secara ekslusif dengan prostitusi. Ada empat perjanjian internasional menyangkut trafficking
yang dikembangkan pada awal abad duapuluh, yakni:
1. International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Persetujuan
Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur), tahun 1904.
Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan
tujuan pelanggaran kesusilaan. Konvensi awal ini membatasi diri pada penentangan
bentuk pemaksaan dalam perdagangan perempuan, tetapi sama sekali tidak
mempermasalahkan tiadanya bukti pemaksaan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam
perekrutannya. Kesepakatan tersebut dalam prakteknya tidak berjalan efektif karena
gerakan anti perdagangan manusia pada saat itu lebih didorong karena adanya ancaman
terhadap kemurnian populasi perempuan kulit putih. Pada sisi lain, kesepakatan tersebut
juga lebih banyak memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban
daripada menghukum pelaku kejahatannya.
2. International Convention for the Suppression of White Slave Traffic (Konvensi
Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur), tahun 1910.
Konvensi tersebut mewajibkan negara untuk menghukum siapa pun, yang membujuk
orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau
membujuk perempuan dewasa untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.
3. International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children
(Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak), dan
4. International Convention for the Suppression of Traffic in Women of Full Age (Konvensi
Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa).
Keempat konvensi tersebut kemudian dikonsilidasikan oleh PBB pada tahun berikutnya,
1949, Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the
Prostitution of Others (Konvensi Penghapusan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi atas
Pelacur).
3. Siapa sajakah yang dapat menjadi pelaku terjadinya perdagangan orang dan
bagaimanakah kaitannya dengan kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi atau
organisasi kejahatan?
4. Apakah modus yang digunakan hingga para korban dapat terseret pada trafficking?
Kesimpulan
Perdagangan orang (trafficking) merupakan bentuk perbudakan moderen. Tiap tahun,
ribuan wanita dan anak-anak dikirim dari satu negara ke negara lain, seringkali dari Timur ke
Barat Eropa dan merupakan bagian dari kegiatan perdagangan manusia. Sementara tujuan
utamanya adalah eksploitasi seksual, hal ini juga menjadi sumber tenaga kerja ilegal.
Trafficking mewakili bentuk buruk kekerasan seksual yang tidak sesuai dengan prinsip
kesetaraan jender. Wanita dan anak-anak yang hidup dalam kesulitan karena kemiskinan
rentan terhadap kejahatan ini, yang seringkali dimotivasi oleh uang dan dalam banyak kasus
melibatkan kejahatan kriminal yang terorganisir. Trafficking manusia merupakan salah satu
bentuk serius kejahatan terorganisir dan melibatkan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam penanganan perdagangan perempuan dan anak ini, diharapkan keterlibatan
berbagai pihah di dalamnya mulai dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah,
kalangan akademisi, kelompok masyarakat, individu untuk dapat membantu korban
perdagangan perempuan dan anak maupun untuk membantu memberikan dukungan dan
tekanan terhadap pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak melindungi
korban dan menjerat pelaku perdagangan.
Upaya penanggulangan perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan dan
anak telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan khususnya peraturan
perundang-undangan. Kebijakan tersebut meliputi harmonisasi hukum internasional ke dalam
hukum nasional, penegakan hukum terhadap segala bentuk perdagangan perempuan dan
anak, kerja sama kemitraan lokal, nasional, regional dan multilateral, pengembangan
lingkungan yang kondusif dan peduli terhadap hak-hak anak serta pembentukan gugus tugas
penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Wujudnya adalah diberlakukannya UU No.
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun, seiring berjalannya peraturan perundang-undangan tersebut masih mengalami
berbagai hambatan. Hambatan tersebut yaitu antara lain budaya masyrakat. Dari aspek
budaya masyarakat hambatan yang dirasakan berasal dari stereotype masyarakat terhadap
perempuan khususnya. Dalam pandangan masyarakat Indonesia umumnya yang masih
patriakis, perempuan (atau lebih tepatnya seksualitas perempuan) lebih dilihat sebagai simbol
kehormatan masyarakat daripada seorang manusia. Sehingga ketika seksualitas perempuan
dari suatu masyarakat ternodai, masyarakat kemudian menganggap hal tersebut sebagai
perusak kehormatan mereka. Selain itu, karena masyarakat Indonesia juga misoginistik
(menganggap perempuan sebagai representasi dari sifat-sifat jahat), maka masyarakat
cenderung menyalahkan perempuan atas kejadian tersebut atau setidaknya menganggap pasti
terdapat unsur kesalahan dari perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual tersebut.
Dalam upaya penanganan kasus perdagangan perempuan, hambatan tersebut umumnya
terjadi pada kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak dimana didalamnya terdapat
unsur kejahatan seksual.
Hambatan kultur lainnya yang cukup besar yaitu anggapan bahwa jangan terlihat
dengan masalah orang lain, terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan
diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami, dan lain sebagainya.
Stereotipe yang ada di masyarakat tersebut masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat
dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami korban
perdagangan perempuan dan anak.
Saran
Yang dapat anda lakukan jika anda, saudara atau teman anda menjadi korban perdagangan
(trafficking) :
1. Kumpulkan bukti-bukti dengan mencatat tanggal, tempat kejadian serta ciri-ciri pelaku.
2. Pilih orang yang dapat dipercaya, keluarga untuk menceritakan permasalahan yang
terjadi. Minta tolong untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib.
3. Laporkan segera kepada aparat kepolisian terdekat.
4. Minta bantuan atau pendampingan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
5. Konsultasikan kepada lembaga-lembaga yang menangani masalah perempuan, organisasi
perempuan, organisasi masyarakat yang memahami pola perdagangan (trafficking).
DAFTAR PUSTAKA
Global Alliance Against Traffic in Women (1997), Handbook for Human Rights Action in
the Context of Traffic in Women, GAATW, Bangkok
Kobkul Rayanakorn (1995, Special Study on Laws Relating to Prostitution and Traffic in
Women, Foundation for Women, Bangkok
www.syadiashare.com
www.eska.or.id
www.stoptrafficking.or.id