Anda di halaman 1dari 16

KEABSAHAN JUAL BELI OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

MENURUT MADZHAB HANAFI DAN SYAFI’I

Abd.Aziz* dan Bahruddin*


FAI UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI TEBUIRENG, JOMBANG
Email: abd.azizmk55@gmail.com

Abstract: This article discusses the validity of buying and selling by


underage children according to Hanafi and Syafi'i. It is known that the
practice of it in Islam must meet the conditions that have been
determined, one of which is adult in thinking, with his own will, not
selfish, and adult in view (baligh). However, in practice there are many
traders who sell food or snacks to children who have not entered the age
of baligh (underage). Buying and selling by children who are underage in
Islamic law has been a difference of clerics' opinions, namely the Hanafi
considers that little children have not received a legal burden, whereas
the Syafi'i considers it illegitimate because underage children are
ineligible.

Keywords: Validity, Buying and Selling, Underage Children

Abstract: Artikel ini membahas keabsahan jual beli oleh anak dibawah
umur menurut Mahdzab Hanafi dan Syafi’i. Diketahui bahwa praktek
jual beli dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat yang sudah
ditentukan, salah satunya adalah penjual dan pembeli berakal, dengan
kehendak sendiri, tidak mubadzir, dan baligh. Namun, pada praktiknya
banyak dijumpai pedagang yang menjajakan makanan atau makanan
ringan kepada anak yang belum memasuki usia baligh (di bawah umur).
Jual beli oleh anak yang masih di bawah umur dalam hukum Islam telah
terjadi perbedaan pendapat ulama’, yakni Madzhab Hanafi yang
menganggap bahwa anak kecil belum mendapat beban hukum,
sedangkan Madzhab Syafi’i menganggapnya tidak sah karena anak yang
masih di bawah umur tidak memiliki kelayakan.
Keywords : Keabsahan, Jual Beli, Anak di Bawah Umur

*Dosen Tetap FAI Universias Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang


Keabsahan Jual Beli

PENDAHULUAN
Hukum Islam terutama dalam bidang muamalah semakin mempunyai arti
penting dalam perkembangan dunia perekonomian yang begitu pesat dengan
lahirnya ide-ide baru. Seperti jual beli dalam pasar, online, mesin koin, dan lain
sebagainya. Sejauh ini tidak hanya orang dewasa yang melakukan transaksi jual
beli tersebut, melainkan anak-anak yang masih di bawah umur juga melakukan
hal-hal tersebut.

Jual beli mempunyai syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat
dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat
perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Rukun jual beli
menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab dan qobul. Menurut mereka
yang menjadi rukun jual beli itu hanyalah kerelaan (rida/tara’dhi) kedua belah
pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu
merupakan unsur hati yang sulit untuk dihindra sehingga tidak terlihat, maka
diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak yang
melakukan transaksi jual beli, menurut mereka, boleh tergambar dalam ijab dan
qobul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang (ta’athi).
Sedangkan para imam madzhab berbeda pendapat mengenai jual beli yang
dilakukan oleh anak kecil.
Dikarenakan banyaknya perbedaan pendapat, namun Hanafi dan Syafi’i
memiliki perbedaan yang paling menonjol. Oleh sebab itu diperlukan ulasan
yang lebih luas.
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK DI BAWAH UMUR

Pengertian Anak di Bawah Umur


Anak di bawah umur adalah manusia yang masih kecil, yaitu yang baru
berumur enam tahun atau sebelum anak-anak tersebut belum dianggap dewasa
apabila padanya belum ada salah satu sifat sudah kluarnya air mani bagi laki-
laki, telah haid bagi anak perempuan dan belum berumur 15 tahun. Karna anak
yang masih dibawah umur masih berada di bawah tanggung jawab orangtuanya
atau belum mendapat beban hukum.1

Ketentuan Hukum Anak yang masih di Bawah Umur.


Anak adalah manusia yang belum mencapai akil baligh (dewasa), laki-laki
disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan ditandai
dengan masturbasi, jika tanda-tanda tersebut sudah nampak berapapun usianya
maka ia tidak bisa lagi dikatagorikan sebagai anak-anak yang bebas dari
pembebanan kewajiban2. Hukum yang berkaitan dengan anak pada usia tamyiz
berkaitan dengan dua hal, yaitu yang berkaitan dengan hak Allah dan hak anak
adam. Adapun yang berkaitan dengan hak Allah adalah anak kecil mumayyiz
1
Al-Sarkhasy, Al-Mabsud (Bandung: Hasyimi, 2004)
2
Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung:Mandar Maju,2002) hal 127

2 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019


Abd. Aziz dan Bahruddin

tidak dibebani hukum atas kewajiban-kewajiban agama dan hak anak adam
adalah anak usia tamyiz dalam melaksanakan hak-haknya dibagi menjadi tiga
macam. Ketiga macam hak-hak adami ada yang hanya mempunyai manfaat
belaka (dan tidak mengandung madharat), adapula yang mengandung madharat
saja (tetapi tidak mengandung manfaat), dan adapula yang mengandung dua
kemungkinan, yakni mengandung manfaat dan mudharat.3

Dalam dunia hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu
sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban yang disebut subyek hukum.
Dewasa ini subyek hukum itu terdiri dari manusia (Natuurlijke persoon) dan
badan hukum (rechtspersoon). Sekarang boleh dikatakan tiap manusia baik
warganegara atau ataupun warga asing dengan tak memandang agama atau
kebudayaanya adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum, sebagai pembawa
hak, manusia memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan
suatu tindakan hukum; ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah,
membuat wasiat dan sebagainya.

Berlakunya manusia itu sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan
dan berakhir pada saat ia meninggal dunia; malah seorang anak yang masih
dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak(dianggap telah
lahir) jika kepentinganya memerlukanya (untuk menjadi ahli waris).4

PENDAPAT IMAM HANAFI DAN IMAM SYAFI’I TENTANG JUAL


BELI OLEH ANAK DI BAWAH UMUR
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan akad jual
beli itu harus memenuhi syarat. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak
kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak
kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiyyah, apabila akad yang
dilakukanya membawa keuntungan bagi dirinya, seperti menerima hibah, wasiat,
dan sedekah, maka akadnya sah. Sebaliknya, apabila akad itu membawa
kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain,
mewakafkan, atau menghibahkanya, maka tindakan hukumnya ini tidak boleh
dilaksanakan.5 Apabila transaksi yang dilakukan anak kecil yang telah
mumayyiz mengandung manfaat dan mudharat sekaligus, seperti jual beli, sewa
menyewa, dan perserikatan dagang, maka transaksi ini hukumnya sah, jika
walinya mengizinkan. Dalam kaitan ini, wali anak kecil yang telah mumyyiz itu
benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan anak kecil itu. Anak yang sudah

3
Djamali, Hukum Islam,… hal 24
4
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,( Jakarta: PN Balai Pustaka, 1995)
hal 117-118
5
Wahbah Al-Zuhaili Fiqih Islam Wa Adillatuhu... hal 39-40

Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019 3


Keabsahan Jual Beli

mumayyiz itu sekitar tujuh tahun penuh sehingga transaksi yang dilakukan oleh
orang gila dan anak yang belum mumayyiz beliau anggap tidak sah, karena
transaksi ada keterkaitan antara dua keinginan dari dua belah pihak. Kata-kata
dan sejenisnya seperti tulisan dan isyarat bisa menjadi bukti atas keinginan dari
kedua pihak. Karena itu, bukti ini harus keluar dari orang yang mumayyiz.6
Adapun hukum jual beli dari anak yang dilakukan oleh anak-anak yang
sudah mumayyiz menurut Hanafi dianggap sah apabila, pertama, diizinkan oleh
walinya sedangkan jika tidak di izinkan maka transaksinya ditangguhkan sampai
dibolehkan oleh walinya. Dalilnya adalah bahwa kunci transaksi anak-anak
adalah izin wali, bukan anak-anak itu sendiri, karena itulah jual beli yang
dilakukanya sah karena anak-anak dalam kondisi ini seperti seorang juru lelang
sementara orang yang melakukan transaksi bukan beliau, kedua, memberi uang
kepada anak-anak setelah dewasa tergantung pada pengujianya dalam masalah
jual beli apakah bisa ditipu ataukah tidak. Karena pertimbangan inilah, sudah
seharusnya tindakan dan jual belinya dianggap sah, tetapi tetap dengan izin
walinya agar tercapai kemaslahatan dan tejaga hartanya.

Metode Istinbath Hukum Imam Hanafi


Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbath) berdasarkan
pada tujuh hal pokok.7
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah pondasi atau sumber hukum syariat Islam. Bagi Abu
Hanifah, ia merupakan sumber pertama dan utama permasalahan fiqih. Al-
Qur’an bersifat qath’ih al-stubut (tak terbantahkan) dan taka da yang bias
mencapai derajat semacam itu kecuali Hadits mutawatir.
2. Sunnah
Sunnah adalah fondasi kedua yang digunakan Abu Hanifah menggali hukum.
Tingkatanya setelah Al-Qur’an. Ia menjadi penjelas dan perinci dari ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih umum. Abu Hanifah menerima kehujjahan Hadits
mutawatir, Hadits mashur,Hadits ahad, dan Hadits mursal bila berasal dari
sanat yang bersetatus stiqqah.
3. Fatwa Sahabat
Abu Hanifah merujuk pada fatwa sahabat, tidak pernah beralih dari satu
sahabat kefatwa sahabat lain, dan memilih fatwa siapapun dari mereka. Abu
Hanifah tidak merujuk pada fatwa tabi’in tetapi berijtihad sendiri
sebagaimana mereka berijtihad.
4. Ijma’
Dalam fiqih Abu Hanifah, ijma berada setelah Al-Qur’an dan Hadits. Itu demi
menjaga keutuhan jamaah dan kesatuan pendapat mereka, serta mencegah
penggunaan yang buruk. Belia mendudukan ijma sebagai hujjah yang bias

6
Nasrun Harun,Fiqih Muamalah…97-98
7
Tariq Suaidan, Silsilah Al-Imam Abu Hanifah, Ahli Bahasa ole M. Taufiq Damas dan M. Zainal
Arifin, cet I(Jakarta: Zaman, 2003), hal 241

4 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019


Abd. Aziz dan Bahruddin

diterima dan beliaumalkan.Sebab ijma adalah kesepakatan semua mujtahid


pada satu hukum suatu perkara.
5. Qiyas
Qiyas adalah menjelaskan hukum sesuatu yang tak disebabkan di Al-Qur’an
dan Hadits dengan sesuatu yang hukumnya disebut didalam Al-Qur’an,
Sunnah, atau ijma’ karna adanya kesamaan ‘illah. Abu Hanifah seorang Imam
ahli qiyas. Beliau menggali ‘illah dari metode yang membuatnya banyak
melakukan pendekatan qiyas.
6. Istihsan
Abu Hanifah banyak menggunakan pendekatan istihsan, yaitu dalil yang
menjadi lawan qiyas. Bila qiyas tidak bias dilakukan (buruk). Abu Hanifah
akan berihtisan dan mengamati muamalah manusia. Para ulama berbeda
pendapat mengenai legitimasi istihsan. Sebagian mendukung dan sebagian
menentang.
7. ‘Urf
Abu Hanifah dan Madzhabnya menjadikan urf sebagai dalil saat nash tidak
ditemukan, lalu mengkhususkan teks-teks atsar yang bermakna umum bila
teks-teks tersebut berbeda dengan urf umum, lalu mencocokan qiyas ihani
dan dengan urf. Bila tidak dicapai kecocokan, sementara urf mengharuskan
pertentangan dengan qiyas maka yang beliaumbil sebagai dalil adalah urf. Urf
khusus bias beliaumbil sebagai dalil bila tidak ada dalil lain selainya.8

Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i


Imam Syafi’i berpendapat bahwa transaksi jual beli dari anak yang masi di
bawah umur dianggap tidak sah. Karna tidak memiliki kelayakan. Adapun syarat
transaksi itu, baik sebagai penjual atau sebagai pembeli, hendaknya orang yang
sudah dewasa, yaitu bisa disifati baligh dan dapat memelihara agama dan
hartanya.
Orang yang melakukan jual beli itu harus telah baligh dan berakal. Apabila
orang yang berakal itu masih mumayyiz, maka jual belinya tidak sah, sekalipun
mendapat izin dari orangtua atau walinya. Anak kecil yang sudah tamyiz itu
belum mukallaf, sehingga statusnya sama dengan anak kecil yang belum tamyiz.
Kita juga tidak mengetahui secara pasti masa seorang anak itu memiliki akal
yang menyebabkan beliau layak untuk melakukan transaksi jual beli, karena
kondisi akal adalah sesuatu yang tidak jelas dan tahapan pertambahan akal itu
juga tidak jelas. Oleh karena itu, tolak ukur yang dipakai oleh syariat adalah usia
baligh.
Dengan demikian, baligh segala ketentuan yang berlaku untuk orang yang
berakal itu tidak berlaku sampai seorang anak berusia lima belas tahun. 9 Alasan

8
Suaidan, Silsilah …hal 244
9
Imam Syafi’i. Al-Umm(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) hal 197-199

Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019 5


Keabsahan Jual Beli

yang menilai sahnya transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang
sudah tamyiz adalah firman Allah,
‫اح فَإ ِ ْن َءانَ ْستُ ْم ِم ْنهُ ْم ُر ْشدًا فَا ْدفَعُوا إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَهُ ْم‬
َ ‫َوا ْبتَلُوا ْاليَتَا َمى َحتَّى إِ َذا بَلَ ُغوا النِّ َك‬
Artinya: ‘Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemubeliaun, jika menurut pendapatmu, mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka.‘ (Qs. An-
Nisa`:6).10

Makna ayat di atas adalah: ujilah anak-anak tersebut supaya kalian


mengetahui kelayakan mereka dalam membelanjakan harta. Proses ujian hanya
bisa dilakukan dengan memberikan–kepada mereka–wewenang untuk
melakukan transaksi jual beli, supaya diketahui apakah anak tersebut bisa
membeli barang dengan harga standard ataukah tidak.11
Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i mencatat sumber-sumber yang menjadi
rujukan fiqihnya. Yang menempatkan lima sumber, yaitu: kitab, sunnah, ijma’,
ucapan sahabat yang telah disepakati, perbedaan pendapat mereka, dan qiyas.
1. Al-Qur’an dan Hadits
Tingkatan pertama dalam istinbath menurut Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an
dan sunnah. Selamjutnya adalah sesuatu yang tersirat dalam kitab dan sunnah
dan tidak akan bertentangan denganya. Ilmu selalu beliaumbil dari sumber
yang paling tinggi. Al-Qur’an dan sunnah adalah yang paling tinggi. Al-
Qur’an mencakup penjelasan tentang hal-hal yang bersifat umum (kulliat)
dan hal yang bersifat parsial (juz’iyyat) sunnah menyempurnakan keterangan
Al-Qur’an, merincikan hal yang bersifat umum, dan menjelaskan hal yang
sulit dipahami. Ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Al-Qur’an
tetap sebagai dasar agama ini, sementara sunnah adalah cabang yang juga
turut menjadi dasarnya. Sunnah seakan berada setara dengan Al-Qur’an. Hal
itu lain hanya dimata seorang penyimpul hukum.
2. Fatwa Sahabat
Sumber ketiga Imam Syafi’i dalam menulis fiqihnya adalah qaul sahabat,
baik dalam fiqih baru maupun dalam fiqih lamanya, tidak seperti anggapan
sebagian orang. Imam Syafi’i membagi qaul sahabat kedalam ketiga bagian:
pertama, pendapat yang disepakati para sahabat dan taka da yang
menentangnya. Kedua, seorang sahabat memiliki satu pendapat dan tak ada
yang menentang atau menyetujui. Imam Syafi’i menjadikan bagian kedua ini
sebagai salah satu sumber fiqihnya. Ketiga, pendapat yang diperdebatkan para
sahabat. Disini Imam Syafi’i akan menyeleksi pendapat-pendapat tersebut
dan tidak berpendapat sesuatu yang bertentangan dengan mereka.
3. Ijma’
Ijma adalah kesepakatan para ulama disatu masa terhadap satu hukum yang
bersifat praktis berdasarkan dalil yang menjadi sandaran mereka. Bagi Imam
10
Al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Depak RI, cv. Atlas, 1998)
11
Muhammad bin Abdurahman,Fiqih empat madzhab (Bandung: Hasyimi. 2004), hal 521

6 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019


Abd. Aziz dan Bahruddin

Syafi’i, ijma adalah hujjah, ijma pertama yang beliaunggap beliau adalah
ijma para sahabat. Kedudukan ijma, sebagai sumber hukum berada setelah
kitab dan sunnah. Ijma dalam satu hukum yangbertentangan dengan kitab dan
sunnah tidak beliaunggap.
4. Qiyas
Dalam qiyas imam Syafi’i adalah sosok mujtahid yang berusaha
menghasilkan satu pendapat yang bias dijadikan sandaran. Karena itu beliau
menegaskan bahwa qiyas adalah ijtihad. Qiyas dalam pandangan Imam
Syafi’i sesuai dengan definisi ulama ushul fiqih, yaitu menyamakan atau
kasus-kasus yang hukumnya tidak tertulis dalam nass dengan kasus lain yang
hukumnya telah tertulis dalam nass dengan melihat kesamaan illah hukum
kedua kasus tersebut.12
Imam Syafi’i berkata, “siapa yang melakukan istikhsan berarti ia telah
membuat hukum sendiri”. Menurut Imam Malik, istikhsan adalah
mempertimbangkan maslahat yang sesuai dengan hukum syara’ saat taka da
nass yang menegaskanya, sementara Imam Syafi’i menafikan istikhsan secara
mutlak. Beliau melandaskan pendapatnya dengan beberapa alasan yang
dicatat dalam kitab-kitab beliau. Akan tetapi argumentasi Imam Syafi’i
dibantah oleh mereka yang menerapkan istikhsan. Dalam melakukan
istikhsan, mereka mensyaratkan: maslahah yang dijadikan sandaran harus
beliaukui oleh syariat. Dan tentunya hal ini tidak bisadilakukan kecuali oleh
orang-orang yang mengetahui syariat dari sumber-sumbernya.

KEABSAHAN JUAL BELI OLEH ANAK DIBAWAH UMUR MENURUT


MADZHAB HANAFI DAN SYAFI’I

Telah dijelaskan bahwa Imam Hanafi tergolong dalam ahli fiqih.


Meskipun beliau terkenal siqqah (terpercaya) dalam meriwayatkan hadits,
namun beliau lebih terkenal sebagai ahli fiqh. Hal ini karena dalam pemikiranya,
buliau lebih cenderung menekuni bidang fiqh dari pada sebagai muhadits.
Beberapa karya yang dihasilkan oleh murid-muridnya juga banyak yang
bercorak fiqh dari pada hadits.13
Beliau menjawab setiap permasalahan dengan cara menyingkronkan
beberapa pendapat dan mencari satu pendapat yang dianggapnya benar. Adapun
beliau menggunakan ijtiha dan pikiran untuk membuat perbandingan antara
pendapat-pendapat dan memilih salah satu yang diyakininya. Adapun menurut
Hanafi Syarat in’iqod adalah syarat yang harus terpenuhi agar akad jual beli
dipandang syah menurut sara’. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka akad jual

12
Ibid... hal 521
13
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Imam Madzhab.(Jakarta: Amzah,2013)

Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019 7


Keabsahan Jual Beli

beli menjadi batal. Dikalangan ulama tidak ada kesepakatan mengenai syarat
in’iqot ini.
Hanafiyah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual
beli, syarat berkaitan dengan aqid(orang yang melakukan akad), syarat berkaitan
dengan akad itu sendiri, syarat berkaitan dengan tempat akad, dan syarat
berkaitan dengan objek akad(ma’qud ‘alaih)
Adapun syarat untuk aqid (orang yang melakukan akad), yaitu penjual
dan pembeli ada dua:
1. Aqid harus berakal yakni mumayyiz. Maka tidak sah akad yang dilakukan
oleh orang gila, dan anak yang belum berakal(belum mumayyiz). Hanafiyyah
tidak mensyaratkan aqid harus baligh. Dengan demikian, akad yang
dilakukan oleh anak yang mumayyiz (mulai umur tujuh tahun) hukumnya sah.
Berkaitan dengan tasarruf anak mumayyiz ini, Hanafiyyah membaginya tiga
bagian:
a. Tasarruf yang permanfaat 100%, misalnya menerima wasiat, hibah, dan
sedekah. Tasarruf macam yang pertama ini hukumnya sah tanpa menunggu
izin dan persetujuan wali.
b. Tasarruf yang merugikan 100%, misalnya talak, memberikan hibah, dan
wasiat. Tasarruf macam yang inihukumnya tidak sah, dan tidak bisa
dilangsungkan, meskipun di izinkan dan disetujui oleh wali, karena ia
tidak memiliki kewenangan untuk menyetujuai tasarruf yang merugikan.
c. Tasarruf yang mengandung kemungkinan untung dan rugi, seperti jual beli,
sewa-menyewa, dan lain-lain. Tasarruf macam yang ketiga ini hukumnya
sah, tetapi pelaksanaanya mauquf (ditangguhkan) menunggu persetujuan
wali. Apabila wali mengizinkan maka akad bisa dilaksanakan, dan apabila
wali tidak menyetujui maka akad menjadi batal.14
Ulama Malikiyah yang mendukung Hanafiyah mensyaratkan aqid
harus berakal, yakni sudah mumayyiz,anak yang agak besar yang
pembicaraanya dan jawaban yang dilontarkan dapat dipahami, serta
berumur minimal 7 tahun.oleh karna itu, dipandang tidak sah suatu akad
yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan
lain-lain.15 Karna orang-orang yang disebutkan berada dibawah
pengampuan. Seperti halnya hari ini banyak kita temui seorang anak kecil
yang disuruh orang tuanya untuk membeli suatu barang di warung atau
anak tersebut membeli jajan dimana uang jajanya diberi oleh orang tuanya,
secara tidak langsung wali dari anak tersebut memberikan izin dalam
melakukan transaksi. Dan menurut Hanafi sah menurut syara’.
Adapun Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya dengan dasar pada
Al-Qur’an, Hadits, Al-Ijma’, Al-Qiyas dan Istihksan. Karena itu sangat
luas bidang beliau untuk berjihad dan membuat kesimpulan bagi hukum-
hukum menurut kehendak atau kebutuhan masyarakat pada masa itu, tetapi
14
Al-Zuhailiy,Fiqih Islam..., hal 354-355
15
Ibid...hal 53

8 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019


Abd. Aziz dan Bahruddin

dengan dasar-dasar dan tidak menyimpang dari hal-hal pokok dan


peradaban atau peraturan undang-undang Islam.
Adapun Imam Syafi’i adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan
pembaharu dalam agama. Dalam menggunakan hadits Imam Syafi’i
dijuluki kalangan ahlu al-hadits sebagai nashir as-Sunnah (pembela as-
Sunnah).ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosoknya
dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya
tulisnya menjadi saksi untuk itu.16
Dimasa hidupnya, timbul bermacam-macam aliran keagamaan
yang mayoritas selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi
tiga kelompok: pertama, mengingkari as-Sunnah, secara keseluruhan.
Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali semakna dengan Al-Qur’an.
Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima
selain itu alias menolak hadits ahad.
Beliau menyikapi ketiga kelompok dengan tegas. Terhadap
kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut
amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, tidak bias dipahami
bila hanya berpijak kepada makna global dari Al-Qur’an kecuali dari
makna secara etimologhisnya sama saja. Dengan demikian pula terhadap
kelompok kedua bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok
pertama.17
Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat
mereka dengan argumentasi yang valid (tepat). Dalam mengajak kepada
Islam, Rasulullah mengirim para utusan untuk menyebarkan agama
melalui hadits dan sebagainya.
Imam Syafi’i sangat terkenal dengan kepintaran beliau dalam
menghafal Al-Qur’an dengan mudah, yaitu ketika beliau masih sangat
kecil dan beliau menghapal juga menulis hadits-hadits. Beliau sangat tekun
mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu-nahwu bahasa arab. Ilmu fiqih
yang dibawa oleh Imam Syafi’i merupakan suatu zaman perkembangan
fiqih dalam sejarah pandangan Islam. Oleh karna itu ia mengumpulkan dan
menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan pikir dengan ilmu fiqih ahli-ahli
akal dan hadits. Ilmu Imam Syafi’i merupakan ikatan sunnah dengan kias
dan pemikiran dengan beberapa pertimbangan, sebagaimana juga adalah
ilmu fiqih yang menetapkan cara-cara atau peraturan untuk memahami Al-
Qur’an dan Hadits, juga beliau menetapkan kaidah-kaidah pengeluaran
hukum dan kesimpulanya, ushul fiqih inilah beliau dianggap sebagai
penulis ilmu. Beliau mempelajari ilmu fiqih di Madinah dan Fiqih orang-
orang Irak, beliau membuat perbandingan diantara keduanya sehingga
16
Abu Shofyan, “Imam Asy-Syafi’i pembelanya terhadap As Sunnah ”, dalam www.
Alsofwah.or.id., artikel ini dipublikasikan juga dalam Buletin An-Nur tanggal 26 Maret 2004.
17
Al-Zuhailiy,Fiqih Islam… hal 27

Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019 9


Keabsahan Jual Beli

telah jelas beliau berpendapat bahwa “jual beli oleh anak yang masih di
bawah umur” termasuk dalam syarat jual beli dalam terjadinya akad
(in’iqod). Menurut syafi’i aqid harus memiliki sifat ar-rusyd (cerdas),
yakni yang sudah baligh atau berakal. Adapun masa baligh adalah
seseorang yang genap berusia 15 tahu.18

Adapun yang berkaitan dengan aqid. Tamyiz merupaka syarat yang


disepakati, sedangkan baligh merupakan syarat yang diperselishkan oleh
para ulama. Menurut malikiyyah dan hanafiyyah baligh adalah syarat
nafadz(kelangsungan jual beli), sedangkan menurut Syafi’iyyah dan
Hanabilah baligh merupakan syarat iqod(keabsahan jual beli).19
Dengan demikian, baligh segala ketentuan yang berlaku untuk orang
yang berakal itu tidak berlaku sampai seorang anak berusia lima belas
tahun.
‫اح فَإ ِ ْن َءانَ ْستُ ْم ِم ْنهُ ْم ُر ْشدًا فَا ْدفَعُوا إِلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَهُ ْم‬
َ ‫َوا ْبتَلُوا ْاليَتَا َمى َحتَّى إِ َذا بَلَ ُغوا النِّ َك‬
artinya, ‘Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu, mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), serahkanlah kepada mereka harta-harta
mereka.‘ (Qs. An-Nisa`:6).20
Makna ayat di atas adalah: ujilah anak-anak tersebut supaya kalian
mengetahui kelayakan mereka dalam membelanjakan harta. Proses ujian
hanya bisa dilakukan dengan memberikan kepada mereka wewenang untuk
melakukan transaksi jual beli, supaya diketahui apakah anak tersebut bisa
membeli barang dengan harga standart ataukah tidak.21 Dan ada pula hadits
yang mengatakan:
َ ‫ َوع َِن ْال َمجْ نُوْ ِن َحتَّى يَفِ ْي‬,‫ َوع َْن النَّائِ ِم َحتَّى يَ ْستَ ْيقِ ِظ‬,ُ‫صبِ ِّى يَ ْبلُع‬
‫ق‬ َّ ‫ث َحتَّى ع َِن ال‬ ٍ َ‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم ع َْن ثَال‬
Dihilangkan catatan amal dari tiga orang: anak kecil hingga dia baligh,
orang ang tidur hinggadia bangun, dan orang gila hingga dia sadar.
(HR.Aisyah).22
Oleh karenanya transaksi yang dilakukan oleh anak kecil tidak sah
hukumnya, baik ia telah mencapai batas mumayyiz atau belum. Adapun
ulama Syafi’i dan Hanabilah mensyaratkan aqid harus baligh (terkena
perintah syara’) berakal, telah mampu memelihara agama dan hartanya.
Dengan demikian ulama Hanabilah membolehkan seorang anak kecil
membeli barang yang sederhana dan tasharruf atas seizin walinya.23
18
Imam Syafi’i. Al-Umm……,hal 198
19
Ahmad Wardi Muslich. Fiqih maamalat.(Jakarta: AMZAH. 2010). Hal 186-200
20
Al-Qur’an dan Terjemah (Jakarta: Depak RI, cv. Atlas, 1998)
21
Al-Qur’an dan Terjemah ...hal 13
22
Afandi. Fiqih Muamalah…..,hal 111.
23
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia.2004). hal 54

10 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019


Abd. Aziz dan Bahruddin

Dan adapun Larangan mengelola harta ada enam orang yang tidak
boleh mengelola harta, yaitu:
a. Anak kecil
b. Orang gila
c. Orang bodoh (idiot) yang senang membuang-buang harta
d. Orang bangkrut yang terlilit hutang
e. Orang sakit yang dikhawatirkan mati, jika lebih dari sepertiga harta
warisan
f. Hamba sahaya yang tidak diizinkan tuanya untuk berdagang.
Pengelolaan harta oleh anak kecil, orang gila dan orang idiot tidak
sah. Pengelolaan harta oleh orang bangkrut yang terlilit hutang sah jika
berada dalam perjanjianya dan bukan untuk perkara yang sedang
dihadapinya. Pengelolaan harta oleh orang sakit jika melebihi sepertiganya
harus dihentikan berdasarkan rekomendasi ahli waris speninggalanya.
Pengelolaan harta hamba sahaya berada dalam perjanjianya dan mengikuti
dirinya apabila telah merdeka.
Orang-orang yang belum sempurna akalnya adalah orang-orang yang
belum mampu menggunakan hartanya dan menempatkanya bukan pada
tempatnya. (harta yang disebutkan dalam bentuk jamak karna harta itu milik
Allah, sedangkan didalamnya ada hak umat walaupun ia milik pribadi.
maksudnya sebagai tonggak kehidupan kalian dan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kalian dengan harta ini. Allah berfirman dalam Qs. Al-
Baqarah ayat (2) 282 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan adil……”.24

Tidak dapat mengimlakkan atau mewakilkan adalah karna kekeluan (tidak jelas
dalam berbicara) dan selainya. Maksud imlak disini adalah membacakan akad
hutang kepada penulis untuk ditulis. Ayat di atas menjadi dalil: Allah
memberitahukan bahwa orang-orang yang disebutkan tadi diwakili oleh wali-
wali mereka dalam mengelola harta. Inilah makna larangan mengelola harta.
Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa’ (4) ayat 6,

24
Al-Qur’an …..1998

Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019 11


Keabsahan Jual Beli

٦ ....ۖۡ‫ولَهُم‬
ٰ َ ۡ‫ن َءانَسۡتُم ِّمنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱۡدفَعُوٓ ْا إِلَيۡ ِهمۡ أَم‬
ۡ ِ‫وا ٱلنِّ َكا َح فَإ‬ ْ ‫وا ٱۡليَتَٰ َمىٰ َحتَّىٰ ٓ إِ َذا بَلَ ُغ‬
ْ ُ‫َوٱۡبتَل‬
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”25(QS.4:6)
Anak yatim adalah orang-orang yang tidak memiliki bapak. Maksud
cerdas dalam ayat di atas lurus akalnya, benar tindakanya dan baik agamanya.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang belum diketahui kecerdasanya tidak
diberikan hartanya dan dilarang mengelola harta. 26 Adapun pendapat yang paling
mendekati kebenaran, Wallahu a’lam, adalah yang menyatakan bahwa tasharruf
anak kecil yang mumayyiz tidak sah, karena pembuat syariat menggantungkan
sah dan tidaknya takif (pembebanan untuk melakukan hukum-hukum syariat)
pada unsur baligh yang ditujukan oleh adanya akal dan kesempurnaanya. Allah
SWT berfirman,” Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin.kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”(Qs. An-
Nisa’[4]:6)
‫صبِ ِي َحتَّى يَحْ تَلِ َم‬
َّ ‫ ع َِن ال‬:‫ث‬ ٍ ‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم ع َْن ثَال‬
“Hukum tidak berlaku dari tiga orang: anak kecil sampai ia bermimpi
baligh.”27
Akan tetapi, apabila ia mempunyai wali dan diberi izin untuk
membelanjakan, maka yang dipertimbangkan (mu’tabar) adalah izin yang
berasal dari wali ini, bukan hanya tasharruf orang yang telah mukallaf. Sebab
Allah memerintahkan wali untuk mengimlakkanya (menuntunnya) dan tasharruf
si anak diberikan kepada walinya.

ANALISIS METODE ISTINBATH YANG DIPERGUNAKAN MADZHAB


HANAFI DAN SYAFI’I
Imam Hanafi dan Imam Syafi’i merupakan ulama-ulama yang patut diikuti
dan menjadi ikutan orang-orang yang telah menjadi pengikutnya terutama di
masaitu. Beliau mengambil ijtihad dengan cara berbeda-beda sehingga
menghasilkan ketetapan hukum yang berbeda pula. Hal itu antara lain
dipengaruhi oleh kondisi geografis.

Imam Hanafi dalam melakukan ijtihad dengan mengambil Al-Qur'an serta


al-Hadits sebagai pedoman utama dan apabila masih belum dijumpai beliau
berpedoman kepada pendapat-pendapat para sahabat, dan beliau tinggalkan
pendapat yang tidak beliau sukai, tetapi tetap berpegang terhadap satu pendapat
saja. Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya dengan dasar pada Al-Qur’an,
25
Al-Qur’an ……1998
26
Musthafa Dib Al-Bugha. Fikih Islam lengkap penjelasan hukum-hukum Islam Madzhab
Syafi’i.(Solo: Media Dzikir) Cet I. 2010. Hal 272-274
27
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Shahih Fiqih Sunnah.(Jakarta: Pustaka Azzam)2007.
Hal 440

12 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019


Abd. Aziz dan Bahruddin

Hadits, Al-Ijma, Al-Qiyas dan Istihksan. Beliau menjadi penjelas dan perici dari
ayat-ayat Al-Qur;an yang masih umum dan menerima kehujjahan hadits
mutawatir, hadits Mursal, hadits mashur, hadits ahad, hadits-hadits yang berasal
dari sanat yang berstatus Stiqoh. Abu Hanifah adalah pimpinan para ahli pikir
dan beliau telah mengkaji kaidah ilmu fiqih dengan sempurna. Beliau orang
yang bijaksana dalam berfikir..28

Imam Hanafi lebih condong mengistimbathkan hukum dengan


mengutamakan hadits daripada lainnya. Jika tidak ada dalam Al-Qur'an, beliau
menggunakan hadits meskipun berupa hadits ahad, hadits mursal, dan hadist
dho’if. Abu Hanifah hidup dan besar di Irak, beliau menerima pelajaran fiqih
dan mengembangkanya dan pernah tinggal di Mekkah kurang lebih enam tahun.
Dasar hukum yang dipakai Imam Hanafi untuk mengambil ijtihadnya adalah Al-
Qur'an surat An-Nisa’ ayat 5 dan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Dar al-
Qutni dari Abu Hurairah. Selain itu, beliau bersumber padapraktek amal ahlu
Madinah dan menggunakan qiyas. Dalil yang spesifik didalam madzhabnya
yang terkenal dengan Al-Sarkasiy, Al-Mabsut, suatu dalil atau alasan hukum
berkenaan dengan keharusan dengan kemaslahatan umum.Sehingga dia terkenal
dengan ahli penalaran (logika) dan kemaslahatan bagi kaumnya, sehingga rasio
harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan.

Beliau besar di Negara Irak dan hidup dimasa pemerintahan kerajaan


Umayyah dan Abbasiyah. Zaman ini terkenal dengan zaman politik, agama dan
idiologo-idiologi. Abu Hanifaf seorang pedagang dan hidupnya penuh dengan
masyarakat dan sebab dari perdagangan beliau dapat menghubungkan antara
hidup dalam kluarga dan agama.29

Pembentukan hukum syara’ ini merupakan sasaran yang dikehendaki dari


pada pembentukan hukumnya. Kebolehan transaksi yang dilakukan oleh anak
yang mumayyiz adalah akan mengajarkan kepada mereka dalam mengatur
hartanya dan untuk melihat apakah mereka layak dalam mengelola harta dan
membedakan kebaikan ataupun keburukan.
Akan tetapi kalau dilihat Imam Syafi’i seperti yang penulis paparkanpada
bab sebelumnya bahwa beliau adalah seorang cerdas, yang mempunyai cirikhas
tersendiri dalam pemikirannnya. Walaupun beliau sebagai ulama’penganut Imam
Malik, akan tetapi tidak dapat disangkal lagi bahwa ia termasuk seorang penulis
ilmu fiqih. Adapun permasalah dasar hukum maupun dalam mengeluarkan suatu
hukum itu sendiri ia selalu mengacu pada nash-nash Al-Qur'an dan al-Hadits
SAW.
28
Hasby al-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Jilid I, (Jakarta: BulanBintang,
1975), hal 171.
29
Ibid …hal 127

Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019 13


Keabsahan Jual Beli

Imam Syafi’i dalam melakukan istimbath hukum, ia langsung mengambil


dari ketiga sumber tasyri’ yaitu Al-Qur'an dan Hadits, kitab sunnah, ijma’, dan
ucapa sahabat yang telah disepakati, qiyas. Hal tersebut disebabkan adanya
kesepakatan para sahabat untuk tidak menetapkan suatu hukum tanpa ada
sandaran, pijakan atau dasar sama sekali.
Dalam permasalahan jual beli oleh anak yang asih dibawah umur, beliau
pun memahami berdasarkan surat An-Nisa ayat 5 dan 6 dan hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Aisyah ra yang mana ketiga dasar
tersebut menunjukkan bahwa “jual beli oleh anak yang masih dibawah umur
idak diperbolehkan karna belum baligh”.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENDAPAT IMAM HANAFI DAN


IMAM SYAFI’I

Persamaan Pendapat Hanafi dan Syafi’i.


1. Imam Hanafi dan Syafi’i dalam mengambil ijtihad adalah memakai dasar
dalil Al-Qur'an dengan dasar surat An-nisa’ ayat 5. Akan tetapi beliau
berbeda-beda dalam penafsiran.
2. Beliau sama-sama mengambil ijtihad dengan menggunakan hadits Nabi SAW.
jika dalam Al-Qur'an tidak didapatkan.
3. Dalam metode ijtihad beliau adalah sama-sama untuk mendapatkan
kemaslahatan umat dan mencari jalan bagaimana yang terbaik untuk
masyarakat. Akan tetapi berbeda cara beliau berijtihad.
4. Sama-sama pernah berhubungan dengan Imam Malik.
5. Beliau sama-sama menyetujui tentang Ijma’ Shahabat sebagai pedoman
ijtihad.

Perbedaan Pendapat Hanafi dan Syafi’i


1. Perbedaan Hanafi dan Syafi’i terutama adalah letak geografis dimana Imam
Hanafi hidup di Irak dan corak kehidupannya mengikuti perubahan dan
perkembangan ilmu. Dan memberikan hukum atas dasar para shahabat
apabila tidak ditemui pada Al-Qur’an dan Hadits, beliau banyak
menggunakan hadits-hadits mutawatir, mayshur, dan hadits-hadits ahad.
Sedangkan Imam Syafi’i menuntut ilmu di Makkah, pada masa itu beliau
pernah menjabat di Najran, banyak orang-orang syirik terhadap beliau karna
kejujuran dan keadilanya.
2. Imam Hanafi tidak memiliki kitab yang dikarang oleh beliau, dikarnakan
masa hidup beliau sangatlah sulit dan tidak sempat mengarang kitab. Oleh
karna itu murid-murid beliau yang menulis pendapat-pendapat beliau dalam
mengkaji suatu hal. Sedangkan Imam Syafi’i memiliki banyak kitab yang
dikarang olehnya, adapun kitab beliau yang terkenal adalah kitab Al-Umm.
3. Imam Hanafi dengan ciri yang khas terkenal dengan mengambil penafsiran
Al-Qur'an dengan melihat maslahah yang terjadi ketika itu sehingga pada
waktu dia terkenal dengan Ahli penalaran (logika). Akan tetapi Imam Syafi’i

14 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019


Abd. Aziz dan Bahruddin

berbeda, beliau dalam memegang Al-Qur'an beliau mengambil dengan cara


dzahir nash sehingga menjadi terkesan sedikit kaku.
4. Imam Hanafi menetapkan hukum berdasarkan tujuh pokok. Beliau mengkaji
dari Al-Qur’an, sunnah, fatwa sahabat, ijma, qiyas, istikhsan, dan urf’.
Sedangkan Imam Syafi’i yang menjadi sumber dalam rujukan fiqihnya adalah
Al-Qur’an dan hadits, fatwa sahabat, ijma’, dan qiyas.
5. Imam Hanafi berpendapat anak yang masih di bawah umur atau belum baligh
diperbolehkan melakukan jual beli asalkan sudah mumayyiz (dapat
membedakan hal baik dan buruk) dan mendapatkan izin dari wali anak
tersebut. Akan tetapi Imam Syafi’i tidak memperbolehkan jual beli oleh anak
yang masih di bawah umur atau belum baligh, karna beliau berpendapat anak
yang melakukan transaksi harus memiliki sifat ar-rusyd (cerdas), yakni yang
sudah baligh atau berakal.
6. Adapun praktek jual beli dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat yang
sudah ditentukan. Salah satu syaratnya adalah penjual dan pembeli yang
berakal, dengan kehendak sendiri, tidak mubadzir, dan baligh. Adapun saat ini
banyak kita jumpai pedagang yang menjajakan makanan atau makanan ringan
kepada anak yang belum memasuki usia baligh.
7. Adapun hukum jual beli yang dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur
menurut menurut Imam Hanafi sah apabila anak tersebut sudah Mumayyiz
dan akad yang dilakukan membawa keuntungan bagi dirinya. Sebaliknya
apabila akad tersebut merugikan maka hukumnya tidak boleh dilaksanakan,
apabila mengandung manfaat dan mudharat maka transaksinya sah apabila
walinya mengizinkan. Adapu menurut Imam Syafi’i tidak sah transaksi yang
dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur karna tidak memiliki
kelayakan, baik sebagai penjual atau pembeli hendanya orang yang sudah
dewasa yaitu yang disifati baligh dan dapat memelihara hartanya. Tetapi
diperbolehkan anak kecil membeli barang yang sederhana.

PENUTUP
Penyebab perbedaan pendapat terkait keabsahan jual beli yang dilakukan
oleh anak di bawah umur tidak terlepas sepenuhnya dari aspek metodologis
istinbat hukum dari masing-masing golongan. Sebagai akhir pada tulisan ini,
dari uraian dan analisis pembahasan, setidaknya dapat diperoleh pemahaman
bahwa keabsahan jual beli oleh anak di bawah umur pada dasarnya adalah sah.
Keabsahan ini didasarkan atas prasyarat al-rusyd yang ada pada anak di bawah
umur adalah bersifat relatif, bahkan Imam Syafi’i yang tergolong “ketat” dalam
penerapannya, masih memberikan ruang kebolehan jual beli barang sederhana
oleh anak kecil.
Oleh karenanya, akan menjadi terkesan tergesa-gesa apabila keabsahan jual
beli yang dilakukan oleh anak kecil dihukumi tidak boleh, dengan tanpa
mengetahui terlebih dahulu secara objektif berbagai pendapat yang mendasari

Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019 15


Keabsahan Jual Beli

timbulnya pendapat itu sendiri. Kiranya sikap arif dan penyikapan dengan kepala
dingin diperlukan dalam hal ini. Wa Allah A'lam

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Muhammad bin, Fiqih Empat Madzhab. (Bandung: Hasyimi,


2004)
Afandi, Yazid. Fiqih Muamalah. (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009)
Al-Bugha, Musthafa Dib. Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Islam Madzhab
Syafi’i. (Solo: Media Dzikir, 2010).
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Pres.
Al-Dimasyki, Muhammad bin’ Abdurahman. Fiqih Empat Madzhab. (Bandung:
Hasyimi,2004)
Djamil, Abdul. Hukum Islam. (Bandung: Mandar Maju, 2002).
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research I. (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Psikologi UGM, 1987)
Ibn Majah. Al-Sunnah. (Damaskus: Al-Risalah Al-Alamiyah, 2009)
Muslih, Ahmad Wardi, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah, 2010)
Nazir, M. Metode Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988)
Al-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam
Madzhab. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
Al-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasby. Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta:
Pustaka Rizki Putra, 2009)
Syafi’i, Imam, Kitab Al-Umm fi Al Fiqh: (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009)
Al-Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi 4 Imam Madzhab. (Jakarta: AMZAH,
2013)
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 197)
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. Shahih Fiqih Sunnah. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007)
Tahido Yanggo, Chuzaimah. Fiqih Anak, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004)
Al-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu. (Jakarta: Darul Fikr, 2007)

16 Irtifaq, Volume 6 No 1 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai