Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN YANG MENGALAMI

MENINGITIS

KONSEP DASAR PENYAKIT MENINGITIS

oleh

Kelas A 2017

Ika Hestri Purwanti

NIM 172310101050

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019

1
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN YANG MENGALAMI
MENINGITIS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar Keperawatan Medikal

Dosen Pembimbing : Ns. Mulia Hakam., S.Kep., M.Kep., Sp. Kep. MB

oleh

Kelas A 2017

Ika Hestri Purwanti

NIM 172310101050

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019

2
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal dengan Judul

“LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN YANG MENGALAMI


MENINGITIS”

yang disusun oleh :

Kelompok : 6

Kelas/Angkatan : A-2017

Telah disetujui untuk dipresentasikan dan dikumpulkan pada :

Hari/Tanggal : Selasa, 8 oktober 2019

Makalah ini dikerjakan dan disusun dengan pemikiran sendiri, bukan hasil
jiplakan atau reproduksi ulang makalah yang telah ada.

Penulis

Ika Hestri Purwanti


NIM 172310101050

Mengetahui,

Penanggung Jawab Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Ns. Jon Hafan S, M.Kep., Sp.Kep.MB Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB
NIP. 198401022015041002 NIP: 198805102015041002

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Laporan
Pendahuluan Pada Klien Yang Mengalami Meningitis”. Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Medikal
Fakultas Keperawatan Universitas Jember tahun ajaran 2019.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dari beberapa pihak,
sehingga penulis menyampaikan terima kasih pada :

1. Dosen pembimbing dan PJMK Keperawatan Medikal Fakultas


Keperawatan Universitas Jember tahun ajaran 2019.
2. Teman-teman yang telah membantu dalam pengerjaan makalah ini.
3. Dan beberapa pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini


masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik
serta saran yang membangun.

Semoga semua yang tertulis dalam makalah ini bisa berguna bagi seluruh
pembaca dan bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Jember, 8 Oktober 2019

Penulis

4
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………...…………………………….....
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………...……………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………...………………………………….
BAB I. KONSEP PENYAKIT……………………………………………………
1.1 Definisi....………………………………………..……………………
2.1 Anatomi dan fisiologis……………………………………………......
3.1 Etiologi………………………………………………………………..
4.1 Epidemiologi………………………………………………………….
5.1 Patofisiologi…………………………………………………………..
6.1 Manisfestasi Klinis……………………………………………………
7.1 Pemeriksaan Penunjang………………………………………………
8.1 Penatalaksanaan………………………………………………………
9.1 Pathway……………………………………………………………….
BAB II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN……………………………….
2.1 Pengkajian Keperawatan……………………………………………..
2.2 Diagnosa Keperawatan……………………………………………….
2.3 Intervensi Keperawatan………………………………………………
BAB III. ASUHAN KEPERAWATAN…………………………………………
BAB IV. PENUTUP……………………………………………………………….

4.1 Kesimpulan…………………………………………………………...

4.2 Saran………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….

5
BAB I
KONSEP PENYAKIT
1.1 Definisi meningitis
Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi di membram meninges
yang menyelubungi otak. Meningitis berbahaya dikarenakan dapat
mengganggu kerja meninges yang di dalamnya terdapat cairan
serebrospinal yang berfungsi sebagai pelindung dari jaringan otak yang
apabila terjadi infeksi berkelanjutan lama-kelamaan akan merusak jaringan
syaraf dibawahnya (Shmaefsky, 2010).

Gambar 1.1 Perbedaan otak sehat


dengan otak meningitis
(Sumber : Shmaefsky, 2010)
2.1 Anatomi dan fisiologis
2.1.1 Sistem Syaraf
Sistem syaraf pada manusia dibagi menjadi dua yaitu
sistem syaraf tepi dan sistem syaraf pusat yang bekerja sama dengan
sistem endokrin dalam mengatur semua aktivitas organ di dalam
tubuh manusia. Sistem syaraf pusat dibagi menjadi dua yaitu otak
dan medulla spinalis yang memiliki berjuta-juta neuron untuk

6
memproses rangsangan yang masuk melalui syaraf tepi dan alat
indera (Shmaefsky, 2010).
Sel syaraf di otak yang berfungsi untuk mengenali
memperoses, dan merespon serta mengkoordinasikan tindakan
sebagai respon terhadap rangsang. Mula-mula sel pada indera
menerima rangsang. Rangsang yang cukup kuat menyebabkan sel
syaraf reseptor pada indera tereksitasi sehingga timbul arus listrik.
Arus listrik dialirkan ke otak melalui syaraf sensoris. Otak
memproses informasi tersebut dan memberikan tanggapan yang
selanjutnya disampaikan ke efektor (alat gerak) melalui syaraf
motoris. Kepekaan terhadap rangsang, kecepatan menghantarkan-
memproses- dan memberi tanggapan terhadap rangsang menjadi
faktor penting kecerdasan (Martini, 2012).
Pada gerak refleks memerlukan tanggapan yang sangat
cepat. Oleh karena itu pada mekanisme gerak refleks dikendalikan
oleh medulla spinalis tanpa memerlukan control otak. Sehingga
gerak refleks tidak dipengaruhi oleh kehendak atau tanpa disadari
terlebih dahulu dari impuls dibawa melalui jalan pendek atau jalan
pintas, prosesnya dimulai dari reseptor penerima rangsang, kemudian
diteruskan oleh syaraf sensori ke pusat syaraf, diterima oleh syaraf
penghubung (asosiasi) tanpa diolah di dalam otak langsung dikirim
tanggapan ke syaraf motor untuk disampaikan ke efektor yaitu otot
atau kelenjar (Arrahman, 2019).

Gerak refleks
dikendalikan oleh
system saraf yaitu otak
(refleks kranial)
7
atau medula spinalis
(refleks spinal)
melalui saraf motoric
kranial dan spinal.
Refleks terjadi melalui
lintasan tertentu.
Hal itu disebut dengan
lengkung refleks
dengan komponennya:
reseptor, neuron
sensorik, neuron
penghubung (didalam
otak dan medula spinalis),
neuron motoric,
[1]
dan afektor.

8
Gerak refleks berjalan
sangat cepat
dan tanggapan terjadi
secara otomatis
terhadap rangsangan,
tanpa memerlukan
kontrol dari otak. Jadi
dapat dikodokan
bahwa gerakan ini
terjadi tanpa
dipengaruhi kehendak atau
tanpa disadari
terlebih dahulu. Pada gerak
refleks, impuls
melalui jalan pendek
atau jalan pintas,
9
prosesnya dimulai dari
reseptor penerima
rangsang, kemudian
diteruskan oleh saraf
sensori ke pusat saraf,
diterima oleh set
saraf penghubung
(asosiasi) tanpa diolah
didalam otak langsung
dikirim tanggapan
ke saraf motor untuk
disampaikan ke
efektor, yaitu otot atau
kelenjar.
Gerak refleks
dikendalikan oleh
10
system saraf yaitu otak
(refleks kranial)
atau medula spinalis
(refleks spinal)
melalui saraf motoric
kranial dan spinal.
Refleks terjadi melalui
lintasan tertentu.
Hal itu disebut dengan
lengkung refleks
dengan komponennya:
reseptor, neuron
sensorik, neuron
penghubung (didalam
otak dan medula spinalis),
neuron motoric,
11
[1]
dan afektor.
Gerak refleks berjalan
sangat cepat
dan tanggapan terjadi
secara otomatis
terhadap rangsangan,
tanpa memerlukan
kontrol dari otak. Jadi
dapat dikodokan
bahwa gerakan ini
terjadi tanpa
dipengaruhi kehendak atau
tanpa disadari
terlebih dahulu. Pada gerak
refleks, impuls

12
melalui jalan pendek
atau jalan pintas,
prosesnya dimulai dari
reseptor penerima
rangsang, kemudian
diteruskan oleh saraf
sensori ke pusat saraf,
diterima oleh set
saraf penghubung
(asosiasi) tanpa diolah
didalam otak langsung
dikirim tanggapan
ke saraf motor untuk
disampaikan ke
efektor, yaitu otot atau
kelenjar
13
Gerak refleks
dikendalikan oleh
system saraf yaitu otak
(refleks kranial)
atau medula spinalis
(refleks spinal)
melalui saraf motoric
kranial dan spinal.
Refleks terjadi melalui
lintasan tertentu.
Hal itu disebut dengan
lengkung refleks
dengan komponennya:
reseptor, neuron
sensorik, neuron
penghubung (didalam
14
otak dan medula spinalis),
neuron motoric,
[1]
dan afektor.
Gerak refleks berjalan
sangat cepat
dan tanggapan terjadi
secara otomatis
terhadap rangsangan,
tanpa memerlukan
kontrol dari otak. Jadi
dapat dikodokan
bahwa gerakan ini
terjadi tanpa
dipengaruhi kehendak atau
tanpa disadari

15
terlebih dahulu. Pada gerak
refleks, impuls
melalui jalan pendek
atau jalan pintas,
prosesnya dimulai dari
reseptor penerima
rangsang, kemudian
diteruskan oleh saraf
sensori ke pusat saraf,
diterima oleh set
saraf penghubung
(asosiasi) tanpa diolah
didalam otak langsung
dikirim tanggapan
ke saraf motor untuk
disampaikan ke
16
efektor, yaitu otot atau
kelenjar
Gerak refleks
dikendalikan oleh
system saraf yaitu otak
(refleks kranial)
atau medula spinalis
(refleks spinal)
melalui saraf motoric
kranial dan spinal.
Refleks terjadi melalui
lintasan tertentu.
Hal itu disebut dengan
lengkung refleks
dengan komponennya:
reseptor, neuron
17
sensorik, neuron
penghubung (didalam
otak dan medula spinalis),
neuron motoric,
[1]
dan afektor.
Gerak refleks berjalan
sangat cepat
dan tanggapan terjadi
secara otomatis
terhadap rangsangan,
tanpa memerlukan
kontrol dari otak. Jadi
dapat dikodokan
bahwa gerakan ini
terjadi tanpa

18
dipengaruhi kehendak atau
tanpa disadari
terlebih dahulu. Pada gerak
refleks, impuls
melalui jalan pendek
atau jalan pintas,
prosesnya dimulai dari
reseptor penerima
rangsang, kemudian
diteruskan oleh saraf
sensori ke pusat saraf,
diterima oleh set
saraf penghubung
(asosiasi) tanpa diolah
didalam otak langsung
dikirim tanggapan
19
ke saraf motor untuk
disampaikan ke
efektor, yaitu otot atau
kelenjar
2.1.2 Otak
Secara umum otak manusia terdiri atas tiga bagian: otak
besar (cortex), otak kecil (cerebellum), dan batang otak (pons).
Ketiga bagian tersebut memiliki bagian-bagian yang lebih detail lagi.
Bagian-bagian otak beserta salah satu fungsi utamanya (Martini,
2012) :
1. Prefrontal Cortex, Merupakan bagian yang penting untuk
berpikir, memproses dan menyimpan memori dan informasi.
2. Temporal Lobe, Merupakan pusat bicara dan bahasa.
3. Motor Cortex, Pusat pengaturan aktivitas organ tubuh untuk
melakukan gerak terkoordinasi.
4. Parietal Lobe, Pusat pengaturan gerak tangan dan kemampuan
spatial.
5. Occipital Lobe, Pusat pengaturan visual.
6. Cerebellum (Otak kecil), Pusat pengaturan secara dinamis
keseimbangan, koordinasi, dan berperan sebagai pilot
otomatis.
7. Medulla oblongata, Pusat pengaturan kerja jantung dan paru-
paru.
8. Sistem limbic, Pusat pengendalian emosi dan kasih sayang.
9. Hipotalamus, Perantara semua rangsang dari indera ke otak
kemudian akan dilanjutkan ke cortex dan bagian lainnya
sehingga berperan sebagai stimulus utama kerja otak dan
mengatur hipofisis.

20
10. Hipofisis, Suatu bagian otak yang terletak di bawah (ventral)
hipotalamus yang berfungsi sebagai penghasil hormon yang
menstimulasi kerja otak dan kelenjar lainnya

2.1.3 Tempurung Kepala


Otak sebagai organ vital yang mengolah rangsangan dan
mengatur semua aktivitas tubuh dilindungi oleh tengkorak yang
tersusun dari berbagai tulang yang menyangga dan melindungi. Otak
di selubungi oleh tempurung kepala yang terdiri dari tulang pipih
yaitu (Sobotta, 2011):
Os. Frontalis : 1 buah
Os. Parietalis : 2 buah
Os. Temporalis : 2 buah
Os. Oksipitalis : 1 buah

Gambar 1.2 susunan tulang pada tengkorak


(Sumber : sobotta, 2011)
2.1.4 Meninges
Syaraf pusat yang terdiri dari otak dan medula spinalis memiliki
membran berlapis-lapis yang menyelubungi sebagai sistem perlindungan
pada korteks dan sel-sel syaraf di bawahnya.
Membran itu disebut meninges yang terdiri dari tiga lapisan yaitu :
1. Duramater

21
Lapisan terluar yang terdiri dari dua lapisan sehingga lebih
tebal daripada lapisan dibawahnya. Terdiri dari fibrosa luar dan
dalam lapisan. Lapisan luar menyatu dengan periosteum tulang
tengkorak disebut duramater endosteal layer sedangn terdapat
lapisan dibawahnya yang berinteraksi dengan arachnoid mater yang
disebut duramater meningeal layer. Lapisan luar, atau endosteal, dan
dalam, atau meningeal dari durameter tengkorak biasanya dipisahkan
oleh celah ramping yang mengandung cairan jaringan dan pembuluh
darah, termasuk beberapa sinus vena besar. Pembuluh darah otak
terbuka ke sinus-sinus ini, yang membebaskan vena darah ke vena
jugularis interna leher. (Martini, 2012).
2. Arachnoidmater
Lapisan yang berada di antara durameter dan piameter dan
terdapat ruang subarachnoid yang merupakan tempat mengalirnya
cairan serebrosinal. Tersusun dari lapisan epitel dan sel-sel dan serat
trabecula arachnoid yang membentuk serabut melintasi ruang
subarachnoid ke piamater. Membran arachnoid menyelubungi otak,
dengan memiliki permukaan yang halus dan yang tidak mengikuti
lipatan yang mendasari otak. Membran ini bersentuhan dengan
lapisan epitel bagian dalam duramater. Itu ruang subarachnoid
memanjang di antara arachnoid membran dan piamater. (Martini,
2012).
3. Piamater
Lapisan terdalam yang bersentuhan langsung dengan
permukaan korteks serebral. Piamater menempel pada permukaan
otak, ditambatkan oleh proses astrosit. kemudian meluas ke setiap
lipatan, dan menyertai cabang-cabang pembuluh darah otak saat
mereka menembus permukaan otak untuk mencapai struktur internal
struktur (Martini, 2012).

22
Gambar 1.3 Selaput otak (Meninges)

Fungsi membran meninges :


a. melindungi otak dari benturan
b. menjaga otak tetap pada posisinya
c. menjaga tekanan interkranial

2.1.5 Sawar Otak


Selain membran meninges, sistem perlindungan pada otak yaitu
sawar darah-otak yang merupakan sistem gerbang antara sirkulasi darah
dan sel-sel syaraf otak yang meliput :
a) Sawar darah-otak
Jaringan saraf di sistem syaraf pusat diisolasi oleh sawar
darah-otak dari sirkulasi yang pada sel-sel lainnya hanya
menggunakan perpindahan sederhana. Penghalang ini dibentuk
oleh sel-sel endotel kapiler yang secara luas menyusun
persimpangan yang rapat (tigh junction). Persimpangan ini
mencegah difusi zat di darah dengan sel endotel yang berdekatan.
Secara umum, hanya senyawa yang larut dalam lemak (termasuk
karbon dioksida; oksigen; amoniak; lipid, seperti steroid atau
prostaglandin) dapat berdifusi melintasi membran sel endotel ke
dalam cairan interstitial otak dan sumsum tulang belakang. Air dan
ion harus melewati saluran di membran plasma apikal dan

23
basement. Senyawa yang lebih besar dan larut dalam air hanya
dapat melintasi dinding kapiler dengan transportasi aktif atau pasif.
Permeabilitas terbatas dari lapisan endotel kapiler otak dalam
beberapa hal tergantung pada bahan kimia yang disekresikan oleh
sel astrosit yang dapat melepaskan bahan kimia untuk mengontrol
permeabilitas endotelium ke berbagai zat, sel-sel ini memainkan
peran pendukung kunci dalam penghalang darah-otak (Martini,
2012).
b) Sawar darah-cairan serebrospinal
Cairan serebrosponal diproduksi oleh pleksus koroideus yang
terletak di dekat ventrikel otak. Pleksus koroid bukan bagian dari
jaringan saraf otak namun terdapat sel endotel yang saling
tehubung dengan tigh junction mengelilinginya. Diprosduksinya
cairan serebrospinal berguna untuk menciptakan penghalang dari
zat sukar yang berdifusi dari kapiler darah.. Beberapa senyawa
organik siap diangkut dari cairan serebrospinal ke sel syaraf otak,
dan yang lainnya hanya bersilangan dalam jumlah yang sangat
kecil. Neuron memiliki kebutuhan konstan akan glukosa yang
harus dipenuhi terlepas dari konsentrasi dalam darah dan cairan
interstitial. Bahkan ketika kadar glukosa yang beredar rendah, sel-
sel endotelial terus mengangkut glukosa dari darah ke cairan
interstitial otak. Sehingga cairan serebrospial berbeda dengan
serum darah (Martini, 2012).

24
Gambar 1.4 Sistem aliran cairan serebrospinal
(Sumber : Martini, 2012)

Tabel 1.1 Komposisi normal cairan serebrospinal


CSS
Osmolaritas 295 mOsm/L
Natrium 141-150 mEq/l
Kalium 2,2-3,3 mRq
Klorida 120-130 mEq/l
Ph 7,33
Tekanan 6,31 kPa
Glukosa 45-80 mg%
Protein 5-15 mg% (ventrikel)
10-25 mg% (sisterna)
15-45 mg% (Lumbal)
Albumin 0,23 g/l
Leukosit 5-20 sel/mm3

3.1 Etiologi
Menurut agen penyebab atau juga disebut pathogen dari penyakit
meningitis dibagi menjadi bebrapa jenis yaitu (benninger, 2017):

Tabel 1.2 jenis pathogen meningitis

25
Jenis pathogen Contoh
Bakteri  Streptococcus pneumonia
 Neisseria meningitides
 Streptococcus agalactiae
 Haemophilus influenza
 Escherichia coli
 Mycobacterium tuberculosis
 Listeria monocytogenes
 Aerobic Gram-negative bacilli
Virus  Herpes simplex virus type 2
 Human herpesvirus-6
 Coxsackieviruses A and B
 Echoviruses
 Enteroviruses
 Lymphocytic
 choriomeningitis virus
 Filoviridae
Protozoa  Trypanosomiasis Malaria
 Toxoplasma
 Leishmaniasis
 Amebiasis
 Microsporidiasis
Fungi  Candida family
 Cryptococcus neoformans
 Blastomyces dermatitidis
 Histoplasma capsulatum
 Coccidioides immitis
Parasite  Flatworms (Schistosomiasis, Cysticercosi)
 Roundworms (Filariasis, Strongyloidiasis)

Faktor risiko dan presdiposisi (brouwer, 2017) :


1. perlukaan pada mukosa mulut dan telinga

26
2. terpapar kotoran hewan yang terinfeksi
3. imunidefisiensi
4. area endemik
5. terjangkit HIV (Human Papiloma Virus)
6. ISPA (infeksi saluran pernafasan akut)
7. Mengalami OMA (Otitis Media Akut)
8. Terjangkit TBC (tuberculosis)
9. Proses Sistemik suatu penyakit
10. Fraktur kepala
11. Pasca tindakan infasif (bedah otak, pungsi lumbal)

4.1 Epidemiologi
Sekitar 1,2 juta kasus meningitis bakteri terjadi setiap tahunnya di
dunia, dan tingkat kematiannya mencapai 135.000 jiwa. Secara
keseluruhan tingkat kematian pasien meningitis bakteri antara 2-30%
tergantung dari bakteri penyebab meningitis. Setidaknya terdapat 25.000
kasus baru meningitis bakteri, tetapi penyakit ini jauh lebih sering
ditemukan di negara-negara sedang berkembang. Beberapa penelitian
tentang kejadian meningitis dari United State dan Finlandia dipublikasikan
baru-baru ini (Kurniawati, 2013). Dari hari pengamatan sebelumnya,
terjadi penurunan angka kejadian meningitis sebanyak 64% dari 1997
hingga 2014 di Finlandia dan Amerika Serikat terjadi penurunan sebanyak
45% dari 2006 hingga 2014. Sebagian besar dari kasus meningitis
disebabkan oleh pneumokokus, yang bertanggung jawab atas 45-72%
kasus kasus, sedangkan meningokokus menyebabkan 11-33% kasus
(Brouwer, 2017) .
Di Indonesia pada tahun 2010 jumlah kasus meningitis terjadi pada
laki-laki sebesar 12.010 pasien, pada wanita sekitar 7.371 pasien, dan
dilaporkan pasien yang meninggal dunia sebesar 1.025. Jumlah pasien
meningitis di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2010 sebesar 40 pasien, 60%
diantaranya adalah laki-laki dan 40% diantaranya adalah wanita, dan
dilaporkan sekitar 7 pasien meninggal dunia. Pada tahun 2011 dilaporkan

27
36 pasien dengan diagnosis meningitis, dan 11 pasien meninggal dunia,
sekitar 67% pasien berjenis kelamin laki-laki dan sekitar 33% adalah
wanita. Tingkat kematian meningitis di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) masih tinggi, yakni mencapai 41,8%
berdasarkan data rekam medis sejak tahun 1997-2005 dengan
mengikutsertakan 273 penderita, yang terdiri dari 81 wanita dan 192 pria,
dengan usia antara 12 sampai 78 tahun. Sejumlah 114 penderita meninggal
dan 159 hidup (Kurniawati, 2013).
5.1 Patofisiologi
Faktor virulensi bakteri spesifik untuk patogen meningeal meliputi
komponen selubung membrane pada bakteri yang secara khusus dapat
menghindari mekanisme pertahanan sel-sel tubuh manusia dan melakukan
invasi kedalam aliran darah. Pada penyakit pneumokokus, adanya
imunoglobulin A polimer reseptor pada mukosa manusia, yang berikatan
dengan pneumokokus utama adhesin, CbpA, berkorelasi dengan
kemampuan pneumokokus untuk menyerang penghalang mukosa. Dari
permukaan nasofaring, organisme yang dienkapsulasi melintasi lapisan sel
epitel dan menyerang pembuluh darah kapiler subepitel. Pengikatan
bakteri untuk diregulasi reseptor mendorong migrasi melalui epitel saluran
pernapasan ke endotel pembuluh darah, yang mengakibatkan penyakit
invasif ke otak (Brouwer, 2017).
Dalam aliran darah, bakteri memiliki mekanisme untuk selamat dari
pertahanan imunonolgis yaitu antibodi yang bersirkulasi. Kapsul
polisakarida pada pathogen meningeal adalah faktor hematogen utama
untuk bertahan dari berbagai sistem imunologis karena dapat menghambat
fagositosis neutrofil sebagai refles antibody terhadap benda asing. Sawar
darah-otak dibentuk oleh sel-sel endotel, yang membatasi invasi patogen
melalui darah. Kapiler serebral, berlawanan dengan kapiler sistemik
lainnya, memiliki sel endotel yang berdekatan menyatu bersama oleh
persimpangan ketat yang mencegah transportasi antar sel sehingga
pathogen akan menyerang ruang subarachnoid terlebih dahulu melalui
transcytosis (Brouwer, 2017).

28
Invasi non-hematogen pada cairan serebrospinal oleh bakteri terjadi
dalam situasi integritas kompromi dari hambatan yang mengelilingi otak,
contohnya pada pasien dengan mastoiditis atau sinusitis. Komunikasi
langsung antara ruang subaraknoid dan kulit atau permukaan mukosa
sebagai akibat dari malformasi atau trauma juga dapat mengakibatkan
infeksi meningeal. Selain itu, bakteri juga dapat mencapai cairan
serebrospinal sebagai komplikasi bedah saraf, anestesi spinal atau
penempatan kateter cairan serebrospinal di ventrikel (Brouwer, 2017).
Secara fisiologis, konsentrasi leukosit, antibodi dan komponen
pelengkap dalam ruang subarachnoid rendah, yang memfasilitasi
multiplikasi bakteri. Komponen dinding sel pneumokokus, pneumolysin
dan DNA bakteri menginduksi respon inflamasi yang parah melalui
pengikatan ke reseptor tertentu. Setelah terlibat, reseptor pensinyalan ini
mentransmisikan sinyal pengaktif ke dalam sel, yang memulai induksi
sitokin inflamasi. Endotoksin adalah komponen utama membran luar
meningokokus dan sangat penting dalam patogenesis sepsis dan
meningitis. Otak merespons endotoksin bakteri dengan ekspresi gen
proinflamasi dan aktivasi jalur koagulasi (Brouwer, 2017).
Respons inflamasi subaraknoid disertai dengan produksi beberapa
mediator dalam sistem saraf pusat (SSP). Interleukin 1β dan interleukin 6
dianggap sebagai sitokin respon awal utama yang memicu inflamasi, yang
menginduksi berbagai leukosit dari sirkulasi ke cairan serebrospinal.
Setelah stimulasi dengan komponen bakteri, makrofag dan granulosit
melepaskan berbagai agen yang berpotensi merusak jaringan, yang
berkontribusi terhadap vasospasme dan vaskulitis. Mekanisme tersebut
menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah-otak sehingga terjadi
edema. Adanya peradangan akut difus pia-arachnoid, dengan migrasi
leukosit neutrofil dan eksudasi fibrin ke dalam cairan serebrospinal
sehingga nanah terakumulasi di atas permukaan otak. Nanah dan fibrin
ditemukan di ventrikel dapat menghambat sirkulasi CSF, menyebabkan
hidrosefalus obstruktif atau blok tulang belakang. Dalam banyak kasus
kematian mungkin disebabkan oleh sepsis (Brouwer, 2017).

29
Gambar 1.5 mekanisme patofisiologis penyakit meningitis
(Sumber : Brouwer, 2017)
Komplikasi serebrovaskular
Terjadi pada 22-25% pasien dengan meningitis bakteri. Kelainan lain
termasuk (Brouwer, 2017) :
1. efusi subdural atau empiema
2. trombosis sinus septik
3. hematoma subaraknoid
4. abses otak
5. hidrosefalus
6. herniasi lobus temporalis atau serebelum

30
6.1 Manisfestasi Klinis
Gejala prodromal pada klien dengan meningitis akan menunjukkan
adanya demam, menggigil keras, malaise umum, kelesuan, nyeri otot, sakit
tenggorokan, infeksi pernapasan bagian atas, ruam kulit, nyeri sendi, mual,
muntah, sakit perut, dan limfadenopati. Pada tahap yang lebih parah yaitu
sudah mencapai iritasi meningeal gejala yang muncul adalah kekakuan
leher (peningkatan resistensi terhadap fleksi pasif leher dan
ketidakmampuan untuk memperpanjang lutut ketika pinggul paha tertekuk
pada 90 derajat), sakit kepala yang parah, muntah, dan fotofobia. Apabila
kerusakan klinis lebih lanjut lagi gejala yang mucul adalah kebingungan,
disorientasi, lekas marah, agitasi, kesadaran menurun, kantuk, kejang,
neurologis fokus defisit, dan koma (Sharma, 2018).

Gambar 1.6 gejala meningitis

7.1 Pemeriksaan Penunjang


a) Pemeriksaan darah lengkap
Dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi darah, apabila terdapat
infeksi didalam tubuh maka leukosit dalam serum melebihi nilai
normal yaitu sekita 4.000-11.000 per microliter darah (Brouwer,
2017).
b) Pemeriksaan refleks patologis meningitis

31
Kernig sign test :
Bernilai negatif ( Normal), apabila ektensi lutut mencapai minimal
135 derajat). Bernilai positif ( Abnormal), apabila tidak dapat
mencapai 135 derajat atau terdapat rasa nyeri yang menandakan
terjadinya meningitis
Brudzinky sign test :
Terdapat empat tahap pemeriksaan brudzinky.
1) Brudzinski I positif (meningitis) bila pada saat fleksi kepala,
terjadi fleksi involunter kedua tungkai pada sendi lutut.
2) Brudzinski II positif (meningitis) bila tungkai yang dalam
posisi ekstensi terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan
lutut.
3) Brudzinski III positif (meningitis) apabila terjadi fleksi
involunter kedua ekstremitas superior pada sendi siku.
4) Brudzinski IV positif (abnormal) apabila terjadi fleksi
involunterkedua tungkai pada sendi lutut.

c) CSS analisis
Dilakukan pengambilan cairan serebrospinal melalui tulang belakang
tepatnya diantara L3 dan L4 menggunakan teknik lumbal punction.
Analisi CSS untuk mengetahui komposisi dari CSS (Brouwer, 2017) :
1. Pada meningitis bakteri, jumlah sel darah putih biasanya>
1000 sel / μL, sedangkan pada meningitis virus adalah <300
sel / μL, meskipun ada banyak tumpang tindih.
2. Pada meningitis bakteri konsentrasi glukosa biasanya <2,5
mmol / L atau <40% dari glukosa serum (normal 65% dari
glukosa serum).
3. Protein CSS pada meningitis bakteri biasanya> 50 mg /
dL.2,25

d) Pewarnaan CSS

32
Pewarnaan Gram positif dalam mengidentifikasi jenis pathogen. Hasil
pewarnaan Gram pada CSS sedikit menurun jika pasien sudah
menjalani pengobatan antibiotik. Pewarnaan CSF Gram memiliki
spesifisitas tinggi (> 97%) untuk mengidentifikasi organisme
penyebab, tetapi sensitivitasnya jauh lebih rendah (~ 60%) (Brouwer,
2017).

e) Pemantauan TIK (tekanan intracranial)


Indikasi dilakukannya pemantauan TIK adalah semua cedera kepala
berat dengan dlasgoc coma scale/GCS 3-8 setelah resusitasi dan hasil
CT-scan/MRI kepala abnormal yang menunjukkan edema, hematoma,
aneurisma, dan adanya massa di otak. Metode pemantauan TIK
dilakukan dengan neuroimaging berkala dan microtranduser sensor
pada intraventikular dan intraparenkimal (Amri, 2017).
Metode pemantauan menurut gejala klinis dilakukan :
1) Tingkat kesadaran (GCS)
2) Pemeriksaan pupil
3) Pemeriksaan motoric okuler (perhatian khusus pada nervus III
dan VI)
4) Adanya mual atau muntah
5) Keluhan nyeri kepala
6) Pemeriksaan tanda-tanda vital

f) Pemindaian CT-Scan/ MRI


Neuroimaging dapat mengidentifikasi kondisi yang dapat menjadi
predisposisi meningitis bakteri; trauma kepala, infeksi sinus atau
mastoid, fraktur tengkorak, dan anomali kongenital. Selain itu, studi
neuroimaging biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan
memantau komplikasi meningitis, seperti hidrosefalus, efusi subdural,
empiema, dan infark dan untuk mengecualikan abses parenkim dan
ventrikulitis. Mengidentifikasi komplikasi otak sejak dini adalah

33
penting, karena beberapa komplikasi, seperti hidrosefalus simtomatik,
empiema subdural, dan abses serebral, memerlukan intervensi bedah
saraf yang cepat. Pada Pemindaian computed tomography (CT)
apabila pasien tidak dalam kondisi komplikasi hasilnya mungkin tidak
terlalu terlihat. Sedangkan pada MRI lebih unggul dari CT scan dalam
evaluasi pasien dengan dugaan meningitis, dikarena MRI lebih
sensitive dalam pencitraan sehingga dapat mendeteksi peningkatan
leptomeningeal dan distensi ruang subarachnoid dengan pelebaran
celah interhemispheric, yang dilaporkan merupakan temuan awal pada
meningitis parah (Sharma, 2019).

(1) (2) (3)


Gambar 1.7 Perbedaan pemeriksaan neuroimaging
MRI (1) dan CT-Scan (2) antara otak post-mortem meningitis
(Sumber : medscape.com)

8.1 Penatalaksanaan
Meningitis diobati secara darurat di unit perawatan intensif dengan terapi
pendukung penuh (Sharma, 2018) :
1. Tirah baring dan pemantauan parameter vital (hematologi,
biokimiawi, dan koagulasi; analisis gas darah arteri; skrining
infeksi; rekaman bagan asupan / keluaran; dan pemeliharaan
parameter ventilator)
2. Rehidrasi yang memadai dengan pemeliharaan elektrolit
3. Antibiotik atau antivirus empiris
4. Antipiretik-analgesik

34
5. Terapi antikonvulsan
6. Fasilitas manajemen jalan napas tersedia
7. Kontrol peningkatan icp (mannitol 20%, hipertonik saline 3%,
acetazolamide, deksametason, koma barbiturat)
8. Terapi imunoglobulin untuk hipogamaglobulinemia.
9. Rekaman berkala dari penilaian klinis, ct scan otak / mri
10. Analisis CSS
11. Pemberian obat edema antikerebral (manitol, saline hipertonik 3%,
acetazolamide),
12. Pengalihan cairan serebrospinal / shunting

Penanganan khusus menurut jenis pathogen:


a) Meningitis virus.
Dalam kasus ensefalitis HSV-1 dan meningitis HSV-2, rangkaian
asiklovir intravena harus segera dimulai untuk jangka waktu 5-7 hari.
Demikian pula, gansiklovir harus diberikan dalam kasus infeksi CMV
atau infeksi terkait AIDS. Enterovirus biasanya sembuh sendiri dan
tidak memerlukan terapi antivirus khusus. Untuk pencegahan
meningitis akibat campak, varicella, virus polio, virus influenza, virus
Japanese-B encephalitis, dll., diberikan vaksinasi khusus. Prognosis
keseluruhan pada meningitis viral lebih baik daripada penyebab
infektif lainnya kecuali pada bayi dan anak kecil. Biasanya ada
pemulihan total dalam 2-4 minggu (Sharma, 2018).
b) Meningitis bakterialis.
Pemberantasan infeksi bakteri dengan terapi antimikroba: Pilihan
terapi antibiotik tergantung pada tiga parameter penting: penetrasi
CSS yang tinggi, aktivitas bakterisida yang efektif, dan kemanjuran
klinis yang terbukti. Terapi antibiotik pada kasus yang diduga
meningitis sebelum analisis CSF: Antibiotik empiris dipilih
berdasarkan faktor predisposisi pada setiap kelompok usia pasien.
Kelompok usia mulai dari bulan keempat hingga 50 tahun:
rejimen antibiotik pilihan adalah Vancomycin (60mg / kg / hari)

35
YANG dikombinasikan dengan sefalosporin (sefotaksim 200–300mg /
kg / hari atau sefriakson 100mg / kg / hari). Rifampisin biasanya
ditambahkan hanya pada kasus pneumokokus yang resisten
sefalosporin. Kelompok usia yang rentan (bayi baru lahir,
neonatus, dan pasien lanjut usia) serta pasien dengan sistem imun
yang terganggu semua membutuhkan rejimen antibiotik tiga kali lipat.
Kombinasi terbaik adalah hanya menambahkan ampisilin (200mg / kg
/ hari) ke rejimen antibiotik dewasa pilihan. Pada neonatus (usia 0-4
minggu), ampisilin dengan sefotaksim atau aminoglikosida digunakan.
Pada infeksi bedah saraf pasca operasi, vankomisin plus Ceftazidime
umumnya digunakan dengan hasil yang baik. Dalam dugaan kasus
TB, obat antitubercular (Pyrizinamide, isoniazid, rifampicin, dan
piridoksin sebagai rejimen kombinasi) digunakan selama 4 bulan dan
kemudian hanya dua obat yang dipilih untuk 18 bulan hingga 3 tahun.
Kadang-kadang etambutol ditambahkan serta streptomisin diberikan
pada kasus yang resisten (Sharma, 2018).
c) Meningitis jamur.
Penatalaksanaannya terutama tergantung pada terapi obat antijamur;
dalam beberapa kasus hidrosefalus, abses, dan granuloma, intervensi
bedah saraf mungkin diperlukan. Prinsip-prinsip pengelolaan infeksi
jamur pada sistem syaraf pusat adalah sebagai berikut: (1)
Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor-faktor risiko predisposisi
dan kondisi medis yang ada bersamaan. (2) Terapi antijamur spektrum
luas awal empiris dimulai setelah infeksi jamur. Amfoterisin-B dan
formulasi lipidnya, caspofungin, mikafungin, vorikonazol, flukonazol,
posaconazol, dan flucytosin adalah obat antijamur broadspectrum. (3)
Menegakkan diagnosis infeksi jamur spesifik untuk terapi obat
antijamur yang tepat. (4) Prosedur bedah radikal dilakukan untuk
memotong massa jamur di orbit dan sinus paranasal, dan intervensi
bedah saraf aktif dilakukan untuk lesi infeksi intrakranial atau
hidrosefalus. Eksisi jaringan yang terinfeksi nekrotik dan drainase
sinus paranasal diperlukan pada pasien tersebut. (5) Terapi obat

36
antijamur yang agresif termasuk irigasi sinus paranasal aerasi dengan
agen antijamur diperlukan untuk periode yang lama (lebih dari 3
bulan) (Sharma, 2018).

Tabel 1.3 terapi antibiotik menurut usia

Umur Jenis Bakteri Terapi antibiotik


intravena
<1 bulan Streptococcus agalactiae, Ampicillin + cefotaxime
Escherichia coli, Listeria atau aminoglycoside
monocytogenes
1-3 bulan Streptococcus Ampicillin + vancomycin
pneumoniae, Neisseria + ceftriaxone atau
meningitidis, Strep. cefotaxime
agalactiae, Haemophilus
influenzae, E. coli, L.
monocytogenes
3-23 bulan Strep. pneumoniae, N. Vancomycin +
meningitidis, Strep. ceftriaxone atau
agalactiae, H. influenzae, cefotaxime
E. coli
2-50 tahun N. meningitidis, Strep. Vancomycin +
Pneumonia ceftriaxone atau
cefotaxime
>50 tahun N. meningitidis, Strep. Vancomycin +
pneumoniae, L. ceftriaxone atau
monocytogenes, Aerobic cefotaxime + ampicillin
Gram-negative bacilli

37
38
9.1 Pathway

Trauma/prosedur invasif : Presdiposisi :


Pathogen :
Fraktur tengkorak, pungsi Port de entry pathogen
Bakteri, virus, fungi,
lumbal, shunt, ISPA, OMA, protozoa, parasit
sinusitis, mastoiditis, dll
Invasi pathogen ke
otak melalui sirkulasi

Mekanisme pathogen menembus


sistem sawar otak

Rusaknya sawar darah otak

Pathogen menginfeksi meninges


dan cairan cerebrospinal

Pembentukan Respon inflamasi edema


prostaglandin
MENINGITIS
Rangsangan Produksi cairan
hipotalamus Pelepasan sitokin (interleukin-1 serebrospinal
dan interleukin-6) meningkat

Suhu tubuh meningkat


Akumulasi leukosit :
monosit, makrofag, sel
Kejang Tekanan intrakranial
t-helper, fibroblas
meningkat diatas
normal
hipertermia Kemotaksis leukosit ke
otak
Penurunan kapasitas
adaptif intrakranial
Menghasilkan eksudat Mekanisme tubuh
dalam ruang melawan pathogen :
subarakhnoid fagositosis

Menekan dan mengiritasi


jaringan dibawahnya Peningkatan Spasme otot hidrosepalus
permeabiitas darah otak leher
Obstruksi otak
Mekanisme nyeri
brakikardi Kaku kuduk neuropati kranial
Kesadaran menurun/koma

1. Defisit perawatan diri Risiko ketidakefektifan Mual Nyeri


2. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak akut
bersihan jalan nafas
3. Risiko kerusakan
integritas kulit
39
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian Keperawatan


2.1.1 Identitas Klien
Berisi identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, alamat, nomer rumah sakit, pekerjaan, status perkawinan,
serta tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian dan sumber
informasi dari pasien. Meningitis seringkali menyerang anak-anak
daripada orang dewasa karena anak lebih rentan terhadap infeksi.
Meningitis juga rentan menyerang laki-laki daripada perempuan, karena
pada umunya laki-laki lebih sering terpapar dalam lingkungan
pekerjaannya contohnya pekerja alat berat yang berisiko terluka dan
peternak yang berisiko terinfeksi korotan hewan.
2.1.2 Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medik :
Meningitis atau bisa disertai komplikasinya.
2. Keluhan Utama:
Klien meningitis biasanya mengeluh nyeri hebat di kepala dan kaku
kuduk disertai demam tinggi.
3. Riwayat penyakit sekarang
Berisi kronologis terjadinya keluhan meliputi berapa lama, pernah
terpapar zat, waktu kambuh, ada perubahan fisiologis yang
mencolok beserta pengkajian nyeri PQRS. Pada klien meningitis
dengan komplikasi sepsis atau abses otak akan mengeluhkan nyeri
yang tajam dan menusuk-nusuk, kebanyakan akan mengalami
penurunan kesadaran sebagai mekanisme tubuh terhadap penyakit
dan keparahan/skala nyeri.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Riwayat penyakit yang pernah diderita :
Jenis, tindakan pengobatan, pemberi perawatan, prognosis,
hospitalisasi yang pernah dialami. Kaji apakah klien memiliki

40
faktor presdiposisi misalnya pernah menderita ISPA, sinusitis,
atau perlukaan yang menyebabkan pathogen masuk ke dalam
tubuh.
b. Alergi (obat, makanan, plester, dll)
Semua jenis alergen beserta efek yang ditimbulkan pada klien.
c. Imunisasi
Semua riwayat imunisasi, baik imunisasi dasar maupun
tambahan.
d. Kebiasaan/pola hidup/life style
Berisi penjelasan rutinitas klien sehari-hari yang bersangkutan
dengan kesehatan.
e. Obat-obat yang digunakan :
Riwayat obat-obatan yang digunakan oleh pasien.
5. Riwayat penyakit keluarga: berisi penjelasan tentang riwayat
keluarga yang menderita penyakit yang sama atau penyakit
keturunan yang berisiko terhadap klien. Ditampilakan dengan
genogram 3 generasi

2.1.3 Pengkajian Fungsional (muttaqin, 2008)


1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan
Mendeskripsikan pola kesehatan dan kesejahteraan klien dan
bagaimana kesehatan dikelola termasuk sistem keluarga.
2. Pola nutrisi/ metabolik
Berisi tentang pengukuran antopometri, biomedical sign, diet
pattern, dan clinical sign. Pada klien meningitis menunjukkan gejala
yang berbeda, namun kebanyakan menujukkan adanya penurunan
berat badan karena intake makanan dan cairan berkurang, seringkali
ditemukan tanda-tanda dehidrasi. Karena kebutuhan oksigen
meningkat untuk otak sehingga berisiko gangguan perfusi perifer
yang ditandai dengan kadar Hb yang turun, sedangkan leukosit
meningkat.

41
3. Pola eliminasi
Pada klien meningitis dengan penurunan kesadaran akan memiliki
permasalahan pada perawatan diri eliminasi sehingga seringkali
dipasang kateter urin dan pispot untuk pembuangan hasil eliminasi
dari atas tempat tidurnya. Untuk gangguan pada sisitem eliminasi
jarang ditemukan, hanya apabila pasien dehidrasi makan eliminasi
cairan juga akan sedikit, sedangkan pasien dengan bantuan NGT saat
makan juga akan memiliki sedikit hasil eliminasi feses.
4. Pola aktivitas & latihan
Pada klien meningitis yang tidak terlalu parah dan dapat menjaga
kesadarannya masih memiliki kemampuan untuk beraktifitas seuai
energi yang dimiliki. Namun apabila dengan komplikasinya biasanya
mengalami penurunan kesadaran sehingga aktifitas hariannya seperti
toileting, mobilitas, ROM dilakukan dengan bantuan petugas dan
keluarga sehingga untuk mencegah terjadinya luka decubitus dan
atropi perawat perlu melakukan ROM dan mobilisasi ringan pada
pasien.
5. Pola tidur & istirahat
Pada klien meningitis dengan keluhan nyeri dan fotopobia akan
kesulitan tidur dan merasakan ketidaknyamanan disekitar lingkungan
yang terang dan ramai. Apabila adanya ketidakefektifan jalan nafas,
biasanya klien akan mengorok karena jalur nafas tersumbat mucus.
6. Pola kognitif & perceptual
Klien dengan meningitis akan mempengaruhi kognitifnya karena
terdesaknya otak dengan eksudat dan CSS, apabila sudah terjadi
abses maka kemungkinan dampaknya lebih parah akan semakin
besar.
7. Fungsi dan keadaan indera
Pada klien meningitis gejala yang ditunjukkan adalah fotopobia yaitu
sensitive terhadap cahaya dan diplopodia yaitu sensitive terhadap
suara dikarenakan adanya iritasi pada nervus kranial.

42
8. Pola persepsi diri
Pada klien meningitis memiliki permasalahan yang berbeda, namun
kebanyakan tidak menunjukkan permasalah pada persepsi dirinya
namun juga tidak menutup kemungkinan adanya stressor tersendiri
yang dirasakan.
9. Pola seksualitas & reproduksi
Pada klien meningitis memiliki permasalahan yang berbeda, namun
kebanyakan tidak menunjukkan permasalah pada seksualitasnya
namun juga tidak menutup kemungkinan adanya stressor tersendiri
yang dirasakan.
10. Pola peran & hubungan
Pada klien meningitis dukungan dari keluarga sangat penting karena
penyakit ini termasuk dalam kegawadaruratan medis yang perlu
pengambilan keputusan yang cepat, apabila klien tidak sadarkan diri,
maka keluarga yang berhubungan baik akan mewakilkan.
11. Pola manajemen koping-stress
Pada klien meningitis memiliki permasalahan yang berbeda, namun
kebanyakan menunjukkan kecemasan dan keputusasaan dalam
menghadapi penyakitnya baik dari klien dan juga keluarga.
12. Sistem nilai & keyakinan
Pada klien meningitis memiliki permasalahan yang berbeda, namun
kebanyakan tidak menunjukkan permasalah pada nilai dan keyakinan
namun juga tidak menutup kemungkinan adanya stressor tersendiri
yang dirasakan.

2.1.4 Pemeriksaan Fisik (muttaqin, 2008)


Keadaan umum
Tergantung pada perkembangan kondisi klien. Kebanyakan memiliki
penurunan kesadaran dengan nilai GCS yang sedikit.

43
Tabel 1.4 nilai Glasgow Coma Scale (GCS)

Respons Nilai
Respon membuka mata (Eye)
Spontan 4
Berdasarkan perintah 3
Berdasarkan rangsang nyeri 2
Tidak memberi respons 1
Respons motorik (Motoric)
Menurut perintah 6
Melokalisir rangsang nyeri 5
Menjauhi rangsang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak memberi respon 1
Respon verbal (Verbal)
Orientasi baik 5
Percakapan kacau 4
Kata-kata kacau 3
Mengerang 2
Tidak memberi respons 1

Tanda-tanda vital yang menunjukkan gejala meningitis pada


umumnya :
1. Tekanan darah darah tinggi
2. Suhu tinggi > 38 derajat celius
3. Nadi bradikardi < 16 kali permenit
4. Frekuensi pernafasan meningkat

Pengkajian Fisik (muttaqin, 2008)


a. Kepala
Pada klien meningitis mengalami nyeri yang hebar dan tajam
sebagai reaksi terhadap peningkatan tekanan intracranial dan
prosen inflamasi. Apabila TIK telah mencapai batas-batas tertentu
kepala akan terlihat sedikit membesar dikarenakan hidrosepalus
(akan terlihat pada anak kecil).
b. Mata

44
Beberapa kasus ditemukan adanya papilledema dan paralisis
nerveus VI yang disebut pseudotumor serebri yang memiliki
keluhan nyeri kepala hebat, fotofobia, dan penglihatan buram.
c. Telinga
Pada klien meningitis kebanyakan berawal dari otitis media akut
yang menyerang telinga. OMA merupakan salah satu faktor
presdiposisi terjadinya meningitis.
d. Hidung
Pada klien meningitis salah satu presdiposisi adalah adanya
perlukaan di hidung dan saluran pernafasan.
e. Mulut
Pada klien meningitis tak jarang ditemukannya stomatitis pada
rongga mulut maupun lidah serta bibir kering.
f. Leher
Adanya kaku kuduk dikarenakan spasme otot leher, pada klien
meningitis memiliki pemeriksaan kernig sign dan brudzinki sign
positif.
g. Dada :
1) Paru-paru
Pada pasien meningitis dengan presdiposisi infeksi saluran
pernafasan paru-paru seperti TBC atau Pneumonia akan
menunjukkan gejala penyakit tersebut seperti adanya suara
tambahan, adanya ekdsudat dalam paru-paru yang
memerlukan tindakan untuk mengelurkannya. Pada
umumnya pasien meningitis memiliki gangguan perfusi
jaringan, sehingga diperlukan pasokan oksigen yang tinggi.
Oleh karena itu terapi oksigen diberikan berupa penggunan
masker atau kateter nasal.
2) Jantung
Pada pasien meningitis sering ditemukannya bradikardi
akibat kandungan elektrolit didalam darah berkurang
sehingga menghambat konduksi dari jantung. Dengan

45
begitu tekanan pada darah akan meningkat. pada klien
meningitis biasanya mengalami bradikardi.

h. Abdomen
pada pasien meningitis gejala mual muntah disebsbkan oleh
infeksi meningitis yang menyebabkan dorongan untuk
mengeluarkan isi perut meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan kurangnya nafsu makan, lama-kelamaan akan
mengalami kekurangan nutrisi dan akan membuat berat badan
turun.
i. Urogenital
pada pasien meningitis dengan keadaan dehidrasi akan
mempengaruhi sistem perkemihan yaitu dengan berkurangnya
volume urin. Pada pasien dengan penurunan kesadaran perlu
dipasang kateter urin.
j. Ekstremitas
pada kerusakan lobus otak oleh karena tekanan intracranial atau
abses pada jaringan otak membuat klien penurunan kesadaran
sehingga ekstremitas jarang digunakan dan akan mengalami
atropi otot ekstermitas dan juga risiko tinggi mengalami
kerusakan jaringan yaitu luka decubitus yang diakibatkan ole
tekanan terlalu lama pada daerah tulang menonjol akibat terlalu
lama posisi tidur.
k. Kulit dan kuku
pada klien meningitis akan mengalami ketidakseimbangan
elektrolit dan demam sehingga kebutuhan air meningkat dan
membuat kulit kering dan turgor tidak bagus. Pada meningokokus
muncul bercak-becak kemerahan dan lama kelamaan terjadi
nekrotik jaringan.

2.1 Diagnosa Keperawatan


1) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d peningkatan interkranial.

46
2) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d aneurisma serebral
3) Hipertermia b.d penyakit : infeksi meningitis
4) Nyeri akut b.d agen cedera biologis : meningitis
5) Risiko kerusakan integritas kulit b.d gangguan sirkulasi
6) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi tertahan
7) Mual b.d meningitis
8) Defisit perawatan diri : makan b.d gangguan neuromuskular
9) Defisit perawatan diri : mandi b.d gangguan neuromuskular
10) Defisit perawatan diri : berpakaian b.d gangguan neuromuskular

47
2.2 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


.
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen edema serebral (2540)
b.d peningkatan interkranial - 00049 selama 2 x 24 jam diharapkan perfusi 1. Monitor adanya kebingungan,
jaringan serebral pada klien membaik, perubahan pikiran, keluhan pusing atau
dengan, pingsan
2. Monitor tingkat kesadaran dengan
Kriteria Hasil : GCS
Status neurologi : kesadaran (0912) 3. Monitor TTV dan TIK berkala
1) Penurunan aktivitas kejang (dari 4. Kurangi stimulis lingkungan terhadap
skala 2 menjadi skala 4) pasien
2) Respon terhadap rangsangan (dari 5. Berikan obat anti kejang sesuai
skala 3 menjadi skala 4) indikasi
Status neurologi : otonomi (0910) 6. Berikan agen paralisis seusai
3) Termoregulasi terkontrol (dari kebutuhan
skala 2 menjadi skala 4) 7. Lakukan latihan ROM pasif
4) Perfusi jaringan perifer (dari skala 8. Berikan diuretic osmotik
2 menjadi 4)
5) Sakit kepala berkurang (dari skala Monitor tekanan interkranial (2590)
2 menjadi 4) 9. Bantu menyisipkan perangkat
pemantauan TIK
10. Rekam pembacaan tekanan TIK

48
11. Pertahankan sterilisasi alat pemantauan
12. Posisikan pasien dengan nyaman

Manajemen kejang (2680)


13. Monitor secara langsung mata dan
kepala selama kejang
14. Monitor status neurologik
15. Dokumentasikan informasi tentang
kejadian kejang
16. Berikan antikonvulsan Phenytoin
3x100 mg/IV dan
neuroprotektorCiticolin 3x250 mg/IV

2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan Setelah diberikan asuhan keperawatan Peningkatan perfusi serebral (2550)
otak b.d embolisme vascular otak -00201 selama 1 x 24 jam diharapkan perfusi 1. Pantau tingkat
jaringan serebral pada klien membaik, kerusakan perfusi jaringan serebral,
dengan seperti status neurologi dan adanya
penurunan kesadaran.
Kriteria Hasil: 2. Menentukan posisi
Perfusi jaringan serebral (0406) kepala yang tepat (0, 15, atau 30
1) Tekanan darah sistolik normal derajat) dan monitor respon klien
(120 mmHg) (dari skala 2 menjadi terhadap posisi tersebut.
skala 3) 3. Monitor status
2) Tekanan darah diastolik normal respirasi (pola, ritme, dan kedalaman
(80 mmHg) (dari skala 2 menjadi respirasi; PO2, PCO2, PH, dan level

49
skala 3) bikarbonat)
Status neurologi (0909) 4. Monitor nilai lab
3) Peningkatan kesadaran (dari skala untuk perubahan dalam oksigenasi
3 menjadi skala 4) 5. Pertahankan
4) Penurunan tekanan intracranial kepatenan jalan nafas.
(dari skala 3 menjadi skala 4) 6. Monitor aliran
oksigen.
7. Monitor tanda-tanda
vital
8. Ukur tekanan darah
setelah klien mendapatkan
medikasi/terapi.
9. Observasi kejang
pada pasien
10. Hindarkan barang-
barang yang berbahaya dari sekitar
pasien
11. Jaga ikatan
disamping tempat tidur
12. Pasang tiang
pengaman, gunakan paddle pada sisi
tempat tidur

3. hipertermia b.d penyakit : infeksi Setelah dilakukan tindak-an perawatan Perawatan hipertermia (3786)
meningitis - 00007 selama 1 X 24 jam diharapkan suhu badan 1. Monitor suhu sesuai kebutuhan,

50
pasien kembali normal dengan, tekanan darah, nadi dan respirasi
Kriteria Hasil: 2. Observasi dan laporkan tanda gejala
Termoregulasi (0800) hipertermi
1) Suhu badan normal (dari skala 2 3. Hentikan aktivitas fisik
menjadi skala 4) 4. Beri oksigen sesuai kebutuhan
2) Tidak ada perubahan warna kulit 5. Monitor derajat penurunan kesadaran
(dari skala 3 menjadi skala 4) serta adanya aritmia jantung
3) Nadi, respirasi dalam batas 6. Dorong peningkatan intake cairan
normal (dari skala 2 menjadi skala 7. Berikan cairan intravena
4) 8. Kompres dingin dahi dan aksila.
4) Hidrasi adequate (dari skala 3 9. Anjurkan klien untuk tidak memakai
menjadi skala 4) selimut
5) Berhenti kejang (dari skala 2 10. Anjurkan klien memakai baju
menjadi skala 4) berbahan dingin, tipis dan menyerap
keringat
11. Kolaborasikan dengan dokter
mengenai pemberian obat antipiretik
untuk mencegah klien menggigil /
kejang
Manajemen Lingkungan (6480)
12. Berikan tempat tidur dan kain / linen
yang bersih dan nyaman
13. Batasi pengunjung
14. Tingkatkan sirkulasi udara dengan
kipas angin

51
4. Nyeri akut b.d agen cedera biologis : Setelah dilakukan tindakan Keperawatan Manajemen nyeri (1400)
meningitis -00132 selama 2x 24 jam diharapkan nyeri pasien 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
berkurang dengan, komprehensif (lokasi, karateristik,
durasi, frekuensi, kualitas, dan factor
Kriteria Hasil : presipitasi.
Tingkat nyeri (2102) 2. Observasi reaksi non verbal dari
1) Skala nyeri berkurang / menurun ketidaknyamanan.
(dari skala 2 menjadi skala 4) 3. Gunakan teknik komunikasi terapetik
2) Kontrol nyeri (dari skala 2 menjadi untuk mengetahui Pengalaman nyeri
skala 4) klien.
Status kenyamanan (2010) 4. Bantu klien dan keluarga untuk
3) kebutuhan tidur dan istirahat mencari dan menemukan dukungan.
tercukupi (dari skala 3 menjadi 5. Kontrol lingkungan yang dapat
skala 4) mempengaruhi nyeri (suhu ruangan
4) metode non farmakologi untuk pencahayaan, dan kebisingan)
mengurangi nyeri (dari skala 3 6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
menjadi skala 4) (farmokologi, non farmakologi dan
interpersonal)
7. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
8. Evaluasi keefektivan kontrol nyeri
9. Tingkatkan istirahat
10. Kolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil.

52
Andministrasi Analgetik (2210)
11. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis dan fekkuensi.
12. Cek riwayat alergi
13. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
14. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat.
15. Evaluasi efektifitas analgesik tanda
dan gejala (efek sampingan)
5. Risiko kerusakan integritas kulit b.d Setelah dilakukan tindakan Keperawatan Perawatan tirah baring (0740)
gangguan vascular - 00047 selama 3x 24 jam diharapkan kepatenan 1. Posisikan sesuai bodu aligment yang
jalan nafas pasien terjaga dengan, tepat
2. Hindari penggunaan kain sprei yang
Kriteria Hasil: panas dan tidak menyerap keringat
Integritas jaringan : kulit dan mukosa 3. Balikkan pasien sesuai kebutuhan,
(1101) lakukan paling tidak 2 jam sekali atau
1) Suhu kulit normal (dari skala 2 atur jadwal spesifik
menjadi skala 4) 4. Ajarkan latihan dan ROM ditempat
2) Tidak ada kemerahan (dari skala 2 tidur pada keluarga
menjadi skala 4) 5. Ajarkan keluarga terapi pijat yang
3) Perfusi jaringan baik (dari skala 2 benar
menjadi skala 4) 6. Bantu dalam memnjaga kebersihan
4) Integritas kulit membaik (dari lingkungan sekitar pasien

53
skala 2 menjadi skala 4) 7. Monitor kondisi kulit dan bagian tubuh
lain yang berisiko tinggi mengalami
decubitus.
6. ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d Setelah dilakukan tindakan Keperawatan Manajemen jalan nafas (3140)
sekresi tertahan -00031 selama 2x 24 jam diharapkan kepatenan 1. Buka jalan nafas
jalan nafas pasien terjaga dengan, 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi pasien perlunya
Status pernafasan : kepatenan jalan pemasangan alat jalan nafas buatan
nafas (0410) 4. Observasi adanya tanda-tanda
1) Kepatenan jalan nafas (dari skala 2 hipoventilasi
menjadi skala 4) 5. Monitor aliran oksigen pasien Monitor
2) tidak ada suara nafas tambahan adanya sianosis
(dari skala 3 menjadi skala 4) 6. Keluarkan sekret dengan suction
3) frekuensi pernafasan normal (dari 7. Auskultasi suara nafas sesudah dan
skala 3 menjadi skala 4) sebelum suctioning
4) mampu mengeluarkan sputum (dari 8. Gunakan alat yang steril dalam setiap
skala 3 menjadi skala 4) melakukan tindakan
5) Tidak ada sianosis (dari skala 3 9. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
menjadi skala 4) 10. Buka jalan nafas dengan menggunakan
chin lift atau jaw thrust
Terapi oksigenasi (33320)
11. Monitor status oksigen pasien
12. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi
7. Mual b.d meningitis -00134 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen mual (1450)

54
selama 2x 24 jam diharapkan mual 1. Lakukan pengkajian lengkap rasa
berkurang dengan, mual termasuk frekuensi, durasi,
tingkat mual, dan faktor yang
Kriteria Hasil : menyebabkan pasien mual.
kontrol mual muntah (1618) 2. Evaluasi efek mual terhadap nafsu
1) mengenali onset mual (dari skala 2 makan pasien, aktivitas sehari-hari, dan
menjadi skala 4) pola tidur pasien
2) menggunakan langkah 3. Anjurkan makan sedikit tapi sering
pencegahan(dari skala 2 menjadi dan dalam keadaan hangat
skala 4) 4. Anjurkan pasien mengurangi
3) menghindari faktor risiko (dari jumlah makanan yang bisa
skala 2 menjadi skala 4) menimbulkan mual.
nafsu makan (1014) 5. Berikan istirahat dan tidur yang
4) selera makan membaik (dari skala adekuat untuk mengurangi mual.
2 menjadi skala 4) 6. Kolaborasi pemberian antiemetik :
5) intake nutrisi dan cairan ondansentron 4 mg IV jika mual.
meningkat(dari skala 2 menjadi
skala 4)

8. Defisit perawatan diri : mandi b.d Setelah dilakukan tindakan Keperawatan Bantuan perawatan diri: mandi (1801)
gangguan neuromuscular -00108 selama 3x 24 jam diharapkan kepatenan 1. Persiapkan alat mandi yang aman dan
jalan nafas pasien terjaga dengan, air yang nyaman
2. Bantu cuci rambut pasien dan
Kriteria Hasil : keringakan
Perawatan diri mandi (0301) 3. Bersihkan rongga mult pasien dengan

55
1) Mandi dengan air (dari skala 2 sikat gigi pada pasien yang sadar, kasa
menjadi skala 5) dengan dibasahi larutan H2O2 pada
2) Mencuci wajah (dari skala 2 pasien tidak sadar.
menjadi skala 5) 4. Bantu bersihkan seluruh badan pasien
3) Mencuci tubuh bagian atas dan dengan tetap menjaga privasi
bawah (dari skala 2 menjadi skala 5. Bantu pasien menggunakan pakaian
5) 6. Hindari pakaian yang tidak menyerap
4) Kebersihan mulut dan gigi (dari keringat dan kasar
skala 2 menjadi skala 5) 7. Berikan deodorant atau parfume
5) Membersihkan peritoneum (dari 8. Ajarkan teknik yang benar tentang
skala 2 menjadi skala 5) perawatan mandi pada keluarga pasien

9. Defisit perawatan diri : eliminasi b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan Bantuan perawatan diri: eliminasi
gangguan neuromuscular -00110 selama 3 x 24 jam diharapkan pasien 1. Bantu pasien ke toilet atau
dapat melakukan perawatan diri tempat lain untuk eliminasi
(eliminasi) dengan 2. Beri privasi selama
eliminasi
kriteria hasil : 3. Fasilitasi kebersihan toilet
Perawatan diri: eliminasi (0310) atau alat-alat eliminasi
1) Merespon saat kandung kemih 4. Monitor perkembangan
penuh dengan tepat waktu dapat kemampuan mobilisasi
dipertahankan dari (skala 2 pasien
menjadi ke skala 4) 5. Beri alat bantu seperti
2) Menanggapi dorongan untuk pispot jika terjadi kesulitan

56
buang air besar secara tepat waktu ke toilet
dapat dipertahankan (dari skala 2 6. Ajarkan teknik
menajdi skala 4 membersihkan urogenital
3) Masuk dan keluar kamar mandi setelah klien eliminasi
dapat dipertahankan (dari skala 1 kepada keluarga
menjadi skala 4) 7. monitor hasil eliminasi
4) Merapikan pakaian setelah ke (urine atau feses) untuk
kamar mandi dapat dipertahankan mengetahui output dari
(dari skala 2 menjasi ke skala 4) nutrisi yang di berikan
8. amati apabila ada
keabnormalan pada hasil
eliminasi

57
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian Keperawatan
2.1.5 Identitas Klien
1. Nama : Tn. P
2. Usia : 38 tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMP
6. Alamat : Sumbersari, Jember
7. No. RM : 0101234
8. Pekerjaan : Peternak
9. Status perkawinan : Menikah
10. Tanggal Masuk : Selasa, 20 September 2019
11. Tanggal pengkajian : Rabu, 1 oktober 2019
12. Sumber Informasi : Keluarga

2.1.6 Riwayat Kesehatan


1. Diagnosa Medik
Meningitis TB
2. Keluhan Utama
Klien mengatakan merasa nyeri hebat di kepala.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada tanggal 20 september 2019 klien datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri di area kepala, mual muntah, demam tinggi disertai
kaku kuduk. Menurut keluarga, klien mengalami pusing dan pingsan
secara tiba-tiba dalam dua minggu terakhir. Klien mengatakan nyeri
pada bagian kepala terasa tajam dan menusuk-nusuk dengan tingkat
nyeri skala 5.
4. Riwayat kesehatan terdahulu:
a. Penyakit yang pernah dialami:

58
Memiliki riwayat Tuberculosis sejak 10 bulan yang lalu dan
telah melakukan program pengobatan selama 6 bulan di rumah.
Namun diduga bahwa klien tidak mematuhi program
pengobatan sehingga TBC kembali kambuh dan menyerang
meninges.
b. Alergi (obat, makanan, plester, dll):
Klien tidak memiliki alergi
c. Imunisasi:
klien mengatakan tidak ingat
d. Kebiasaan/pola hidup/life style:
Kurang memakai APD saat berinteraksi dengan ternak.
e. Obat-obat yang digunakan :
Menurut keluarga klien, klien seringkali membeli obat di
warung.
f. Riwayat penyakit keluarga:
Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit meningitis namun
nenek mengidap penyakit TBC sehingga diduga penularan

59
mycobacterium tuberculosis melalui perantara ludahan nenek.

2.1.7 Pengkajian Fungsional


1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan :
Keluarga secara tanggap membawa anggota keluarganya apabila
terserang penyakit, meskipun tidak tahu tentang penyakit dan cara
penatalaksanaan pertama. Namun untuk menjalankan program
kesehatan perlu pengarahan dan pemantauan karena keluarga
berisiko tinggi ketidakpatuhan dalam menjaga kebersihan
lingkungan dan program pengobatan.
2. Pola nutrisi/ metabolik :
Antopometri : tubuh pasien kurus, berdasarkan riwayat rekam
medik dalam penimbangan terakhir kali BB pasien

60
55 kg dengan tinggi 170 cm, IMT 19 kg/m2
sehingga berstatus normal.
Biomedical sign : pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb 12,0
g/dl, Ht 33,1%, Eritrosit 4,17 jt/ul, Leukosit
meningkat dalam darah sebanyak 14,23 rb/ul,
trombosit 285 rb/ul.
Diet pattern : sebelum MRS klien makan 3x sehari, setelah
MRS dan penurunan kesadaran (somnolen) klien
menerima nutrisi melalui personde/NGT.
3. Pola eliminasi :
Pasien terpasng kateter, urin beewarna kuning dengan jumlah kurang
lebih 1800cc/hari. Pasien belum BAB sejak 7 hari terakhir karena
makanan yang diberikan adalah pati nutrisi dan susu sehingga
meminimalisir sisa makanan dalam tubuh.
4. Pola aktivitas & latihan :

c. Aktivitas harian (Activity Daily Living)

Kemampuan
0 1 2 3 4
perawatan diri
Makan/minum v
Toileting v
Berpakaian v
Mobilitas di tempat tidur v
Berpindah v
Ambulasi/ROM v
Ket: 0: tergantung total, 1 : dibantu petugas dan alat, 2 : dibantu
petugas, 3: dibantu alat, 4 : mandiri

Status oksigenasi : pH darah 7,45, PCO2 42 mmHg, PO2


99,5 mmHg, HCO3 28 miliekuivalen/l,
saturasi 97,4%.
Fungsi kardiovaskular : CRT < 2 detik, nadi 64 x/menit, 130/83
mmHg
Terapi oksigen : tidak perpasang bantuan alat nafas

61
5. Pola tidur & istirahat :
Sejak masuk rumah sakit, klien tidur sepanjang waktu karena adanya
penurunan kesadaran (keadaan somnolen).
6. Pola kognitif & perceptual :
Semenjak penurunan kesadaran kemampuan orientasi waktu dan
tempat menurun. Pada pengkajian glaslow coma scale (GCS)
E3V3M3 bernilai 9 keadaan klien sedang somnolen.
7. Fungsi dan keadaan indera :
Klien tidak mengalami fotopobia, masih dapat mendengarkan suara.
Masih mampu membedakan suhu dingin dan hangat serta masih
merasa rangsangan sentuhan dan nyeri.
8. Pola persepsi diri :
Menurut rekam medis klien menerima penyakitnya dan paham
dirinya sedang sakit, namun klien juga mempertahankan
kepercayaan dirinya akan kesembuhan yang masih diusahakan
semua pihak. Untuk pengkajian saat ini terhambat karena klien
sedang dalam keadaan somnolen sehingga susah berinteraksi. Peran
klien sebagai pengambil keputusan dan pencari nafkah dalam
keluarga digantikan oleh istri selama sakit.
9. Pola seksualitas & reproduksi :
Klien memiliki satu anak perempuan yang tinggal serumah dan satu
istri yang selalu menjaga di rumah sakit. Fungsi reproduksi tidak
terdapat gangguan yang berarti.
10. Pola peran & hubungan :
Keluarga mendukung secara penuh baik partisipasi dalam perawatan
maupun menentukan keputusan terapi. Anggota keluarga akan
bergantian menjenguk dan menjaga klien.
11. Pola manajemen koping-stress :
Menurut keluarga klien sempat tertekan dan cemas terhadap
penyakitnya, namun setelah berinteraksi dengan keluarga klien
optimis dalam hal kesembuhannya.

62
12. Sistem nilai & keyakinan :
Menurut keluarga, klien agamis, klien meminta dibangunkan untuk
bisa berdoa dan sholat di tempat tidur. Namun saat ini klien
mengalami kondisi somnolen sehingga ibadah terhambat.

2.1.8 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum:
Klien tampak lemah dan sering tertidur, nilai GCS E3V3M3 9,
sehingga imobilitas, terpasang NGT untuk proses pemasukan makanan,
terpasang kateter untuk eliminasi urin.
Tekanan darah 130/83 mmHg
Suhu badan 38,3 derajat celius
Nadi 64 x/menit
Frekuensi pernafasan 18 x/menit
Saturasi oksigen 97,4%

Pengkajian Fisik :
1. Kepala
Inspeksi :bentuk kepala normal, tidak ada kelainan
bentuk/kecacatan, tidak ada lesi, rambut bersih.
Palpasi :Tidak adanya nyeri tekan pada kepala, tidak
terdapat benjolan abnormal di bagian kepala
simetris, namun klien mengeluh pusing terkadang
ada nyeri tajam yang menusuk-nusuk.
2. Mata
Inspeksi :bentuk mata normal, bersih, tidak ada lesi,
konjungtiva anemis, sklera putih, respon terhadap
cahaya normal
Palpasi :Tidak adanya nyeri dan benjolan yang abnormal.
3. Telinga

63
Inspeksi :bentuk telinga normal, simetris kanan-kiri, tidak
ada gangguan konginetal, bersih tidak
menggunakan alat bantu dengar
Palpasi :tidak ada nyeri tekan, tidak ditemukan adanya
edema
4. Hidung
Inspeksi :bentuk hidung normal, simetris, tidak ada lesi,
tidak mengalami masalah sensori, terpasang NGT
di lubang nasal sebelah kiri
Palpasi :tidak ada nyeri tekan, lubang hidung paten terasa
hembusan nafas, tidak ada
edema/malia/pembesaran sinus
5. Mulut
Inspeksi :bentuk mulut normal simetris, warna bibir normal,
kering, tidak ada lesi , lidah pucat, tidak terlihat
ada sariawan.
Palpasi : Tidak ada masalah
6. Leher
Inspeksi :simetris, tidak terlihat ada benjolan, tidak ada lesi,
tidak ada kelainan bentuk
Palpasi :Tidak ada pembengkakan pada kelenjar tiroid dan
pembesaran vena jugularis. Adanya kaku kuduk dan
kernig sign dan brudzinki sign positif.
7. Dada
a) Paru-paru
Inspeksi :dada simetris, bentuk dada normal, retraksi
dada minimal, ictus cardis tidak terlihat,
tidak ada lesi,
Palpasi :Tidak nyeri tekan, vokal premitus simetri,
ictus cardis teraba
Perkusi :Sonor
Auskultasi :Suara nafas vaskuler, tidak ronchi

64
b) Jantung
Inspeksi : Tidak ada jejas
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Pekak
Auskultasi : tidak ada bradikardi
8. Abdomen :
Inspeksi :bentuk datar, simetris dengan umbilikus, tidak ada
lesi, tidak ada spider navi, tidak ada benjolan, kulit
sama dengan yang lain, tidak ada distensi.
Palpasi :tidak ada nyeri tekan pada epigastrium, turgor kulit
kering, tidak teraba acites, tidak teraba massa
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
9. Urogenital :
Inspeksi : terdapat kateter urin, tidak ada jejas, warna normal
Palpasi : tidak ada benjolan maupun nyeri tekan

10. Ekstremitas :
Inspeksi :tidak terjadi atropi, tidak ada lesi. Terpasang infus
di pasang kiri.
Palpasi :tidak ada benjolan maupun nyeri tekan
Kekuatan otot ekstremitas kanan 3333/3333 dan
ekstremitas kiri 4444/4444, seluruh aktivitas dibantu
alat dan petugas/keluarga.
11. Kulit dan kuku
Inspeksi :kulit terlihat kering, ascites tidak ada, turgor kulit
masih diambang normal, tidak ada edema. Kulit di
pinggang dan punggung terlihat kemerahan seperti
iritasi.
Palpasi :pada kulit yang terlihat merah terasa hangat.

65
2.1.9 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

No. Ukuran Nilai rujukan Nilai hasil


pemeriksaan
Pemeriksaan darah lengkap
1. Haemoglobin 12-14 g/dl 12 g/dl
2. Hematokrit 40-55 % 33,1%
3. Eritrosit 4-5 jt/il 4,17 jt/ul
4. Leukosit 5-10 g/dl 14,23 g/dl
5. Trombosit 150-400 rb/ul 285 rb/ul
6. pH darah 7,45 7,45
7. PCO2 38-42 mmHg 42 mmHg
8. PO2 75-100 mmHg 99,5 mmHg
9. HCO3 22-28 mmHg 28 mmHg
10. Na 135-145 mmol/l 130 mmol/l
11. K 3,5-5 mmol/l 4,69 mmol/l
12. Cl 94-111 mmol/l 86,1 mmol/l
13. Glukosa 70-130 mg/dl 72 mg/dl
Pemeriksaan CSS
14. Protein 15-45 mg/dl 55 mg/dl
15. Glukosa 45-80 mg/dl 61 mg/dl
16. Test None-apelt - Positif
17. Test Pandy - Positif

2.1.10 Terapi
Chloramphenicol 1x1gr
Ranitidine 1x1 amp
Piracetam 1x1gr
Methylpred 1x1/2 vial
Norages 1x1 amp
Diet cair personde 6x 200 ml, antasonde sirup 3x sendok

2.2 Diagnosa Keperawatan


Table analisi data :

N Hari/Tgl/ Data Etiologi Masalah


o Jam
1. DS : klien Embolisme Risiko
mengeluh nyeri ketidakefektifan

66
kepala Produksi eksudat perfusi jaringan
otak
DO : Jaringan nekrotik pada
Penurunan otak
kesadaran GCS 9
somnolen Tekanan pada
Tekanan darah vaskularisasi otak
130/83 mmHg
Nadi 64 x/menit Vaskularisasi otak
terganggu

Risiko ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
1. Selasa, 8 DS : Agen biologis : Nyeri Akut
oktober klien mengeluh meningitis
2019 nyeri kepala.
Q: Keluhan Invasi mikroorganisme
disertai rasa dari melalui sirkulasi
tajam menusuk- darah
nusuk
R: nyeri daerah Menembus sawar darah-
kepala bagian otak
depan menjalar
ke belakang
hingga leher Berdifusi ke ruang sub
S : skala 5 arachnoid dimana tempat
mengalirnya CSS
DO : tampak
mimik wajah Proses inflamasi:
pasien meringis fagositosis
kesakitan
Terbentuknya eksudat

Tekanan intrakranial
meningkat

Pendesakan jaringan
otak

Nyeri
2. Selasa, 8 DS : saat Infeksi meningitis Hipertermi
oktober perawat
2019 menanyakan Proses inflamasi
pasien mengeluh
apakah haus dan Produksi prostaglandin
panas, pasien meningkat
mengangguk
Sinyal dikirim ke

67
DO : hipotalamus
Suhu 38,3
derajat celcius Mekanisme tubuh
menaikkan suhu tubuh

hipertermia
Selasa, 8 DO : Gangguan Risiko kerusakan
oktober Tirah baring, neuromuscular integritas kulit
2019 terdapat
kemerahan pada Kelemahan fisik
pinggang dan
sebagian pangkal Tirah baring
bokong, saat
diraba terasa Penekanan pada kulit
hangat dengan tulang yang
menonjol

Vaskularisasi terhambat

Risiko kerusakan
integritas kulit

Diagnosa Keperawatan :
1) Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d peningkatan tekanan
interkranial d.d penurunan kesadaran
2) Nyeri akut b.d agen cedera biologis : infeksi meningitis d.d keluhan
nyeri
3) Hipertermia b.d proses inflamasi : meningitis d.d suhu 38,3 derajat
celcius
4) Risiko kerusakan integritas kulit d.d gangguan vascular : kemerahan
pada tulang yang menonjol

68
2.2 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


.
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan Setelah diberikan asuhan keperawatan Peningkatan perfusi serebral (2550)
otak b.d embolisme vascular otak -00201 selama 1 x 24 jam diharapkan perfusi 1. Pantau tingkat
jaringan serebral pada klien membaik, kerusakan perfusi jaringan serebral,
dengan seperti status neurologi dan adanya
penurunan kesadaran.
Kriteria Hasil: 2. Menentukan posisi
Perfusi jaringan serebral (0406) kepala yang tepat (0, 15, atau 30
1) Tekanan darah sistolik normal derajat) dan monitor respon klien
(120 mmHg) (dari skala 2 menjadi terhadap posisi tersebut.
skala 3) 3. Monitor status
2) Tekanan darah diastolik normal respirasi (pola, ritme, dan kedalaman
(80 mmHg) (dari skala 2 menjadi respirasi; PO2, PCO2, PH, dan level
skala 3) bikarbonat)
Status neurologi (0909) 4. Monitor nilai lab
3) Peningkatan kesadaran (dari skala untuk perubahan dalam oksigenasi
3 menjadi skala 4) 5. Pertahankan
4) Penurunan tekanan intracranial kepatenan jalan nafas.
(dari skala 3 menjadi skala 4) 6. Monitor aliran
oksigen.
7. Monitor tanda-tanda
vital

69
8. Ukur tekanan darah
setelah klien mendapatkan
medikasi/terapi.
9. Observasi kejang
pada pasien
10. Hindarkan barang-
barang yang berbahaya dari sekitar
pasien
11. Jaga ikatan
disamping tempat tidur
12. Pasang tiang
pengaman, gunakan paddle pada sisi
tempat tidur

2. Nyeri akut b.d agen cedera biologis : Setelah dilakukan tindakan Keperawatan Manajemen nyeri (1400)
meningitis - 00132 selama 2x 24 jam diharapkan nyeri pasien 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
berkurang dengan, komprehensif (lokasi, karateristik,
durasi, frekuensi, kualitas, dan factor
Kriteria Hasil : presipitasi.
Tingkat nyeri (2102) 2. Observasi reaksi non verbal dari
1) Skala nyeri berkurang / menurun ketidaknyamanan.
(dari skala 2 menjadi skala 4) 3. Gunakan teknik komunikasi terapetik
2) Kontrol nyeri (dari skala 2 menjadi untuk mengetahui Pengalaman nyeri
skala 4) klien.
Status kenyamanan (2010) 4. Bantu klien dan keluarga untuk

70
3) kebutuhan tidur dan istirahat mencari dan menemukan dukungan.
tercukupi (dari skala 3 menjadi 5. Kontrol lingkungan yang dapat
skala 4) mempengaruhi nyeri (suhu ruangan
4) metode non farmakologi untuk pencahayaan, dan kebisingan)
mengurangi nyeri (dari skala 3 6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
menjadi skala 4) (farmokologi, non farmakologi dan
interpersonal)
7. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
8. Evaluasi keefektivan kontrol nyeri
9. Tingkatkan istirahat
10. Kolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil.

Andministrasi Analgetik (2210)


16. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis dan fekkuensi.
17. Cek riwayat alergi
18. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
19. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat.
110. Evaluasi efektifitas analgesik tanda

71
dan gejala (efek sampingan)
3. hipertermia b.d penyakit : infeksi Setelah dilakukan tindak-an perawatan Perawatan hipertermia (3786)
meningitis - 00007 selama 1 X 24 jam diharapkan suhu badan 1. Monitor suhu sesuai kebutuhan,
pasien kembali normal dengan, tekanan darah, nadi dan respirasi
Kriteria Hasil: 2. Observasi dan laporkan tanda gejala
Termoregulasi (0800) hipertermi
1) Suhu badan normal (dari skala 2 3. Hentikan aktivitas fisik
menjadi skala 4) 4. Beri oksigen sesuai kebutuhan
2) Tidak ada perubahan warna kulit 5. Monitor derajat penurunan kesadaran
(dari skala 3 menjadi skala 4) serta adanya aritmia jantung
3) Nadi, respirasi dalam batas 6. Dorong peningkatan intake cairan
normal (dari skala 2 menjadi skala 7. Berikan cairan intravena
4) 8. Kompres dingin dahi dan aksila.
4) Hidrasi adequate (dari skala 3 9. Anjurkan klien untuk tidak memakai
menjadi skala 4) selimut
5) Berhenti kejang (dari skala 2 10. Anjurkan klien memakai baju
menjadi skala 4) berbahan dingin, tipis dan menyerap
keringat
11. Kolaborasikan dengan dokter
mengenai pemberian obat antipiretik
untuk mencegah klien menggigil /
kejang
Manajemen Lingkungan (6480)
12. Berikan tempat tidur dan kain / linen
yang bersih dan nyaman

72
13. Batasi pengunjung
14. Tingkatkan sirkulasi udara dengan
kipas angin
4. Risiko kerusakan integritas kulit b.d Setelah dilakukan tindakan Keperawatan Perawatan tirah baring (0740)
gangguan vascular - 00047 selama 3x 24 jam diharapkan kepatenan 1. Posisikan sesuai bodu aligment yang
jalan nafas pasien terjaga dengan, tepat
2. Hindari penggunaan kain sprei yang
Kriteria Hasil: panas dan tidak menyerap keringat
Integritas jaringan : kulit dan mukosa 3. Balikkan pasien sesuai kebutuhan,
(1101) lakukan paling tidak 2 jam sekali atau
1) Suhu kulit normal (dari skala 2 atur jadwal spesifik
menjadi skala 4) 4. Ajarkan latihan dan ROM ditempat
2) Tidak ada kemerahan (dari skala 2 tidur pada keluarga
menjadi skala 4) 5. Ajarkan keluarga terapi pijat yang
3) Perfusi jaringan baik (dari skala 2 benar
menjadi skala 4) 6. Bantu dalam memnjaga kebersihan
4) Integritas kulit membaik (dari lingkungan sekitar pasien
skala 2 menjadi skala 4) 7. Monitor kondisi kulit dan bagian tubuh
lain yang berisiko tinggi mengalami
decubitus.

73
2.3 Catatan Pengembangan

Tanggal Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Risiko 1. Pantau tingkat kerusakan perfusi jaringan S:
ketidakefektifan serebral, seperti status neurologi dan adanya klien mengatakan bahwa nyeri sudah
perfusi jaringan penurunan kesadaran.
berkurang, klien menjadi sering bangun
otak b.d 2. Menentukan posisi kepala yang tepat (0, 15,
embolisme atau 30 derajat) dan monitor respon klien O:
vascular otak terhadap posisi tersebut. - Wajah klien sudah tidak terlalu pucat lagi
3. Monitor status respirasi (pola, ritme, dan
- GCS 13
kedalaman respirasi; PO2, PCO2, PH, dan level
bikarbonat) - TD 110/70 mmHg, RR 22X/menit, Nadi:
4. mempertahankan kepatenan jalan nafas. 80X/menit, suhu 37⁰c
5. Monitor aliran oksigen
A:
6. Monitor tanda-tanda vital
7. Ukur tekanan darah setelah klien mendapatkan Masalah teratasi sebagian
medikasi/terapi. P:
8. Observasi kejang pada pasien
Pertahankan intervensi untuk menjaga
9. menhindari barang-barang yang berbahaya dari
sekitar pasien keadaan stabil
10. Jaga ikatan disamping tempat tidur
11. memasang tiang pengaman, gunakan paddle
pada sisi tempat tidur
12. mengkolaborasikan pengobatan pada pasien

74
dengan risiko gangguan perfusi jaringan otak

Nyeri akut b.d 1. melakukan pengkajian nyeri secara S:


agen cedera komprehensif (lokasi, karateristik, durasi, Klien mengatakan nyeri berkurang
biologis : frekuensi, kualitas, dan factor presipitasi.
O:
meningitis 2. mengobservasi reaksi non verbal dari
ketidaknyamanan. Wajah klien tidak lagi menunjukkan grimis
3. meggunakan teknik komunikasi terapetik untuk TD 110/70 mmHg, RR 22X/menit, Nadi:
mengetahui Pengalaman nyeri klien.
80X/menit, suhu 37⁰c
4. membantu klien dan keluarga untuk mencari
dan menemukan dukungan. A:
5. mengkontrol lingkungan yang dapat Masalah teratasi sebagian
mempengaruhi nyeri (suhu ruangan
P:
pencahayaan, dan kebisingan)
6. memilih dan lakukan penanganan nyeri Pertahankan intervensi
(farmokologi, non farmakologi dan
interpersonal)
7. mengajarkan tentang teknik non farmakologi.
8. mengevaluasi keefektivan kontrol nyeri
9. meningkatkan istirahat
10. mengkolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.

hipertermia b.d 1. Monitor suhu sesuai kebutuhan, tekanan darah, S :

75
penyakit : nadi dan respirasi Klien mengatakan sudah tidak merasakan
infeksi 2. Observasi dan laporkan tanda gejala demam
meningitis hipertermi
O:
3. Dorong peningkatan intake cairan
4. memberikan cairan intravena Saat di sentuh tidk lagi terasa panas
5. Kompres dingin dahi dan aksila. T:
6. menganjurkan klien memakai baju berbahan
37 derajat celsius
dingin, tipis dan menyerap keringat
7. Kolaborasikan dengan dokter mengenai A:
pemberian obat antipiretik untuk mencegah masalah teratasi
klien menggigil / kejang
P:
8. Berikan tempat tidur dan kain / linen yang
bersih dan nyaman Pertahankan intervensi yang diberikan
9. Batasi pengunjung
10. Tingkatkan sirkulasi udara dengan kipas angin
Risiko 1. memposisikan sesuai bodu aligment yang tepat S:
kerusakan 2. menghindari penggunaan kain sprei yang panas klien mengatakan bahwa punggung dan
integritas kulit dan tidak menyerap keringat
pinggang tidak lagi sakit dan tidak merasa
b.d gangguan 3. mengbalikkan pasien sesuai kebutuhan,
vaskular lakukan paling tidak 2 jam sekali atau atur lelah karena telah melakukan latihan secara
jadwal spesifik rutin di tempat tidur
4. mengajarkan latihan dan ROM ditempat tidur
O:
pada keluarga
5. mengajarkan keluarga terapi pijat yang benar Kulit sudah tidak ada kemerahan
6. membantu dalam memnjaga kebersihan Kulit sudah kembali ke suhu nirmal

76
lingkungan sekitar pasien A:
7. Monitor kondisi kulit dan bagian tubuh lain Masalah teratasi sebagian
yang berisiko tinggi mengalami decubitus.
P:
Pertahankan intervensi

77
BAB IV
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi di membram
meninges yang menyelubungi otak. Meningitis berbahaya dikarenakan
dapat mengganggu kerja meninges yang di dalamnya terdapat cairan
serebrospinal yang berfungsi sebagai pelindung dari jaringan otak yang
apabila terjadi infeksi berkelanjutan lama-kelamaan akan merusak jaringan
syaraf dibawahnya. Disebabkan oleh bakteri, virus, fungi, protozo, dan
parasite, gejala yang tampak pada pasien meningitis ciri khasnya adalah
kaku kuduk di sertai demam tinggi dengan nyeri tajam pada kepala,
penurunan kesadaran dan juga kejang. Penatalaksanaan medis tergantung
pada penyebabnya, biasanya ada terapi antibiotik dan penatalaksanaan
penurunan tekanan intracranial. Asuhan keperawatan yang dapat diberikan
yaitu terkait penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhububungan
dengan peningkatan interkranial, risiko ketidakefektifan perfusi jaringan
otak berhubungan dengan aneurisma serebral, hipertermia berhubungan
dengan penyakit : infeksi meningitis, nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera biologis : meningitis, dll sesuai dengan gejala yang muncul.

2.2 Saran
penulis berharap dengan adanya laporan pendahuluan meningitis
ini dapat sedikit membantu dan menyebarkan ilmu kepada para pembaca.
Penulis juga menyadari akan masih banyaknya kekurangan pada laporan
pendahulan ini, maka dari itu penulis menerima saran dan kritik dari
pembaca.

78
DAFTAR PUSTAKA

Amri., I. 2017. Pengelolaan Peningkatan Tekanan Intracranial. Jurnal Kedokteran


: Medika Tadulako Vol. 4 No. 3
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/viewF
ile/9288/7380

Benninger. F. 2017. Csf In Acute And Chronic Infectious Diseases. Handbook Of


Clinical Neurology, Vol. 146 (3rd Series)
Https://Doi.Org/10.1016/B978-0-12-804279-3.00012-5

Brouwer, Matthijs C.; van de Beek, Diederik. 2018. Epidemiology of community-


acquired bacterial meningitis. Infectious Diseases Volume 31 No. 1:
78–84. DOI : http://dx.doi.org//10.1097/QCO.0000000000000417

Budiarsa, K., N. M. Susilawathi, F. Yaputra, I P. E. Widyadharma. 2019.


SAWAR OTAK. Callosum Neurology Vol. 3 No. 1 : 14-18.
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana DOI:
10.29342/cnj.v2i1.54
https://www.researchgate.net/publication/332224132_SAWAR_OTAK

Japardi, I. 2002. Cairan serebrospinal. Jurnal bedah Universitas Sumatera Utara


Hal. 8-9. Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1989/bedah-
iskandar%20japardi5.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Kurniawati. 2013. Gambaran Pola Penggunaan Antibiotik pada terapi meningitis


di instalasi rawat inap RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Widya Mandala : Surabaya
http://repository.wima.ac.id/50/2/Bab%201.pdf

M. Bulechek, G. (2016). edisi enam Nursing interventions classification ( N I C ).


singapore: elsevier Global right

M. Bulechek, G. (2016). edisi enam Nursing Outcomes classification ( N O C ).


singapore: elsevier Global right

79
Martini. F. H. 2012. Fundamental of Anatomy Physiology Ninth Edition. Library
of Congress Cataloging : Publication Data

Muttaqin., A. 2013. Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem


persarafan. Salemba medika : Jakarta https://books.google.co.id/books?
id=8UIIJRjz95AC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false

NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi


10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC

Sharma. R. 2018. Meningitis: Current Understanding and Management. The


Microbiology of Central Nervous System Infections. Elsevier.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-813806-9.00001-9

Shmaefsky. B. 2010.Deadly disease and epidemic : Meningitis second edition.


Chelsea House Publisher.

Sobbota. 2011. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi 21. EEG Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta

80

Anda mungkin juga menyukai