Anda di halaman 1dari 2

Mengupas Tuntas Siberut Siberut, beserta orang-orang di dalamnya menyimpan sejarah

perlawanan yang panjang terhadap kekuasaan dan politik ekologi di Indonesia. Ia merupakan
salah satu pulau paling besar di Kepulauan Mentawai. Dari sanalah Darmanto dan Abidah Billah
Setyowati bertemu dalam satu pembahasan. Darmanto merupakan peneliti perladangan
tradisional Mentawai, yang juga bekerja sama dengan UNESCO (United Nation Educational
Scientific and Cultrural Organization).

Darmanto pertama kali menjejakan kaki di Siberut tahun 2003. Sedangkan Abidah
menyelesaikan tesis untuk Universitas Hawaii. Pada awal pembuatan buku ini, sekitar tahun
2007, mereka menghabiskan tiga tahun untuk menjabarkan perebutan kekuasaan yang
kompleks di Hutan Siberut. Mereka pun menyusun Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,
Kekuasaaan, dan Politik Ekologi (2012). Buku ini terdiri dari sepuluh bab. Masing-masing bab
memiliki satu pembahasan yang utuh dan dapat dibaca secara terpisah. Namun penempatan
urutan bab memudahkan pembaca mengenal Siberut beserta kompleksitasnya secara sistematik
dan lebih mendalam. Pembaca akan mengenal sejarah panjang Siberut pada lima bab awal.
Sedangkan pada lima bab setelahnya, lebih banyak menceritakan Orang Siberut serta
interaksinya terhadap kekuasaan lain. Darmanto dan Abidah menjabarkan kondisi alam Siberut
dengan proporsional. Sehingga pembaca yang buta mengenai pulau ini bisa meraba suasana
hutan lewat penjelasannya.

Meski tidak terfokus pada penelitian berbasis geologi maupun biologi, tetapi tidak serta merta
melepaskan aspek tersebut pada pembentukan keunikan Pulau Siberut. Ini menjadi nilai lebih
karena tak banyak buku yang menjelaskan sejarah Sisberut secara tuntas. Di sisi lain, Orang
Siberut digambarkan secara polos dan apa adanya. Penulis tidak melebih-lebihkan atau
menutupi kenyataan, bahwa Orang Siberut tidak memiliki tujuan mulia untuk melestarikan hutan.
Mereka hidup dengan adat dan roh-roh yang selama ini mereka percayai. Mereka memiliki
penguasaan hutan yang dikelola secara tradisional. Semua hubungan tersebut tercampur baur
dalam politik ekologi. Di mana hutan tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, begitu
juga sebaliknya. Namun yang harus diperhatikan adalah bagaimana manusia memperlakukan
hutan tersebut. Apa yang terjadi dengan Siberut tentu masih sangat relevan dengan kondisi
Indonesia saat ini. Di mana kekuasaan memegang peran besar dalam kendali terhadap hutan
maupun lahan.

Orang Siberut, pemerintah, maupun perusahaan memiliki kepentingan tersendiri terhadap


hutan. Mana yang harus dibela? Buku ini tidak mengungkapkannya. Ia hanya memaparkan
kondisi sebenarnya sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri. Buku ini baik dalam
mengungkapkan seluk-beluk suatu wilayah secara gamblang. Ia mengungkapan suatu
hubungan antara hutan dan kekuasaan yang membayanginya. Baik itu kekuasaan oleh
penduduk asli, pemerintah, perusahaan, atau lainnya. Namun, masih terdapat beberapa narasi
yang kering. Mungkin itu karena ada beberapa kutipan panjang yang ditampilkan dalam satu
paragraf, tanpa narasi yang lebih detail. Kurang lebih bentuknya sama seperti tesis. Tentu hal ini
tidak mengurangi kecukupan informasi pembaca mengenai Siberut. Namun, untuk ukuran buku,
narasi yang menarik tentu akan sangat membantu.

Apa yang Darmanto dan Abidah suguhkan dalam buku ini sangat berguna bagi mereka yang
bergelut dalam gerakan masyarakat, reforma agraria, serta ketegangan antar kekuasaan
bekerja. Pembacaan yang gamblang pada suatu perebutan hutan, menjadi pelajaran penting
untuk menentukan keberpihakan.

Pada 9 Desember 2019, ada pameran Zine Fest di Museum Huruf Jember. Saya baru pertama
kali mendengar istilah zine. Ketika saya dan teman-teman berkunjung ke pameran, rupanya zine
berisi kumpulan tulisan dan gambar yang dijadikan satu menyerupai buletin atau majalah. Zine
merupakan wujud yang lebih sederhana dari magazine (majalah). Zine lebih sederhana karena
bebas, dan tidak terikat pada kaidah penyusunan suatu media. Perbedaannya jelas terlihat dari
gaya bahasa, tema yang dibahas, bahkan format zine. Terdapat sekitar 500 zine yang
dipamerkan. Zine yang dipamerkan, dikirim oleh pegiat zine berbagai kota. Kota tersebut antara
lain Jakarta, Bekasi, Bandung, Sidaoarjo, Surabaya, Malang, Banyuwangi, Ngawi, Mojokerto,
Yogyakarta, Semarang, Pati dan Solo. Dengan mengganti biaya fotokopi seharga Rp. 3.500,00,
kita bisa membawa pulang zine yang menurut kita menarik. Selain pameran, beberapa kegiatan
juga digelar dalam Zine Fest.

Kegiatan tersebut antara lain workshop dan diskusi zine, workshop fermentasi apel, dan
workshop tato. Saya mengikuti diskusi tentang zine. Pematerinya Didi Painsugar dan Yudo.
Keduanya adalah pegiat zine. Masing-masing memberi pandangan tentang zine, pengalaman
membuat zine, juga cerita tentang komunitasnya. Melalui serangkaian acara Zine Fest, saya
mengenal sebuah media alternatif. Media di mana semua orang dapat menyampaikan
pemikirannya, tanpa ada batasan. Di tengah krisis kebebasan berpendapat, saya bersyukur
masih ada ruang-ruang alternatif semacam ini.

Anda mungkin juga menyukai