Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN ARDS

OLEH:
Rizqia Reza Umami (P07120216063)
Ni Luh Listya Dewi (P07120216064)
Ni Kadek Julian Astiningsih Dwivanissha (P07120216065)
Kadek Dwiki Putra Udiana (P07120216066)
Komang Yunita Pramana Putri (P07120216067)
Ni Komang Ayu Candra Monika (P07120216068)
Putu Ratih Kartika Dewi Aprillianti (P07120216069)

SEMESTER VII / III B


KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PRODI D IV JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN


KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN ARDS

1. Konsep Dasar Teori


A. Pengertian
Acute respiratory distress syndrome merupakan sindrom yang ditandai oleh
peningkatan permabililitas membrane alveolar kapiler terhadap air,larutan, dan
protein plasma disertai kerusakan alvoler difus dan akumulasi cairan dalam
parenkim paru yang mengandung protein (Aru W,dkk,2007).
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang
menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium
paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang
sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya
mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama sekali (Farid, 2006).
Gagal nafas ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen
dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan
tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (Hiperkapnia) (Brunner & Sudarth,
2001).

B. Etiologi
Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya
ARDS adalah:
a. Sistemik :
1) Syok karena beberapa penyebab
2) Sepsis gram negative
3) Hipotermia, Hipertermia
4) Takar lajak obat (Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat,Metadone,
Bleomisin)
5) Gangguan hematology (DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal)
6) Eklampsia
7) Luka bakar
b. Pulmonal :
1) Pneumonia (Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
2) Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
3) Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
4) Pneumositis
c. Non-Pulmonal :
1) Cedera kepala
2) Peningkatan TIK
3) Pascakardioversi
4) Pankreatitis
5) Uremia
d. Depresi Sistem Saraf Pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernapasan
yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan
medulla) sehingga pernapasan lambat dan dangkal. Kelainanneurologis primer
akan mempengaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernapasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke
saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernapasan. Penyakit pada saraf seperti
gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan
neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi
ventilasi.
e. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang
mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan
gagal nafas.
f. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan
perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas
atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang
iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat
terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk
memperbaiki patologi yang mendasar.
g. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau
pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi
lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan
edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

C. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama pada kasus ARDS :
a. Peningkatan jumlah pernapasan
b. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis
c. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan
d. Penurunan kesadaran mental
e. Takikardi, takipnea
f. Dispnea dengan kesulitan bernafas
g. Terdapat retraksi interkosta
h. Sianosis
i. Hipoksemia
j. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
k. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop     
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal
pada paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan gejala klinis ARDS yang
jelas. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan
pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer,
bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun
pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi
basah kasar, serta kadang wheezing (Farid, 2006).
Analisa gas darah pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO 2
sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks
biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan
edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal (Ware
et al,2000).
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan
indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit
paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru
pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta
perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat (Farid, 2006).

D. Patofisiologis
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal nafas akut
yang merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non kardiak. Edema ini
disebabkan oleh karena adanya peningkatan permeabilitas membrane kapiler
sebagai akibat dari kerusakan alveolar yang difus. Selain itu, protein plasma
diikuti dengan makrofag, neutrofil, dan beberapa sitokin akan dilepaskan dan
terakumulasi dalam alveolus, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya dan
berlangsungnya proses inflamasi, yang pada akhirnya dapat memperburuk fungsi
pertukaran gas yang ada. Pada keadaan ini membrane hialin (hialinisasi) juga
terbentuk dalam alveoli (Amin & Purwoto,2007).
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase, yaitu fase
eksudatif, fase proliteratif, fase fibrinolitik.
Fase-fase patologi ARDS :
a. Fase eksudatif
Fase eksudatif merupakan fase pertama yang timbul pada pasien
ARDS, muncul lebih kurang 12 hingga 36 jam, atau hingga 7 hari sejak
paparan pertama pasien dengan factor risiko. Pada fase ini terjadi kerusakan
dari sel endothelial kapiler alveolar dan pneumosit tipe I, mengakibatkan
penurunan kemampuan sawar alveolar untuk menahan cairan dan
makromolekul. Gambaran histologis berupa eosinofilik padat membrane hialin
dan kolaps alveoli. Sel endotel membesar, sambungan interselular melebar dan
vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan membrane kapiler terganggu dan
mengakibatkan kebocoran kapiler. Pneumosit tipe I juga membesar dengan
vacuola sitoplasmik, yang sering terlihat di membrane basal. Lebih lanjut lagi
kelainan ini akan mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang disebabkan
oleh akumulasi sel-sel radang, debris selular, protein plasma, surfaktan
alveolar yang rusak, menimbulkan penurunan aerasi dan atelektaksis. Keadaan
tersebut kemudian akan diperburuk dengan adanya oklusi mikrovascula dan
menyebabkan penurunan dari kemampuan perfusi darah menuju ke daerah
ventilasi (Lorrain et al, 2010).
Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya sintas (shunting)
interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada keadaan lanjut hiperkarbia,
disertai dengan peningkatan kerja nafas yang ditandai dengan gejala dispnea,
takipnea, atau gagal nafas pada pasien. Secara radiologis, kalainan ronsen
thorax yang dapat dijumpai pada fase awal perkembangan ARDS ini, dapat
berupa opasitas alveolar dan interstisial yang melibatkan setidaknya dua per
tiga dari keseluruhan lapangan paru (Udobi et al, 2003).
b. Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase proliferative
yang terjadi pada hari ke-7 hingga ke-21 dari awal gejala.Fase proliferatif
ditandai dengan organisasi eksudat dan fibrosis. Paru-paru yang tetap berat
dan solid, dan secara mikroskopik integritas arsitektur paru-paru menjadi lebih
kaku, kapiler jaringan rusak dan ada progresifitas penurunan profil kapiler di
jaringan. Proliferasi intimal jelas dalam pembuluh darah kecil lebih lanjut
mengurangi daerah luminal. Ruang interstisial menjadi nekrosis yang melebar,
dan mengisi lumen alveolar dengan leukosit, sel darah merah, fibrin, dan
puing-puing sel. Sel alveolus tipe II berkembang dalam upaya untuk menutupi
epitel permukaan yang gundul dan berdiferensiasi menjadi sel tipe I. Fibroblas
menjadi jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di alveolar lumen. Hasil
dari proses ini adalah penyempitan ekstrem atau bahkan kolapnya ruang udara.
Fibrin dan puing-puing sel digantikan oleh fibril kolagen. Tempat utama
fibrosis adalah ruang intra-alveolar, tetapi juga terjadi di dalam interstitium
(Levy et al, 2007).
c. Fase Fibrotik (Fibrosis Alveolitis)
Fase terakhir dari perkembangan ARDS adalah fase fibrotic yang
hanya akan dialami oleh sebagian kecil dari pasien, yakni pada minggu ke-3
atau ke-4 penyakit. Pada fase ini, edema alveolar dan eksudat inflamasi yang
terlihat pada fase awal penyakit akan mengalami perubahan menuju fibrosis
duktal dan interstisial yang intensif. Struktural asiner akan mengalami
kerusakan yang berat, mengakibatkan terjadinya perubahan mirip emfisema
dengan munculnya bula-bula yang besar. Fibroproliferasi intimal juga akan
terjadi pada jaringan mikrosirkulasi pulmoner yang pada akhirnya akan
menyababkan terjadinya oklusi vaskular yang progresif dan hipertensi
pulmoner. Pada akhirnya konsekuensi fisiologis yang muncul dari perubahan
perubahan yang terjadi ini adalah adanya peningkatan resiko dari
pneumothoraks, reduksi dari komplians paru, dan peningkatan dari ruang mati
(dead space) pulmoner (Price & Wilson, 2002).
E. Pathway

Pelepasan dari
Trauma tipe ll
fibrinopeptida dan
pheocytes
asam amino
Henti
simpatetik
hipotalamus

Penurunan
Trauma endothelium surfactan
Vasokontriksi paru dan epithelium
paru alveolar

Atelektasis
Perubahan volume darah
menuju sirkulasi paru Peningkatan
permeabilitas

Fungsi Broncho
Peningkatan tekanan residu spasme
hidrostatik kapiler kapasitas
pulmonal Edemaparu menurun

Kelebihan Penurunanpenge
Pemenuhan
volume cairan mbangan paru
paruberkura
ng

Hipoksemia
Cairan menumpuk di
intestinium
Abnormalitas
ventilasi -
Mencairkan Peningkatankerj perfusi
sistem surfaktan apernapasan

Pola Nafas Tidak


Efektif
Gangguan
Infiltrat Ronchi pertukaran
alveolar gas

F.
Bersihan Jalan
Nafas Tidak
Efektif
G. Pemeriksaan Diagnostic
a. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah:
1) Hipoksemia (penurunan PaO2)
2) Hipokapnia (penurunan PCO2) pada tahap awal karena hiperventilasi
3) Hiperkapnia (peningkatan PCO2) menunjukkan gagal ventilasi
4) Alkalosis respiratori (pH > 7,45) pada tahap dini
5) Asidosis respiratori/metabolik terjadi pada tahap lanjut
b. Pemeriksaan Rontgent Dada:
1) Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
2) Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
c. Tes Fungsi paru :
1) Penurunan komplain paru dan volume paru
2) Pirau kanan-kiri meningkat

Sedangkan menurut Doenges, 1999, pemeriksaan penunjang untuk ARDS adalah:


a. LED: meningkat pada hampir semua kasus, jumlah eosinofilnya normal.
b. Tes fungsi paru : normal atau menunjukan defek restriktik disertai gangguan
pertukaran udara.
c. BGA : hasil BGA menunjukan adanya hipoksemia.
d. Bioksi darah : PaO2/FiO2< 200 = ARDS PaO2/FiO2< 300 = ALI
e. Foto thorak dan CT: terdapat infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada
region perihilir paru yang biasanya multivokal. Pada tahap lanjut, interstisial
bilatareral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan
semua lobus paru. Ukuran jantung normal, berbeda dari edema paru
kardogenik. Gas darah arteri seri membedakan gambaran kemajuan
hipoksemia, hipokapnea dapat terjadi pada tahap awal sehubungan dengan
hiperventilasi. Alkalosis respiratorik dapat terjadi pada tahap dini dan pada
tahap lanjut terjadi asidosis metabolik. Tes fungsi paru, Pengukuran pirau, dan
kadar asam laktat meningkat.

H. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik yang penting dan secara potensial
mempunyai efek samping toksik. Pasien tanpa riwayat penyakit paru-paru
tampak toleran dengan oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa abnormalitas
fisiologi yang signifikan.
b. Ventilasi Mekanik
Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanis. Terapi modalitas
ini bertujuan untuk memmberikan dukungan ventilasi sampai integritas
membrane alveolakapiler kembali membaik. Dua tujuan tambahan adalah :
1) Memelihara ventilasi adekuat dan oksigenisasi selama periode kritis
hipoksemia berat.
2) Mengatasi factor etiologi yang mengawali penyebab distress pernapasan.
c. Positif End Expiratory Breathing (PEEB)
Ventilasi dan oksigen adekuat diberikan melaui volume ventilator dengan
tekanan dan kemmampuan aliran yang tinggi, di mana PEEB dapat
ditambahkan. PEEB di pertahankan dalam alveoli melalui siklus pernapasan
untuk mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.
d. Memastikan volume cairan yang adekuat
Dukungan nutrisi yang adekuat sangatlah penting dalam mengobati pasien
ARDS, sebab pasien dengan ARDS membutuhkan 35 sampai 45 kkal/kg
sehari untuk memmenuhi kebutuhan normal.
e. Terapi Farmakologi
Penggunaan kortikosteroid dalam pengobatan ARDS adalah controversial,
pada kenyataanya banyak yang percaya bahwa penggunaan kortikosteroid
dapat memperberat penyimpangan dalam fungsi paru dan terjadinya
superinfeksi. Akhirnya kotrikosteroid tidak lagi di gunakan.
f. Pemeliharaan Jalan Napas
Selan endotrakheal di sediakan tidak hanya sebagai jalan napas, tetapi juga
berarti melindungi jalan napas, memberikan dukungan ventilasi kontinu dan
memberikan kosentrasi oksigen terus-menerus. Pemeliharaan jalan napas
meliputi : mengetahui waktu penghisapan, tehnik penghisapan, dan
pemonitoran konstan terhadap jalan napas bagian atas.
g. Pencegahan Infeksi
Perhatian penting terhadap sekresi pada saluran pernapasan bagian atas dan
bawah serta pencegahan infeksi melalui tehnik penghisapan yang telah di
lakukan di rumah sakit.
h. Dukungan nutrisi
Malnutrisi relative merupakan masalah umum pada pasien dengan masaalah
kritis. Nutrisi parenteral total atau pemberian makanan melalui selang dapat
memperbaiki malnutrisi dan memmungkinkan pasien untuk menghindari gagal
napas sehubungan dengan nutrisi buruk pada otot inspirasi.

I. Komplikasi
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella,
Pseudomonas, dan Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus
yang resisten merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas
akibat ARDS. Tension pneumothorax  juga bisa terjadi akibat pemasangan kateter
vena sentral dengan positive pressure ventilation (PPV) serta positive end-
expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang dirawat dengan bantuan ventilasi
mekanis akan mengalami penurunan volume intravaskular serta penekanan curah
jantung hingga berakibat penurunan transpor O2 dan kegagalan organ. Lemah,
lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian, merupakan gejala umum yang
dirasakan pasien ARDS (Farid, 2006).

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pasien ARDS


A. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Pada identitas pasien yang perlu di kaji yaitu nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, agama, alasan masuk dan diagnose medis .
b. Primary Survey
1) Airway :
a) Peningkatan sekresi pernapasan
b) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
c) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
d) Jalan napas bersih atau tidak
2) Breathing :
a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
retraksi.
b) Peningkatan frekuensi nafas.
c) Nafas dangkal dan cepat
d) Kelemahan otot pernapasan
e) Reflek batuk ada atau tidak
f) Penggunaan otot Bantu pernapasan
g) Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak
h) Irama pernapasan : teratur atau tidak
i) Bunyi napas Normal atau tidak
3) Circulation :
a) Kaji tingkat kesadaran pasien
b) perdarahan (internal/eksternal),
c) CRT
d) tekanan darah
e) nadi karotis
f) akral perifer.
4) Disability
a) Keadaan umum : GCS, tingkat kesadaran, nyeri atau tidak
b) Adanya trauma atau tidak pada thoraks

c. Secondary Survey
1) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Dahulu
Menanyakan apakah pasien pernah mengalami sindrom gangguan
pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome-ARDS)
sebelumnya atau tidak , dan riwayat pengobatan.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Menanyakan keluhaan pasien saat in
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Menanyakan apakah pasien punya riwayat penyakit keturunan seperti
DM, Hipertensi, Asma.
2) Pemeriksaan Fisik :
b) B1 (Breath)
Sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, apakah terdapat suara tambahan
seperti krekel, ronchi, wheezing.
c) B2 (Blood)
Takikardi, tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya
hipoksemia).
d) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran menurun (seperti bingung atau agitasi), pingsan,
nyeri kepala (penyebabnya karena adanya trauma), mata berkunang-
kunang, berkeringat banyak.
e) B4 (Bowel)
Adakah penurunan prouksi urine (berkurangnya produksi urine
menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal).
f) B5 (Bladder)
Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status
nutrisi dan cairan akan memperberat keadaan seperti cairan yang
berlebihan dan albumin yang rendah akan memperberat edema paru.
g) B6 (Bone)
Kelemahan otot, mudah lelah

B. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
napas ditandai dengan suara nafas tambahan seperti ronchidan sputum
berlebihan .
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas ditandai
dengan penggunaan otot bantu pernapasan, pola nafas abnormal, pernafasan
cuping hidung,
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi ditandai dengan dyspnea, bunyi napas tambahan .
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi (SIKI)


Keperawatan Hasil (SLKI)
(SDKI)
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen Jalan napas :
nafas tidak efektif tindakan keperawatan Observasi
berhubungan ....x… jam,  Monitor sputum (jumlah,
dengan hipersekresi diharapkan bersihan warna , aroma)
jalan napas ditandai jalan napas tidak Terapeutik :
dengan suara nafas efektif bisa teratasi  Berikan minum hangat
tambahan seperti dengan kriteria hasil :  Lakukan penghisapan lendir
ronchi dan sputum Bersihan jalan kurang dari 15 menit
berlebihan napas : Edukasi
 Produksi sputum  Ajarkan teknik batuk efektif
berkurang Kolaborasi :
 Pasien tidak  Kolaborasi pemberian
dyspnea bronkodilator jika perlu
 Pasien dapat
melakukan batuk
efektif

2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan Manajemen Jalan napas :


efektif berhubungan tindakan keperawatan Observasi
dengan hambatan ....x… jam,  Monitor pola napas
upaya nafas diharapkan pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha
ditandai dengan tidak efektif bisa napas)
penggunaan otot teratasi dengan  Monitor bunyi napas
bantu pernapasan, kriteria hasil : tambahan
pola nafas Pola napas : Terapeutik
abnormal,  Tidak terdapat  Posisikan semi fowler/ fowler
pernafasan cuping bunyi napas  Berikan oksigen jika perlu
hidung, tambahan
 Pasien tidak
dyspnea
 Pasien tidak
gelisah
 Tidak terlihat
napas cuping
hidung
 Pola napas teratur

3. Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi :


pertukaran gas tindakan keperawatan Observasi
berhubungan ....x… jam,  Monitor frekuensi, irama,
dengan diharapkan gangguan kedalaman, dan upaya napas
ketidakseimbangan pertukaran gas bisa  Monitor pola napas
ventilasi perfusi teratasi dengan  Monitor saturasi oksigen
ditandai dengan kriteria hasil :  Auskultasi bunyi napas
dyspnea, bunyi Pertukaran gas Terapeutik
napas tambahan .  Pasien tidak  Atur interval pemantauan
dyspnea respirasi sesuai kondisi
 Tidak terdapat pasien
bunyi napas  Dokumentasikan hasil
tambahan pemantauan jika perlu
 Pasien tidak
gelisah
 Tidak terdapat
pernapasan cuping
hidung

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan.

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhur dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.

DAFTAR PUSTAKA
Bruner , Suddarth. 2001. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah , Alih Bahasa:Agung
Waluyo, et al, edisi 8, vol – I. Jakarta : PGC.
PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Edisi 1.Jakarta.
PPNI.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.Edisi 1 Cetakan II. Jakarta.
PPNI.2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Edisi 1 Cetakan II.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai