Chapter
Chapter
PENDAHULUAN
permasalahan gizi masih cukup kompleks dan terjadi di setiap siklus kehidupan, sejak
kandungan (janin) hingga usia lanjut. Permasalahan ini berada pada satu sisi,
sementara pada sisi yang lain masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan dan gizi
yang bermutu. Menurut Roesli (2008), untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
gizi yang bermutu, maka salah satu tujuan pembangunan adalah membangun sumber
Sumber daya manusia yang berkualitas dipengaruhi oleh status gizi dan
kesehatan yang baik serta pendidikan dan pengetahuan. Kurang gizi akan
nasional (SKN), adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai
telah menentapkan 5 (lima) upaya untuk mewujudkan tujuan di atas yang dirumuskan
dalam Panca Karya Husada. Karya kedua dari panca karya husada yaitu:
pengembangan tenaga kesehatan yang diarahkan untuk menyediakan tenaga bermutu
dalam jumlah dan jenis yang sesuai sehingga mampu mengadakan perubahan,
tujuan perbaikan gizi adalah untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan
masyarakat. Mutu gizi akan tercapai antara lain melalui penyediaan pelayanan
Salah satu pelayanan kesehatan yang penting adalah pelayanan gizi di puskesmas,
baik pada Puskesmas Rawat Inap maupun pada Puskesmas Non Rawat Inap.
Pendekatan pelayanan gizi dilakukan melalui kegiatan spesifik dan sensitif, sehingga
peran program dan sektor terkait harus berjalan sinergis. Pembinaan tenaga
sangat penting.
Kesehatan Berbasis Masyarakat. Salah satu strategi untuk memenuhi harapan tersebut
bermutu, sehingga dapat menghasilkan status gizi yang optimal. Pelayanan gizi yang
bermutu dapat terlaksana jika tenaga pelaksana gizi puskesmas mempunyai
tingkat pertama yang bermutu bagi masyarakat. Menurut Wibowo (2014), untuk
pengetahuan yang didukung oleh sikap kerja serta penerapannya dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaan ditempat kerja yang mengacu pada persyaratan kerja yang
pelaksana gizi di puskesmas yaitu : melakukan penimbangan anak balita secara rutin
gizi buruk, memberikan PMT (program makanan tambahan) kepada anak balita
bawah garis merah, mendistribusikan Vitamin A dosis tinggi di bulan Februari dan
tenaga pelaksana gizi sendiri mencakup pengetahuan tentang penilaian status gizi
anak balita, keterampilan untuk melakukan penilaian status gizi anak balita, dan sikap
tanaga pelaksana gizi dalam melaksanakan penilaian status gizi anak balita. Menurut
Guilbert yang dikutip oleh Hasibuan (2001), kinerja adalah sesuatu yang dapat
dikerjakan seseorang sesuai dengan tugas pokoknya dimana tugas dan fungsinya yang
Suatu hal yang semakin disadari pada dasawarsa ini adalah sumber daya
manusia merupakan asset yang paling bernilai tinggi dibandingkan sumber daya
lainnya. Tingkat manfaat sumber daya lainnya, baik finansial ataupun non-finansial
Semakin tinggi kualitas dan manajemen sumber daya manusia, maka semakin tinggi
Saat ini sarana pelayanan kesehatan menghadapi dua tekanan secara simultan.
yang bermutu dengan harga terjangkau. Kedua, sulitnya mendapatkan sumber daya
kesehatan yang bermutu. Pada kondisi seperti ini kualitas tenaga kesehatan sangat
tenaga pelaksana gizi di lapangan. Puskesmas adalah sarana kesehatan terdepan yang
memberi pelayanan kesehatan dan gizi kepada masyarakat di seluruh pelosok tanah
air. Tenaga pelaksana gizi puskesmas merupakan ujung tombak pelaksana program
gizi, dan berhadapan langsung dengan masyarakat, karena itu perannya menjadi
sangat penting adanya. Menurut LAN (2011), penilaian kinerja merupakan alat yang
bermanfaat dalam upaya mencapai tujuan, melalui penilaian kinerja dapat dilakukan
proses penilaian terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan penilaian
menurunkan biaya yang timbul dari kegiatan pemerintah, seperti halnya dengan
keterampilan berkorelasi kuat dengan kinerja dan penelitian ini didukung oleh
bermakna dengan kinerja dan menurut Kindangan terdapat hubungan yang bermakna
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, besaran masalah gizi
pada balita di Indonesia yaitu 19,6% gizi kurang, diantaranya 5,7% gizi buruk; gizi
lebih 11,9%, stunting (pendek) 37,2%. Proporsi gemuk menurut kelompok umur,
terdapat angka tertinggi baik pada balita perempuan dan laki-laki pada periode umur
0-5 bulan dan 6-11 bulan dibandingkan kelompok umur lain. Hal ini menunjukkan
bahwa sampai saat ini masih banyak masyarakat khususnya ibu balita yang
prasarana untuk kegiatan pemantauan status gizi seperti dacin dan mikrotoa
(microtoise) sudah tersedia. Tetapi dari hasil analisa data penilaian status gizi (PSG)
yang diperoleh dari 14 puskesmas yang ada, ternyata sebanyak 5 puskesmas (35,7%)
yang hasil analisa datanya salah, dimana hasil laporan dari puskesmas dievaluasi
kembali oleh tenaga kesehatan di bidang gizi pada dinas kesehatan kabupaten aceh
tamiang dan ternyata hasilnya masih ada kesalahan. Status gizi balita yang
seharusnya baik tetapi dinyatakan buruk. Hasil penilaian status gizi dari 56 anak
(0,51%) dengan katagori sangat kurus, setelah dilakukan analisa ulang dengan WHO
Anthro 2005 ternyata hanya 29 anak (0,26%) yang katagori sangat kurus dan dari
529 anak (4,84%) yang status gizi dengan katagori kurus ternyata 533 anak (4,88%)
yang status gizi kurus. Selain hasil analisa data yang berbeda, hasil pengukuran ulang
terhadap anak yang katagori status gizi sangat kurus juga berbeda. Seperti anak yang
seharusnya berat badan (BB) 10,5 Kg, tertulis di catatan 9,7 Kg yang pada akhirnya
Masalah gizi pada anak balita masih di temukan di wilayah kerja Kabupaten
Aceh Tamiang. Hasil pemantauan status gizi tahun 2014 ditemukan kasus gizi buruk
sebanyak 1,16%, gizi kurang 10,97%, dan gizi lebih 2,42%. Masalah gizi yang terjadi
disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah intake makanan yang rendah,
penyakit infeksi dan tingkat ekonomi yang rendah, di samping itu kesalahaan
pengolahan data yangakan mempengaruhi interpretasi data status gizi anak balita juga
pelaksana gizi yang ada diseluruh Puskesmas tidak semuanya berlatar belakang
bidan (24%), dan 9 orang berpendidikan perawat (36%) (Dinkes Kabupaten Aceh
Tamiang, 2014).
dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi dalam rangka untuk perencanaan kegiatan
selanjutnya. Apa bila hasil yang diperoleh salah, maka perencanaan kegiatan di tahun
berikutnya tidak mencapai sasaran atau target yang diharapkan. Misalnya anak yang
seharusnya katagori gizi buruk akan mendapatkan PMT, tetapi karena hasil
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti merasa perlu untuk mengetahui
tentang Penilaian Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2015.
1.2. Permasalahan
ini adalah apakah kompetensi tenaga pelaksana gizi dapat mempengaruhi kinerja
tenaga pelaksana gizi puskesmas tentang penilaian status gizi anak balita di
terhadap kinerja tenaga pelaksana gizi puskesmas tentang penilaian status gizi anak
1.4. Hipotesis
kinerja tenaga pelaksana gizi di puskesmas tentang penilaian status gizi anak balita.
terhadap tenaga pelaksana gizi dalam rangka perbaikan data dan kinerja tenaga
pelaksana gizi.