Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada waktu itu, semua penguasa Madura gugur karena serangan dari Kerajaan Mataram.
Satu-satunya keturunan Raja Madura yang masih hidup selain Raden Bugan adalah Raden
Praseso yang masih di bawah umur. Raden Praseso dibawa dan diserahkan oleh Panglima
Juru Kiting kepada Sultan Agung di Mataram. Ia diambil sebagai anak angkat, kemudian
setelah dewasa diambil menantu. Perkimpoian Raden Praseso dengan putri Sultan Agung
tidak berjalan lama karena isterinya meninggal dalam usia muda sebelum memiliki anak.
Raden Praseso pada akhirnya diangkat Sultan Agung menjadi Raja Madura dengan gelar
Pangeran Cakraningrat I. Ia berhak mengangkat para bupati di seluruh Madura dengan
persetujuan Sultan Agung. Salah satu diantaranya adalah Pangeran Megat Sari, menantu
Pangeran Cakraningrat I sendiri yang menjadi Bupati Pamekasan.
Perjanjian Giyanti merupakan sebuah kesepakatan VOC dengan kerajaan Mataram yang
diwakili oleh Sultan Pakubuwana III dan juga Pangeran Mangkubumi. Perjanjian ini ditanda
tangani pada tanggal 13 Februari 1755. Pemberian nama Giyanti diambil dari lokasi
penandatanganan perjanjiannya, yaitu di Desa Giyanti. Kalau sekarang, namanya Dukuh
Kerten, Desa Jantiharjo terletak di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam
perjanjian tersebut, Mataram terbagi menjadi dua wilayah. Mulai dari sebelah timur Kali
Opak dikuasai pewaris Mataram antara lain Sultan Pakubuwana III dengan kedudukannya di
Surakarta. Sedangkan untuk wilayah sebelah barat merupakan kawasan Pangeran
Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I yang bertempat di wilayah Yogyakarta. Selain
itu, pihak VOC Belanda berhak menentukan siapa yang akan menguasai kedua kerajaan
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Hubungan Kerajaan Mataram dengan Madura ?
2. Bagaimanan pengaruh VOC terhadap Kerajaan Mataram ?
3. Bagaimana Proses pecahnya Kerajaan Mataram dengan adanya perjanjian Giyanti dan
Salatiga ?

1
4. Apa yang terjadi dengan Kerajaan Mataram setelah perjanjian salatiga ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah membahas kedigdayaan Sultan Agung dalam
memperluas wilayah Kerajaan Mataram hingga Madura, serta melihat apa yang terjadi antara
Mataram dengan Madura hingga akhir abad ke-18 lalu campur tangan Belanda pada Kerajaan
Mataram.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Mataram-Madura
Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram Islam, pada 1624 menaklukan
Madura. Selain Madura dan kemudian Surabaya, Mataram yang berpusat di Yogyakarta juga
menundukkan wilayah pesisir Jawa bagian timur lainnya, termasuk Tuban dan Gresik. Untuk
memimpin Madura sebagai kepanjangan tangan dari Mataram, Sultan Agung menunjuk salah
seorang bangsawan lokal asli pulau itu yang bernama Raden Prasena atau yang nantinya
bergelar Panembahan Cakraningrat I. Raden Prasena juga dikawinkan dengan salah satu putri
sultan.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1645, takhta Mataram dilanjutkan oleh Raden Mas
Sayidin dengan gelar Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat I). Berbeda dengan
ayahnya yang selalu melawan Belanda atau VOC, Amangkurat I justru merangkul bangsa
penjajah agar kepentingannya terlindungi. Hal ini memicu polemik. Raden Mas Alit, adik
Amangkurat I, melancarkan perlawanan pada 1648. Amangkurat I memenangkan perang
saudara ini dan membantai ribuan ulama pendukung Raden Mas Alit.
Beberapa belas tahun berselang, terjadi polemik internal lagi di Mataram. Kali ini
Pangeran Adipati Anom yang berniat melengserkan Amangkurat I. Sang pangeran cemas
setelah mendengar kabar bahwa statusnya sebagai putra mahkota Mataram bakal dicabut dan
dialihkan ke anak laki-laki Amangkurat I lainnya. Dari sinilah peran Raden Trunojoyo yang
diminta membantu Pangeran Adipati Anom untuk mengkudeta Amangkurat I dan nantinya
menggegerkan seisi telatah Mataram dimulai.
Trunojoyo masih termasuk cicit Sultan Agung. Ia adalah cucu Raden Prasena atau
Cakraningrat I. Ayahnya bernama Raden Demang Melayakusuma, putra Cakraningrat I dari
istri selir. Dengan kata lain, Trunojoyo adalah saudara seayah lain ibu penguasa dengan kedua
Madura era Mataram, Cakraningrat II (1647-1707). Aksi Trunojoyo dimulai dengan menculik
dan mengasingkan Cakraningrat II ke Kediri. Ia memang tidak menyukai saudara tirinya yang
selalu tunduk kepada Mataram dan Amangkurat I itu. Trunojoyo menganggap, penguasaan
Mataram atas Madura adalah suatu bentuk . Dengan senang hati Trunojoyo menyanggupi
permintaan Adipati Anom lantaran ia punya misi khusus terhadap Mataram. Di sisi lain, putra

2
mahkota berjanji akan memberikan sebagian besar wilayah Madura kepada Trunojoyo jika
berhasil melengserkan Amangkurat I.
Rencana perlawanan Trunojoyo terhadap Mataram memperoleh dukungan penuh dari
orang-orang Madura. Mayoritas warga Madura rupanya juga sudah jengah dengan
pendudukan Mataram. Setelah menyingkirkan Cakraningrat II, laskar rakyat pimpinan
Trunojoyo berhasil mengambil-alih kekuasaan di Madura pada 1674. Trunojoyo pun
menyatakan Madura sebagai wilayah yang merdeka dan ia mendeklarasikan diri sebagai Raja
Madura yang kedudukan dan kekuasaannya sejajar dengan penguasa Mataram. Posisi
Trunojoyo menguat setelah memperoleh bantuan dari orang-orang Makassar yang dipimpin
Karaeng Galesong. Mereka ini adalah pendukung Sultan Hasanuddin yang melarikan diri usai
Kesultanan Gowa dikalahkan VOC pada 1669. Kebetulan, mereka juga tidak suka dengan
Mataram lantaran Amangkurat I pernah melecehkan Sultan Hasanuddin. Hubungan antara
dua suku bangsa yang berbeda ini bertambah erat dengan terjalinnya hubungan kekerabatan.
Trunojoyo menikahkan putrinya yang bernama Raden Ayu Suraretna dengan Karaeng
Galesong.
Pasukan gabungan Madura-Makassar pun mulai melancarkan tekanannya terhadap
Mataram. Dalam perjalanannya menaklukkan daerah-daerah kekuasaan Mataram, Trunojoyo
kembali mendapat dukungan yang membuat kekuatannya semakin bertambah. Salah satu
dukungan untuk Trunojoyo diberikan oleh Panembahan Giri dari Surabaya Keturunan Sunan
Giri (anggota Walisongo) ini masih menyimpan rasa sakit hati terhadap Amangkurat I atas
pembantaian ulama yang terjadi pada 1648. Trunojoyo juga dibantu Kesultanan Banten yang
memang berselisih dengan Mataram pasca-Sultan Agung. Relasi Banten-Mataram memburuk
akibat ulah Amangkurat I. Banten berhubungan baik dengan Makassar yang telah mendukung
Trunojoyo melalui Karaeng Galesong.
Pasukan Trunojoyo menjelma menjadi kekuatan besar yang menakutkan. Satu demi satu,
wilayah-wilayah kekuasaan Mataram berhasil ditundukkan, termasuk Surabaya, Tuban,
Lasem, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon. Sebagai
puncaknya, Trunojoyo pun bersiap menyerang pusat kekuasaan Mataram di Yogyakarta.
Melihat situasi terkini yang kian gawat, Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram
yang mengajak Trunojoyo melawan Amangkurat I, menjadi sangat khawatir bahkan
ketakutan. Ia kemudian berbalik mendukung ayahnya untuk bersama-sama menghadang
perlawanan Trunojoyo. Ini terjadi pada Oktober 1676.
Trunojoyo menggerakkan pasukannya menuju Plered (kini termasuk wilayah Kabupaten
Bantul, Yogyakarta) di mana Amangkurat I bertakhta. Amangkurat I yang saat itu sedang
dalam kondisi sakit ternyata ciut nyalinya dan melarikan diri ke arah barat. Dalam
pelariannya, sakit yang diderita Amangkurat I semakin parah. Penguasa Mataram ini akhirnya
menghembuskan nafas penghabisan di suatu tempat di dekat Tegal (kini salah satu kabupaten

3
di Provinsi Jawa Tengah) pada 1677 (Sutrisno Kutoyo, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta,
1997: 108). Di pihak lain, pasukan gabungan pimpinan Trunojoyo tiba di Plered pada 2 Juli
1677. Tanpa kesulitan berarti, pusat pemerintahan Mataram itu bisa direbut dan diduduki
meskipun sang penguasa telah melarikan diri. Trunojoyo kemudian mengawini salah seorang
putri Amangkurat I.
Mangkatnya Amangkurat I dalam pelarian membuat Pangeran Adipati Anom semakin
panik. Ia kemudian meminta bantuan kepada VOC untuk membasmi perlawanan Trunojoyo.
Belanda, yang diwakili oleh Cornelis Speelman dalam perjanjian di Jepara pada akhir 1677,
bersedia membantu namun dengan syarat yang tidak ringan. Speelman akan mengerahkan
pasukannya menghadapi Trunojoyo, juga mengakui Adipati Anom sebagai raja dengan gelar
Amangkurat II, tapi Mataram harus menyetujui beberapa persyaratannya.
Pertama, biaya perang untuk menghadapi Trunojoyo harus ditanggung Mataram. Kedua,
semua pelabuhan milik Mataram di pesisir utara, dari Karawang sampai ujung Jawa paling
timur digadaikan kepada VOC dan akan dikembalikan setelah Mataram melunasi utangnya.
Syarat ketiga, seluruh wilayah Mataram antara sebelah barat Sungai Pamanukan hingga
pesisir selatan diserahkan kepada VOC. Keempat, VOC diberi hak monopoli untuk
perdagangan kain dari India dan Persia, serta beras di seluruh wilayah Mataram. Kelima,
VOC diperbolehkan menempatkan pasukannya di ibukota Mataram.
Pangeran Adipati Anom alias Amangkurat II setuju. Setelah itu, dengan bantuan utang
dari VOC, ia membangun kerajaan baru di Kartasura, dekat Solo, untuk menggantikan kraton
di Plered yang telah dikuasai dan dihancurkan oleh Trunojoyo. Di saat yang sama, Speelman
menunjuk Kapitan Jonker memimpin penyerbuan terhadap Trunojoyo. VOC dibantu oleh
pasukan Arung Palakka, pangeran Bone yang pernah melawan Kesultanan Makassar. Arung
Palakka pun akan berhadapan dengan pendukung setia Sultan Hasanuddin, Karaeng
Galesong. VOC menggerakkan 5 kapal perang dari Batavia yang berangkat bersama pasukan
Arung Palakka, ditambah pasukan kompeni dari Semarang, dan bergabung dengan ribuan
prajurit Mataram yang menanti di Jepara, untuk menyerbu Trunojoyo yang kini bertahan di
Surabaya.
Terjadilah rangkaian pertempuran di kawasan tengah dan timur Jawa. Armada besar
Belanda membuat pasukan Trunojoyo kewalahan dan terpaksa mundur ke Kediri namun terus
saja didesak oleh musuh. VOC dan sekutunya bahkan mengalahkan prajurit cadangan
Trunojoyo di Madura. Trunojoyo sempat lolos dari kejaran dengan menjelajahi lereng
Gunung Kelud. Namun, pasukan musuh terus mengejarnya dan akhirnya Trunojoyo
tertangkap pada penghujung tahun 1679. VOC kemudian membawanya ke hadapan
Amangkurat II. Amangkurat II memutuskan bahwa Trunojoyo harus dihukum mati. Tanggal
2 Januari 1680, eksekusi dilakukan langsung oleh sang raja baru. Sebelum mencabut kerisnya,
Amangkurat II berkata, ”Aku ampuni kamu dan mengangkatmu sebagai Adipati Madura.”

4
Trunojoyo tewas di tangan mantan putra mahkota Mataram yang dulu pernah menjanjikan
wilayah Madura untuknya. Amangkurat II telah memenuhi janjinya kendati sudah tidak
berarti apa-apa lagi bagi pemimpin rakyat Madura itu.
B. Hubungan Mataram Dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk
mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618
Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun
demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC. Pada tahun 1619 VOC
berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan
mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari
kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC
dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak
saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram
menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus. Sasaran
Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau
Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh
Mataram. Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut
ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang. Maka,
pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal
tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki
Juru Martani). Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun
berikutnya, namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun kembali
mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori
Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia.
Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut. Sultan
Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin
hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC.
Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu
sudah lemah.
Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat
luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat
I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya.
Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk
merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.
Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun

5
dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut
diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang
menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para
ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para
ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000-6.000 orang lebih
dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai. mangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang
pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC
diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan
berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan
pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk
VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut
Palembang tahun 1659. Amangkurat II dikisahkan sebagai raja berhati lemah yang mudah
dipengaruhi. Pangeran Puger adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan. Amangkurat
II naik takhta atas bantuan VOC dengan hutang atas biaya perang sebesar 2,5 juta gulden.
Tokoh anti VOC bernama Patih Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan
hutang tersebut. Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan
Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini berhasil dipadamkan. Pada
tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal
di rumah Patih Nerangkusuma. Untung Suropati diberinya tempat tinggal di desa Babirong
untuk menyusun kekuatan. Bulan Februari 1686 Kapten François Tack tiba di Kartasura
untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Pertempuran
terjadi. Pasukan Untung Suropati menumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri
mati dibunuh oleh pasukan Untung Suropati Amangkurat II kemudian merestui Untung
Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang
semula diangkat Amangkurat II terpaksa menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya
bergabung dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati Jangrana. Sikap
Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar oleh VOC. Pihak VOC menemukan surat-
surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan bangsa Inggris yang isinya
ajakan untuk memerangi Belanda. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan Kapitan
Jonker tahun 1689.
Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar
2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura
menyerang Untung Suropati di Pasuruan. Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun
1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat
III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger. Dukungan terhadap Pangeran Puger untuk
merebut takhta kembali mengalir. Akhirnya, pada tahun 1704, Amangkurat III mengirim
utusan untuk membunuh Pangeran Puger sekeluarga, namun sasarannya itu lebih dulu

6
melarikan diri ke Semarang. Pangeran Puger di Semarang mendapat dukungan VOC, tentu
saja dengan syarat-syarat yang menguntungkan Belanda. Ia pun mengangkat dirinya sebagai
raja bergelar Pakubuwana I. Gabungan pasukannya bergerak tahun 1705 untuk merebut
Kartasura. Amangkurat III membangun pertahanan di Ungaran dipimpin Pangeran Arya
Mataram, pamannya, yang diam-diam ternyata mendukung Pakubuwana I. Arya Mataram
berhasil membujuk Amangkurat III supaya meninggalkan Kartasura. Ia sendiri kemudian
bergabung dengan Pakubuwana I, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. Pemerintahan
Amangkurat III yang singkat ini merupakan kutukan Amangkurat I terhadap Amangkurat II
yang telah meracuni minumannya ketika melarikan diri saat Kesultanan Mataram runtuh
akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 silam.
Pemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada perjanjian baru dengan VOC sebagai
pengganti perjanjian lama yang pernah ditandatangani Amangkurat II. Perjanjian lama
tersebut berisi kewajiban Kartasura untuk melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 4,5 juta
gulden. Sedangkan perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk mengirim 13.000 ton
beras setiap tahun selama 25 tahun. Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC
mengejar Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam pertempuran di Bangil,
Untung Surapati yang saat itu menjabat sebagai bupati Pasuruan tewas. Amangkurat III
sendiri akhirnya menyerah di Surabaya pada tahun 1708, untuk kemudian dibuang ke
Srilangka. Pada tahun 1709 Pakubuwana I terpaksa menghukum mati Adipati Jangrana bupati
Surabaya yang dulu telah membantunya naik takhta. Hukuman ini dilakukan karena pihak
VOC menemukan bukti bahwa Jangrana berkhianat dalam perang melawan Untung Surapati
tahun 1706. Pangeran Blitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Dipanegara) memihak
kepadanya dan menggunakan kekuatan Mojokerto itu untuk menggempur Madiun. Arya
Dipanegara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar-kejar pasukan
Amangkurat IV. Akhirnya, Dipanegara pun menyerah pada Pangeran Blitar dan bergabung
dalam kelompok Kartasekar. Pada bulan Oktober 1719 pihak Kartasura dan VOC menumpas
paman Amangkurat IV lebih dahulu, yaitu Arya Mataram yang memberontak di Pati. Putra
Amangkurat I ini ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara. Pada bulan November
1720 gabungan pasukan Kartasura dan VOC menyerang Mataram. Kota Kartasekar
dihancurkan sehingga kelompok Pangeran Blitar menyingkir ke timur. Satu per satu kekuatan
pemberontak berkurang. Jayapuspita meninggal karena sakit tahun 1720 sebelum jatuhnya
Kartasekar. Pangeran Blitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat
dirinya berada di Malang.
Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun
kekuatan musuh jauh lebih besar. Perang akhirnya berhenti tahun 1723. Kaum pemberontak
dapat ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Pangeran Dipanegara Herucakra
dibuang ke Tanjung Harapan, sedangkan Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dan beberapa

7
keturunan Untung Suropati dibuang ke Srilangka. Amangkurat IV kemudian berselisih
dengan Cakraningrat IV bupati Madura (barat). Cakraningrat IV ini ikut berjasa memerangi
pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia memiliki keyakinan bahwa
Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kartasura yang
dianggapnya bobrok. Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia
diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini memberontak terhadap
Pakubuwana II, pengganti Amangkurat IV. Amangkurat IV sendiri jatuh sakit bulan Maret
1726 karena diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya, ia lebih dulu meninggal dunia
pada tanggal 20 April 1726.
Amangkurat IV digantikan putranya yang baru berusia 15 tahun bergelar Pakubuwana II
sebagai raja Kartasura selanjutnya. Setelah Sultan Agung meninggal, tahta Mataram diwarisi
oleh anaknya, Sultan Amangkurat I (memerintah tahun 1646-1677). Pada masa ini
Amangkurat I berusaha melemahkan para adipati pesisir Jawa yang dia anggap sebagai
ancaman terhadap Mataram. Amangkurat I membunuh Pangeran Pekik, tokoh bangsawan
Surabaya, menutup pelabuhan dan membakar kapal dagang milik kota-kota pesisir utara
Jawa. Akibatnya sangat fatal, perdagangan para saudagar Jawa hancur dan kekuasaan
pedagang VOC di Jawa maupun di pulau lainya di Nusantara meningkat. VOC menjadi
semakin berkuasa dalam perdagangan di Nusantara. Kekejaman Amangkurat I menyebabkan
pemberontakan Trunojoyo dan Karaeng Galesong, yang berhasil merebut ibukota Mataram di
Plered. Amangkurat I meninggal ketika melarikan diri dari pemberontak di Tegal. Anaknya,
Amangkurat II (memerintah tahun 1677-1703), meminta bantuan VOC untuk menumpas
pemberontakan Trunojoyo. Sebagai bayarannya, Amangkurat II memberikan kota pelabuhan
Semarang kepada VOC. Selain Semarang, Mataram juga harus menyerahkan Bogor,
Karawang dan Priangan ke VOC. Kesultanan Cirebon juga dipaksa untuk mengalihkan
kesetiaan dari Mataram ke Belanda, dan menjadi negara protektorat Belanda. Akibat konsesi
Amangkurat II ini, wilayah VOC di Jawa meningkat drastis. Setelah Amangkurat II
meninggal pada 1703, Mataram dipimpin oleh anaknya Amangkurat III. Namun adik
Amangkurat II, Pangeran Puger memberontak dan berusaha menjadi sultan. Demi
mendapatkan bantuan VOC untuk merebut tahta, Pangeran Puger memberikan VOC eilayah
Cirebon dan Madura, hak untuk membangun benteng di manapun di Jawa, sebuah garnisun di
kraton di Kartasura, monopoli atas opium dan tekstil, dan hak untuk membeli beras sebanyak
yang VOC inginkan. Mataram juga bersedia membayar upeti sebesar 1300 ton beras setiap
tahun. Dengan bantuan VOC ini Pangeran Puger berhasil merebut tahta Mataram dan menjadi
sultan beegelar Pakubuwono I, sementara Amangkurat III dibuang ke Sri Lanka, yang saat itu
juga jajahan VOC. Akibat dari perjanjian Pangeran Puger ini, Mataram menjadi negara
boneka VOC dimana sultan-sultan Mataram menjadi tidak berdaya dan bergantung pada VOC
untuk menjaga tahta dan menumpas pemberontakan.

8
C. Perpecahan Dan Perebutan Kekuasaan di Mataram ( Giyanti – Salatiga )
Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727)
atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu, dalam pemerintahannya dipenuhi dengan
pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada
konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-
1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan
dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan. Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan
diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). 
Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC. Paku Buwana
II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC
yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan
pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti
berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi
yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan
diri ke Panaraga.  Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton
telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744).
Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan
bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah pemberontakan terhadap raja. Paku
Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk mengenyahkan kaum
pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang).
Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga
Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-
sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755). Paku Buwana II dan VOC
tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung rakyat tersebut, bahkan akhirnya Paku
Buwana II jatuh sakit dan wafat (1749). Namun menurut pengakuan Hogendorf, Wakil VOC
Semarang saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat
itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan
menjadi Paku Buwana III (1749). Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan
pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen,
dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan antara Mangkubumi dan Raden
Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab
dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi
berdamai. Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai
Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi
menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai
gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur
diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan

9
Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan
raja Sri Susuhunan Paku Buwana III. Demi keuntungan pribadi Pangeran Mangkubumi, dia
membuat pilihan untuk menyebrang dari kelompok pemberontak. Yang akhirnya bergabung
dengan pemegang kekuasaan dalam melawan pemberontakan yang dilakukan Pangeran
Sambernyawa.
Pada tanggal 10 September 1754, anggota  VOC bernama Hartingh bertolak dari
Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi dan untuk mengadakan suatu perundingan.
Perundingan tersebut tertutup dan dihadiri oleh sedikit orang, yaitu Pangeran Mangkubumi
beserta Pangeran Notokusumo dan juga Tumenggung Ronggo. Sedangkan VOC sendiri
diwakili Hartingh dengan pendampingnya Breton, Kapten Donkel, serta sekretarisnya
Fockens. Perundingan tersebut membahas pembagian Mataram. Hartingh memberikan
penawaran Mataram bagian timur, namun usulan Hartingh ditolak oleh pangeran. VOC juga
mengusulkan agar Mangkubumi jangan memakai gelar sunan dan menentukan daerah mana
yang ingin dia kuasai. Pada tanggal 23 September 1754, akhirnya Pangeran Mangkubumi
menggunakan gelar Sultan dan juga mendapatkan setengah bagian kerajaan.
Sedangkan untuk Pantai Utara Jawa adalah kawasan VOC, dan pada tanggal 4 November
1754 jarak sebulan kurang Paku Buwono III memberikan surat kepada Gubernur Jenderal
VOC. Yang berisi persetujuan Gubernur Jawa Utara dan juga Mangkubumi. Maka dari hasil
perundingan tersebut maka tercetuslah perjanjian giyanti.
Pasal 1: Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono di atas
separuh dari Kerajaan Mataram.
Pasal 2: Diadakanya kerjasama antara rakyat yang ada di kekuasaan Kompeni dengan
rakyat yang ada di Kasultanan.
Pasal 3: Sebelum Patih Dalem dan para Bupati melakukan tugasnya masing-masing,
harus dilakukan sumpah setia dulu kepada Kumpeni di tangan Gubernur.
Pasal 4: Dalam pengangkatan dan pemberhentian Patih Dalem dan juga Bupati. Sri
Sultan harus mendapatkan persetujuan dari Kompeni terlebih dahulu.
Pasal 5: Sri Sultan harus mengampuni Bupati yang selama peperangan lebih memihak
Kompeni.
Pasal 6: Sri Sultan tidak boleh menuntut atas pulau Madura dan daerah pesisiran.
Pasal 7: Sri Sultan harus memberi bantuan kepada Sri Sunan Paku Buwono III jika
sewatu-waktu diperlukan.
Pasal 8: Sri Sultan harus menjual seluruh bahan-bahan makanan dengan harga tertentu
kepada Kompeni.
Pasal 9: Sri Sultan harus mentaati segala macam perjanjian yang sudah pernah diadakan
oleh raja-raja Mataram sebelumnya dengan Kompeni.

10
Dampak perjanjian giyanti berupa kerusuhan yang terus berlangsung, hal ini karena
kelompok Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said tidak ikut serta dalam perjanjian
tersebut. Untungya sekarang Indonesia dalam keadaan damai, karenanya kerusuhan sudah
tidak terjadi lagi. Perjanjian Salatiga merupakan perjanjian yang membagi Surakarta menjadi
dua wilayah, yaitu Kasunan dan Mangkunegaran. Perjanjian ini dibuat pada tahun 1755 M.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), Sultan Paku
Buwono III, Sultan Hamengku Buwono I , dan VOC. Perjanjian ini dibuat di gedung VOC
yang sekarang menjadi kantor Walikota Salatiga. Perjanjian ini adalah usaha penyelesaian
dari serangkaian konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram. Dengan
berat hati Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III akhirnya harus melepaskan beberapa
wilayahnya untuk Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Ketika Pangeran Mangkubumi
yang memilih jalan perundingan damai, akhirnya mendapat imbalan separuh bagian
kekuasaan Mataram dengan menggunakan Perjanjian Giyanti. Pangeran Mangkubumi
kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwana I. Namun Pangeran Sambernyawa (Raden Mas
Said) tetap tidak terima dan terus melancarkan perlawanan. Dengan keberhasilan VOC
membuat Pangeran Mangkubumi kedalam sekutunya. Maka, perlawanan Pangeran
Sambernyawa menjadi lebih sulit karena harus melawan Pangeran Mangkubumi, Sunan Paku
Buwono III dan VOC sekaligus. Namun, Pangeran Sambernyawa tetap tidak menyerah dalam
melawan mereka. Ketika VOC menawarkan Pangeran Sambernyawa untuk menyerah kepada
salah satu dari dua penguasa Surakarta atau Yogyakarta. Pangeran Sambernyawa justru
menekan ketiganya agar daerah bekas kekuasaan Mataram dibagi menjadi tiga kekuasaan.
Gabungan kekuatan dari 3 kubu ternyata masih belum juga mampu mengalahkan Pangeran
Sambernyawa yang sendirian. Walaupun kondisi sini juga sama bagi Pangeran Sambernyawa
yang masih belum bisa mengalahkan ketiga gabungan kekuatan tersebut. Karena itulah dibuat
perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 di daerah Salatiga. Ini adalah solusi dari
keadaan perebutan kekuasaan untuk mengakhiri peperangan di tanah Jawa. Perjanjian ini
membuat Pangeran Sambernyawa mendapat separuh wilayah Surakarta yang mencakup
beberapa daerah.  Contohnya Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar. Namun
Penguasa dari wilayah Mangkunegaran tidak berhak mendapat gelar Sunan atau Sultan, dan
hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati.
D. Mataram Akhir Abad 18
Sunan Paku Buwono III wafat pada tahun 1788 dan penggantinya adalah Sunan Paku
Buwono IV, yang cakap dalam politik dan piawai dalam intrik dan intimidasi. Dua tahun
setelah wafatnya Paku Buwono III, awal tahun 1790 Sunan Paku Buwono IV melancarkan
strategi politik yang agresif dengan memulai memberi nama untuk saudaranya Arya mataram.
Oleh Sunan Paku Buwono IV Arya Mataram dianugerahi nama Pangeran Mangkubumi.
Pemberian nama "Mangkubumi" menimbulkan protes Sultan Hamengku Buwono I yang

11
merasa kebakaran jenggot karena hak nama Mangkubumi adalah miliknya sampai meninggal
dunia.Sultan mengajukan protes kepada Kompeni yang ternyata tidak membuahkan hasil
karena Sunan tetap pada pendirian tidak bakalan mencabut Nama Mangkubumi untuk
saudaranya.
Jurus politik pertama Paku Buwono IV di lanjutkan dengan jurus keduanya yaitu
menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta.Suhu politik yang sudah
memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I yang melihat suatu peluang ada
didepannya. Mangkunegara I menulis surat kepada Gubernur di Semarang Yan Greeve pada
bulan Mei 1790 yang isinya Mangkunegara I Menagih janji Residen Surakarta Frederick
Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa Jika Pangeran Mangkubumi yang
menjadi Sultan Hamengku Buwono I wafat maka Mangkunegara I berhak menduduki tahta
Kasultanan Yogyakarta.
VOC yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan
mulai memeriksa situasi lapangan militernya dan ke tiga Kerajaan.Kompeni yang di wakili
Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan fakta bahwa
Mangkunegoro I memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga.Dalam waktu yang
yang singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil
pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata. Tuntutan Mangkunegoro I juga diikuti
dengan tuntutan berikutnya yaitu dikembalikannya GKR Bendoro isterinya kepada
Mangkunegara I.Jika tuntutan ini tidak dipenuhi sebagai gantinya Mangkunegara I menuntut
4.000 cacah dari Yogyakarta. Mangkunegara I mulai memobilisasi pasukannya dan
pertempuran pertempuran kecil mulai terjadi. Wilayah Gunung Kidul menjadi medan
pertempuran.dalam mobilisasi dan pertempuran ini G.R.M. Sulomo (calon Mangkunegara II
sudah terlibat dan aktif dalam pertempuran.
7 Oktober 1790 Yan greeve mengintimidasi Sultan Hamengku Buwono I untuk
memberikan 4.000 cacah tetapi Sultan menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah
diganti dengan upeti Belanda kepada Mangkunegaran sebesar 4.000 real. Perjanjian Salatiga
secara hakikat menandai berdirinya praja atau negeri Mangkunegaran dengan Raden Mas
Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai sebuah wilayah yang otonom pula.
Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa adalah penyambung dari
Mataram yang telah hilang akibat perjanjian Giyanti 1755. Mataram yang telah bubar dengan
traktat Giyanti di bangun kembali melalui Negeri Mangkunegaran. Politik dan kebudayaan
Mataram serta unsur unsur keprajuritan dipertahankan dan dihidupkan dari generasi ke
generasi. Sunan Paku Buwono III wafat tahun 1788, Sultan Hamengku Buwono I wafat
tahun 1792 dan Pangeran Mangkunegara I wafat tahun 1795. Paku Buwono III di ganti Paku
Buwono IV, Sultan Hamengku Buwono I diganti Sultan Hamengu Buwono II dan
Mangkunegara Idi ganti Mangkunegara II. Pembubaran VOC pada tahun 1800 awal bulan

12
menandai perubahan baru di bekas Mataram.Kewenangan VOC diambil alih oleh Pemerintah
Belanda. Pada masa generasi ini Sunan Paku Buwono IV menjadi aktor Politik yang sangat
piawai sekaligus berbahaya bagi Belanda.Jurus jurus politik yang ditampilkan begitu
terampilnya dan tidak gentar dengan gertak peperangan.
Kedatangan Daendels dan Raffles dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga segala
perjudian politik pada tahun 1800 an ini seakan akan merupakan pematangan situasi untuk
munculnya perang Diponegoro. Paku Buwono IV berhasil memprovokasi Sultan Hamengku
Buwono II sehingga berkonfrontasi dengan Daendels dan Raffles di kemudian hari.Di
samping itu faktor Secadiningrat seorang Kapiten Cina di Yogyakarta yang menjadi
penasehat putera mahkota (Calon Hamengku Buwono III) juga turut andil dalam
merunyamkan pemerintahan Hamengku Buwono II. Secadiningrat membocorkan rencana
rencana Sultan kepada pihak asing terutama Inggris bahwa Kasultanan mempersenjatai diri
untuk kekuatan perang.
Yogyakarta di datangi Daendels dengan beribu pasukan.Sultan Hamengku Buwono II
diturunkan tahta dan di ganti Sultan Raja (Hamengku Buwono III). Kasultan Yogyakarta
sepeninggal Hamengku Buwono Imengalami kesuraman yang tiada tara.Dari Hamengku
Buwono II sampai Hamengku Buwono VI Kasultanan mengalami instabilitas serius.

13
BAB III

KESIMPULAN

Perjanjian Giyanti merupakan sebuah kesepakatan VOC dengan kerajaan Mataram yang


diwakili oleh Sultan Pakubuwana III dan juga Pangeran Mangkubumi. Perjanjian ini ditanda
tangani pada tanggal 13 Februari 1755. Pemberian nama Giyanti diambil dari lokasi
penandatanganan perjanjiannya, yaitu di Desa Giyanti. Kalau sekarang, namanya Dukuh Kerten,
Desa Jantiharjo terletak di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam perjanjian tersebut,
Mataram terbagi menjadi dua wilayah. Mulai dari sebelah timur Kali Opak dikuasai pewaris
Mataram antara lain Sultan Pakubuwana III dengan kedudukannya di Surakarta. Sedangkan
untuk wilayah sebelah barat merupakan kawasan Pangeran Mangkubumi atau Sultan
Hamengkubuwana I yang bertempat di wilayah Yogyakarta. Selain itu, pihak VOC Belanda
berhak menentukan siapa yang akan menguasai kedua kerajaan tersebut.
Perjanjian Salatiga merupakan perjanjian yang membagi Surakarta menjadi dua wilayah,
yaitu Kasunan dan Mangkunegaran. Perjanjian ini dibuat pada tahun 1755 M. Perjanjian ini
adalah usaha penyelesaian dari serangkaian konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri
Kesultanan Mataram. Dengan berat hati Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III akhirnya
harus melepaskan beberapa wilayahnya untuk Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa).
Perjanjian ini ditandatangani oleh Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), Sultan Paku
Buwono III, Sultan Hamengku Buwono I , dan VOC.

14
DAFTAR PUSTAKA

Joko Darmawan.2017.Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa.


Yogyakarta: PT. Ombak

Mien A. Rifai.2007. Manusia Madura. Surabaya : pilar media

Mundzirin Yusuf.2006.Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta : penerbit pustaka

15

Anda mungkin juga menyukai