan perubahan patologis dan fungsional yang
dapat berlanjut sebelum diagnosis dibuat. Berbagai gejala khas awal dapat terlihat
seperti polidipsi yang mengakibatkan rasa haus yang berkepanjangan, poliuri,
polifagi, pengaburkan visi, dan penurunan berat badan. Dalam bentuk yang paling
parah ketoasidosis atau keadaan hiperosmolar non ketotik dapat berkembang dan
menyebabkan pingsan, koma dan apabila dalam pengobatan yang tidak efektif dapat
mengakibatkan kematian. Efek jangka panjang mempengaruhi perkembangan
progresif dari komplikasi tertentu seperti mikrovaskuler retinopati spesifik dengan
potensi kebutaan, nefropati yang dapat menyebabkan gagal ginjal, atau neuropati
dengan risiko ulkus kaki, amputasi, charcot sendi (penyakit sendi neuropatik) dan
fitur disfungsi otonom, termasuk disfungsi seksual serta peningkatan risiko
kardiovaskular, pembuluh darah perifer dan penyakit serebrovaskular.23,24.
2. Klasifikasi Diabetes Militus
a. Diabetes tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 atau yang dikenal dengan diabetes insulin
dependent atau diabetes onset anak ini disebabkan karena adanya
kerusakan pada sel beta pankreas yang mengakibatkan terjadinya
gangguan insulin. Terdapat dua bentuk diabetes tipe 1, salah satunya
adalah penyakit diabetik autoimun yang dimediasi oleh antibodi sel islet
(ICAS), auto antibodi insulin (IaaS), dan auto antibodi dekarboksilase
asam glutamat (GAD) serta Human Leukocyte Antigen (HLA) yang kuat
juga terdapat didalamnya.25. Tingkat kerusakan cukup bervariasi, bentuk
progresif dengan onset cepat umumnya terjadi pada anak-anak atau usia
muda dan juga dapat terjadi pada orang dewasa, namun jika diabetes ini
yang terjadi sebelum usia 6 bulan maka kemungkinan besar akan menjadi
diabetes monogenik neonatal. Pasien anak-anak dan remaja dapat hadir
dengan ketoasidosis sebagai manifestasi pertama dari penyakit ini.
Hiperglikemia puasa yang sederhana dapat dengan cepat berubah menjadi

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

26
hiperglikemia berat dengan ketoasidosis yang disertai dengan infeksi atau
stres.
Terdapat kelompok dengan onset dewasa atau dalam bentuk progresif
lambat yang hadir pada usia pertengahan dengan diabetes tipe 2 yang
jelas memiliki bukti autoimunitas pada pengukuran antibodi
dekarboksilase asam glutamat dan akhirnya menjadi insulin dependent
yang dikenal dengan Latent Autoimmune Diabetes of Adults (LADA).
Berbeda dengan diabetes tipe 1 yang tergantung pada insulin dan beresiko
akan mengalami ketoasidosis, pada individu dengan LADA dapat
mempertahankan fungsi dari sisa sel beta pankreas yang cukup untuk
mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun.23,24.
Bentuk kedua dari diabetes tipe 1 ini disebut dengan diabetes idiopatik
yang memiliki insulinopenia permanen dan rentan terhadap ketoasidosis
yang penyebabnya masih belum diketahui.23. Diabetes idiopatik ini
memiliki sifat yang diwariskan atau diturunkan tapi tanpa bukti atau
penanda auto imun dan tidak memiliki HLA yang terkait. Meskipun tidak
semua karakteristik klinis diabetes tipe 1 menunjukkan hubungannya
dengan auto imun yang rawan akan ketosis, obesitas negatif yang dapat
terjadi di berbagai tingkat usia tapi diabetes tipe 1 ini terjadi lebih umum
pada orang yang berusia kurang dari 30 tahun dengan tingkat kerusakan
pankreas yang lebih cepat pada bayi atau anak-anak dan menjadi lebih
lambat pada orang dewasa. Diabetes akut memiliki gejala awal seperti
polidipsi, polifagi, poliuri, penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan, mulut kering, pruritus, kram kaki atau sakit, penyembuhan
yang tertunda dan infeksi berulang pada kulit, alat kelamin dan saluran
kemih. Karakteristik utama dari diabetes tipe 1 adalah ketergantungan
mutlak pada insulin eksogen untuk mencegah ketoasidosis.25.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

27
b. Diabetes Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 atau yang dikenal dengan diabetes insulin non
dependent atau diabetes onset dewasa ini merupakan diabetes dengan
defisiensi efisiensi relatif insulin dimana pankreas tetap dapat
mensekresikan insulin, akan tetapi efek dari kerja insulin tersebut tidak
dirasakan secara optimal oleh tubuh.23,24. Disamping terdapatnya beberapa
etiologi utama tersebut diabetes tipe 2 ini memiliki faktor predisposisi
yang mempengaruhinya, dimana sebagian besar erat kaitannya dengan
obesitas dan adipositas terutama lemak serta kurangnya aktivitas fisik dan
gaya hidup yang tidak sehat yang dapat menyebabkan atau memperburuk
resistensi terhadap insulin.23,24.
Tubuh yang mengalami obesitas merupakan faktor risiko karena
menghasilkan resistensi insulin perifer yang kemudian dikompresi oleh
sel-sel beta dengan meningkatkan sekresi insulin dan menjaga toleransi
glukosa normal. Kondisi ini memburuk hiperglikemia yang
mengakibatkan toksisitas terhadap glukosa serta penurunan sekresi dan
tindakan atau aksi insulin sehingga dengan hilangnya massa sel beta
tersebut menyebabkan ketergantungan terhadap insulin.25. Perluasan
definisi sindrom resistensi insulin sekarang adalah intoleransi glukosa,
peningkatan risiko komplikasi makrovaskuler (ischaemic heart disease,
peripheral arterial disease, cerebrovascular disease) dan mikrovaskuler
(retinopahty, nephropathy, neurophaty pheripheral dan autonomic,
erectile dysfungtion dan juga periodontal disease.), dislipidemia
(trigliserida tinggi, HDL kolesterol rendah, dan peningkatan pada LDL),
peningkatkan plasminogen activator inhibitor (PAI-1), penyakit arteri
koroner, dan aterosklerosis.2,25.
Insidensi diabetes tipe 2 ini meningkat seiring dengan bertambahnya
usia yang terkait dengan penurunan latihan fisik dan massa otot, selain itu
juga ditemukan pada usia muda, pada wanita dengan Gestational
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

28
Diabetes Mellitus sebelumnya dan pada individu dengan hipertensi atau
dislipidemia. Frekuensi bervariasi dalam subkelompok ras atau etnis yang
berbeda dan sering dikaitkan dengan hubungan yang kuat dalam kluarga
atau keturunan seperti genetik atau predisposisi. Namun, diabetes bentuk
genetik sangat kompleks dan tidak jelas.23,24. Gejala dari diabetes tipe 2 ini
sering tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun karena hiperglikemia
yang terdapat tidak cukup parah untuk menimbulkan gejala yang terlihat.
Ketoasidosis jarang terjadi pada diabetes tipe ini, biasanya dapat timbul
disertai dengan tekanan mental atau stres dan dengan penyakit lain seperti
infeksi. Sensitivitas insulin dapat ditingkatkan dengan pengurangan berat
badan dan meningkatkan aktivitas fisik serta pengobatan farmakologis
hiperglikemia, akan tetapi tindakan ini tidak dapat mengembalikan
kondisi tubuh pada keadaan normal, dengan kata lain diabetes ini tidak
dapat disembuhkan.24. Pengobatan dengan insulin tidak digunakan untuk
bertahan hidup, tapi insulin dibutuhkan untuk mempertahankan kontrol
glikemia yang normal dalam jangka waktu yang lama.23.
c. Tipe Tertentu Diabetes Lain
Diabetes mellitus sebenarnya juga dapat disebabkan oleh berbagai
macam faktor seperti cacat genetik fungsi sel beta, cacat genetik dalam
aksi insulin, penyakit pankreas eksokrin, endocrinopathies, obat atau
diinduksi kimia, infeksi, bentuk umum yang spesifik dengan kekebalan
diabetes mellitus yang dimediasi dan sindrom genetik lainnya yang
kadang-kadang dikaitkan dengan diabetes.23.
d. Gestational Diabetes Mellitus
Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah hiperglikemia yang dapat
terdeteksi selama kehamilan berlangsung (trimester kedua atau ketiga)
dimana kadar glukosa plasma puasa dan pasca prandial lebih rendah dari
normal, keadaan ini bisa disebabkan oleh diabetes tipe 2 sebelumnya
tidak terdeteksi. Faktor risiko untuk GDM meliputi kelompok usia, berat
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

29
badan normal sebelum hamil, obesitas, sejarah atau riwayat toleransi
glukosa abnormal serta etnis tertentu.24. Terdapat morbiditas yang
siknifikan terkait antara GDM dengan kematian janin intrauterin,
malformasi kongenital, hipoglikemia neonatal, sakit kuning, prematuritas
dan makrosomia maka, deteksi dan pengobatan dini harus segera
dilakukan serta skrining umumnya wajib dilakukan selama 28 minggu.
Toleransi glukosa biasanya akan kembali normal dalam waktu 6 minggu
setelah kehamilan berakhir. Kebanyakan pasien GDM tidak akan
berkembang menjadi diabetes permanen, akan tetapi beberapa akan
berkembang menjadi glukosa darah puasa terganggu (GDPT), toleransi
glukosa terganggu (TGT), DM tipe 2, atau bahkan DM tipe 1.25.
e. Gangguan Glukosa Puasa dan Toleransi Glukosa Terganggu
Pasien dengan hiperglikemia pada tingkat yang berada di bawah
kriteria diagnostik untuk diabetes yang didiagnosis dengan impaired
fasting glucose (IFG) atau impaired glucose tolerance (IGT), tergantung
pada tes yang digunakan. IFG, diuji dengan fasting plasma glucose
(FPG). IGT, diuji dengan oral glucose tolerance test (OGTT). Pada IFG,
nilai kadar glukosa terganggu lebih besar atau sama dengan 100 mg/dl
sampai 125 mg/dl, sedangkan IGT memiliki nilai glukosa setelah 2 jam
atau lebih sama dengan 140 mg/dl sampai 199 mg / dl. Kebanyakan
individu dengan IFG dan IGT adalah euglycemic dalam kehidupan sehari-
hari dan sering memiliki kadar hemoglobin glikosilasi (HbA1C) yang
normal. IFG dan IGT merupakan faktor risiko untuk DM karena dengan
pengujian tersebut dapat menunjukkan bahwa kondisi pasien tersebut
dapat membaik atau tetap stabil atau bahkan memburuk. IFG ataupun
IGT dapat dikaitkan dengan komplikasi pada mikrovaskuler dan
makrovaskular.25.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

30
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus Dengan TTGO.23.

Kadar Glukosa Darah


mg/dl mmol/dl
Puasa ≥ 126 ≥ 7.0
Diabetes Mellitus
2 jam sesudah makan ≥ 200 ≥ 11.1
Impaired Fasting Puasa < 126 ≥ 6.1 & < 7.0
Glucose (IFG) 2 jam sesudah makan ≥ 140 & < 200 < 7.8
Impaired Glucose Puasa ≥ 110 & < 126 < 7.0
Tolerance (IGT) 2 jam sesudah makan < 140 ≥ 7.8 & < 11.1

3. Gejala Klinis
Gejala atau keluhan klasik dikenal dengan istilah triadpoli (polidipsi atau banyak
minum, poliphagi atau banyak makan dan poliuri atau banyak kencing), penurunan
kemampuan visual dan berat badan secara drastis tanpa penyebab yang jelas, sering
kesemutan terutama pada jari-jari tangan, sering lemas, gatal-gatal dan disfungsi
ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.26.
Manifestasi oral seperti masalah karies, periodontal (periodontitis dan gingivitis)
yang berat sampai kehilangan gigi, infeksi jamur dan bakteri, lesi (dalam bentuk
stomatitis, lidah geografik, glossitis bermigrasi jinak, lidah pecah-pecah, ulkus
traumatik, lichen planus, reaksi lichenoid dan chelitis sudut) yang sangat sulit untuk
sembuh, disfungsi saliva (penurunan aliran saliva dan perubahan komposisi air liur)
dan gangguan neuro sensorik mukosa yang mengakibatkan disfungsi rasa.27.
Gejala klinis yang tidak disadari dan tidak mendapat penanganan atau
pengobatan segera akan memperburuk kondisi tubuh penderita. Kadar gula darah
yang tinggi dan tidak terkontrol, akan menimbulkan berbagai faktor penyulit atau
komplikasi pada pembuluh darah misalnya pada pembuluh darah otak yang akan
mengakibatkan stroke, pada pembuluh darah mata yang beresiko kebutaan, pada
pembuluh darah ginjal (GGH hemodialisa) dan lain sebagainya. Jika terjadi atau
terdapat beberapa faktor penyulit tersebut maka penyembuhkan ke arah normal akan
menjadi sangat sulit. Oleh karena itu, penanganan yang tepat dan segera diperlukan
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

31
untuk mencegah timbulnya faktor-faktor penyulit tersebut. Kondisi tubuh yang perlu
diperhatikan sebagai usaha pencegahan, diantaranya adalah gangguan jantung dan
pembuluh darah gangguan pembuluh darah mata mengakibatkan perdarahan yang
beresiko kebutaan, gangguan ginjal, saraf, infeksi gusi dan gigi, dan gangguan tulang
seperti osteoporosis.2,26,28.
4. Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara utama. Pertama, jika keluhan
atau gejala klasik ditemukan di tambah dengan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
(GDs) ≥ 200 mg/dL, maka hal ini sudah cukup untuk menegakkan diagnosis bahwa
pasien menderita DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDp)
yang lebih mudah dilakukan dan mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga
pemeriksaan ini dianjurkan. Pemeriksaan ini dilakukan jika keluhan atau gejala klasik
ditemukan dan pemeriksaan GDp ≥ 126 mg/dL, maka dengan ini dapat diagnosis
menderita DM. Ketiga dengan TTGO, dimana kadar glukosa plasma 2 jam pada
TTGO ≥ 200 mg/dL, maka ini dapat dipastikan bahwa penderita terkena diabetes
mellitus. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik
dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sangat jarang dan sulit untuk dilakukan karena proses yang
berulang-ulang.26.

Table 3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis Diabetes Mellitus.26.

Belum pasti
Bukan DM DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100 - 199 ≥ 200
darah sewaktu
Darah kapiler < 90 90 - 199 ≥ 200
(mg/dL)
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100 - 125 ≥ 126
darah puasa
Darah kapiler < 90 90 - 99 ≥ 100
(mg/DL)
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

32
C. PENATALAKSANAAN IMPLAN PADA PENDERITA DIABETES
MELLITUS TIPE 2
Riwayat medis dan pemeriksaan klinis merupakan hal yang sangat penting dalam
penilaian kasus dan perencanaan perawatan yang tepat dalam menentukan
keberhasilan dari suatu prosedur tindakan pembedahan.6,18. Perencanaan yang akan
diambil, harus disesuaikan dengan hasil evaluasi kondisi medis pasien secara
keseluruhan. Setelah proses evaluasi dan rencana pengobatan termasuk multi disiplin
dari semua dokter dan teknisi laboratorium ditetapkan, maka dapat dibuat dan
disampaikan secara tertulis kepada pasien melalui informed consent.18.
Pasien dengan kondisi sistemik terganggu seperti DM, memerlukan kerja sama
dokter spesialis terkait sebagai tindakan pencegahan untuk menghindari berbagai
komplikasi potensial yang mungkin akan terjadi selama atau setelah prosedur
implantasi dilakukan. Berbagai pemeriksaan klinis dan laboratorium dapat dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis dan rencana perawatan yang tepat.6.
1. Pemeriksaan Klinis Awal
Pemeriksaan menyeluruh ekstraoral dan intraoral harus dilakukan pada semua
pasien termasuk pada pasien dengan DM untuk mendiagnosis penyakit yang mungkin
bermanifestasi dalam mulut (jaringan keras dan lunak), karena terminologi mengenai
infeksi dan patofisiologi peradangan pada rongga mulut dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi proses penyembuhan.15.
Kondisi sistemik pada penderita penderita DM membuat sistem imun menjadi
lebih rentan. Konsentrasi glukosa yang tinggi dalam darah dan cairan tubuh akan
mendorong pertumbuhan mikroba patogen seperti candida. Kondisi ini
mempermudah terjadinya infeksi odontogenik yang dipicu dengan adanya karies,
penyakit periodontal atau masalah endodontik lainya. Microangiopathy yang timbul
sebagai komplikasi DM dapat mengganggu vaskularisasi penyembuhan flap ataupun
trauma pada jarigan, sehingga mikroba patogen dapat lebih mudah masuk ke tubuh.
Infeksi tersebut melibatkan proliferasi yang memicu mekanisme pertahanan yang
kemudian mengakibatkan peradangan yang dapat menunda penyembuhan.2,6.
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

33
Tahap perawatan ini bertujuan untuk mempersiapkan pasien sebelum melakukan
prosedur operasi baik secara fisik maupun mental.18. Penanganan atau tindakan pada
rongga mulut dapat dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan jumlah patogen
yang bermanifestasi dalam rongga mulut, menghilangkan atau meminimalkan sumber
kontaminasi seperti plak dengan cara scaling dan mencegah infeksi lainnya seperti
penambalan atau pencabutan pada gigi karies, perawatan penyakit periodontal,
perawatan endodontik dan bahkan perawatan pada infeksi saluran pernapasan akut
atau kronis dan perawatan sinusitis kronis di wilayah kepala atau leher yang secara
signifikan dapat meningkatkan risiko infeksi luka. Eliminasi tersebut dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya periimplanitis sebagai faktor resiko yang
mempengaruhi keberhasilan perawatan implan.15,16,18.
Penanganan evaluasi medis lengkap pada pasien DM pada kunjungan pertama
dapat dilakukan melalui evaluasi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratoris atau
penunjang lain dan dengan tindakan rujukan jika perlu dilakukan. Pada kunjungan
selanjutanya dapat dilakukan evaluasi berkala pada pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan 2 jam sesudah makan sesuai dengan kebutuhan, pemeriksaan A1C
dilakukan setiap 3 sampai 6 bulan, dan setiap 1 tahun dilakukan pemeriksaan jasmani
lengkap, mikroalbuminuria, kreatinin, albumin / globulin dan ALT, kolesterol total,
kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida, pemeriksaan EKG, foto sinar-X
dada dan pemeriksaan funduskopi.26.
Penilaian hasil terapi pada pengobatan DM dapat dilakukan dengan pemeriksaan
kadar glukosa darah, pemeriksaan A1C yang dikenal dengan tes hemoglobin
terglikosilasi atau yang disebut juga sebagai glikohemoglobin atau hemoglobin
glikosilasi, pemeriksaan glukosa darah mandiri, pemeriksaan glukosa urin,
pemeriksaan benda keton urin dengan mengukur kadar asetoasetat diamana benda
keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat (< 0,6 mmol/L dianggap normal,
di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya
ketoasidoses diabetik).26.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

34
2. Pemeriksaan Klinis Lanjut
Tahap ini bertujuan untuk memastikan bahwa pasien telah menerima perawatan
medis yang memadai untuk kondisi sistemik tertentu seperti DM yang dapat menunda
atau menghambat penyembuhan luka dan perbaikan tulang.16.
Pengendalian kondisi sistemik pada penderita DM tipe 2 diperlukan untuk
mencegah timbulnya komplikasi kronik. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan
pengendalian kadar glukosa darah dan kadar lipid serta jumlah A1C mencapai kadar
yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.

Tabel 4. Kriteria Pengendalian DM.26.

Baik Sedang Buruk


Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) 80 - < 100 100 - 125 ≥ 126
Kadar glukosa darah 2 jam (mg/dL) 80 - 144 145 - 179 ≥ 180
HA1C/Hemoglobin terglikosilasi (%) < 6,5 6,5 – 8 >8
Kolesterol total (mg/dL) < 200 200 - 239 ≥ 240
Kolesterol LDL (mg/dL) < 100 100 - 129 ≥ 130
Kolesterol HDL (mg/dL) P: > 40 W: > 50
Trigeliserida (mg/dL) < 150 150 - 199 ≥ 200
IMT (kg/m2) 18,5 - < 23 23 - 25 > 25
Tekanan darah (mmHg) ≤ 130/80 > 130 – 140 / > > 140 / 90
80 – 90

Persiapan sebelum memulai prosedur pembedahan sebagai pencegahan lain yang


dapat meminimalkan komplikasi yang mungkin terjadi, diantaranya yaitu :
a. Antibiotik
Antibiotik diindikasikan pada implantasi gigi yang mempengaruhi
tulang dalam jangka waktu yang panjang.15. Semua infeksi terutama yang
disertai dengan demam dan luka yang bernanah, dapat merangsang
pelepasan katekolamin dan glukagon yang dianggap sebagai faktor risiko
terjadinya hiperglikemia sehingga membutuhkan antibiotik untuk

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

35
pencegahan penyebaran infeksi yang lebih luas. Antibiotik dapat
diberikan dalam kasus abses dentoalveolar akut dengan prosedur insisi
dan drainase yang disesuaikan sebagai tindakan pencegahan penyebaran
infeksi.6.
Antibiotik pilihan adalah amoksisilin (2 g per oral 1 jam sebelumnya)
untuk mikroba patogen yang paling sering menyebabkan komplikasi
pasca operasi setelah pemasangan implan seperti Streptococcus, anaerob
gram positif dan gram negatif. Klindamisin juga dapat digunakan (600
mg per oral 1 jam sebelumnya), azitromisin atau klaritromisin (500 mg
per oral 1 jam sebelumnya), dan sefalosporin generasi pertama
(cephalexin atau sefadroksil : 2 gr per oral 1 jam sebelumnya) jika pasien
tidak memiliki reaksi alergi anafilaksis terhadap penisilin.1.
b. Antiseptik.
Antiseptik untuk pembilasan rongga mulut pada pasien sebelum
dilakukannya tindakan pembedahan dapat dengan menggunakan
klorheksidin glukonat (2% atau 1,2% bilasan eksklusif selama 1
menit).1,16.
c. Anastesi Lokal.
Tidak ada rekomendasi khusus untuk bahan anestesi lokal pada
penderita DM, bahan anastesi yang bersifat vasokonstriktor harus
diberikan dengan hati-hati dan perhitungan dosis yang tepat dengan
konsentrasi yang seminimal mungkin. Adrenalin merupakan salah satu
vasokonstriktor yang paling umum digunakan, bahan ini dapat memberi
efek glikogenolisis yang dapat berinteraksi dengan insulin. Noradrenalin
memiliki efek glikogenolisis yang kurang dibandingkan dengan adrenalin,
dapat lebih cocok diberikan pada penderita diabetes.6.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

36
Tabel 5. Average Duration of Pulpal and Hard Tissue Anesthesia.7

Local Anesthetic Infiltration Nerve Block


(minutes) (minutes)
Lidocaine HCL
2% - no vasoconstrictor 5 – 10 > 10 – 20
2% + epinephrine 1 : 50,000 > 60 ≥ 60
2% + epinephrine 1 : 100,000 > 60 ≥ 60
2% + epinephrine 1 : 200,000 > 60 ≥ 60
Mepivacaine HCL
3% - no vasoconstrictor 5 – 10 20 – 40
2% + levonordefrin 1 : 20,000 ≥ 60 ≥ 60
2% + epinephrine 1 : 100,000 ≥ 60 ≥ 60
Prilocaine HCL
4% - no vasoconstrictor 10 – 15 40 – 60
4% + epinephrine 1 : 200,000 ≥ 60 60 – 90

d. Analgesik.
Pengendalian nyeri lebih efektif jika diberikan sebelum operasi dan
sesudah operasi untuk mencegah perkembangan nyeri pasca dan post
operasi.15. Analgesik ringan dan obat penenang yang mengandung
acetaminophen (Tylenol) dapat digunakan. Kortikosteroid harus dihindari
karena memiliki sifat glikogenolis, sama seperti salisilat (aspirin), karena
keduanya memiliki potensiasi aksi hipoglikemik. Pemberian anxiolytic
dianjurkan 1 hari (sore) sebelum dan pagi hari sebelum prosedur bedah.6.
e. Penanganan Darurat.
Penanganan ini dibutuhkan bila terjadi situasi darurat seperti
hiperglikemia dan hipoglikemia. Hiperglikemia biasanya disebabkan oleh
Ketoasidosis Diabetik (KAD, ini terjadi ketika tubuh kekurangan insulin
yang berat) dan Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH, ini terjadi
ketika tubuh mengalami defisiensi insulin yang relatif sehingga
menimbulkan dehidrasi yang menyebabkan kondisi hiperosmolaritas).
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

37
Pada kondisi hiperglikemia, perhitungan mengenai sekresi insulin
basal (saat puasa atau sebelum makan, 50% kebutuhan total insulin per
hari atau 0,02 U/kgBB) dan insulin prandial (setelah makan, 50% dari
kebutuhan total insulin per hari) serta insulin koreksi (jumlah insulin yang
diperlukan pasien di rumah sakit akibat kenaikan kebutuhan insulin yang
disebabkan adanya suatu penyakit atau stres, sekitar 10-20% dari
kebutuhan total insulin per hari) harus ditahui terlebih dahulu sebelum
pemberian dosis insulin secara intravena (IV).29.
Resiko hipoglikemia dapat terjadi sebagai komplikasi dari terapi
insulin yang intensif untuk mencapai kontrol glukosa darah yang
normal.29. Pada stadium lanjut intraoperasi (koma hipoglikemia atau tidak
sadar dan curiga hipoglikemia) penderita harus segera dievaluasi secara
lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah,
cairan, asam basa, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Penanganan
kondisi hipoglikemia ini dapat dengan 2 kondisi, yang pertama jika
pasien masih dalam keadaan sadar dapat diberikan 15 mg karbohidrat
sederhana, kemudian lakukan pengecekan kadar gula darah 15 menit
sesudahnya ( > 60 mg/dL, pasien dapat diminta untuk makan dan minum
sesuatu yang manis dan jika < 60 mg/dL, dapat dilakukan pemberian
karbohidrat sederhana dan pengecekan kembali kadar gula darah hingga
mencapai nilai > 60mg/dL) dan yang kedua jika pasien dalam keadaan
tidak sadar dapat dilakukan dengan akses intravena (5 – 25 g 50%
dekstrosa langsung IV, kemudian dilakukan pemeriksaan GDs, bila GDs
< 50 mg /dL dapat diberikan bolus dekstrosa 40% 50 ml IV dan bila GDs
< 100 mg /dL dapat diberikan bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV) dan tanpa
akses intravena (pemberian jel glukosa dalam mulut atau pemberian 1 mg
glukagon intramuskular atau subkutan, kemudian lakukan pengecekan
gula darah dalam waktu 15 menit kemudian). Komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah kerusakan otak dan kematian.30,31,32.
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

38
3. Perawatan Pasca operasi / Post-operative
Perawatan pasca atau post operasi dapat dengan pemberian : 1) profilaksis
amoksisilin 1 g q.d (sehari sekali) dan asetaminofen 500 mg b.i.d (dua hari sekali),
obat ini telah terbukti untuk dapat mencegah infeksi bakteri (Ottaviani et al.,1989)
dan meredakan peradangan dan nyeri (Guindon et al.,2007), selama satu minggu
setelah operasi.1.
Pasien harus diperingatkan mengenai risiko pembengkakan dan perdarahan pada
dasar mulut yang mungkin akan terjadi, karena hal ini dapat berpotensi
membahayakan jalan napas.18. Pasien dapat diberikan kontak langsung 24 jam untuk
bantuan darurat ke dokter bedah. Pembengkakan dapat dicegah atau dikendalikan,
puncak pembengkakan biasanya terjadi antara 36 dan 48 jam pasca bedah. Terapkan
instruksi penggunaan kompres es selama 20 menit, setidaknya selama 4 sampai 6 jam
selama 2 hari dengan atau tanpa disertai dengan pembengkakan. Hentikan
penggunaan kompres setelah 48 jam. Kompres dengan es pada wajah di atas area
bedah akan meminimalkan pembengkakan. Jika setelah tiga hari masih terdapat
pembengkakan yang tidak berkurang atau terdapay rasa sakit segera hubungi dokter
yang terkait.6.
Jika penjahitan dengan menggunakan bahan resorbable, pasien harus dengan
rutin antara satu sampai dua minggu melakukan pengecekan jahitan. Tingkat standar
kebersihan mulut dan kesehatan umum harus tetap dipertahankan selama masa
penyembuhan.15,18. Membilas mulut tidak diperbolehkan untuk 24 jam pertama,
setelah itu dapat bilasan lembut dapat dengan menggunakan chamomile hangat atau
air garam hangat sebanyak tiga kali sehari selama 3-4 hari atau juga bisa dengan
menggunakan obat kumur 0,2% chlorohexidine selama 14 hari setelah operasi untuk
mencegah pertumbuhan bakteri.1. Penggunaan obat kumur komersial selama masa
penyembuhan tidak dianjurkan, karena kandungan tingkat alkohol tinggi dan bahan
kimia yang cenderung memberi rasa panas pada daerah bedah.33.
Selain itu instruksi lisan mengenai kebiasaan juga harus dianjurkan untuk
mendukung proses penyembuhan seperti 1) pasien harus istirahat di rumah dan tidak
Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Yason Nielsen Argosurio

39
melakukan pekerjaan berat selama 1 atau 2 hari tergantung pada sejauh mana luka
bedah dan kondisi fisik pasien, 2) diet makanan yang tidak terlalu hangat dan makan
makanan cair seperti jell-o, puding, yoghurt, susu, kentang tumbuk, telur atau sup
dengan suhu ruangan 25ºC, jus jeruk dan lain sebagainya yang dimaksudkan agar
tidak terjadi perdarahan sekunder ataupun intermediate karena lepasnya jahitan atau
bukuan darah, 3) tidak merokok karena akan meningkatkan suhu panas di daerah
bedah secara signifikan dan menurunkan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan
diri dan tidak melakukan hisapan dengan tekanan berlebih selama 3 hari dalam skala
yang berlebihan karena dapat mengganggu bekuan darah dan melonggarkan jahitan,
4) follow up untuk pemeriksaan berkala sampai implan menjadi stabil dan menyatu
dengan tulang (Osseointegration).6,33.

Penatalaksanaan Impla Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2


Yason Nielsen Argosurio

40

Anda mungkin juga menyukai