Anda di halaman 1dari 6

PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE

GOVERNANCE

Studi Kasus Pada PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Dewasa ini tuntutan terhadap terwujudnya

good corporate governance (GCG) disetiap perusahaan sudah semakin penting. Rendahnya

kualitas penerapan GCG akan berpengaruh pada kepercayaan investor untuk menanamkan modal

di Negara Indonesia. Dikatakan bahwa para pelaku ekonomi masih kurang pemahaman terhadap

good corporate governance maka, konsekuensinya dalam praktek bisnis terjadi bad governance.

Bad governance dari pihak manajemen menyebabkan kerugian yang sangat besar yang akibatnya

terjadi kebangkrutan pada perusahaan.

Hal lain yang menyebabkan perusahaan bangkrut adalah adanya kegagalan legal audit baik bagi

external legal auditor maupun internal legal auditor dalam mendeteksi terjadinya Fraud serta

kemampuan mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi dalam perusahaan. Hal ini disebabkan

kurangnya sikap independen dari auditor. Khusus bagi auditor internal tidak dapat

mempertahankan independensi karena ruang lingkupnya dibatasi oleh pihak manajemen.

Disamping itu auditor internal mempunyai sikap perilaku yang kurang profesional dan

kompetensinya yang belum memadai.

Kegagalan dalam pengelolaan perusahaan akan menghambat pada pertumbuhan perekonomian

bangsa. Untuk itu fokus pemerintah untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kegagalan dalam

pengelolaan perusahaan maka, melalui SK Menteri BUMN No: Kep-117/M-MBU/2002 tentang

penerapan GCG pada BUMN. Pada pasal 2 ayat 1 mengemukakan bahwa Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) adalah wajib menerapkan good corporate governance (GCG) secara konsisten

dan atau menjadikan GCG sebagai landasan operasional.


Good Corporate Governance (GCG) adalah tata kelola perusahaan yang memberikan jaminan

berlangsungnya sistem dan proses pengambilan keputusan organisasi perusaahaan berlandaskan

pada prinsip keadilan, transparan, bertanggung jawab, dan akuntabel.

Mengimplementasikan good corporate governance (GCG) pada perusahaan, peran auditor

internal adalah sangat penting karena auditor internal dapat membantu manajemen dengan

melakukan evaluasi sistem kontrol dan menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam kontrol

internal.

Disamping itu auditor internal dapat sebagai mitra manajemen yang dapat memberikan

sumbangan pemikiran tentang pengelolaan usaha termasuk dalam mendeteksi risiko serta

memberikan saran untuk mengatasi risiko perusahaan sehingga kinerja organisasi dapat

terwujud. Akan tetapi dalam praktek auditor internal masih kurang berperan dalam implementasi

GCG. Hal ini disebabkan karena secara struktural auditor internal berada dalam posisi sulit untuk

bersikap independen dan objektif.

Untuk mendapat gambaran tentang efektivitas peran auditor internal dalam implementasi good

corporate governance pada PT Semen Gresik (Persero) Tbk, maka, sangat penting untuk

mengevaluasi terhadap aktivitas auditor internal dalam rangka mewujudkan GCG. Melalui hasil

evaluasi ini dapat menjadi dasar bagi auditor internal untuk memperbaiki kinerja auditor internal.

Beberapa kasus yang terjadi dalam PT. Semen Gresik antara lain mengenai spin off yang

dilakukan oleh PT. Semen Padang. Peristiwa ini bermula dari proses akuisisi tahun 1995, oleh

pemerintah yang pada akhirnya justru merugikan PT Semen Padang secara ekonomis (dan juga

merugikan negara). Akuisisi PT SP ke PT SG bukan karena PT SP sakit atau tidak sehat, karena
yang sakit ketika itu justru PT SG, bahkan nilai pabrik SP jauh lebih tinggi dari SG dan Semen

Tonasa (ST).

Belakangan baru terungkap, di balik proses akuisisi itu ada yang tidak beres. Sisa dana Rp 581

miliar dari akuisisi (penggabungan) PT SP dan PT ST tidak jelas di mana dan ke siapa. Bahkan,

pengalihan saham negara pada PT SP oleh pemerintah kepada PT SG juga tidak ada dasar

hukumnya atau peraturan pemerintah yang mengatur, sehingga akuisisi tahun 1995 tidak sah.

Melihat ketidakjelasan banyak hal dalam akuisisi inilah yang mendorong masyarakat Sumbar

menuntut spin off SP dari SG.

Spin off adalah sebuah pelepasan atau pemisahan perusahaan dimana sebuah divisi dalam

perusahaan menjadi sebuah perusahaan baru yang mandiri dan saham dari perusahaan baru

tersebut didistribuskan kepada para pemegang saham perusahaan. Dari definisi tersebut, terdapat

dua kata-kata kunci. Pertama, sebuah divisi perusahaan dipisahkan dari induknya menjadi

perusahaan baru. Kedua, saham dari perusahaan baru hasil pemisahan tersebut tetap dimiliki oleh

pemegang saham sebelumnya.

Dalam konteks hubungan PT. SP dan PT. SG, PT. SP yang merupakan divisi usaha dari PT. SG

hendak dipisahkan dari PT. SG. Akan tetapi, spin off tidak ada artinya apabila Cemex Indonesia

masih sebagai pemegang saham di PT. SG. Dengan kata lain, spin off hanya akan bermakna

apabila Cemex Indonesia tidak lagi bercokol di PT. SG. Atas bermasalahan ini dari pihak Cemex

Indonesia lebih memilihi jalur hukum dalam penyelesaiannya karena dianggap terlalu berlaru-

larut.
Salah satu prinsip governance adalah rule of law. Lalu, bisakah menurut hukum spin off

dilakukan di PT. SG? PT. SG adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

tunduk kepada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Bab IV UU No. 19 Tahun 2003

mengatur tentang penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pembubaran BUMN. Secara

lebih teknis, hal yang sama dielaborasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2005.

Berangkat dari UU No. 19 Tahun 2003 dan PP No. 43 Tahun 2005, ternyata hukum kita tidak

mengenal istilah spin-off yang merupakan perbuatan terbalik dari akuisisi. PT. SP hari ini adalah

hasil dari perbuatan hukum akusisi yang dilakukan pemerintah tahun 1995 yang lalu. Lalu,

bagaimana akal agar, sentana Cemex Indonesia jadi melepaskan sahamnya di PT. SG, spin-off

PT. SP dari PT. SG bisa terwujud secara legal (tanpa melanggar hukum) dan sekaligus

menghormati prinsip good governance? Tidak dapat tidak, yang mesti dilakukan terlebih dahulu

adalah legislative review, yakni merubah UU No. 19 Tahun 2003 yang kemudian diikuti dengan

perubahan atas PP No. 43 Tahun 2005. Undang Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas juga harus di-reviewed, yaitu menyediakan mekanisme spin-off dalam sebuah

perusahaan. Memaksakan spin off PT. SP dari PT. SG tanpa landasan hukum hanyalah akan

semakin memperburuk wajah hukum Republik Indonesia.

Alasan yang disebutkan Cemex (audit keuangan PT SP 2002 belum selesai, manajemen baru

belum berhasil mengganti jajaran manajemen level menengah, ada kasus menyangkut

manajemen lama yang tergolong pidana) untuk membawa kasus SP ke arbitrase internasional

tidak masuk akal. Maksud Cemex jelas sengaja memperlambat laporan keuangan 2002 PT SP

dengan mengganti akuntan publik, guna memberi pembenaran ke arbitrase. Menurut informasi

internal PT SP, direksi PT SG selaku pemegang saham juga melakukan audit investigasi di PT
SP. Jelas ini juga atas permintaan Cemex untuk menambah argumentasi untuk membawa ke

arbitrase internasional.

Menurut pemerintah, Cemex mempunyai hak membawa ke arbitrase internasional berdasarkan

Conditional Sale and Purchase Agreement (CSPA). Padahal yang mempunyai hak membawa ke

arbitrase internasional sebenarnya adalah pemerintah RI.

Pemerintah pun harus berusaha menyelesaikan rekening dana investasi (RDI) antara

Kementerian BUMN dan Depkeu. Hal ini karena masih banyak aturan yang harus dibuat

bersama baik berupa KMK atau KepMeneg BUMN untuk menjadi landasan hukum penyelesaian

secara total.

Selain itu, dilakukan pula koordinasi dengan unit/instansi terkait sehubungan dengan kewajiban

RDI antara lain dengan Direktorat Penerusan dan Pengelolaan Pinjaman (DP3) dan 20 BUMN.

Kementerian BUMN juga melakukan assessment atas good corporate governance di tiap BUMN.

Akhirnya pada awal tahun 2007 pemerintah telah berhasil mengalihkan kepemilikan saham

Cemex Asia Holdings, Ltd di PT Semen Gresik. Tuntasnya pengalihan kepemilikan saham ini

disusul dengan dicabutnya gugatan Cemex Asia Holdings di Badan Arbitrase ICSID.

Dalam hubungannya dengan prinsip GCG, peran akuntan/ auditor secara signifikan di antaranya:

1.Prinsip kewajaran. Laporan keuangan yang wajar berarti tidak mengandung salah saji material,

disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia (dalam hal ini

Standar Akuntansi Keuangan).

2.Prinsip akuntabilitas, Merupakan tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang

efektif, dengan dibentuknya komite audit. Komite audit mempunyai tugas utama melindungi
kepentingan pemegang saham ataupun pihak lain yang berkepentingan dengan melakukan

tinjauan atas reliabilitas dan integritas informasi dalam laporan keuangan, laporan operasional

serta parameter yang digunakan untuk mengukur, melakukan klasifikasi dan penyajian dari

laporan tersebut.

3.Prinsip transparansi. Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang

disampaikan perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung pada kualitas penyajian

informasi yang disampaikan perusahaan.

4.Prinsip responsibilitas. Prinsip ini berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan sebagai

anggota masyarakat

Skandal keuangan yang terjadi tidak hanya menggambarkan kegagalan dari auditor eksternal

dalam menjalankan fungsinya sebagai pihak yang bekerja untuk kepentingan prinsipal. Namun

juga mengindikasikan tidak berfungsinya akuntan manajemen atau auditor internal yang bekerja

untuk kepentingan agen (manajemen).

Alasannya, salah satu fungsi utama auditor internal, yakni menjamin berjalannya prosedur

sebagaimana yang seharusnya (compliance) dan mencegah terjadinya transaksi keuangan dan

kecurangan lain. Harapan ke depan untuk auditor, agar tetap menjaga sikap independensi secara

konsisten dan meningkatkan profesionalisme.

Anda mungkin juga menyukai