Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN


DENGAN ANGINA PECTORIS

Oleh:
Ni Kadek Julian Astiningsih Dwivanissha (P07120216065)

KELAS 4B SEMESTER VII


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN ANGINA PEKTORIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Angina pectoris adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan episode atau
perasaan tertekan di depan dada coroner, menyebabkan suplai oksigen ke jantung
tidak adekuat atau dengan kata lain, suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.
(Yuli Aspiani, 2015)
Angina pektoris adalah suatu sindroma kronis dimana klien mendapat serangan
sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang seringkali
menjalar ke lengan sebelah kiri yang timbul pada waktu aktifitas dan segera hilang
bila aktifitas berhenti.
Angina pektoris adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
jenis rasa tidak nyaman yang biasanya terletak dalam daerah retrosternum. (Penuntun
Praktis Kardiovaskuler)

2. Etiologi
Menurut Yuli Aspiani, 2015 ada beberapa etiologi/penyebab terjadinya angina
pektoris, yaitu :
a. Faktor penyebab :
1) Berkurangnya suplai oksigen ke miokard yang disebabkan oleh tiga faktor :
 Faktor pembuluh darah :
 Aterosklerosis
 Spasme
 Arteritis
 Faktor sirkulasi :
 Hipotensi
 Stenosis aorta
 Insufisiensi
 Faktor darah :
 Anemia
 Hipoksemia
 Polisitemia
2) Curah jantung yang meningkat :
 Aktivitas yang berlebihan
 Makan terlalu banyak
 Emosi
 Hipertiroidisme
3) Kebutuhan oksigen miokard meningkat, pada :
 Kerusakan miokard
 Hipertropimiokard
 Hipertensi diastolik
b. Faktor predisposisi
1) Faktor resiko biologis yang tidak dapat dirubah :
 Umur lebih dari 40 tahun
 Jenis kelamin: insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita meningkat
setelah menopause
 Hereditas
 Ras : insiden pada kulit hitam lebih tinggi
2) Faktor resiko yang dapat dirubah :
 Mayor :
 Hipertensi
 Hiperlipidemia
 Obesitas
 Diabetes
 Merokok
 Diet: tinggi lemak jenuh, tinggi kalori
 Minor :
 Kepribadian tipe A (agresif, ambisius, emosional, kompetitif)
 Stress psikologis berlebihan
 Inaktifitas fisik.
3. Tanda dan Gejala
a. Nyeri dada substernal ataru retrosternal menjalar ke leher,
tenggorokan daerah inter skapula atau lengan kiri.
b. Kualitas nyeri seperti tertekan benda berat, seperti diperas, terasa
panas, kadang-kadang hanya perasaan tidak enak di dada (chest discomfort).
c. Durasi nyeri berlangsung 1 sampai 5 menit, tidak lebih daari 30
menit.
d. Nyeri hilang (berkurang) bila istirahat atau pemberian nitrogliserin.
e. Gejala penyerta : sesak nafas, perasaan lelah, kadang muncul
keringat dingin, palpitasi, dizzines.
f. Gambaran EKG : depresi segmen ST, terlihat gelombang T terbalik.
g. Gambaran EKG seringkali normal pada waktu tidak timbul serangan.

4. Tipe Serangan
a. Angina Pektoris Stabil
 Awitan secara klasik berkaitan dengan latihan atau aktifitas yang
meningkatkan kebutuhan oksigen niokard.
 Nyeri segera hilang dengan istirahat atau penghentian aktifitas.
 Durasi nyeri 3 – 15 menit.
b. Angina Pektoris Tidak Stabil
 Sifat, tempat dan penyebaran nyeri dada dapat mirip dengan angina pektoris
stabil.
 Adurasi serangan dapat timbul lebih lama dari angina pektoris stabil.
 Pencetus dapat terjadi pada keadaan istirahat atau pada tigkat aktifitas
ringan.
 Kurang responsif terhadap nitrat.
 Lebih sering ditemukan depresisegmen ST.
 Dapat disebabkan oleh ruptur plak aterosklerosis, spasmus, trombus atau
trombosit yang beragregasi.
c. Angina Prinzmental (Angina Varian).
 Sakit dada atau nyeri timbul pada waktu istirahat, seringkali pagi hari.
 Nyeri disebabkan karena spasmus pembuluh koroneraterosklerotik.
 EKG menunjukkan elevaasi segmen ST.
 Cenderung berkembang menjadi infaark miokard akut.

5. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan suply
oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekauan arteri dan
penyempitan lumen arteri koroner (ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara
pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang
bertanggungjawab atas perkembangan ateriosklerosis. (Lynda Juall Carpenito 2001)
Ateriosklerosis merupakan penyakir arteri koroner yang paling sering
ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen
juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka artei
koroner berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen keotot jantung.
Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau menyempit akibat
ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan
kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.
Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat
Oksid0 yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak
adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus
koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard
berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu
nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu
dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Sel-sel
miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi
mereka.
Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH miokardium
dan menimbulkan nyeri. Apabila kenutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka
suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk
membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya
asam laktat nyeri akan reda.
6. Pathway

Aterosklerosis
Trombosis
Konstriksi arteri koronaria

Aliran darah ke jantung


menurun

Oksigen dan nutrisi turun

Jaringan Miocard Iskemik

Nekrose lebih dari 30


menit
Supply dan kebutuhan oksigen ke jantung tidak
seimbang
Supply Oksigen ke Miocard
turun

Metabolisme an
Seluler hipoksia
aerob
Gangguan Timbunan asam Nyeri
Integritas membran sel
pertukaran laktat meningkat akut
gas berubah

Fatique Kontraktilitas
turun

Intoleransi Penurunan
aktifitas curah jantung
7. Klasifikasi
Menurut Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2000 klasifikasi angina pectoris dapat dibagi
dalam beberapa bagian yaitu :
a. Stable Angina
Juga disebut angina klasik. Terjadi sewaktu arteri koroner yang aterosklerotik
tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan aliran darah saat terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen. Peningkatan kerja jantung dapat menyertai aktifitas fisik seperti
berolah raga, naiktangga, atau bekerja keras. Pajanan dingin, terutama bila disertai
bekerja seperti menyekop salju. Stres mental termasuk stress yang terjadi akibat rasa
marah serta tugas mental seperti berhitung, dapat mencetuskan angina klasik. Nyeri
pada angina jenis ini, biasanya menghilang, apabila individu yang bersangkutan
menghentikan aktivitasnya.
b. Angina Variant (Prinzmetal)
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada kenyataannya
sering terjadi pada saat istirahat. Pada angina ini, suatu arteri koroner mengalami
spasme yang menyebabkan iskemik jantung. Kadang-kadang tempat spasme
berkaitan dengan aterosklerosis. Ada kemungkinan bahwa walaupun tiak jelas
tampak lesi pada arteri, dapat terjadi kerusakan lapisan endotel yang samar. Hal ini
menyebabkan peptide vasoaktif memiliki akses langsung ke lapisan otot polos dan
menyebabkan kontraksi arteri koroner. Disritmia sering terjadi pada angina variant
c. Unstable Angina
Merupakan jenis angina yang sangat berbahaya dan membutuhkan
penanganan segera. Dijumpai pada individu dengan penyakit arteri koroner yang
memburuk. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban kerja jantung. Hal
ini tampaknya terjadi akibat aterosklerosis koroner, yang ditandai perkembangan
thrombus yang mudah mengalami spasme. Terjadi spasme sebagai respon terhadap
peptida vasoaktif yang dikeluarkan trombosit yang tertarik ke area yang mengalami
kerusakan. Seiring dengan pertumbuhan thrombus, frekuensi dan keparahan
serangan angina tidak stabil meningkat dan individu beresiko mengalami
kerusakan jantung irreversible. Unstable angina dapat juga dikarenakan kondisi
kurang darah (anemia) khususnya jika anda telah memiliki penyempitan arteri
koroner sebelumnya Tidak seperti stable angina, angina jenis ini tidak memiliki
pola dan dapat timbul tanpa aktivitas fisik berat sebelumnya serta tidak menurun
dengan minum obat ataupun istirahat. Angina tidak stabil termasuk gejala infark
miokard pada sindrom koroner akut.

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG) 
Gambaran EKG yang dibuat pada waktu istirahat dan bukan pada waktu serangan
angina seringkali masih normal. Gambaran EKG terkadang menunjukkan bahwa
klien pernah mendapat infark moikard pada masa lampau, menunjukkan
pembesaran ventrikel kiri pada klien hipertensi dan angina, dan menunjukkan
perubahan segmen ST dan gelombang T yang tidak khas. Pada waktu serangan
angina, EKG akan menunjukkan adanya depresi segmen ST dan gelombang T
menjadi negatif. Pada angina prinzmental, menjnjukan adanya elevasi segmen ST
yang mejadi kunci diagnosis, pada beberapa penderita dapat didahului depresi
semen ST sebelum akhirnya elevasi, terkadang juga didapatkan perubahan
gelombang T (gelombang T alternan) serta tidak jarang disertai dengan aritmia
jantung.
b. Enzim Jantung : CPKMB, LDH, AST
c. Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, misalnya
hipokalemi, hiperkalemi.
d. Sel darah putih
Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA
berhubungan dengan proses inflamasi.
e. Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada hari ke-2 dan ke-3 setelah IMA , menunjukkan inflamasi.
f. Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau kronis
g. GDA
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
h. Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosklerosis sebagai penyebab IMA.
i. Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau
aneurisma ventrikuler.
j. Ekokardiogram, dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau
dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
k. Pemeriksaan pencitraan nuklir
Talium : mengevaluasi aliran darah miokard dan status sel miokard misal lokasi
atau luasnya AMI.
Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik
l. Pencitraan darah jantung (MUGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional
dan fraksi ejeksi (aliran darah).
m. Angiografi koroner
Arteriografi koroner merupakan satu-satunya teknik yang memungkinkan untuk
melihat penyempitan pada koroner. Suaru kateter dimasukkan lewat arteri femoralis
ataupun brakhialis dan diterusakan ke aorta ke dalam muara arteri koronaria kanan
dan kiri. Media kontras radiografik kemudian disuntikkan
dan cineroentgenogram  akan memperlihatkan kontur arteri serta daerah
penyempitan. Kateter ini kemudian didorong lewat katup aorta untuk masuk ke
ventrikel kiri dan disuntikkan lebih banyak media kontras untuk menentukan
bentuk, ukuran, dan fungsi ventrikel kiri. Bila ada stenosis aorta, maka derajat
keparahannya akan dapat dinilai, demikian juga kita dapat mengetahui penyakit
arteri koroner. 
n. Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup ventrikel,
lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.
o. Uji Latihan (Treadmill) 
Pada arteri prektoris gambaran EKG seringkali masih normal, maka seringkali perlu
dibuat suatu uji jasmani. Pada uji jasmani terbuat dibuat EKG pada waktu istirahat
lalu pasien disuruh melakukan latihan dengan alat treadmill atau sepeda ergometer
hingga pasien mencapai kecepatan jantung maksimal atau submaksimal dan selama
latihan EKG di observasi demikain pula setelah selesai EKG terus di observasi. Tes
dianggap positif bila didapatkan depresi  segmen ST sebesar 1mm atau lebih pada
waktu latihan atau sesudahnya. Lebih-lebih  bila disamping depresi segmen ST juga
timbul rasa dada seperti pada waktu serangan, maka kemungkinan besar pasien
memang menderita angina pektoris. Di tempat yang tidak memiliki treadmill, test
latihan jasmani dapat dilakukan dengan cara Master, yaitu latihan dengan naik turun
tangga dan dilakukan pemeriksaan EKG sebelum dan sesudah melalukan latihan
tersebut.
p. Thallium Exercise Myocardial Imaging  
Pemeriksaan ini dilakukan bersama-sama ujian latihan jasmani dan dapat
menambah sensitivitas dan spesifitas uji latihan. Thallium 201 disuntikkan secara
intravena pada puncak latihan, kemudian dilakukan pemeriksaan scanning jantung
segera setelah latihan dihentikan dan diulang kembali setelah pasien sehat dan
kembali normal. Bila ada isekmia maka akan tampak cold spot  pada daerah yang
menderita isekmia pada waktu latihan dan menjadi normal setelah pasien istirahat.
Pemeriksaan ini juga menunjukkan bagian otot jantung yang menderita  isekmia.

9. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut ( Baughman, Diane ,C. 2000) :
a. Penderita mengeluh nyeri dada yang beragam bentuk dan lokasinya.
b. Nyeri berawal sebagai rasa terhimpit, rasa terjepit atau rasa terbakar yang
menyebar ke lengan kiri bagian dalam dan kadang sampai ke pundak, bahu
dan leher kiri, bahkan dapat sampai ke kelingking kiri.
c. Perasaan ini dapat pula menyebar ke pinggang, tenggorokan rahang gigi dan ada
juga yang sampaikan ke lengan kanan.
d. Rasa tidak enak dapat juga dirasakan di ulu hati, tetapi jarang terasa di
daerah apeks kordis.
e. Rasa nyeri dapat disertai beberapan atau salah satu gejala berikut ini :
berkeringat, dingin, mual dan muntah, rasa lemas, berdebar dan rasa akan pingsan
(fainting).
f. Biasanya angina timbul saat melakukan kegiatan fisik (angina stabil).
g. Serangan ini akan hilang bila penderita menghentikan kegiatan fisik tersebut dan
beristirahat.
h. Serangan berlangsung hanya beberapa menit (1 – 5 menit) tetapi bisa sampai lebih
dari 20 menit.
i. Nyeri angina sifatnya konstan. Bila terjadi perubahan misalnya lama
serangan bertambah, nyeri lebih hebat, ambang timbulnya serangan menurun atau
serangan datang saat bangun tidur, maka gangguan ini perlu
diwaspadai. Perubahan ini mungkin merupakan tanda prainfark (angina
tidak stabil).
j. Suatu bentuk ubahan (variant) yang disebut angina Prinzmetal biasanya timbul
saat penderita sedang istirahat.
k. Angina dikatakan bertambah berat apabila serangan berikutnya terjadi sesudah
kerja fisik yang lebih ringan, misalnya sesudah makan. Ini tergolong juga angina
tidak stabil.
l. Pemeriksaan fisik diluar serangan umumnya tidak menunjukkan kelainan
yang berarti. Pada waktu serangan, denyut jantung bertambah, tekanan
darah meningkat dan di daerah prekordium pukulan jantung terasa keras.
m. Pada auskultasi, suara jantung terdengar jauh, bising sistolik terdengar
pada pertengahan atau akhir sistol dan terdengar bunyi keempat.
n. Biasanya didapatkan faktor risiko: hipertensi, obesitas atau diabetes melitus.

10. Penatalaksanaan Medis


Tujuan penatalaksanaan medis adalah memperkecil kerusakan jantung sehingga
memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi.
Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien yang menderita angina
pektoris adalah sebagai berikut :
a. Tirah baring, posisi semi fowler.
b. Monitor EKG
c. Infus D5% 10 – 12 tetes / menit
d. Oksigen 2 – 4 liter / menit
e. Analgesik : morphin 5 mg atau petidin 25 – 50 mg
f. Obat sedatif : diazepam 2 – 5 mg
g. Bowel care : laksadin
h. Antikoagulan : heparin tiap 4 – 6 jam / infus
i. Diet rendah kalori dan mudah dicerna
j. Psikoterapi untuk mengurangi cemas.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
PADA PASIEN ANGINA PECTORIS
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway dan Kontrol Servikal
Keadaan jalan nafas : tingkat kesadaran, pernafasan, upaya bernafas, benda
asing di jalan nafas, bunyi nafas, hembusan nafas,
2) Breathing
Fungsi pernafasan : jenis pernafasan, frekwensi pernafasan, retraksi otot
bantu nafas, kelainan dinding thoraks (simetris, perlukaan, jejas trauma),
bunyi nafas, hembusan nafas, kongesti vaskuler pulmonal
a) Dispnea, di karakteristikan dengan pernapasan cepat, dangkal dan
keadaan yang menunjukkan bahwa klien sulit mendapatkan udara yang
cukup, yang menekan klien. Terkadang klien mengeluh adanya insomnia,
gelisah, atau kelemahan yang di sebabkan oleh dispnea.
b) Ortopnea, ketidakmampuan untuk berbaring datar karena dispnea, adalah
keluhan umum lain dari gagal ventrikel kiri yang berhubungan dengan
kongesti vaskuler pulmonal. Perawat harus menentukan apakah ortopnea
benar-benar berhubungan dengan penyakit jantung atau apakah
peninggian kepala saat tidur adalah kebiasaan klien. Sebagai contoh, bila
klien menyatakan bahwa ia terbiasa menggunakan tiga bantal saat tidur
tetapi perawat harus menanyakan alasan klien tidur dengan menggunakan
tiga bantal. Bila klien mengatakan bahwa ia melakukan ini karena
menyukai tidur dengan ketinggian ini dan telah di lakukan sejak sebelum
mempunyai gejala gangguan jantung, kondisi ini tidak tepat di anggap
sebagai ortopnea.
c) Dispnea nokturnal paroksismal (DNP) adalah keluhan yang di kenal baik
oleh klien yaitu klien biasanya terbangun di tengah malam karena
mengalami napas pendek yang hebat. Dispnea nokturnal paroksismal di
perkirakan di sebabkan oleh perpindahan cairan dari jaringan ke dalam
kompartemen intravaskuler sebagai akibat dari posisi telentang. Pada
siang hari, saat klien melakukan aktivitas, tekanan hidrostatisk vena
meningkat, khususnya pada bagian bawah tubuh karena adanya gravitasi,
peningkatan volume cairan, dan peningkatan tonus sismpatetik. Dengan
peningkatan tekanan hidrostatik ini, sejumlah cairan keluar masuk ke area
jaringan secara normal. Namun dengan posisi telentang tekanan pada
kapiler – kapiler dependen menurun dan cairan di serap kembali ke dalam
sirkulasi. Peningkatan volume cairan dalam sirkulasi akan memberikan
sejumlah tambahan darah yang di alirkan ke jantung untuk di pompa tiap
menit (peningkatan beban awal) dan memberikan beban tambahan pada
dasar vaskuler pulmonal yang telah mengalami kongesti. Mengingat
bahwa DNP terjadi bukan hanya pada malam hari tetapi dapat terjadi
kapan saja, klien harus di berikan tirah baring selama perawatan akut di
rumah sakit.
d) Batuk iritatif adalah salah satu gejala dari kongesti vaskuler pulmonal
yang sering tidak menjadi perhatian tetapi dapat merupakan gejala
dominan. Batuk ini dapat produktif tetapi biasanya kering dan batuk
pendek. Gejala ini di hubungkan dengan kongesti mukosa bronchial dan
berhubungan dengan peningkatan produksi mukus.
e) Edema pulmonal akut adalah gambaran klinis paling bervariasi di
hubungkan dengan kongesti vaskuler pulmonal. Edema pulmonal akut ini
terjadi bila tekanan kapiler pulmonal melebihi tekanan yang cenderung
mempertahankan cairan di dalam saluran vaskuler ( kurang lebih 30
mmHg). Pada tekanan ini, akan terjadi transduksi ciran ke dalam alveoli,
namun sebaliknya tekanan ini akan menurunkan tersedianya area untuk
transport normal oksigen dan karbon dioksida dari darah dalam kapiler
pulmonal.
f) Edema pulmonal akut di cirikan oleh dispnea hebat, batuk, ortopnea,
ansietas, sianosis, berkeringat, kelainan bunyi pernapasan, dan sangat
sering nyeri dada dan sputum berwarna merah muda, berbusa yang keluar
dari mulut. Hal ini memerlukan kedaruratan medis dan harus di tangani
dengan cepat dan tepat.
3) Circulation
Keadaan sirkulasi : tingkat kesadaran, perdarahan (internal/eksternal),
kapilari refill, nadi radial/carotis, akral perifer.
a) B2 ( Blood )
- Inspeksi: Inspeksi tentang adanya parut pada dada, keluhan kelemahan
fisik,dan adanya edema ekstremitas
- Palpasi : Denyut nadi periver melemah. Thrill biasanya di temukan.
- Auskultasi : Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume
sekuncup. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya di
temukan apabila penyebab gagal jantung adalah kelainan katup.
- Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan
adanya hipertrofi ( kardiomegali )
b) Penuranan curah jantung
Selain gejala-gejala yang di akibatkan gagal ventrikel kiri dan kongesti
vaskuler pulmonal, kegagalan ventrikel kiri juga di hubungkan dengan
gejala tidak spesifik yang berhubungan dengan penurunan curah jantung.
Klien dapat mengeluh lemah, mudah lelah, apatis, letargi, kesulitan
berkonsentrasi, deficit memori, atau penurunan toleransi latihan. Gejala
ini mungkin timbul pada tingkat curah jantung rendah kronis dan
merupakan keluhan utama klien. Namun, gejala ini tidak spesifik dan
sering di anggap sebagai depresi, neurosis, atau keluhan fungsional.
Adanya gejala tidak spesifik dari curah jantung yang rendah memerlukan
pengkajian yang lebih lanjut dan tepat terhadap jantung dan pemeiksaan
psikologis klien yang akan memberikan informasi untuk menentukan
penatalaksanaan yang tepat.
c) Bunyi jantung dan crackle
Tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri yang dapat di
kenali dengan mudah adalah adanya bunyi jantung ke tiga dan keempat
(S3, S4) dan crackles pada paru-paru. S4 atau gallop atrium, di
hubungkan dengan dan mengikuti kontraksi atrium dan terdengar paling
baik dengan bell stetoskop yang di tempelkan dengan tepat pada apeks
jantung. Klien di minta untuk berbaring pada posisi miring kiri untuk
mendapatkan bunyi. Bunyi S4 ini terdengar sebelum bunyi jantung
pertama ( S1 ) dan tidak selalu merupakan tanda pasti kegagalan kongesti,
tetapi dapat menunjukan adanya penurunan komplians ( peningkatan
kekakuan ) miokardium. Hal ini mungkin merupakan indikasi awal
(premonitori) menuju kegagalan. Bunyi S4 umumnya di temukan pada
klien dengan infark miokardium akut dan mumgkin tidak mempunyai
proknosis bermakna,tetapi mungkin menunjukkan kegagalan yang baru
terjadi S3 atau gallop ventrikel adalah tanda penting dari gagal ventrikel
kiri dan pada orang dewasa hamper tidak pernah di temukan kecuali jika
ada penyakit jantung signifikan. Kebanyakan dokter akan setuju bahwa
tindakan intervensi terhadap gagal kongestif di indikasikan dengan
adanya tanda ini. S3 terdengar pada awal diastolik setelah bunyi jantung
ke dua ( S2 ) dan berkaitan dengan periode pengisian ventrikel pasif yang
cepat. Suara ini juga terkenal paling baik dengan bell stetoskop yang di
letakkan tepat di apeks, akan lebih baik dengan posisi klien berbaring
miring kiri, dan pada akhir ekspirasi.
Crackles atau ronkhi basah halus secara umum terdengar pada dasar
posterior paru dan sering di kenali sebagai bukti gagal ventrikel kiri,dan
memang demikian sesungguhnya. Sebelum crackles di tetakan sebagai
kegagalan pompa jantung,klien harus di instruksikan untuk batuk dalam
yang bertujuan membuka alveoli basilaris yang mungkin mengalami
kompresi karena berada di bawah diafragma. Crackles yang tidak
menghilang setelah batuk ( pasca batuk rejan ) perlu di evaluasi
sedangkan yang hilang setelah batuk mungkin secara klinis tidak penting.
Perawat harus segera memberikan perhatian pada klien yang mungkin
mempunyai bukti bahwa gagal ventrikel kiri terjadi atau adanya S3 pada
apeks dan belum mempunyai area paru yang cukup bersih. Jangan
menunggu memberikan terapi bila tidak di temukan bunyi crackles pada
paru – paru.
d) Disritmia
Karena peningkatan frekuensi jantung adalah respon awal jantung
terhadap stress, sinus takikardia mungkin di curigai dan sering di temukan
pada pemeriksaan klien dengan kegagalan pompa jantung. Irama lain
yang berhubungan dengan kegagalan pompa meliputi kontraksi atrium
prematur, takikardia atrium paroksismal, dan denyut ventrikel prematu.
Kapanpun abnormalitas irama terdeteksi, seseorang harus berupaya untuk
menemukan mekanisme dasar patofisiologisnya, kemudian terapi dapat di
rencanakan dan di berikan dengan tepat
e) Ditensi vena jugularis
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi terhadap kegagalan
ventrikel kiri, akan terjadi di latasi dari ruang ventrikel, peningkatan
volume, dan tekanan pada diastolik akhir ventrikel kanan, tahanan untuk
mengisi ventrikel, dan peningkatan lanjut pada tekanan atrium kanan.
Peningkatan tekanan ini akan di teruskan ke hulu vena kava dan dapat di
ketahui dengan peningkatan pada tekanan vena jugularis. Seseorang dapat
mengevaluasi peningkatan vena jugularis dengan melihat pada vena-vena
di leher dan memerhatikan ketinggian kolom darah. Klien di instruksikan
untuk berbaring di tempat tidur dan kepala tempat tidur dan kepala di
tempat tidur di tinggikan antara 30-60 derajat, kolom darah di vena –
vena jugularis eksternal akan meningkat. Pada orang normal, hanya
beberapa millimeter di atas batas klavikula. Namun, pada klien dengan
gagal ventrikel kanan akan tampak sangat jelas dan berkisar antara 1-2
cm.
f) Kulit dingin
Kegagalan arus darah ke depan (forward failure) pada ventrikel kiri
menimbulkan tanda-tanda yang menunjukkan berkurangnya perfusi ke
organ-organ. Karena darah di alihkan dari organ-organ nonvital ke organ-
organ vital seperti jantung dan otak untuk mempertahankan perfusinya,
maka manifestasi paling awal dari gagal ke depan yang lebih lanjut
adalah berkurangnya perfusi organ-organ seperti kulit dan otot-otot
rangka. Kulit tampak pucat dan terasa dingin karena pembuluh darah
perifer mengalami vasokontriksi dan kadar hemoglobin yang tereduksi
meningkat. Sehingga akan terjadi sianosis.
g) Perubahan nadi
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung akan menunjukkan
denyut yang cepat dan lemah
- Denyut jantung yang cepat atau takikardia, mencerminkan respons
terhadap perangsangan saraf simpatik.
- Penurunan yang bermakna dari volume sekuncup dan adanya
vasokontriksi perifer akan mengurangi tekanan nadi ( perbedaan
antara tekanan sistolik dan diasolik ) dan menghasilkan denyut yang
lemah atau thread pulse.
- Hipotensi sistolik di temukan pada gagal jantung yang lebih berat.
- Selain itu, pada gagal jantung kiri yang berat dapat timbul pulsus
altenans atau gangguan pulsasi, suatu perubahan dari kekuatan denyut
arteri. Pulsus alternans menunjukkan gangguan fungus mekanis yang
berat dengan berulangnya variasi denyut ke denyut pada volume
sekuncup.
4) Disability
Pemeriksaan Neurologis: GCS, reflex fisiologis, reflex patologis, kekuatan
otot.

b. Pengkajian Sekunder / Survey Sekunder


a. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pengkajian RPD yang mendukung di kaji dengan menanyakan apakah
sebelumya klien pernah menderita nyeri dada, hipertensi, iskemia
miokardium, infark miokardium, diabetes mellitus dan hiperlipidemia.
Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa di minum oleh klien pada masa
yang lalu dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Obat-obatan ini meliputi
obat diuretik, nitrat, penghambat beta, serta antihipertensi. Catat adanya efek
samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat dan reaksi alergi yang timbul.
Sering kali klien menafsirkan suatu alergi sebagai efek samping obat.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama di lakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai kelemahan fisik klien
secara PQRST,yaitu :
a) Provoking incident : kelemahan fisik terjadi setelah melakukan aktivitas
ringan sampai berat, sesuai derajat gangguan pada jantung (lihat klasifikasi
gagal jantung).
b) Quality of pain : seperti apa keluhan kelemahan dalam melakukan aktifitas
yang di rasakan atau di gambarkan klien biasanya tetap beraktivitas klien
merasakan sesak nafas (dengan menggunakan alat atau otot bantu
pernafasan).
c) Region : radiation, relif : apakah kelemahan fisik bersifat lokal atau
memengaruhi keseluruhan system otot rangka dan apakah di sertai
ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
d) Severity (scale) of pain : kaji rentang kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas sehari - hari. Biasanya kemampuan klien dalam beraktivitas
menurun sesuai derajat gangguan perfusi yang di alami organ.
e) Time : sifat mula timbulnya (onset) keluhan kelemahan beraktivitas
biasanya yimbul perlahan. Lama timbulnya (durasi) kelemahan saat
beraktivitas biasanya setiap saat, baik saat istirahat maupun saat
beraktifitas.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah di alami oleh keluarga,
anggota keluarga yang meninggal terutama pada usia produktif, dan penyebab
kematianya. Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada
usia muda merupakan factor risiko utama terjadinya penyakit jantung iskemik
pada keturunanya.
4) Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)
a. Kepala : Kulit kepala, Mata, Telinga, Hidung, Mulut dan gigi, Wajah
b. Leher : pembesaran tiroid
c. Dada/ thoraks : Keadaan paru-paru dan jantung (inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi)
d. Abdomen (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi) dan Pola Makan
e. Pelvis (inspeksi dan palpasi)
f. Perineum dan rektum
g. Genitalia
h. Ekstremitas : Status sirkulasi dan Keadaan injury
i. Neurologis : Fungsi sensorik dan motorik
j. Integritas ego
k. Eliminasi
5. Hasil Laboratorium
6. Hasil Pemeriksaan Diagnostik
7. Terapi Dokter

2. Diagnosa
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
b. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perusi
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung
3. Intervensi

NO Diagnosa (SDKI) Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)


1 Penurunan Curah Jantung Setelah dilakukan intervensi selama ..x….jam, Perawatan jantung
berhubungan dengan diharapkan penurunan curah jantung dapat
perubahan irama jantung meningkat dengan kriteria hasil: Observasi:
1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
- Kekuatan nadi perifer meningkat
curah jantung (meliputi dispnea, kelelahan,
- Ejection Fraction (EF) meningkat edema, ortopnea, paroxysmal noctomal
- Cardiac Index (CI) meningkat dyspnea, peningkatan CVP)

- Left Ventricular stroke work index 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan


(LVSWI) meningkat curah jantung (meliputi peningkatan berat

- Stroke Volume index (SVI) meningkat badan, hepatomegali, distensi vena jugularis,
palpitasi, rinchi basah, oliguria, batuk, kulit
- Perawatan palpitasi menurun
pucat)
- Brakikardia menurun 3. Monitor tekanan darah
- Takikardia menurun 4. Monitor intake dan output cairan

- Gambaran EKG aritmia menurun 5. Monitor berat badan setiap hari pada waktu
yang sama
- Lelah menurun
6. Monitor saturasi oksigen
7. Monitor aritmia (kelainan irama dan
frekuensi)
8. Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi
sebelum dan sesudah aktivitas

Terapeutik
1. Posisikan pasien semi fowler atau fowler
dengan kaki ke bawah atau posisi nyaman
2. Berikan diet jantung yang sesuai

Edukasi
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan berhenti merokok

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antiaritmia jika perlu
2. Rujuk ke program rehabilitasi jantung

Perawatan Jantung Akut

Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri dada
(meliputi factor pemicu dan pereda,
kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi dan
frekuensi)
2. Monitor EKG 12 sadapan untukperubahan
ST dan T
3. Monitor aritmia (kelainan irama dan
frekuensi)
4. Monitor elektrolit yang dapat
meningkatkan resiko aritmia (mis. Kalium,
magnesium serum)
5. Monitor enzim jantung (mis. CK, CKMB,
Troponin T, Troponin I)
6. Monitor saturasi oksigen
7. Identifikasi stratifikasi pada sindrom
coroner akut (mis. Skor TIMI, Killip,
Crusade) Terapeutik
8. Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
9. Pasang akses intravena
10. Puasakan hingga bebas nyeri
11. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi
ansietas dan stress
12. Sediakan lingkungan yang kondusif untuk
beristirahat dan pemulihan
13. Siapkan menjalani intervensi coroner
perkutan, jika perlu
14. Berikan dukungan emosional dan spiritual

Edukasi
1. anjurkan segera melaporkan nyeri dada
2. Anjurkan menghindari maneuver Valsava
(mis. Mengedan saat BAB atau batuk)
3. Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
4. Ajarkan teknik menurunkan kecemasan dan
ketakutan

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antiplatelet
2. Kolaborasi pemberian antiangina (mis.
Nitrogliserin, beta blocker, calcium
channe blocker)
3. Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
4. Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
5. Kolaborasi pemberian obat untuk
mencegah maneuver valsava (mis.
Pelunak tinja, antiemetic)
6. Kolaborasi pencegahan thrombus dengan
antikoagulan, jika perlu
7. Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika
perlu
2 Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan tindakan …x… jam Pemantauan respirasi
berhubungan dengan diharapkan gangguan pertukaran gas membaik Observasi
ketidakseimbangan ventilasi- dengan kriteria hasil : 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan
perusi Pertukaran gas upaya nafas
1. Tidak terjadi dyspnea 2. Monitor pola nafas (seperti bradipnea,
2. Tidak terdapat bunyi napas tambahan takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
3. PCO2 membaik Cheyne-stokes, biot, ataksik)
4. PO2 membaik 3. Monitor kemampuan batuk efektif
5. Pola napas membaik 4. Monitor adanya produksi sputum
6. Warna kulit tidak pucat 5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
7. Tidak terjadi sianosis 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi nafas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray thorakx
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan jika perlu
3. Nyeri Akut berhubungan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Manajemen Nyeri
dengan agen pencedera …. x …. Jam, diharapkan nyeri dapat teratasi Observasi
fisiologis dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Tingkat Nyeri frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
2. Pasien tidak meringis 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
3. Pasien tidak gelisah 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
4. Pasien tidak mengalami kesulitan tidur memperingan nyeri
5. Frekuensi nadi membaik (60-100x/menit) 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
6. Pola napas membaik tentang nyeri
7. Tekanan darah membaik 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap
kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah di berikan
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik nn farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Menurut Poer. (2012), proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
a. Evaluasi Formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien
terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan)
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis analisis mengenai
status kesehatan klien terhadap waktu)
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane ,C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Untuk Brunner dan
Suddart, alih Bahasa oleh Yasmin Asih. Jakarta : EGC.
Lynda Juall Carpenito. 2001. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta Selatan.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan.

Setiadi. 2012. Konsep&Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik.


Yogyakarta : Graha Ilmu.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2000. Brunner and Suddarth’s textbook of medical – surgical
nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC.
Yuli Aspiani, Reni. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskuler. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai