Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

USHUL FIQIH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Yang dibimbing oleh Bapak Mukhammad Naafiu Akbar S.Pd.I.,M.Pd.I

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Siti Ani Masruroh (21701011141)
Rochmathul Duwi Aprilia (21701011142)
Anisa Faizatul Azatama (21701011246)
Aris Ananda (21701011129)
Khoirul Amin

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS AGAMA ISLAM
MARET
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah Ushul Fiqih.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Malang, 13 Maret 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.3 TUJUAN

BAB II PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI ISTIHSAN

2.2 MACAM-MACAM ISTIHSAN

2.3 KEHUJJAHAN ISTIHSAN

2.4 ARGUMENTASI ISTIHSAN

2.5 IMAM SYAFI’I DAN ISTIHSAN

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN

DAFTAR RUJUKAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun
yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam.
Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid,
penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata
lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya,
Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat
dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad
dan istinbath para mujtahid.
Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja definisi tentang Istihsan?
2. Bagaimana macam-macam dari istihsan?
3. Bagaimana kehujjahan Istihsan?
4. Bagaimana argumentasi tentang istihsan?
5. Apakah Imam Syafi’I menggunakan Istihsan?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi Istihsan.
2. Untuk mengetahui macam-macam Istihsan.
3. Untuk mengetahui kehujjahan Istihsan.
4. Untuk mengetahui argumentasi tentang Istihsan.
5. Untuk mengetahui apakah Imam Syafi’I menggunakan istihsan atau tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Istihsan
Menurut istilah Ulama’ Ushul, Istihsan adalah sebagai berikut :
1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1:137, “Istihsan adalah
semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan
terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Qur’an dan As-
sunnah.
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah
pengambilan suatu kemaslahatanyang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil yang bersifat
global”
4. Menurut Al-Hasan Al-Khurkhi Al-Hanafi, “Istihsan adalah perbuatan adil
terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena
adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan”.
5. Menurut Muhammad Abu Zahrah, “definisi yang lebih baik adalah menurut Al-
Hasan Al-Khurkhi diatas”.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu
hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Artinya, persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi
karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus
sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

2.3 Macam-macam Istihsan


1. Istihsan dengan nash
Yaitu perkara pada setiap masalah yang menunjukkan hukum yang bertentangan dan
berbeda dengan kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nash dari Allah SWT.
2. Istihsan dengan Ijma’
Istihsan dengan ijmak ialah suatu peralihan dari hukum pada satu-satu masalah yang telah
menjadi kaedah umum kepada hukum yang diistinbat melalui ijmak.
3. Istihsan dengan kedaruratan
Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau
mencegah kemudharatan.
4. Istihsan dengan ‘urF
Yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang
berbeda karena ‘urf yang umum berlaku, baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan.

2.3 Kehujjahan Istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasannya
pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya
hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi
yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang
memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Itulah segi Istihsan. Sedangkan bentuk
yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum), dan juga yang disebut dengan segi istihsan. Adapun
kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:
1. Ulama’ Hanafiyah

Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu
pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa
Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali
terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
2. Ulama’ Malikiyah

Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam
hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitupula menurut
Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.

3. Ulama’ Hanabilah

Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya
istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-
Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu
Hanifah, namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.

4. Ulama’ Syafi’iyah

Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-
betul menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai
dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah
membuat syari’at.” Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT.,
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas. Namun tidak
boleh menggunakan istihsan.

2.4 Argumentasi Istihsan


            Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan)
seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
            Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.
‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)

            Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.
Hadits Nabi saw:
.ٌ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرأَوْ ا َسيِّئًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيِّئ‬
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.

            Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.

2.5 Imam Syafi’I dan Istihsan


Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
“Barang siapa yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).”[ Lih. Al-Risalah,
hal. 25.] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.

Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan
pengingkaran beliau terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i
ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan Istihsan. Berikut
ini adalah beberapa contohnya:
1. Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami
kepada istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa
takutnya yang diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan
dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang
mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan memberikan
batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan
sekedar penutup kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan:
“Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan
tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar.”[Lih. Al-Umm, 5/52. Riwayat ini disebutkan dalam Talkish al-
Habir (3/219), dimana ada seorang pria datang kepada Ibnu Umar dan menyebutkan bahwa ia
telah menceraikan istrinya, maka Ibn ‘Umar mengatakan: “Berilah ia sekian...”. Dan setelah
dihitung, jumlahnya sekitar 30 dirham.

2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”[ Lih.
Al-Umm, (3/232)]

3.Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat
mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat
adzan).” [ Lih. Al-Umm, 1/66.]
Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di hadapan Rasulullah
saw.[Lih. Talkhish al-Habir, 1/217]

Bila kedua hal ini –pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadapIstihsan-
dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang diingkari oleh al-
Syafi’i adalah Istihsan yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh
dalil syar’i. Karena itu, kita belum pernah menemukan riwayat dimana beliau –misalnya-
mencela berbagai Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah –semoga Allah merahmati
mereka semua.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1.   Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum
tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang
seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan
tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan
umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.   Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar
yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
A. Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan.
B. Ditinjau  dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas
C. Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya
dinamai dengan istislah
3.      Hadits Nabi saw:
.ٌ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرأَوْ ا َسيِّئًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيِّئ‬
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
3.2 SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah
ini.Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya
DAFTAR RUJUKAN
Syafei,Rachmat.1998:Ilmu Ushul Fiqih:Bandung.Pustaka Setia
Amir Syarifuddin,2001:Ushul fiqh:Jakarta.Logos

Anda mungkin juga menyukai