OLEH :
SEMESTER V / 3.B
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PRODI D-IV JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah
panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi rabies
dan umumnya masuk ke tubuh melalui infiltrasi air liur yang mengandung virus dari
hewan rabies ke dalam luka (misalnya goresan), atau dengan paparan langsung permukaan
mukosa air liur dari hewan yang terinfeksi (misalnya gigitan). Virus rabies tidak bisa
menyusup/melewati kulit dalam kondisi utuh (tanpa luka). Begitu sampai ke otak, virus
rabies dapat bereplikasi lebih lanjut, sehingga menghasilkan tanda klinis pada pasien.
Daerah yang terjangkit rabies di dunia sekitar 150 negara, sekitar 55.000 orang
meninggal karena rabies. Jumlah orang yang tergigit hewan penular rabies (HPR)
diperkirakan lebih dari 150 juta orang dan memperoleh pengobatan profilaksis vaksin anti
rabies. Sekitar 40 % orang yang tergigit HPR adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun
(WHO, 2016), sehingga anak merupakan kelompok masyarakat yang memiliki risiko
tinggi tertular rabies.
Kejadian rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi Jawa Barat.
Rabies pertama kali dilaporkan terjadi di Cirebon oleh Esser pada tahun 1884. Dari Jawa
Barat, rabies selanjutnya menyebar secara berantai ke seluruh Indonesia. Sampai saat ini
rabies telah bersifat endemik di 24 provinsi, dan Bali merupakan provinsi terakhir yang
tertular rabies.
Penularan dan penyebaran rabies di Indonesia hampir 90% terjadi melalui gigitan
anjing, sedangkan di luar negeri dapat melalui kelelawar, rubah, musang, cerpelai. Setelah
terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasinya biasanya 14 sampai 90 hari tetapi
bisa mencapai 2 tahun, tergantung jarak masuknya virus ke otak penderita. Terjadinya
infeksi pada jaringan saraf dan non saraf yang secara bersamaan menyebabkan hewan
yang terinfeksi rabies bisa menunjukan agresifitas sekaligus terjadi pasase virus kedalam
saliva.5 Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kasus gigitan oleh hewan penular rabies
dan sekaligus penularan virus rabies kepada korban gigitannya.
Penyakit Rabies menyerang Bali sejak tahun 2008, dan sampai tahun 2017, kasus
gigitan hewan penular rabies akibat anjing tercatat sebanyak 92 kasus. Kemudian di tahun
2018 dari bulan Januari-Agustus sudah ada temuan kasus gigitan hewan penular rabies
akibat anjing sebanyak 106. Ini menandakan bahwa terjadi peningkatan dari tahun
sebelumnya. (Disnak, 2018)
Pemerintah dan masyarakat dari berbagai lapisan telah berupaya. memberantas
penyakit rabies di Bali. Berbagai cara telah diterapkan untuk membebaskan Bali dari
penyakit rabies. Vaksinasi rabies pada hewan penular rabies telah dilakukan bahkan secara
periodik setiap tahun digelar vaksinasi massal rabies. (Disnak, 2015)
Di Kabupaten Gianyar sendiri tercatat ada 38 temuan anjing positif rabies sepanjang
tahun 2016, dan pada tahun 2017 menurun menjadi 7 anjing positif rabies.
Adapun beberapa factor yang menyebabkan tinggi rendahnya kasus Rabies pada
hewan dan manusia di suatu daerah tergantung pada kesadaran masyarakat dalam tatacara
memelihara hewan yang baik dan benar (vaksinasi rutin dan tidak meliarkan hewan
peliharaan), pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyakit Rabies, kesadaran dan
kemauan masyarakat untuk melaporkan kasus gigitan hewan penular Rabies ke fasilitas
kesehatan, kesadaran masyarakat untuk segera ke pelayanan kesehatan setelah di gigit
hewan penular Rabies untuk mendapat pengobatan sesuai dengan SOP, dan perpindahan
penduduk dan lalu lintas penduduk dengan membawa hewan peliharaan dari satu wilayah
ke wilayah lainnya.
Dari hasil data yang di peroleh pada bulan Juli tahun 2018 terdapat kasus gigitan
hewan penular rabies (HPR) di Banjar Jeleka, Desa Batuan sebanyak 3 warga digigit
anjing positif rabies. Dan setelah kasus tersebut, 14 warga Banjar Manyar, Desa Ketewel
juga digigit anjing positif rabies. Berdasarkan data tersebut kami memberikan sosialisasi
mengenai penyakit Rabies dan penanganan atau penatalaksanaan gigitan hewan penular
Rabies (HPR) di Banjar Manyar, Desa Ketewel, Kabupaten Gianyar.
Dari uraian di atas, kami menyimpulkan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat
dalam tatacara memelihara hewan yang baik dan benar (vaksinasi rutin dan tidak
meliarkan hewan peliharaan), pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyakit Rabies,
kesadaran dan kemauan masyarakat untuk melaporkan kasus gigitan hewan penular
Rabies ke fasilitas kesehatan, kesadaran masyarakat untuk segera ke pelayanan kesehatan
setelah di gigit hewan penular Rabies untuk mendapat pengobatan sesuai dengan SOP
menjadi factor tingginya kasus gigitan hewan penular rabies (HPR). Sehingga penting
untuk dilaksanakannya sosialisasi mengenai penyakit rabies dan penanganan atau
penatalaksanaan gigitan hewan penular Rabies (HPR) di banjar Manyar, Desa Ketewel,
Gianyar.
B. Tujuan Umum
Proposal ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai
penyakit rabies dan penanganan atau penatalaksanaan gigitan hewan penular Rabies
(HPR) di banjar Manyar, Desa Ketewel, Gianyar.
C. Tujuan Khusus
1. Masyarakat mengetahui definisi dari penyakit Rabies.
2. Masyarakat mengetahui penyebab terjadinya penyakit Rabies.
3. Masyarakat mengetahui cara penularan dari penyakit Rabies
4. Masyarakat mengetahui gejala klinis Rabies pada Hewan dan Manusia.
5. Masyarakat mengetahui pemeriksaan Diagnosa lapangan dan diagnose laboratorium
pada penyakit Rabies.
6. Masyarakat mengetahui pencegahan dan pengendalian rabies.
7. Masyarakat mengetahui penanganan atau penatalaksanaan gigitan hewan penular
rabies (HPR).
D. Nama Kegiatan
Sosialisasi mengenai penyakit rabies dan penanganan atau penatalaksanaan gigitan
hewan penular Rabies (HPR) di banjar Manyar, Desa Ketewel, Gianyar.
E. Tema Kegiatan
Pencegahan dan penanganan dini gigitan hewan penular rabies (HPR).
F. Landasan Kegiatan
Adapun landasan kegiatan diadakannya sosialisasi mengenai penyakit rabies dan
penanganan atau penatalaksanaan gigitan hewan penular Rabies (HPR) di banjar Manyar,
Desa Ketewel, Gianyar (Lampiran 1).
H. Sasaran Kegiatan
Masyarakat yang memiliki hewan peliharaan anjing di Banjar Manyar, Desa Ketewel,
Gianyar
I. Susunan Panitia
Panitia terdiri dari seluruh mahasiswa kelas 3B jurusan D-IV Keperawatan Politeknik
Kesehatan Denpasar (Lampiran 2).
J. Susunan Acara
Adapun susunan acara pada kegiatan pelatihan ini yaitu sebagai berikut (Lampiran 3).
L. Penutup
Demikianlah proposal ini kami ajukan untuk dapat dipertimbangkan demi
terealisasinya kegiatan ini. Atas dukungan dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Mengetahui Sukawati,
Ketua Panitia Clinical Instructure/CI
2. Etiologi
Rabies disebabkan oleh virus yang tidak bersegmen dari grup V (RNA virus),
golongan Mononegavirales, famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus, species Rabies
virus. Selain rabies virus, yang termasuk genus Lyssavirus meliputi kelelawar lagos,
virus Makola, virus Duvenhage, virus kelelawar Eropa 1 dan 2 serta virus kelelawar
Australia (Johnson et al. 2010).
Rhabdovirus merupakan virus dengan panjang kira-kira 180 nm dan lebar 75 nm.
Genom rabies mempunyai 5 jenis protein : nukleoprotein (N), phosphoprotein (P),
matrik protein (M), glikoprotein (G) dan polimerase (L). Semua Rhabdovirus
mempunyai komponen struktur : helical ribonucleoprotein core (RNP) dan amplop di
sekelilingnya. Pada RNP, RNA dilekatkan oleh nukleoprotein. Protein virus lainnya
yaitu phosphoprotein dan protein besar (L-protein atau polimerase) berhubungan
dengan RNP. Bentuk glikoprotein rata-rata terdiri dari 400 trimeric spike yang melekat
di permukaan virus. Protein M dihubungkan dengan amplop dan RNP atau protein
pusat Rhabdovirus. Struktur dasar dan komposisi rabies dapat dilihat pada diagram di
bawah ini (Sugiyama dan Ito 2007).
Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh paku-paku
glikoprotein. Ribonukleoproteinnya tersusun dari RNA nukleoprotein, phosphorylated
atau phosphoprotein dan polimerase.
3. Cara Penularan
Virus ditularkan ke hewan lain dan manusia melalui kontak langsung
dengan saliva dari hewan terinfeksi yaitu melalui gigitan, goresan, jilatan pada
kulit yang terluka dan membrana mukosa. Bila hewan dan manusia terkena rabies,
akibatnya akan fatal karena dapat menyebabkan kematian. Pengeluaran virus rabies
sangat penting dalam penularan rabies. Virus rabies dapat dikeluarkan melalui air liur
hewan yang terinfeksi untuk beberapa hari setelah gejala klinis terlihat. Virus rabies
juga pernah ditemukan pada air liur anjing selama tujuh hari sebelum terlihat gejala
klinis yang diamati. Bahkan, virus rabies masih bisa diisolasi dari palatine tonsil
anjing yang diinfeksi buatan dengan virus rabies sampai dengan 305 hari setelah masa
penyembuhan (Ruprecht 2007).
Virus rabies dapat juga dikeluarkan dari air liur kucing selama tiga hari dan sapi
selama dua hari sebelum onset gejala klinis. Virus lebih cepat terlacak pada hewan liar
dibandingkan anjing, yaitu empat hari pada skunk, 1-2 hari pada serigala dan 12 hari
pada kelelawar sebelum gejala klinis nampak. Virus dapat juga dikeluarkan melalui
urin dan hal ini menyebabkan penularan rabies dari serigala dan kelelawar melalui
udara. Susu juga dapat mengeluarkan virus rabies, tetapi tidak menjadi bahaya yang
besar karena partikel virus akan dihancurkan oleh enzim-enzim yang ada di dalam
susu susu (Riasari 2009).
Terdapat 3 katagori kasus rabies pada manusia berdasarkan tipe kontak dengan
hewan pembawa rabies, yaitu katagori I, II dan III (WHO 2005).
1. Katagori I : bila kontak yang terjadi terbatas pada memegang atau terjilat oleh
hewan tersangka rabies. Penanganan yang dilakukan hanya terbatas membasuh
kulit yang kontak dengan hewan.
2. Katagori II atau katagori ringan. Bila tercakar oleh hewan tersangka rabies, luka
yang terjadi hanya berupa ringan. Penanganan dilakukan dengan segera
membersihkan bekas cakaran dan memberikan vaksin anti rabies. Penanganan
dihentikan bila 10 hari kemudian hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil
laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies .
3. Katagori III atau katagori berat terjadi bila hewan tersangka mencakar pada kulit
yang luka atau cakaran tersebut menyebabkan luka berdarah atau adanya gigitan
yang cukup dalam atau adanya kontak membrana mukosa oleh saliva dan kasus
gigitan oleh kelelawar.
Menurut CDC (2008) rabies ditularkan ke manusia dan beberapa hewan lainnya
melalui beberapa cara yaitu:
1. Bite Exposure, melalui gigitan atau kontaminasi saliva pada membran mukosa
yang terbuka atau karena luka melalui jilatan. Virus rabies juga dapat masuk
melalui kulit yang luka, atau pada membran mukosa seperti conjunctiva, mukosa
hidung dan anus. Penularan akibat gigitan tergantung dari keparahan luka dan
lokasi gigitan.
Penularan melalui gigitan kelelawar rabies seringkali terabaikan akibat kecilnya
bekas luka bekas gigitan yang dialami dibandingkan luka yang disebabkan
gigitan hewan karnivora. Penderita biasanya baru menyadari jika luka tersebut
mengalami pembengkakan. Amerika Serika sejak tahun 1970 sampai 1989
dilaporkan penularan rabies melaluii gigitan kelelawar sebanyak 30% (Gibson et
al. 2002)
2. Nonbite Exposure, penularan rabies tanpa melalui gigitan dari hewan terinveksi.
Cara penularan ini sangat jarang menimbulkan rabies. Eksposur risiko tertinggi
tanpa melalui gigitan seperti penerima bedah kornea, organ padat, dan jaringan
vaskular , orang-orang yang terpapar virus rabies melalui aerosol dalam jumlah
yang besar. Dua kasus rabies terjadi akibat eksposur aerosol di laboratorium, dan
dua kasus rabies ditemukan berhubungan dengan terpapar udara di dalam gua-
gua yang dihuni jutaan kelelawar terinveksi rabies.
Penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi akibat kontak langsung dengan
luka terbuka pada jaringan kulit maupun mukosa dengan saliva maupun material
infeksius yang potensial seperti jaringan saraf. Transplantasi jaringan maupun
organ dapat menularkan rabies. Ditemukan 16 kasus kematian akibat
transplantasi jaringan maupun organ : Amerika Serikat (5 kasus: 1 kasus akibat
transplantasi kornea, 3 kasus transmisi jaringan padat dan 1 kasus akibat
cangkok jantung), Jerman (4 kasus), Thailand (2 kasus), India (2 kasus), Iran (2
kasus) dan Prancis (1 kasus).
Pada negara berkembang seperti Amerika Serikat, hewan liar merupakan sumber
potensial dari infeksi yang paling penting. Sebagian melaporkan kasus rabies terjadi di
antara karnivora, terutama rakun, sigung, dan rubah dan berbagai jenis kelelawar
(CDC 2008).
Berikut ini adalah skema penularan rabies pada manusia
2. Hewan
Anjing dan kucing
1) Rabies Ganas : tidak menuruti lagi perintah pemilik, air liur keluar berlebihan,
hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui dan
ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha, kejang-kejang kemudian
lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul atau paling lama 12 hari
setelah gigitan.
2) Rabies Tenang : bersembunyi di tempat gelap dan sejuk, kejang-kejang
berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat, kelumpuhan tidak mampu
menelan, mulut terbuka dan air liur keluar, berlebihan, kematian terjadi dalam
waktu singkat (Disnak 2007)
5. Pemeriksaan Diagnosa
a. Diagnose lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;
1) Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.
2) Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.
3) Jumlah penderita gigitan.
Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap
anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang
(sedangkan anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh
dan diperiksa otaknya).
Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari satu orang
tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa
observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya
adalah positif rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa
adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut :
1) Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 25
%.
2) Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 50
%.
3) Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 75
%.
4) Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies
100%.
b. Diagnose laboratorium
Deteksi virus rabies pada manusia dilakukan dengan cara isolasi virus, ulasan
kornea dan biopsi kulit, direct fluorescent antibody test (dFA atau FAT),
histopatologik, metode immunohistokimiawi dan metode amplifikasi (Riasari
2009).
Secara umum diagnosis laboratorium digunakan untuk menguji, sehingga hasil
diagnosis positif rabies dapat diinformasikan secara cepat kepada petugas yang
bertanggung jawab memberikan pengobatan. Hasil negatif pada pengujian rabies
berguna dalam menekan biaya pengobatan dan menghilangkan cekaman fisiologik
terhadap kemungkinan terinfeksi rabies. Identifikasi laboratorium juga sangat
penting dalam upaya surveilan penyakit untuk menentukan pola epidemiologik
rabies dan program pengendalian rabies di suatu negara (Riasari 2009).
Deteksi antibodi rabies (serologik) digunakan untuk menegaskan virus yang
telah diisolasi dan menilai tanggap kebal hasil vaksinasi pada manusia, atau
infeksi yang tidak fatal dan pada percobaan yang melibatkan gambaran
patogenesa penyakit. Pengujian serologik tersebut antara lain uji netralisasi serum.
Metode ini merupakan metode serologik yang pertama kali dikembangkan dan
sebagai metode baku untuk membandingkan metode serologik lainnya. Pengujian
ini mengukur antibodi IgG dengan pengenceran serial dari serum yang
diinaktivasi dengan pemanasan. Selanjutnya, serum dicampur dengan jumlah
virus yang sama. Campuran tersebut diinokulasikan secara intraserebral pada tikus
atau pada kultur jaringan. Titer antibodi dihitung dengan sejumlah tikus yang
masih hidup atau adanya bentuk plak pada jaringan kultur. Enzymelinked
immunosorbent essay (ELISA) mempunyai kepekaan (sensitivitas) yang tinggi
dengan kekhasan (spesifisitas) yang baik untuk melacak antibodi IgM dan IgG
(Riasari 2009).
Teknik klasik mendiagnosa keberadaan virus rabies adalah pemeriksaan
histopatologik terhadap otak (bagian hypocampus) menggunakan pewarnaan
Seller. Pewarnaan otak dengan pewarna Seller, yang tersusun atas 1% larutan
basic fuchsin dan biru methilen (methylene blue) dalam methanol absolut, dapat
memperlihatkan adanya badan negri. Badan negri berbentuk oval spesifik seperti
sitoplasmik, berukuran sekitar 0,25-27 Hm dan berwarna ungu dengan pewarnaan
Seller’s. Metode ini sangat cepat (± 2 jam), tidak mahal dan tidak membutuhkan
peralatan khusus. Peneguhan dengan dFA akan memberikan hasil yang lebih baik
(Greene dan Dreesen 1990).
b. Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko
tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen
selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol
70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter
yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil
dari rumah observasi hewan.
Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh
karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh
anjing di daerah endemic rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan
setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya
infeksi rabies.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi
perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak
berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang
mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan
rehabilitasi. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan
pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang
digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur
Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies
dengan lengkap.
2) Kebijakan Pengendalian Rabies di Indonesia
Upaya pengendalian Rabies telah dilaksanakan secara terintegrasi oleh dua
Kementerian yang bertanggungjawab yaitu Kementerian Pertanian dalam hal ini
DIrektorat Kesehatan Hewan untuk penanganan kepada hewan penular dan
pengawasan lalu lintasnya, serta sector Kesehatan untuk penanganan kasus gigitan
pada manusia dan penderita Rabies (Lyssa). Adapun upaya yang telah dilakukan
Kementerian Kesehatan dalam penanganan Rabies di Indonesia adalah
menyediakan vaksin anti Rabies dan refrigerator, menyediakan media KIE,
peningkatan kapasitas pengendalian Rabies.
Prioritas Kegiatan :
a. Penurunan kematian akibat Rabies (Lyssa) melalui penanganan kasus GHPR
dengan pembentukan/optimalkan Rabies center
b. Surveilans epidemiologi terpadu
c. Meningkatkan akses masyarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan
d. Penanggulangan KLB terpadu
e. Kerjasama lintas sector
f. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petugas
g. Penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media dan berbagai
kesempatan
h. Pemenuhan kebutuhan logistic
Lampiran 2
SUSUNAN PANITIA
SOSIALISASI MENGENAI PENYAKIT RABIES DAN PENANGANAN ATAU
PENATALAKSANAAN GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) PADA
MASYARAKAT YANG MEMILIKI HEWAN PELIHARAAN ANJING DI BANJAR
MANYAR, DESA KETEWEL, KABUPATEN GIANYAR
Sie Acara
Koor : Ni Putu Rika Umi Krismonita
Anggota : 1. Mila Cahyani Heryanto
3. Ni Wayan Suratmini
Sie Perlengkapan
2. Kt Elfirasani
Sie Konsumsi
2. Kadek Fajar W
3. Ni Putu Nita Ayu Sandra
Sie Humas
Sie Dokumentasi
Sie Rohani
2. Ni Wayan Suratmini
SUSUNAN ACARA
SOSIALISASI MENGENAI PENYAKIT RABIES DAN PENANGANAN ATAU
PENATALAKSANAAN GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) PADA
MASYARAKAT YANG MEMILIKI HEWAN PELIHARAAN ANJING DI BANJAR
MANYAR, DESA KETEWEL, KABUPATEN GIANYAR
PUKUL KEGIATAN
07.30 – 08.10 Registrasi peserta pelatihan sekaligus pembagian snack
08.10 – 08.25 Pembukaan
08.25 – 08.45 Doa
08.45 – 09.00 Sambutan-sambutan
1) Ketua Panitia
2) Pembina Kegiatan
3) Kepala Puskesmas Sukawati 1 (sekaligus membuka
acara)
SESI I
09.00 – 10.30 1. Penyampaian Materi
a) Definisi penyakit rabies
b) Penyebab terjadinya penyakit rabies
c) Cara penularan dari penyakit rabies
d) Gejala klinis rabies pada hewan dan manusia
1.1 Kendala
Kendala yang kami dapatkan yaitu kurangnya pengetahuan mengenai penyakit rabies,
kurangnya kesadaran masyarakat dalam tatacara memelihara hewan yang baik dan benar
(vaksinasi rutin dan tidak meliarkan hewan peliharaan), pengetahuan masyarakat tentang
bahaya penyakit Rabies, kesadaran dan kemauan masyarakat untuk melaporkan kasus
gigitan hewan penular Rabies ke fasilitas kesehatan, dan kesadaran masyarakat untuk
segera ke pelayanan kesehatan setelah di gigit hewan penular Rabies untuk mendapat
pengobatan.
1.2 Solusi
Solusi yang bisa kami sarankan yaitu dengan cara memberikan informasi melalui
kegiatan sosialisasi mengenai penyakit rabies dan penanganan atau penatalaksanaan
gigitan hewan penular rabies (HPR) pada masyarakat yang memiliki hewan peliharaan
anjing. Dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai penyakit
rabies dan penanganan atau penatalaksanaan gigitan hewan penular Rabies (HPR)
khususnya di banjar Manyar, Desa Ketewel, Gianyar.
BAB IV
1.1 Simpulan
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah
panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi rabies
dan umumnya masuk ke tubuh melalui infiltrasi air liur yang mengandung virus dari
hewan rabies ke dalam luka (misalnya goresan), atau dengan paparan langsung
permukaan mukosa air liur dari hewan yang terinfeksi (misalnya gigitan).
Terdapat 3 katagori kasus rabies pada manusia berdasarkan tipe kontak dengan
hewan pembawa rabies, yaitu katagori I, II dan III (WHO 2005).
1. Katagori I : bila kontak yang terjadi terbatas pada memegang atau terjilat oleh
hewan tersangka rabies. Penanganan yang dilakukan hanya terbatas
membasuh kulit yang kontak dengan hewan.
2. Katagori II atau katagori ringan. Bila tercakar oleh hewan tersangka rabies,
luka yang terjadi hanya berupa ringan. Penanganan dilakukan dengan segera
membersihkan bekas cakaran dan memberikan vaksin anti rabies. Penanganan
dihentikan bila 10 hari kemudian hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil
laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies .
3. Katagori III atau katagori berat terjadi bila hewan tersangka mencakar pada
kulit yang luka atau cakaran tersebut menyebabkan luka berdarah atau adanya
gigitan yang cukup dalam atau adanya kontak membrana mukosa oleh saliva
dan kasus gigitan oleh kelelawar.
Jika terkena gigitan hewan penular rabies, maka langkah – langkah yang harus
dilakukan adalah :
1. Pencucian luka, luka gigitan dicuci dengan air mengalir dan sabun/detergen
selama 10-15 menit.
2. Pemberian Antiseptik, dapat diberikan setelah pencucian luka (alcohol 70%,
betadine, obat merah, dll).
3. Tindakan Penunjang. Luka gigitan hewan penular rabies (HPR) tidak boleh
dijahit untuk mengurang invasi virus pada jaringan luka, kecuali luka yang
lebar dan dalam yang terus mengeluarkan darah, dapat dilakukan jahitan
situasi untuk menghentikan perdarahan. Sebelum dilakukan penjahitan luka,
harus diberikan suntikan infiltrasi SAR (Serum Anti Rabies) sebanyak
mungkin di sekitar luka dan sisanya diberikan secara intra muscular (IM).
Dari hasil data yang di peroleh pada bulan Juli tahun 2018 terdapat kasus gigitan
hewan penular rabies (HPR) di Banjar Jeleka, Desa Batuan sebanyak 3 warga digigit
anjing positif rabies. Dan setelah kasus tersebut, 14 warga Banjar Manyar, Desa Ketewel
juga digigit anjing positif rabies. Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih tingginya
kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di wilayah kerja UPT Kesmas Sukawati I
khususnya di Banjar Manyar, Desa Ketewel, Kabupaten Gianyar.
1.2 Saran
Dengan adanya proposal ini, semoga dapat membantu dalam mengatasi permasalahan
tingginya kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di wilayah kerja UPT. Kesmas
Sukawati 1 khususnya di Banjar Manyar, Desa Ketewel, Kabupaten Gianyar, sehingga
dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai penyakit rabies dan penanganan
atau penatalaksanaan gigitan hewan penular Rabies (HPR).