Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

IJMA’
Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
yang dibimbing oleh Bpk Muhammad Nafiu Akbar, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Rhoudhotul Jannah (2170101117)
Khalimatur Rahmah (21701011135)
Peny Wahyuni (21701011128)
Alifah Nurul Irfani (21701011148)
Etika Nur Maya (21701011125)
Ainur Rahman (21701011131)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM MALANG
JANUARI
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat vAllah SWT, atas berbagai
nikmat, rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang telah dianugerahkan kepada kita semua.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah membimbing, menuntun, dan mengarahkan umat manusia
sehingga dapat memilih jalan yang benar. Disamping itu, kami berterima kasih kepada Bapak
M Nafiu Akbar,M.Pd.I selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih memperluas pengetahuan para
mahasiswa khususnya bagi penulis.

Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun makalah ini dengan baik, namun
penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan. Oleh karena itu, jika
didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka
kami memohon maaf atas kritik serta saran dari Dosen pengajar bahkan semua pembaca
sangat diharapkan oleh kami untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam
pengetahuan kita bersama,. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 13 Maret 2018

Penyusun,

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
KATA PENGANTAR ...................................................................................ii
DAFTAR ISI ................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Ijma’......................................................................................2
2.2 Rukun Ijma’........................................................................................3
2.3 Kehujjahan Ijma’................................................................................4
2.4 Macam-macam Ijma’..........................................................................4
2.5 Argumentasi Ijma’..............................................................................5
2.6 Ijma’ Sahabat, Ijma’ Madinah, Mayoritas Ulama..............................8
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan...........................................................................................11
3.2 Saran.................................................................................................11
DAFTAR RUJUKAN...................................................................................12

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk hidup di dunia dan keseahteraannya di akhirat, yang allah turunkan melalui
rasulnya yang berupa alquran dan hadis, karena dalil-dalil atau nas-nas yang ada dalam
alquran dan hadis terbatas jumlahnya, sedangkan peristiwa yang terjadi semakin
bertambah sesuai dengan perkembangan jumlah manusia yang setiap hari bertambah
sehingga peristiwa yang terjadi menjadi tidak terbatas.
Dari masalah-masalah yang belum ada nasnya kemudian dimasukkannya hukum-
hukum yang disepakati oleh para sahabat nabi (di Ijma’) sehingga oleh jumhur ulama’
disepakati bahwa salah satu sumber-sumber syariat islam adalah ijma’, karena syariat
islam itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh allah sebagai
peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti, dan dilaksanakan dalam kehidupannya,
maka kita perlu untuk mengetahui apa yang di maksud Ijma’.
Ijma’ adalah salah satu syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi.
Dibawah dalil-dalil nas (al-quran dan hadist) ia merupakan dalil pertama setelah al-quran
dan hadist yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Ijma’ muncul setelah rosulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
mennetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komunits diantaranya, sebagai mahasiswa
yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami penulis akan
membahas tentang ijm’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Definisi Ijma’?
2. Apa Syarat-syarat Ijma’?
3. Apa Kehujjahan Ijma’?
4. Apa Macam-macam Ijma’?
5. Apa Argumentasi Ijma’?
6.Apa Ijma’ sahabat, Ijma’ ahli madinah, Ijma’ mayoritas ulama
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Definisi Ijma’
2. Untuk Mengtahui Syarat-syarat Ijma”
3. Untuk Mengetahui Kehujjhan Ijma’
4. Untuk Mengetahui Macam-macam Ijma’
5. Untuk Mengetahui Argumentasi Ijma’
6. Untuk Mengetahui Ijma’ sahabat, Ijma’ ahli madinah, Ijma’ mayoritas.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Ijma’

Menurut bahasa pengertian ijma’ terbagi menjadi dua arti:

1. Bermasksud atau berniat. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat


Yunus ayat 71:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh diwaktu dia berkata kepada
kaumnya . “hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku
bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu lakukanlah
terhadap diriku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (Q.S Yunus :
71).
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti
jalan yang beliau tempuh. Dan hadist Rasulullah SAW yang artinya, “Barangsiapa
yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
2. Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah berijma’ apabila
mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an
surah Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf a.s:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukannya ke dasar sumur
(lalu mereka memasukkan dia) , dan (diwaktu dia sudah ada di dalam sumur).
Kami wahyukkan kepada Yusuf, “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada
mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (Q.S Yusuf :15)

Adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah : yang pertama bisa dilakukan
oleh suatu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan
olejh dua orang atau lebih, Karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan
dirinya.

Sedangkan Ijma’ menurut Istilah Ulama’ Ushul adalah:


Para Ulama ushul memiliki perbedaan dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah,
diantarnya:
1. Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan
semua mujtahid dabn ijma’ umat Nabi Muhammad SAW, dalam suatu masa setelah
beliau wafat terhadap hukum syara’

2. Pengarang kitab Tahrir. Al Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan mujathid suatu masa ari ijma’ Nabi Muhammad SAW. Terhadap masalah
syara’. (Al-Ghifari)

5
2.2 Syarat-Syarat Ijma’

Dari definisi ijma’ diatas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi apabila
memeunuhi kriteria-kriteria dibawah ini:
1. Yang bersepakat adalah para Mujtahid
Mujatahid adalah orang islam yang baligh , berakal , memounyai sifat terpuji dan
mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Dengan demikian oang awam atau mereka
yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakan
mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’

2. Yang bersepakat adalah seluruh Mujtahid.


Bila sebagian mujtahid bersepakat dan sebagian lagi tidak, meskipun sedikit, maka
menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencangkup
keseluruhan mujtahid. Sebagian ulama’ berpendapatbahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh
sebagian besar mujtahid. Karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ adalah kesepakatan
sebagian besar dari mereka . Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu sudah
tmencakup hukum keseluruhan.
Sebagian ulama’ yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu
adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’ karena kesepakatan sebagian besar
mereka menunjukan adanya kesepakatan dalil sahih yang mereka jadikan landasan
penetapan hukum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan
kelompok besar.

3. Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW.


Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Nabui Muhammad SAW,
tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat nabi lain yang berijma’.
Adapun ijma’ Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tdidak mungkin
ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.

4. Dilakukan setelah wafatnya Nbabi.


Ijma’itu tidak terjadi ketika nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan dianggap sebagai syariat.

5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syari’at.


Maksudnya, kesepakatnan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan
syari’at, seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain. Hal itu sesuai dengan
pendapat imam aAL-ghozali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut di khususkan
pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab
Waerakat,.Safiudin dalam Qowaidul usul. Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir . dan lain-
lain

6
2.3 kehujjahan Ijma’

Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan,
karena Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah al-quran dan hadist. Dalil-dalil yang
mendukung pendapat jumhur ulam adalah:
1) Firman allah dalam surat An-nisa ayat 115 yang artinya ‘’dan barang siapa yang
menentang rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kdalam jahannam’’.
Hal ini berarti wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu para mujtahid
yang menyepakati suatu hukum syara’.
2) Hadist-hadist nabawi yang menunjukkan kemaksuman umat islam dari kesalahan dan
kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan satu dengan lainnya, yang telah
diterima umat, mutawatir dan dapat dipakai sebagai hujjah. Hadist-hadist tersebut
memiliki arti sebagai berikut:
“umatku tidak akan berkumpul (Ijma’) untuk suatu kesalahan’’.
Dan “barang siapa memisahkan diri dari jannah, lalu mati, maka matinya itu didalam
keadaan jahiliyah”.
3) Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan
pengetahuan mereka berbeda-beda, menunjukkan bahwa pendapat ini jelas
kebenarannya. Sebab seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat mereka
maka, terjadilah perselisihan di antara mereka.

2.4 Macam-macam ijma’


Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam yaitu:
1. Ijma’ Sharih
Maksudnya semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing,
kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi karena ssemua mujtahid
berkumpul disuatu tempat kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap
masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu mereka menyepakati salah
satu dari berbagai pendapat yangvmereka keluarkan tersebut.

2. Ijma’ Sukuti

Ijma sukuti adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh
para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat
tersebut secara jelas. Ijma sukuti dikatakan sah bila memnuhi beberapa kriteria di bawah
ini:

7
1) Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau
penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan yang
dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak dikatakan Ijma’ sukuti, melainkan Ijma’
sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh
sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’.
2) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahannya, dan biasannya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin menentukan lamanya waktu bagi seorang
mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya, karena setiap mujtahid memerlukan waktu
yang berbeda, cepat atau lambat, dalam mengeluarkan fatwanya.
3) Permasalah yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang
bersumber dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun tentang permasalahan yang tidak
boleh di-ijtihadi, atau yang bersumber dalil-dalil qhat’i, apabila seorang mujtahid
mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam,
hal itu tidak bisa dikatakan menyepakati, melainkan meremehkan pemberi fatwa
tersebut karena ilmunya masih dangkal.

2.5 ARGUMENTASI IJMA’


Ulama ahl al-sunnah yang menempatkan ijma’ sebagai dalil yang berdiri sendiri sesudah Al-
Qur’an dan sunah berbeda pendapat dalam beberapa hal yang menyangkut pembatasan dan
persyaratan ijma’. Perbedaan pendapat ini berlaku sehubungan dengan beberapa pembatasan
dalam definisi ijma’ itu dan dihubungkan pula kepada hadis nabi yang menetapkan umat
sebagai suatu yang bebas dari kesalahan atau ma’shum.
1. Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma’
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang awam
atau yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijma’, dalam arti: apakah
kesepakatan mereka menentukan sahnya ijma’ dan ketidaksepakatan mereka
menyebabkan tidak sahnya ijma’.
Jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk
melangsungkan suatu ijma’. Maksudnya, meskipun umat yang awam menolak atau
menerima apa yang telah disepakati oleh ulama mujtahid, maka ijma’ tetap dapat
berlangsung, karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang
yang mampu memahami sumber fiqh dan mengeluarkan hukumnya. Ini hanya
mungkin dilakukan oleh ulama mujtahid dan umat awam tidak mempunyai
kemampuan untuk itu.

8
2. Ijma’ sesudah masa sahabat
Terdapat perbedaan ulama mengenai dalam hal apakah ijma’ itu hanya terbatas pada
masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatakan
bahwa ijma itu mempunyai kekuatan hujah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya
berlaku pada masa sahabat saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai
kekuatan hujah bila memenuhi ketentuannya.
Alasan yang dikemukakan kelompok ini ialah bahwa dalil-dalil yang menunjukkan
kehujjahan ijma’ tidak keluar dari al-qur’an, sunnah, dan logika. Setiap dalil itu tidak
memisahkan antara penduduk satu masa dengan masa lainnya. Dalil itupun
menjangkau para ahli pada masa sahabat. Karena itu ijma’ pada setiap masa
mempunyai kekuatan hukum atau hujah.
3. Kesepakatan Ahlu al-Bait
Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama Syi’ah adlah keturunan Nabi Muhammad SAW
melalui putrinya, Fatimah dengan Ali ibn Abi Thalib.
Di kalangan ulama syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bait atas
suatu hukum dianggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain.
Pengertian kesepakatan yang mempunyai kekuatan hujjah disini berarti kesepakatan
dalam menemukan ucapan orang yang ma’shum sebagaimana dijelaskan diatas.
Ulama syi’ah mengemukakan alasan tentang terlepasnya Ahlu al-Bait dari dosa
dengan beberapa dalil sebagai berikut:
a. Surat Al-Ahzab (33) : 33
Artinya: “sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlulbaitdan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”
Kata innama dalam ayat tersebut berarti pembatasan; sedangkan yang dimaksud
oleh ulama Syi’ah dengan Ahlu al Bait adalah keturunan nabi melalui putrinya
Fatimah. Kata-kata “menghilangkan kotoran” adlah menghilangkan kesalhan Ahlu
al-Bait. Hal ini berarti bahwa Allah SWT menghilangkan kesalahan dari
keturunan nabi yaitu Ali dengan keturunannya. Karena itu, mak Ahlu al-Bait
bersifat ma’shum (terlepas dari kesalahan). Sebagai dalil bagi ulama syi’ah bahwa
keturunan Ali itu yang dimaksud oleh Allah dngan Ahlu al-Bait adalah sebuah
kabar dari Nai bahwa sewaktu turun ayat tersebut, nabi mengitari keluarganya dan
berkata “mereka inilah Ahl al-Bait aku”.

9
4. Kesepakatan Khulafaur Rasyidin
Bila empat orang sahabat nabi yang kemudian sebagai al-khulafa ar-rasyidin
bersepakat tentang suatu hukum, namun sahabat lainnya mempuyai pendapat
berlainan dengan kesepakatan itu, apakah kesepakatan mereka dapat dianggap sebagai
ijma’ yang mengikat umat Islam? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat d
kalangan ulama.
Imam Ahmad dalam salah satu versi periwayatan menyatakan bahwa kesepakatan
mereka adalah ijma’ yang mengikat. Karenanya tidak boleh berpegang kepada
pendapat lainnya. Pendapat Ahmad ibn Hambal dalam versi lan menyatakan bahwa
kesepakatan mereka bukan ijma’, meskipun dapat dijadikan hujah. Pendapat ini
diikuti Qadhi Abi Hasn, salah seorang sahabat Hanafi.
Jumhur Ulam berpendapat bahwa kesepakatan khalifah yang empat itu bukan ijma’
dan tidak dapat dijadikan hujan menurut apa adanya.
Alasan kelompok yang berpendapat bahwa kesepakatan khulafa al-rasyidin itu
sebagai ijma’ yang mengandung hujah adalah sabda nabi: Ikutilah sunnahku dan
sunnah khulafah rasyidin sesudahku.
Dalam hadist itu Nabi mewajibkan mengikuti sunah para khulafa al-rasyidin
sebagaimana mengikuti sunah nabi. Orang ang berpendapat menyalahi ucapan nabi
tidak dapat diperhitungkan. Begitu pula orang yang berpendapat menyalahi pendapat
khulafa al-rasyidin tidak dapat dipegang.
Jumhur ulama berpegang pada dalil umum bahwa yang terpelihara dari kesalahan dan
dosa adalah kesepakatan menyeluruh, bukan kesepakatan terbatas. Hadis yang
menyuruh mengikuti sunah khulafa al-rasyidin tidak hanya terbatas pada empat orang
sahabat saja; karena para sahabat itu di depan nabi adalah sama derajatnya
sebagaimana ditegaskan dalam sabda nabi “sahabat-sahabatku semua laksana bintang
yang bercahaya”.
Perbedaan pendapat ulama tentang kedudukan kesepakatan khulafa al-rasyidin
tersebut berlaku pula pada kesepakatan dua orang sahabat utama yaitu abu bakar dan
umar bin khattab.

10
Ulama yang menjadikan kesepakatan Abu Bakar dan Umar sebagai hujah beralasan
dengan sebuah hadis nabi: “Ikutilah dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan
‘Umar”.

2.7 Ijma sahabat, Ijma ahli madinah, Ijma mayoritas ulama


a. Ijma’ Mayoritas Ulama

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma menurut istilah, diantaranya :

1. Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma itu adalah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma umat Muhammad SAW, dalam suatu masa setelah beliau
wafat terhadap hokum syara’
2. Pengarang kitab Tahrir, Al Kamal bin Hammam berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma Muhammad SAW, terhadap masalah
syara’
b. Ijma’ Ahlul Bait

1. Pendapat ini dikemukakan oleh golongan syi’ah Al-Imamiyyah dan Az-Zaidiyyah. Mereka
mengatakan, kesepakatan keluarga Nabi SAW (Ali, Fatimah, dan kedua anak mereka;
Hasan dan Husain) merupakan hujjah.

ْ ‫ت َويُطَهِّ َر ُك ْم ت‬
)33: ‫َط ِهيراً (األحزاب‬ ِ ‫س أَ ْه َل ْالبَ ْي‬ َ ‫إِنَّ َما ي ُِر ْي ُد هَّللا ُ لِي ُْذ ِه‬
َ ْ‫ب عَن ُك ُم الرِّج‬ .1

2. Artinya:

3. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait 
dan Membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

4.  

5. Menurut mereka, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT membersihkan dosa dari ahl al-
bayt dengan menggunakan kata innama. Dalam bahasa arab, kata ini menunjuk pengertian
penguatan dan pembatasan (‘adat al-qashr). Karena ahl al-bayt telah dibersihkan dari dosa,
maka mereka menjadi ma’shum, dan karena itu pula maka ijma’ mereka menjadi hujjah.

6. Bahwa golongan Syi’ah berpendapat, yang dimaksud dengan ahl al-bayt adalah Ali, Fatimah,
Hasan dan Husain, berdasarkan sabda Rasulullah SAW ketika turunnya ayat tersebut.

‫ال اللهُ َّم هَ ُؤالَ ِء أَ ْه ُل بَ ْيتِ ْي‬ ْ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َجلَّ َل َعلَى ْال َح َس ِن‬
َ َ‫ء ثُ َّم ق‬zً ‫وال ُح َسي ِْن َو َعلِ ِّي َوفَا ِط َمةَ ِك َسا‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ع َْن أُ ِّم َسلَ َمةَ أَ َّن النَّب‬ .7
ْ ‫س َوطَهِّرْ هُ ْم ت‬
.ً‫َط ِهيْرا‬ َ ْ‫صتِي أَ ْذ ِهبْ َع ْنهُ ْم الرِّج‬ َّ ‫َوخَا‬

8. Artinya:

9. Dari Ummi Salamah, bahwa Nabi SAW merangkul dan menyelimuti Hasan, Husain, Ali dan
Fatimah, kemudian berkata : “Ya Allah, mereka ini ahli baytku dan kesayanganku, hilanglah
kotoran (dosa) dri mereka, dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”.

11
10. Selain itu Al-Qur’an surat Asy-Syura (42): 23 menyebutkan :

)23 : ‫قُل اَّل أَسْأَلُ ُك ْم َعلَ ْي ِه أَجْ راً إِاَّل ْال َم َو َّدةَ فِي ْالقُرْ بَى (الشورى‬ .11

12. Artinya:

13. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih
sayang dalam kekeluargaan”.

14. Kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah menolak argumentasi dan pendapat mereka dengan
mengatakan, ayat 33 di atas ditunjukkan kepada para istri Rasulullah SAW secara
keseluruhan bukan kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain saja. Maksud ayat tersebut
membebaskan mereka dari tuduhan berita bohong  dan melarang mereka bersikap yang
memancing orang jahat untuk berbuat jahat. Hal ini terlihat dari konteks ayat, di mana
pangkal ayat 33 berbunyi :

َّ ‫َوقَرْ نَ فِي بُيُوتِ ُك َّن َواَل تَبَرَّجْ نَ تَبَرُّ َج ْال َجا ِهلِيَّ ِة اأْل ُولَى َوأَقِمْنَ ال‬
)33: ‫صاَل ةَ َوآتِينَ ال َّزكَاةَ َوأَ ِط ْعنَ هَّللا َ َو َرسُولَهُ (األحزاب‬ .15

16. Dan hendaklah kamu tetap di rumah dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlan shalat, tunaikanlah zakatdan
taatilah Allah dan Rasulnya.  (Qs. Al-Ahzab: 33)

17. Sedangkan ayat sebelumnya (Al-Ahzab: 32) berbunyi :

ْ َ‫ض ْعنَ بِ ْالقَوْ ِل فَي‬


)32 : ‫ط َم َعالَّ ِذيفِي قَ ْلبِ ِه َم َرضٌ َوقُ ْلنَ قَوْ الً َّم ْعرُوفاً)األحزاب‬ َ ‫يَا نِ َساء النَّبِ ِّي لَ ْستُ َّن كَأ َ َح ٍد ِّمنَ النِّ َساء ِإ ِن اتَّقَ ْيتُ َّن فَاَل ت َْخ‬ .18

19. Artinya:

20. Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain. Jika kamu bertakwa,
maka janganlah kamu tunduk dalm berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.

21. Sedangkan terhadap argumen syi’ah mengenai ayat 23 surah asy-syura’, Ahlu Sunnah
mengatakan, masalh kekeluargaan sangat berbeda dengan masalah ijtihad, karena keduanya
dua variabel yang berbeda. Adapun mengenai “adat al-qashr innama”, fungsinya bukan untuk
membatasi yang dimaksud hanya pada keempat orang tersebut, tetapi untuk menegaskan
pembersihan ahl al-bayt secara keseluruhan dari tuduhan bohong dan kejahatan.[13]

c. Ijma’ Sahabat

1. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah yang bernama Al-Qadhi Abi
Hazim, dan menurut satu riwayat, juga oleh Ahmad bin Hanbal. Mereka berpendapat,
berbeda dengan sahabat lainnya, kesepakatan di antara khalifah yang empat ; Abu
Bakr, Umar, Utsman dan Ali, merupakan hujjah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
riwayat Irbaq bin Sariyah.

‫اختِالَفًا َكثِيْراً فَ َعلَ ْي ُك ْم‬ ِ ‫أُو‬


ْ ‫صي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َوال َّس ْم ِع والطَّا َع ِة َوإِ ْن َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيّا ً فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم يَ َرى بَ ْع ِدي‬ .2
‫بِ ُسنَّتِيل‬

َ ‫ت ْاألُ ُموْ ِر فَإ ِ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعةٌ َوإِ َّن ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬
.ٌ‫ضالَلة‬ ِ ‫َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفا َ ِء الرَّا ِش ِد ْينَ ْال َم ْه ِديِّ ْينَ َوعَضُّ وا َعلَيْها َ بِالنَّ َوا ِج ِذ َو إِيَّ ُك ْم َو ُمحْ َدثَا‬

12
3. “Saya berwasiat kepada kamu untuk tetap bertakwa kepada Allah, peduli dan patuh
(kepada pimpinan) walaupun (pemimpin itu) berasal dari hamba berkulit hitam.
Sesungguhnya, barang siapa di antara kamu yang masih hidup setelah wafat, melihat
perselisihan yang hebat, maka kamu wajib berpegang kepada sunnuahku dan sunnah
al-Khulafa’ al-Rasyidin yang mengikuti petunjuk, dan gigitlah ia dengan gerahammu
(berpegang teguhlah padanya). Waspadailah hal-hal yang diada-adakan,
sesungguhnya semua yang diada-adakan adalah bid’ah, dan sungguh setiap bid’ah
adalah kesesatan”.

4. Sebagaimana pendapat yang menyatakan bahwa kesepakatan masyarakat Haramain


dan Mishrain adalah hujjah dapat dibantah, maka dua pendapat yang terakhir di atas
juga dapat dibantah sebagai berikut.

5. Hadis Nabi SAW di atas menegaskan bahwa Al-Khulafa Ar-Rasyidin adalah para
sahabat yang cakap dan ahli dalam memimpin umat. Oleh karena itu, kepemimpinan
mereka wajib diikuti dan dipatuhi. Akan tetapi, hal itu tidak bararti bahwa ucapan-
ucapan mereka suci (ma’shum), sehingga  menjadi hujjah.

BAB III
PENUTUP

3.1 kesimpulan

1) Ijma merupakan kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dala
agama berdasarkan Al-quran dan hadist dalam suatu perkara yang terjadi. Dan
merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-quran dan hadist.
2) Syarat Ijma yakni Ijma harus berkaitan dengan hukum syara’ yang disepakati oleh
seluruh mujtahid yang merupakan umat nabi Muhammad SAW dan dilakukan setelah
nabi Muhammad wafat.
3) Macam-macam Ijma’ antara lain Ijma’ Sukuti, Ijma’ Sharih .
4) Ijma’ merupakan hujjah yang wajib diamalkan karena ijma’ merupakan sumber
hukum yang ketiga setelah Al-quran dan hadist. adapun dalil-dalil yang mendukung
pendapat jumhur ulama diantaranya yang terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 115 dan

13
hadist-hadist nabawi yang menunjukkan kemaksuman umat islam dari kesalahan dan
kesesatan.
5) Ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi Ijma’ dalam arti
‘’mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin’’
itulah itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma yang terjadi di masa Abu Bakar
dan Umar.

3.2 saran
Penyusun mengharapkan sekali kepada pembaca agar lebih mengkaji lebih jauh
tentang masalah Ijma’ menurut para mujtahidin agar tidak terjadi kesalah pahaman
para mujtahid. Dengan itu diharapkan agar pengertian Ijma’ telah disepakati oleh para
ijtihad.

DAFTAR RUJUKAN

https://auflarungrasis.wordpress.com/

Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA. 2015 Ilmu Ushul Fiqih, Bandung. Pustaka setia.

14
15

Anda mungkin juga menyukai