Anda di halaman 1dari 11

Pada masa lalu, istilah “trafficking”, sejauh menyangkut manusia, biasa dikaitkan

secara ekslusif dengan prostitusi. Ada empat perjanjian internasional menyangkut trafficking
yang dikembangkan pada awal abad duapuluh, yakni:
1. International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Persetujuan
Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur), tahun 1904.
Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan
tujuan pelanggaran kesusilaan. Konvensi awal ini membatasi diri pada penentangan
bentuk pemaksaan dalam perdagangan perempuan, tetapi sama sekali tidak
mempermasalahkan tiadanya bukti pemaksaan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam
perekrutannya. Kesepakatan tersebut dalam prakteknya tidak berjalan efektif karena
gerakan anti perdagangan manusia pada saat itu lebih didorong karena adanya ancaman
terhadap kemurnian populasi perempuan kulit putih. Pada sisi lain, kesepakatan tersebut
juga lebih banyak memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban
daripada menghukum pelaku kejahatannya.
2. International Convention for the Suppression of White Slave Traffic (Konvensi
Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur), tahun 1910.
Konvensi tersebut mewajibkan negara untuk menghukum siapa pun, yang membujuk
orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau
membujuk perempuan dewasa untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.
3. International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children
(Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak), dan
4. International Convention for the Suppression of Traffic in Women of Full Age (Konvensi
Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa).
Keempat konvensi tersebut kemudian dikonsilidasikan oleh PBB pada tahun berikutnya,
1949, Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the
Prostitution of Others (Konvensi Penghapusan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi atas
Pelacur).

Definisi Perdagangan Manusia.


Dalam protokol PBB, untuk mencegah, memberantas, dan menghukum perdagangan
manusia, khususnya perempuan dan anak, Suplemen Konvensi PBB untuk melawan
organisasi kejahatan lintas batas dikatakan :
a) Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengiriman seseorang, dengan ancaman atau
penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan,
kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau
menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan
dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi
termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain
dari eksploitasi seksual, kerja, atau pelayan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa
perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
b) Persetujuan korban perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud yang
dikemukakan dalam sub alinea (a) artikel ini tidak akan relevan jika salah satu dari cara-
cara yang dimuat dalam sub alinea (a) digunakan.
c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk
tujuan eksploitasi dipandang sebagai “perdagangan manusia” bahkan jika kegiatan ini
tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub alinea (a) pasal ini.
d) “anak” adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan belas tahun.
Menurut UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO). Berdasarkan UU ini, maka definisi perdagangan orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar-agama, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan), penerimaan. Trafficking dilakukan
dengan cara: ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan
wewenang. Tujuan dilakukan trafficking adalah untuk: transplantasi organ tubuh,
penyalahgunaan obat, perdagangan anak lintas batas, pornografi, seksual komersil,
perbudakan/penghambaan dan lain-lain. Secara umum, faktor-faktor yang mendorong
terjadinya trafficking anak adalah kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, konflik sosial,
lemahnya penegakan hukum, rendahnya pendidikan dan kesehatan, kekerasan dalam rumah
tangga,desakanekonomi.
Tentunya perdagangan orang merupakan masalah sosial yang mengkhawatirkan dan
harus segera dicari solusinya karena berpengaruh pada citra Indonesia dimata Internasional.
BAB II
PERMASALAHAN

1. Mengapa perdagangan perempuan dan anak-anak sudah mulai mengkhawatirkan? Apa


buktinya?

2. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi atau yang mendorong terjadinya kasus


perdagangan orang?

3. Siapa sajakah yang dapat menjadi pelaku terjadinya perdagangan orang dan
bagaimanakah kaitannya dengan kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi atau
organisasi kejahatan?

4. Apakah modus yang digunakan hingga para korban dapat terseret pada trafficking?

5. Bagaimanakah batasan-batasan terhadap kejahatan dapat dikatakan sebagai trafficking


(terminologi)?

6. Bagaimanakah perbedaan perdagangan perempuan dengan perdagangan anak-anak


kaitannya dengan unsur “persetujuan” yang kemudian berujung pada kejahatan
eksploitasi?

7. Bagaimana usaha pemerintah untuk mengatasinya?


BAB III
PEMBAHASAN

Di Indonesia praktik perdagangan perempuan sebagaimana juga terjadi di negara-


negara Asia Tenggara, biasanya identik dengan kekerasan dan pekerjaan-pekerjaan yang
diketahui paling banyak dijadikan sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak adalah :
buruh migran, pekerja seks, perbudakan berkedok pernikahan dalam bentuk pengantin
pesanan, pekerja anak, pekerja di jermal, pengemis, pembantu rumah tangga, adopsi,
pernikahan dengan laki-laki asing untuk tujuan eksploitasi, pornognafi, pengedar obat
terlarang dan dijadi korban pedofilia. Latar belakang terjadinya perdagangan perempuan dan
anak merupakan multi faktor, dan dapat dikatakan bukanlah masalah yang sederhana,
sehingga diperlukan kerjasama yang sinergi dari berbagai instansi aparat penegak hukum.
Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang dapat dilaksanakan
untuk pencegahan terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Beberapa faktor latar
belakang terjadinya perdagangan tersebut dapat disebutkan, yaitu karena :
1. Kemiskinan.
2. Utang piutang
3. Rendahnya pendidikan dan kesehatan.
4. Terbatasnya kesempatan kerja sehingga menimbulkan pengangguran.
5. Migrasi keluar desa dan keluar negeri.
6. Riwayat pelacuran dalam keluarga atau ketahanan keluarga yang rapuh.
7. Faktor ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan (gender) dan budaya patriarkhi.
8. Konsumerisme.
9. Meningkatnya permintaan.
10. Dorongan penyiaran dan tulisan yang porno di media massa.
11. Penegakan hukum terhadap pelaku masih belum tegas dan konsisten.
12. Kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang trafficking belum memadai(rasionalisasi).
13. Rendahnya kontrol sosial atau konflik sosial.
14. Permisif.
15. Stigmatisasi.
Siapa saja (setiap orang) dapat menjadi korban perdagangan manusia khususnya
perempuan dan anak. Meskipun perdagangan manusia mencakup juga perdagangan laki-laki,
perempuan dan anak namun fokus dari program bantuan hukum kepada korban perdagangan
yang dilakukan solidaritas perempuan lebih kepada korban perempuan dan anak. Sasaran
yang rentan menjadi korban perdagangan orang adalah sebagai berikut :
 Anak-anak jalanan
 Orang yang sedang mencari pekerjaan
 Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
 Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
 Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar negara
 Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
 Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
 Perempuan yang menjadi korban perkosaan
Pelaku dalam perdagangan (trafficking) anak dan perempuan dapat dibedakan dsalam
3 (tiga) unsur. Pembedaan dilakukan berdasarkan peranannya masing-masing dalam tindakan
perdagangan (trafficking):
1. Pihak yang berperan pada awal perdagangan;
2. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;
3. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/pembeli orang yang
diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa
dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.
Berikut ini pihak-pihak yang dapat dikatakan sebagai pelaku perdagangan orang, antara lain:
 Agen perekrutan tenaga kerja atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang
membayar agen/calo (perseorangan) untuk mencari perempuan dan anak yang ingin
bekerja kelaur negeri
 Agen/calo
 Pemerintah
 Majikan
 Pemilik dan pengelola rumah bordil
 Calo pernikahan
 Orang tua dan sanak keluarga
 Suami, teman, keluarga terdekat, dls.
Pelaku perdagangan orang kerap digambarkan sebagai bagian dari organisasi
kejahatan lintas negara yang terorganisir. Meski gambaran tersebut ada benernya dalam
sebagian kasus namun ada juga pelaku perdagangan yang bukan bagian dari kelompok
kejahatan terorganisir, mereka bekerja merekrut dan mengirim tenaga kerja secara
independen, baik secara kelompok atau individu, dan ada juga tokoh masyarakat di
daerahnya. Namun, banyak dari aktor yang terlibat dari perdagangan perempuan dan anak ini,
sebagian terlibat langsung, tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Seperti halnya dengan
korban yang direkrut oleh agen/calo mungkin saja orang asing yang datang ke suatu desa atau
tetangga, teman, bahkan kepala desa setempat. Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk
PJTKI yang terdaftar dan yang tidak terdaftar atau bekerja secara independen, dan
memperoleh bayaran dari setiap tenaga kerja yang direkrutnya. Para agen sering terlibat
dalam praktek memalsukan KTP atau dokumen perjalanan (paspor). Seorang agen mengkin
dengan sadar terlibat dalam perdagangan orang ketika ia membohongi orang yang
direkrutnya mengenai pekerjaan yang akan dilakukan atau gaji yang akan diterima. Di sisi
lain, agen mungkin saja tidak mengetahui bahwa mereka mengetahui informasi yang
sebenarnya dari pekerjaan yang ditawarkan. Begitu pula yang dilakukan, Pengerah Jasa
Tenaga Kerja (PJTKI) yang terdaftar maupun yang tidak, melakukan praktek yang ilegal
maupun eksploitatif dengan menyekap TKW di penampungan, memaksa BMP untuk tetap
bekerja meskipun mereka hendak pulang ke tempat asalnya atau menempatkan BMP dalam
pekerjaan yang berbeda dari yang ditawarkan atau pada majikan yang berbeda. Pejabat
pemerintah mulai dari tingkat desa, kepala desa, dalam memalsukan identitas (KTP) tidak
terkecuali pejabat imigrasi dalam pemalsuan dokumen perjalanan (paspor) juga berperan,
baik mereka menyadari atau tidak, terlibat sebagai pelaku perdagangan.
Menurut UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO tindak pidana perdagangan orang
dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Sehingga penjatuhan sanksi pidananya dapat
dijatuhkan kepada pengurusnya, sedangkan pidana yang dapat dijaruhkan kepada korporasi
berupa pidana denda. Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a) pencabutan izin usaha;
b) perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c) pencabutan status badan hukum;
d) pemecatan pengurus; dan/atau
e) pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha
yang sama.
Modus operandi sindikat perdagangan perempuan dilakukan dengan bererapa cara, yaitu:
1. Dengan ancaman dan pemaksaan, biasanya dilakukan oleh trafficker yang telah dikenal
dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan
kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban
berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak
dapat menolak keinginan pelaku.
2. Penculikan; biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis melalui anggota
sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga
menjadi semakin tidak berdaya.
3. Penipuan, kecurangan atau kebohongan; Modus tersebut merupakan modus yang paling
sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang
biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang
menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa mengetahui kondisi kerja
yang akan dijalaninya.
4. Penyalahgunaan Kekuasaan; Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang
menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membecking sindikat perdagangan perempuan.
Pemalsuan identitas kerap kali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan
langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di
bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga
perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara
dengan aman.
Modus operandi rekrutmen terhadaop kelompok rentan biasanya dengan rayuan,
menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak,
mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau
memacari, menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja
untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah
besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk
dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsin agar dapat hidup lebih baik, namun
kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk dengan
memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Trafficking atau perdagangan orang dilakukan oleh pelakunya dengan berbagai cara
diantaranya: ancaman kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan dan penyalahgunaan
wewenang. Maka situasi trafficking yang disetujui oleh korban harus dikecualikan.
Implikasinya, tidak semua orang bisa dikualifikasikan sebagai korban trafficking, terutama
mereka yang tidak menjadi korban penipuan, paksaan, ancaman, atau kekurangan informasi
atas situasi pekerjaan yang hendak mereka jalani. Begitu pula, pekerja seks yang memang
secara sadar memilih prostitusi sebagai profesi tidak bisa dikualifikasikan kedalam kategori
trafficking. Begitu pula dengan proses dan tujuan dilakukan trafficking adalah perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan), penerimaan dengan tujuan salah
satunya adalah eksploitasi. Maka untuk dapat dikatakan sebagai trafficking pada dasarnya
sudah terjadi jika proses perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, penyekapan,
penerimaan yang dimaksudkan oleh trafficker untuk tujuan mengeksploitir orang yang akan
diperdagangkan. Disinilah letak perbedaan antara trafficking dengan smuggling
(penyelundupan). Dalam kasus smuggling, harus terkandung unsur ilegalitas transportasi dan
harus melewati tapal batas negara, sementara mereka yang menyelundupkan manusia pada
kenyataannya tidak mengambil keuntungan dari eksploitasi tenaga kerja setelah mereka
berhasil diselundupkan.
Sebenarnya perdagangan orang(trafficking) mempunyai unsur-unsur pokok yaitu
yang berkaitan dengan proses, cara dan tujuan dari traficking itu sendiri. Apabila salah dari
ketiga unsur tersebut terpenuhi, akibatnya terjadilah perdagangan orang. Namun lain halnya
dengan situasi trafficking yang disetujui oleh korbannya. Persetujuan dari korban tidak lagi
relevan bila salah satu cara yang digunakan dalam trafficking. Dalam hal korban perdagangan
adalah anak-anak, maka persetujuan menjadi tidak relevan baik dengan memakai atau tidak
memakai cara-cara dalam trafficking. Kerap kali unsur pemaksaan yang dilakukan oleh
pelaku perdagangan(traffickers) menjadi “dengan atau tanpa persetujuan “ dari korban.
Dalam konteks perdagangan perempuan “persetujuan” merupakan dasar untuk menentukan
trafficking, apabila tidak menjadi korban penipuan, paksaan, ancaman dengan persetujuan
dari korban maka tidak dapat dikatakan sebagai trafficking. Namun persetujuan tersebut
harus dibuktikan dengan sungguh-sungguh kebenarannya bahwa persetujuan tersebut secara
sadar muncul dari korban, begitu pula dengan sebaliknya apabila dengan unsur penipuan,
paksaan, ancaman dan kekurangan informasi atas situasi pekerjaan yang hendak mereka
jalani atau tanpa persetujuan korban maka merupakan trafficking.
Persetujuan dalam perdagangan anak tidak menjadi suatu hal yang penting karena
penipuan, paksaan, ancaman yang dilakukan oleh pelaku perdagangan (traffickers) baik
dengan atau tanpa persetujuan dari korban tetap dikatakan sebagai trafficking. Mengapa
demikian, karena telah tercantum dalam pasal 83 UU No.23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak(UUPA) yang menyatakan bahwa : ”Setiap orang yang
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit R.p. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”.
Jelas bahwa pasal tersebut merinci kejahatan terhadap perdagangan anak. Namun hanya
mampu mengakomodasi kejahatan terhadap anak saja, akan tetapi tidak dapat dikenakan
terhadap perempuan dewasa.
Begitu pula dalam hal eksploitasi, dalam perdagangan perempuan berbeda dengan
perdagangan anak. Berikut definisi eksploitasi menurut UU No. 21 Tahun 2007 tentang
PTPPO, “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,
atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil”.
Dengan kata lain eksploitasi dapat meliputi:
1. Eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual;
2. Kerja atau pelayanan paksa;
3. Perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan;
4. Penghambaan;
5. Pengambilan organ-organ tubuh.
Faktor eksploitasi terhadap anak-anak tidak hanya berada dalam situasi lingkungan
yang buruk, tetapi mereka pun dipandang tidak sesuai jika diukur dari hak-hak anak. Orang
tua masih memandang bahwa perempuan hanya berada di wilayah domestik. Anak
perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena pada akhirnya hanya kembali ke rumah, ke
dapur, sumur, dan kasur melayani suami. Akibatnya angka putus sekolah tinggi. Anak
perempuan kemudian menjadi TKW, pelacur, pelayan café, atau PRT. Berdasarkan uraian
tersebut terjadi eksploitasi terhadap anak oleh orang tua yang ditandai dengan:
1. Perempuan berada di wilayah domestik sehingga tidak perlu bersekolah tinggi.
2. Anak adalah aset keluarga.
3. Menjadikan anak sebagai pelacur tidak dipahami sebagai kejahatan: tidak ada contoh
kasus orang tua diadili karena melacurkan anaknya.
4. Kebiasaan melacurkan anaknya.
Apabila terjadi hal demikian pelaku dapat dikenakan sanksi sesuai yang tercantum dalam
pasal 6 UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO yang berbunyi : “Setiap orang yang
melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000, 00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000, 00
(enam ratus juta rupiah)”.
Pembahasan mengenai perdagangan orang (trafficking) di atas menjadi bukti bahwa
pemerintah telah berupaya keras untuk memerangi perdagangan orang yang berujung pada
eksploitasi orang. Dengan diterbitkannya UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang maka dapat menjerat para pelaku perdagangan orang
dengan hukuman yang setimpal. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah terhadap
penolakannya pada trafficking karena berkaitan dengan penegakan hukum dan menjujung
tinggi supremasi hukum di Indonesia.
PENUTUP

Kesimpulan
Perdagangan orang (trafficking) merupakan bentuk perbudakan moderen. Tiap tahun,
ribuan wanita dan anak-anak dikirim dari satu negara ke negara lain, seringkali dari Timur ke
Barat Eropa dan merupakan bagian dari kegiatan perdagangan manusia. Sementara tujuan
utamanya adalah eksploitasi seksual, hal ini juga menjadi sumber tenaga kerja ilegal.
Trafficking mewakili bentuk buruk kekerasan seksual yang tidak sesuai dengan prinsip
kesetaraan jender. Wanita dan anak-anak yang hidup dalam kesulitan karena kemiskinan
rentan terhadap kejahatan ini, yang seringkali dimotivasi oleh uang dan dalam banyak kasus
melibatkan kejahatan kriminal yang terorganisir. Trafficking manusia merupakan salah satu
bentuk serius kejahatan terorganisir dan melibatkan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam penanganan perdagangan perempuan dan anak ini, diharapkan keterlibatan
berbagai pihah di dalamnya mulai dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah,
kalangan akademisi, kelompok masyarakat, individu untuk dapat membantu korban
perdagangan perempuan dan anak maupun untuk membantu memberikan dukungan dan
tekanan terhadap pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak melindungi
korban dan menjerat pelaku perdagangan.
Upaya penanggulangan perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan dan
anak telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan khususnya peraturan
perundang-undangan. Kebijakan tersebut meliputi harmonisasi hukum internasional ke dalam
hukum nasional, penegakan hukum terhadap segala bentuk perdagangan perempuan dan
anak, kerja sama kemitraan lokal, nasional, regional dan multilateral, pengembangan
lingkungan yang kondusif dan peduli terhadap hak-hak anak serta pembentukan gugus tugas
penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Wujudnya adalah diberlakukannya UU No.
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun, seiring berjalannya peraturan perundang-undangan tersebut masih mengalami
berbagai hambatan. Hambatan tersebut yaitu antara lain budaya masyrakat. Dari aspek
budaya masyarakat hambatan yang dirasakan berasal dari stereotype masyarakat terhadap
perempuan khususnya. Dalam pandangan masyarakat Indonesia umumnya yang masih
patriakis, perempuan (atau lebih tepatnya seksualitas perempuan) lebih dilihat sebagai simbol
kehormatan masyarakat daripada seorang manusia. Sehingga ketika seksualitas perempuan
dari suatu masyarakat ternodai, masyarakat kemudian menganggap hal tersebut sebagai
perusak kehormatan mereka. Selain itu, karena masyarakat Indonesia juga misoginistik
(menganggap perempuan sebagai representasi dari sifat-sifat jahat), maka masyarakat
cenderung menyalahkan perempuan atas kejadian tersebut atau setidaknya menganggap pasti
terdapat unsur kesalahan dari perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual tersebut.
Dalam upaya penanganan kasus perdagangan perempuan, hambatan tersebut umumnya
terjadi pada kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak dimana didalamnya terdapat
unsur kejahatan seksual.
Hambatan kultur lainnya yang cukup besar yaitu anggapan bahwa jangan terlihat
dengan masalah orang lain, terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan
diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami, dan lain sebagainya.
Stereotipe yang ada di masyarakat tersebut masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat
dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami korban
perdagangan perempuan dan anak.

Saran
Yang dapat anda lakukan jika anda, saudara atau teman anda menjadi korban perdagangan
(trafficking) :
1. Kumpulkan bukti-bukti dengan mencatat tanggal, tempat kejadian serta ciri-ciri pelaku.
2. Pilih orang yang dapat dipercaya, keluarga untuk menceritakan permasalahan yang
terjadi. Minta tolong untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib.
3. Laporkan segera kepada aparat kepolisian terdekat.
4. Minta bantuan atau pendampingan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
5. Konsultasikan kepada lembaga-lembaga yang menangani masalah perempuan, organisasi
perempuan, organisasi masyarakat yang memahami pola perdagangan (trafficking).
DAFTAR PUSTAKA

Global Alliance Against Traffic in Women (1997), Handbook for Human Rights Action in
the Context of Traffic in Women, GAATW, Bangkok

Kobkul Rayanakorn (1995, Special Study on Laws Relating to Prostitution and Traffic in
Women, Foundation for Women, Bangkok

——— (1996), Perisai Perempuan: Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan


Perempuan, Asosiasi Perempuan untuk Keadilan, Bogor

www.syadiashare.com

www.eska.or.id

www.stoptrafficking.or.id

Anda mungkin juga menyukai