Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN HUBUNGAN ANTARA ASIMETRI INFORMASI,

MANAJEMEN LABA, DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Agustina Ratna Dwiati


Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Brawijaya

ABSTRAK
Makalah ini mencoba memberikan penjelasan mengenai hubungan antara
asimetri informasi, manajemen laba, dan good corporate governance.
Pembahasan akan diawali dengan penjelasan mengenai teori agensi, kemudian
dilanjutkan membahas hubungan asimetri informasi terhadap manajemen laba
dan diakhiri dengan corporate governance sebagai upaya untuk meminimalkan
masalah keagenan.
Dalam teori agensi, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih
(principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan
kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent
tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah pada kondisi
ketidakseimbangan informasi (asimetri informasi) karena agent berada pada
posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan
dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu
bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi
asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk melakukan manajemen
laba.
Menurut teori keagenan, untuk mengatasi masalah manajemen laba
adalah dengan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance/GCG). Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu
diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance adalah;
transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness),
dan responsibilitas (responsibility). Corporate governance diarahkan untuk
mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent yang pada akhirnya
diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.

Kata kunci : hubungan agensi, asimetri informasi, manajemen laba, corporate


governance

1
I. PENDAHULUAN
Pemisahan fungsi kepemilikan (ownership) dan fungsi pengendalian
(control) yang terjadi antara principal dan agent sering menimbulkan masalah
yang disebut dengan masalah agensi. Masalah agensi tersebut timbul karena
adanya konflik atau perbedaan kepentingan antara principal (pemilik perusahaan)
dan agent (manajer perusahaan). Sebagai agent, manajer secara moral
bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal),
namun manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan
kesejahteraan mereka. Hal ini, kemungkinan besar, menyebabkan agent tidak
selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling, 1976).
Dalam hubungan agensi, manajer sebagai pengelola perusahaan lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan
datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai
pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada pemilik. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang
diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal
sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih
superior dalam menguasai informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang
saham).
Adanya asimetri informasi memberikan kesempatan bagi manajer untuk
bertindak oportunistik, yaitu memperoleh keuntungan pribadi. Richardson (2000)
menyatakan bahwa asimetri informasi antara manajer (agent) dengan pemilik
(principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba.
Manajemen laba (earnings management) dilakukan dalam rangka
menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan yang efektif oleh pihak-pihak yang
berkaitan dalam pengelolaan perusahaan. Salah satu cara yang di gunakan adalah
dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance).

2
Makalah ini akan menjelaskan hubungan antara asimetri informasi,
manajemen laba, dan good corporate governance. Pembahasan akan diawali
dengan penjelasan mengenai teori agensi, kemudian dilanjutkan membahas
hubungan asimetri informasi terhadap manajemen laba dan diakhiri dengan
corporate governance sebagai upaya untuk meminimalkan masalah keagenan.

II. PEMBAHASAN
Teori Agensi
Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-
mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri sehingga menimbulkan konflik
kepentingan antara principal dan agent. Pemegang saham sebagai pihak principal
mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan
profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer sebagai agent termotivasi untuk
memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya antara lain
dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Masalah
keagenan muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agent, yaitu perilaku
manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan
dengan kepentingan principal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan
menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik
untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal (Halim et al., 2005).
Scott (2009:313) menyatakan bahwa agency theory merupakan cabang dari
game theory yang mempelajari bentuk (desain) kontrak yang dapat memotivasi
agen untuk bertindak demi kepentingan principal meskipun kepentingan agent
bertentangan dengan kepentingan principal. Kontrak yang terpenting adalah
employment contract (perusahaan dan manajemen) dan lending contract
(perusahaan dan pemberi pinjaman). Kontrak yang dimaksud dalam penulisan
makalah ini adalah kontrak kerja antara pemilik modal dengan manajer
perusahaan (employment contract).
Dalam hal kontrak antara pemilik dan manajer, pemilik memberikan
tanggung jawab pengelolaan perusahaan kepada manajer. Jadi, pemilik tidak

3
mempunyai pengendalian langsung terhadap tindakan manajer. Hal ini
menimbulkan asimetri informasi dimana manajer mempunyai informasi yang
lebih banyak daripada pemilik mengenai kinerja perusahaan yang sebenarnya.

Asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer (agent)
memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak
luar perusahaan. Antara agent dan principal masing-masing ingin
memaksimumkan utility mereka dengan memanfaatkan informasi yang dimiliki.
Tetapi di satu sisi, agent memiliki informasi yang lebih banyak (full information)
dibanding dengan principal. Hal ini menimbulkan adanya asimetri informasi.
Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk
melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk
memaksimumkan utilitynya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor
akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh
manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu,
terkadang digunakan kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan, misalnya; tindakan untuk melakukan perataan laba
(Mursalim, 2005).
Menurut Scott (2009:13), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu
adverse selection dan moral hazard. Adverse selection adalah jenis asimetri
informasi dimana satu pihak atau lebih yang melangsungkan/akan melangsungkan
suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas
pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer
perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini
dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar. Dan fakta
yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang
saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
Sementara itu, moral hazard adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak
atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha
atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam

4
penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak.
Jadi dalam hal ini, kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer
dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar
kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Richardson (1998) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistimatis
antara magnitut asimetri informasi dan tingkat manajemen laba. Fleksibilitas
manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan
informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan
mencerminkan tingkat manajemen laba. Veronica dan Bachtiar (2004) dalam
penelitiannya juga menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat asimetri
informasi, semakin tinggi juga kemungkinan terjadinya manajemen laba. Jadi bisa
disimpulkan bahwa keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab
manajemen laba.

Manajemen Laba
Pada dasarnya setiap orang mempunyai perilaku yang mementingkan diri
sendiri atau self-interested behaviour yang memberikan kecenderungan pihak
manajer melakukan manipulasi kinerja perusahaan yang dilaporkan untuk
kepentingannya sendiri (Morris, 1987). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dan
Watts dan Zimmerman (1986), tindakan ini dikenal sebagai manajemen laba.
Manajemen laba timbul sebagai dampak persoalan keagenan yaitu adanya
ketidakselarasan kepentingan antar pemilik dan manajemen (Beneish, 2001)
dimana baik pemilik maupun manajer sama-sama ingin memaksimalkan
utilitasnya masing-masing.
Manajemen laba (earnings mangement) merupakan fenomena yang sukar
untuk dihindari karena fenomena ini merupakan dampak dari penggunaan dasar
akrual dalam penyusunan laporan keuangan. Dalam praktek para manajer dapat
memilih kebijakan akuntansi sesuai standar akuntansi keuangan. Oleh sebab itu,
sangat wajar bahwa para manajer memilih kebijakan-kebijakan tersebut untuk
memaksimalkan utilitinya dan nilai pasar perusahaan. Menurut Scott (2009:403),

5
earnings management adalah pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting
Theory (PAT). Scott (2009:287) menyatakan tiga hipotesis PAT yang dapat
dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba. Pertama, the bonus plan
hypothesis. Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan
bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan
meningkatkan income saat ini. Manajer dengan rencana bonus akan lebih memilih
prosedur akuntansi yang menggeser laba pada periode mendatang ke periode saat
ini. Hal ini terjadi jika (paling tidak) sebagian gaji manajer bergantung pada bonus
yang dihasilkan jika melaporkan laba bersih. Oleh karena itu, manajer akan
berusaha untuk melaporkan laba setinggi mungkin.
Kedua, the debt covenant hypothesis. Hipotesis ini menyatakan bahwa
apabila perusahaan semakin dekat dengan pelanggaran perjanjian utang yang
berdasarkan akuntansi, maka manajer mungkin akan untuk memilih prosedur
akuntansi yang menggeser laba pada periode mendatang ke periode saat ini.
Pelanggaran terhadap perjanjian hutang akan menyebabkan kreditor memberikan
sanksi (penalty) seperti pembatasan pembagian deviden maupun pembatasan
pinjaman baru. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap perjanjian
utang (debt covenant) berpotensi menghasilkan kendala bagi manajer dalam
mengelola perusahaan.
Ketiga, the political cost hypothesis. Hipotesis ini menyatakan bahwa
semakin besar biaya politik (political cost) perusahaan, manajer akan lebih
cenderung memilih kebijakan akuntansi yang dapat menangguhkan laba periode
saat ini ke periode mendatang. Biaya politik dapat dipicu oleh profitabilitas tinggi
yang dapat memancing perhatian publik seperti media masa maupun konsumen.
Perhatian publik ini akan direspons oleh politisi (pemerintah dan parlemen)
dengan cara menetapkan regulasi baru seperti aturan pajak baru yang dapat
memberatkan perusahaan. Ukuran perusahaan yang semakin besar juga dapat
mengarahkan pada biaya politik yang tinggi. Dengan demikian, untuk menekan
biaya politik ini manajer akan memilih kebijakan akuntansi yang dapat

6
menurunkan laba sebagai upaya untuk menunjukkan kepada publik (politisi,
pemerintah) bahwa perusahaan sedang menderita kerugian.
Ketiga hipotesis di atas diinterpretasikan dalam bentuk oportunistik
(opportunistic form). Perpektif oportunistik memiliki arti bahwa manajer
dipandang akan memilih kebijakan akuntansi yang terbaik bagi kepentingan
pribadinya meskipun kebijakan tersebut bukan yang terbaik bagi perusahaan.
Manajemen laba yang dilakukan dengan tujuan oportunistik manajer merupakan
sisi buruk dari manajemen laba.
Adapun sisi baik dari praktek manajemen laba berkaitan dengan perspektif
kontrak efisien. Ketika kontrak cenderung kaku dan tidak lengkap, maka
manajemen laba diperlukan untuk bisa mendapatkan kontrak yang efisien. Selain
itu, sisi baik dari manajemen laba adalah berkaitan dengan kemampuannya
sebagai alat untuk menyampaikan informasi dalam (inside information) kepada
pasar, sehingga harga saham akan semakin baik dalam merefleksikan prospek
perusahaan.
Ketiga hipotesis PAT juga dapat diinterpretasikan dari perspektif kontrak
efisien. Misalnya terkait dengan bonus plan hypothesis, manajer tidak akan
menggunakan kebijakan akuntansi yang dapat menyebabkan laba perusahaan
naik-turun (volatile). Terkait dengan debt covenant hypothesis, perusahaan akan
menghindari pelanggaran perjanjian utang untuk menekan cost of financial
distress. Terkait dengan political cost hypothesis, perusahaan akan mendapatkan
manfaat dari penghindaran biaya politik.
Menurut teori keagenan, untuk mengatasi masalah manajemen laba adalah
dengan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG).
Corporate Governance (CG) merupakan suatu mekanisme yang digunakan
pemegang saham dan kreditor perusahaan untuk mengendalikan tindakan manajer
(Dallas, 2004).

Good Corporate Governance


Isu corporate governance muncul karena terjadi pemisahan antara
kepemilikan dengan pengendalian perusahaan, atau seringkali dikenal dengan

7
istilah masalah keagenan. Permasalahan keagenan dalam hubungannya antara
pemilik modal dengan manajer adalah bagaimana sulitnya pemilik dalam
memastikan bahwa dana yang ditanam tidak diambil alih atau diinvestasikan pada
proyek yang menguntungkan sehingga tidak mendatangkan return. Corporate
governance diperlukan untuk mengurangi permasalahan keagenan antara pemilik
dan manajer (Hastuti, 2005). Picou dan Rubach (2006) mendefinisikan corporate
governance sebagai susunan aturan, praktik, dan insentif untuk menyelaraskan
kepentingan agent dengan kepentingan principal.
Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori
keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberi keyakinan
kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang mereka
investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana investor yakin
bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi investor, yakin bahwa manajer
tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-
proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah
ditanamkan oleh investor dan berkaitan dengan bagaimana para investor
mengendalikan para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).
Menurut Linan (2000) dalam Hastuti (2005) terdapat empat prinsip dasar
pengelolaan perusahaan yang baik. Keempat prinsip tersebut adalah :
1. Keadilan (fairness)
Meliputi: (a) perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham; dan (b)
perlakuan yang sama bagi para pemegang saham.
2. Transparansi (transparancy)
Meliputi: (a) pengungkapan informasi yang bersifat penting; (b) informasi
harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang
berkualitas; dan (c) penyebaran informasi harus bersifat adil, tepat waktu dan
efisien.
3. Dapat dipertanggungjawabkan (accountability)
Meliputi pengertian bahwa (a) anggota dewan direksi harus bertindak
mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham; (b) penilaian

8
yang bersifat independen terlepas dari manajemen; dan (c) adanya akses
terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu.
4. Pertanggungjawaban (responsibility)
Meliputi: (a) menjamin dihormatinya segala hak pihak-pihak yang
berkepentingan; (b) para pihak yang berkepentingan harus mempunyai
kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hak-
hak mereka; (c) dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi
keikutsertaan pihak yang berkepentingan; dan (d) jika diperlukan, para pihak
yang berkepentingan harus mempunyai akses terhadap informasi yang relevan.

Watts (2003) menyatakan bahwa salah satu cara yang di gunakan untuk
memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen
adalah corporate governance. Dengan menerapkan corporate governance
diharapkan dapat mengurangi dorongan untuk melakukan tindakan manipulasi
oleh manajer. Sehingga kinerja yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi
yang sebenarnya dari perusahaan bersangkutan (Jensen, 1993).

III. KESIMPULAN
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer (agent)
memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak
luar perusahaan. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu
untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan
untuk memaksimumkan utilitynya. Sehingga dengan adanya asimetri antara
manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan kepada
manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka
memaksimumkan utilitynya.

Menurut teori keagenan, untuk mengatasi masalah manajemen laba adalah


dengan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG).
Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk
terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi

9
(transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan
responsibilitas (responsibility). Dengan ringkas bisa disimpulkan bahwa adanya
asimetri informasi akan meningkatkan kemungkinan terjadinya manajemen laba,
dan untuk mengatasi masalah manajemen laba adalah dengan menerapkan good
corporate governance.

DAFTAR PUSTAKA

Beneish, M.D. 2001. Earnings Management: A Perspective. Management


Finance, vol.27, no.12.

Dallas, George .2004. Governance and Risk. Analytical Hand books for Investors,
Managers, Directors and Stakeholders. Standard and Poor. Governance
Services, MC. Graw Hill. New York.

Halim, Julia., Carmel Meiden, dan Rudolf Lumban Tobing. 2005. Pengaruh
Manajemen Laba Pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Pada
Perusahaan Manufaktur yang Termasuk Dalam Indeks LQ-45. Simposium
Nasional Akuntansi VIII Solo, pp. 117-135.

Hastuti, Theresia Dwi. 2005. Hubungan Antara Good Corporate Governance dan
Struktur Kepemilikan Dengan Kinerja Keuangan. Simposium Nasional
Akuntansi VIII Solo, pp. 238-247.

Jensen, M.C. 1993. The Modern Industrial Revolution, Exit, and the Failure of
Internal Control System. Journal of Finance, vol. 48, pp.831-880.

Jensen, M., dan W. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics.
vol. 3, pp.305-360.

Morris, Richard D. 1987. Signaling Agency Theory And Accounting Policy


Choice. Accounting of Business Research, vol.18, no.69, pp.47-56.

Mursalim. 2005. Income Smoothing dan Motivasi Investor: Studi Empiris Pada
Invesor di BEJ. Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo, pp. 195-206.
Richardson, Vernon J. 2000. Information Asymmetry and Earnings Management:
Some Evidence. Review of Quantitative Finance and Accounting, vol.15,
pp.325-347.

Scott, William R. 2009. Financial Accounting Theory. Prentice-Hall Inc. A Simon


and Schuster, Upper Saddle River. New Jersey, USA.

10
Shleifer, A., dan R.W. Vishny. 1997. A Survey of Corporate Governance. Journal
of Finance, vol.52, no.2, pp.737-783.

Veronica, Sylvia., dan Yanivi S. Bachtiar. 2004. Good Corporate Governance,


Information Asymmetry, and Earnings Management. Simposium Nasional
Akuntansi VII Bali, pp. 57-69.

Watts, Ross L. 2003. Conservatism in Accounting Part I: Explanations and


Implications. Accounting Horizon, vol.17, pp.207-221.

Watts, Ross L., dan Jerold L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory.
New Jersey: Prentice Hall International Inc.

Picou, A., dan M. J. Rubach. 2006, Does Good Governance Matter to


Institutional Investors? Evidence From The Enactment of Corporate
Governance Guidelines. Journal of Business Ethics, vol.65, pp.55-67.

11

Anda mungkin juga menyukai