Anda di halaman 1dari 16

UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN

PUTU SATRIA SATWIKA ANANTHA

NIM 2082411020

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020
Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah : Hukum Perusahaan dan Kepailitan

Hari/Tanggal : Rabu, 28 Oktober 2020

Jam : 08.30 Wita

Dosen : Dr. Dewa Gde Rudy, S.H., M.Hum.

Nama : Putu Satria Satwika Anantha

NIM : 2082411020

Nomor Absen : 20

Soal :

1. Jelaskan secara kronologis pendirian dan pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas.

Bagaimana peran dan kapasitas Notaris sehubungan dengan hal tersebut ?

2. Langkah apa yang dilakukan Direksi secara legal sehubungan dengan adanya perubahan

struktur kepengurusan dan kepemilikan Badan Hukum Perseroan Terbatas ?

3. Jelaskan konstruksi pertanggung jawaban induk perusahaan (Holding Company) atas

perbuatan anak perusahaan dari perspektif Yuridis dan Ekonomi ?

4. Doktrin “Ultra Vires” dikatakan menjadi penyeimbang bagi pemberlakuan “Business

Judgement Rule” terkait dengan tugas dan tanggung jawab Direksi PT. Jelaskan kenapa

dikatakan demikian ?

5. Jelaskan kenapa pemegang saham minoritas perlu diberikan perlindungan hukum ?

Jelaskan pula apa yang dimaksud dengan “Derivatif Action” dan “Appraisal Right”

sehubungan dengan perlindungan pemegang saham minoritas tersebut ?


Jawaban :

1. Pendirian dan Pembubaran PT

Pendirian Perseroan Terbatas

Mendirikan sebuah perseroan menurut Pasal 7 ayat (1), (2) dan (4) UUPT syarat yang

harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

a. Perseroan didirikan 2 orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa

Indonesia;

b. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan;

c. Mendapat pengesahan badan hukum Perseroan melalui Keputusan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia (“Menteri”).

Adapun syarat-syarat pendirian PT secara formal berdasarkan UU Nomor 40 Tahun

2007 sebagai berikut :

1. Pendiri minimal 2 orang atau lebih (Pasal 7 ayat 1).

2. Akta Notaris yang berbahasa Indonesia.

3. Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali dalam rangka peleburan

(Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3).

4. Akta pendirian harus disahkan oleh Kementerian Hukum HAM dan Perundang-

Undangan dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (Pasal 7 ayat 4)

5. Modal dasar minimal Rp. 50.000.000 dan modal disetor minimal 25% dari modal

dasar (Pasal 32 dan Pasal 33 UUPT). Modal dasar merupakan seluruh nilai nominal

saham Perseroan yang disebut dalam anggaran dasar. Sedangkan Modal disetor

adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan

pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal

dasar Perseroan. Modal ditempatkan yaitu jumlah saham yang sudah diambil pendiri

atau pemegang saham.


6. Minimal 1 orang direktur dan 1 orang komisaris (Pasal 92 ayat 3 dan Pasal 108 ayat

3).

7. Pemegang saham harus WNI atau Badan Hukum yang didirikan menurut hukum

Indonesia, kecuali PT PMA.

Pembubaran Perseroan Terbatas

Menurut Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (“UUPT”), berakhirnya perseroan karena :

1. Berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”);

2. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

3. Berdasarkan penetapan pengadilan;

4. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk

membayar biaya kepailitan;

5. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan

insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau

6. Karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan

likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembubaran perseroan berdasarkan keputusan RUPS diajukan oleh Direksi, Dewan

Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu

persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Keputusan RUPS tentang

pembubaran perseroan adalah sah apabila diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat

dan/atau paling sedikit dihadiri oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga

perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.

Dalam hal pembubaran perseroan terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu

berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya

kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator,

maka Direksi bertindak selaku likuidator. Pembubaran perseroan wajib diikuti dengan

likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan perseroan tersebut tidak dapat

melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam hal membereskan semua urusan perseroan yang

berkaitan dengan likuidasi. Jika ternyata anggota Direksi, Dewan Komisaris dan Perseroan

melanggar hal tersebut, maka dapat dikenakan tanggung jawab hukum secara tanggung

renteng.

Pembubaran perseroan yang terjadi karena pencabutan kepailitan, maka pengadilan

niaga dapat sekaligus memutuskan memberhentikan kurator sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan dengan alasan:

1. Permohonan kejaksaan berdasarkan alasan perseroan melanggar kepentingan umum

atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;

2. Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum

dalam akta pendirian;

3. Permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan

perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.

Likuidator mempunyai kewajiban untuk memberitahukan kepada semua kreditor

mengenai pembubaran perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran perseroan dalam

Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran perseroan. Pemberitahuan kepada

kreditor tersebut memuat :

1. Mengenai pembubaran perseroan dan dasar hukumnya;

2. Nama dan alamat likuidator;

3. Tata cara pengajuan tagihan; dan

4. Jangka waktu pengajuan tagihan.

Selama pemberitahuan pembubaran perseroan tidak dilakukan sesuai dengan Pasal

147 UUPT, maka pembubaran perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga dan pembubaran

perseroan tidak mengakibatkan perseroan kehilangan status badan hukumnya sampai dengan

selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.

Akibat dari pembubaran perseroan, maka setiap surat keluar perseroan dicantumkan kata

“dalam likuidasi” di belakang nama perseroan tersebut.

Peran Notaris dalam Pendirian PT

Undang-Undang Perseroan Terbatas mewajibkan pengesahan Akta Pendirian suatu

Perseroan Terbatas oleh Menteri Kehakiman sebelum Perseroan Terbatas tersebut

memperoleh status badan hukum, sebagai suatu subjek yang mandiri dalam hukum yang

memilki hak-hak, kewajibankewajiban dan harta kekayaan tersendiri. Saat pengesahan

tersebut merupakan satu-satunya saat mulai berlakunya sifat kemandirian tersebut. Menurut

UUPT melalui Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M. 01-PR.08.01 Tahun 1996 Tentang

Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian Perseroan Terbatas,

pengesahan diberikan atas surat permohonan pengesahan Akta Pendirian Perseroan Terbatas

yang ditandatangani dan disampaikan langsung oleh para pendiri perseroan, yang diketahui

oleh notaris dihadapan siapa akta pendirian tersebut dibuat, adapun akta pendirian harus

dilampirkan bersama-sama dengan berbagai lampiran pendukung lainnya sebagaimana


ditentukan dalam lampiran keputusan Menteri Kehakiman tersebut guna memenuhi ketentuan

dalam UUPT. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut di atas menekankan pada pentingnya

peran notaris dalam proses pengajuan pengesahan Akta Pendirian ini.

Peran Notaris dalam Pembubaran PT

Pembubaran PT diawali dengan adanya RUPS, untuk pelaksanaan RUPS dengan rapat

secara dibawah tangan, maka rapat tersebut harus diaktakan oleh Notaris yang telah ditunjuk

(dibuatkan akta pernyataan notariilnya atau disebut Akta PKR). Selanjutnya, akta PKR

tersebut dilaporkan kepada Menteri oleh Notaris. Bila pelaksanaaan RUPS dihadiri oleh

Notaris, maka Notaris akan membuat Akta Berita Acara RUPS dan kemudian melaporkannya

kepada Kementerian Hukum dan HAM.

2. Langkah Direksi Perubahan Struktur Kepengurusan dan Kepemilikan PT

Langkah legal yang dilakukan Direksi sehubungan dengan adanya perubahan struktur

kepengurusan dan kepemilikan Badan Hukum Perseroan Terbatas adalah dengan melakukan

pemanggilan RUPS karena dalam hal perubahan struktur kepengurusan dan kepemilikan

Badan Hukum Perseroan Terbatas harus melalui persetujuan RUPS. Dalam hal pemanggilan

RUPS, direksi perseroan wajib untuk melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waku

paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS

diterima. Jika demikian direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS, maka dapat dimintakan

pengajuan Kembali kepada dewan komisaris, atau dewan komisaris dapat melakukan

pemanggilan sendiri RUPS. Ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

kedudukan perseroan dapat memberikan izin kepada pemohon atau pemegang saham yang

meminta penyelenggaraan RUPS untuk melakukan sendiri pemanggilan RUPS apabila

direksi atau dewan komisaris tidak melakukan pemanggilan penyelengaraan RUPS dalam
waktu yang telah ditentukan. Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham

sebelum menyelanggarakan RUPS, namun dalam kondisi tertentu pemanggilan RUPS dapat

dilakukan oleh dewan komisaris atau pemegang saham berdasarkan penetapan ketua

pengadilan negeri. UU PT menentukan bahwa pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka

waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan. Pemanggilan

RUPS dilakukan dengan surat tercatat dan/atau dengan iklan dalam surat kabar. Terhadap

perseroan terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan wajib didahului dengan

pengumuman, dalam jangka waktu paling lambat 14 hari dari sebelum diadakan RUPS,

mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dengan memperhatikan peraturan di bidang

pasar modal.

Terkait dengan penyelanggara RUPS, RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS

lebih dari setengah bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili,

kecuali ditentukan lain dalam undang-undang dan/atau Anggaran Dasar. Keputusan

perubahan struktur kepemilikan dan kepengurusan Badan Hukum Perseroan Terbatas adalah

sah apabila jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang

dikeluarkan, kecuali Anggaran Dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan

tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Dalam hal kuorum

kehadiran tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua. RUPS kedua sah dan berhak

mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah

seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan ada;ah sah

jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang

dikeluarkan, kecuali Anggaran Dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan

tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar

3. Pertanggung Jawaban Induk Perusahaan Atas Perbuatan Anak Perusahaan


Pada umumnya perusahaan grup beranggotakan perusahaan-perusahaan yang mandiri

secara yuridis (anak perusahaan) yang mana saham perusahaan-perusahaan mandiri tersebut

dimiliki oleh satu perusahaan yang sama (induk perusahaan). Sehingga hal ini menimbulkan

adanya keterikatan secara ekonomi, keterikatan tersebut tidak menyebabkan hapusnya

kemandirian secara yuridis anak perusahaan. Hal tersebut diatas menyebabkan induk

perusahaan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum yang dilakukan anak

perusahaannya.

Perspektif Yuridis

Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UUPT induk perusahan dalam hal ini sebagai pemegang

saham mendapat perlindungan berupa pertanggungjawaban terbatas (limited liability). Yakni

induk perusahaan hanya dapat dimintai pertanggungjawaban secara terbatas sebesar saham

yang dimilikinya dalam suatu perusahaan anak.

Berangkat dari konsep dan prinsip limited liability pemegang saham, dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Perseroan sebagai badan hukum merupakan unit hukum dengan kewenangan dan

kapasitas yang terpisah dari pemegang saham untuk menguasai kekayaan,

membuat kontrak, menggugat dan digugat, melanjutkan hidup dan eksistensi

meskipun pemegang saham berubah dan direksi diberhentikan atau diganti;

2. Harta kekayaan, hak dan kepentingan serta tanggung jawab perseroan terpisah

dari pemegang saham;

3. Selanjutnya pemegang saham menurut hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 3

ayat (1) UUPT, mempunyai imunitas dari kewajiban dan tanggung jawab

perseroan, karena antara pemegang saham dengan perseroan terdapat perbedaan

dan pemisahan personalitas hukum.


Pertanggung jawaban terbatas dalam PT tidaklah mutlak. Dalam keadaan tertentu

tanggung jawab tersebut tidak berlaku karena ada pengecualiannya. Disini terlihat bahwa

Undang-Undang perseroan terbatas menganut prinsip piercing the corporate veil, yang dalam

bahasa Indonesia disebut sebagai menyingkap tabir atau cadar persroan. Secara sederhana

dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat menjadi tidak

terbatas dalam hal-hal tertentu. Prinsip tersebut dituangkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT

sehingga secara yuridis pemenuhan tanggung jawab perusahaan dapat dituntut

pemenuhannya kepada pemegang saham perseroan tersebut.

Perspektif Ekonomis

Untuk memberi batasan mengenai “holding company” maka terlebih dahulu penulis

melihat rangkaian pembentukan kata “holding company itu sendiri. Kata “holding company”

merupakan peng-gabungan dari dua suku kata, yaitu “holding” dan “company”. Kata

“holding” berarti pengaruh atau jumlah saham (andil) yang dipegang. Holding, disini

biasanya dihubungkan dengan adanya suatu badan senteral berbentuk hukum tersendiri.

Perseroan Terbatas yang secara yuridis merupakan beberapa subyek hukum yang mandiri

yang tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya, namun dari segi ekonomis

sebenarnya merupakan satu kesatuan.

Jika melihat dari segi kesatuan ekonomi, maka perusahaan yang akan di holding

bukan merupakan suatu permasalahan yang mewarnai hubungan anak dan induk

perusahaannya karena memang dapat dikatakan anak perusahaan tersebut yang sudah

diholding merupakan perpanjangan tangan dari induk perusahaan. Anak perusahaan dalam

holding company, memang sengaja dibentuk oleh perusahaan induknya dengan cara

pendirian baru, akuisi atau pemisahan. Kepemilikan saham dari perusahaan induk pada

perusahaan anak inilah sebenarnya yang menimbulkan ketidakpastian hukum.


4. Doktrin “Ultra Vires” Bagi Pemberlakuan “Business Judgement Rule”

Pengertian Ultra Vires

Doktrin pelampauan kewenangan (ultra vires) merupakan doktrin yang sudah cukup

lama bergaung. Doktrin ultra vires menganggap batal demi hukum (null and void) atas setiap

tindakan organ PT di luar kekuasaannya berdasarkan tujuan PT yang termuat dalam anggaran

dasar. Ajaran ini pada mulanya dikenal oleh negara penganut “common law”. Dalam ilmu

hukum ultra vires berarti tindakan yang dilakukan oleh suatu badan hukum (PT) yang berada

di luar tujuan dan karena itu di luar kewenangan badan hukum tersebut. Doktrin Ultra vires

mempunyai latar belakang pada teori fiksi. Pada prinsipnya doktrin ultra vires ini sangat

ekstrem. Istilah ultra vires ini diterapkan tidak hanya jika perseroan melakukan tindakan yang

sebenarnya dia tidak punya kewenangan, melainkan juga terhadap tindakan yang dia punya

kewenangan, tetapi dilaksanakan secara tidak teratur (irregular). Bahkan lebih jauh lagi, suatu

tindakan digolongkan sebagai ultra vires bukan hanya jika tinakan itu melampaui

kewenangannya yang tersurat maupun tersirat, tetapi juga tindakannya itu betentangan

dengan peraturan yang berlaku atau bertentangan dengan ketertiban umum.

Tanggung Jawab Direksi yang Bertindak Ultra Vires

Apabila pengurus atau Direksi perseroan melakukan ultra vires, atau dengan kata lain

Direksi melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangan dan kapasitas perseroan

yang ditentukan dalam AD, undang-undang memberi hak kepada setiap pemegang saham

mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 61 UU PT yang berbunyi : 

1. Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke

pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak
adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau

Dewan Komisaris.

2. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang

daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. 

Artinya jika Direksi (yang mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar

pengadilan) melakukan perbuatan ultra vires, maka bisa digugat oleh pemegang saham.

Gugatan yang diajukan pada dasarnya memuat permohonan agar Perseroan menghentikan

tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil langkah tertentu baik untuk mengatasi

akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari.

Pengertian Business Judgement Rule

UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 97 ayat (3)  bahwa

anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan

bilamana bersalah atau lalai menjalankan tugas pengurusan dengan iktikad baik (good faith)

serta penuh tanggungjawab. Lebih memberatkan lagi, dalam Pasal 155 UUPT,

pertanggungjawaban Direksi/Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya tak mengurangi

pertanggungjawabannya di bidang Pidana. Sebaliknya, direksi yang tidak berani ambil risiko

juga dapat menghambat perkembangan perusahaan. Direksipun tidak ingin salah dalam

mengambil keputusan. Sehingga UUPT telah mengadopsi konsep Business Judgment Rule

yang bisa dijadikan golden parachute (parasut emas) bagi Direksi. Justifikasi parameter legal

soal Business Judgment Rule, dapat dilihat pada Pasal 97 ayat (5) UUPT yang mengatur

batasan-batasan tertentu soal kapan direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas

risiko keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil.

a. Kerugian terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;


b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggungjawab, kehati-hatian

untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten/ Perusahaan Publik;

c. Tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

Hubungan Ultra Vires dan Business Judgement Rule

Jadi doktrin Ultra Vires bisa menjadi penyeimbang bagi pemberlakuan Business

Judgement Rule karena dilihat dari konsep business judgement rule telah diadopsi dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 97 ayat (5)

undang-undang ini menyebutkan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertangungjawabkan

secara pribadi atas kerugian perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jika dapat

membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, telah

melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai

dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung

maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan telah

mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Sepanjang direksi melakukan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan anggaran dasar, serta dalam mengambil suatu keputusan bisnis sudah

menerapkan prinsip kehati-hatian maka jika perseroan mengalami kerugian, direksi akan

mendapatkan perlindungan dari doktrin Business Judgement Rule. Namun jika direksi tidak

menerapkan prinsip kehati-hatian dan juga bertindak ultra vires maka doktrin Business

Judgement rule tidak bisa menjadi pelindung bagi direksi.

5. Pemegang Saham Minoritas Perlu Diberikan Perlindungan Hukum


Prinsip persetujuan majoritas (majority voting rule) yang berlaku didalam RUPS.

Prinsip ini menjadikan pemegang saham minoritas lemah kedudukannya. Hal ini karena

pemegang saham minoritas besar kemungkinan akan kalah pemungutan suara di dalam

RUPS. Dengan kondisi ini, pemegang saham mayoritas akan lebih banyak menentukan arah

dan kebijakannya, termasuk memaksakan kehendaknya. Berbeda halnya dengan pemegang

saham minoritas yang hanya dapat menerima saja keputusan RUPS (karena kalah suara) dan

tidak mempunyai kewenangan mengurus perusahaan dan tidak berhak menunjuk Direksi atau

Komisaris, sehingga terpaksalah menerima usulan-usulan dalam RUPS. Konsekuensi,

keputusan RUPS cenderung lebih berpihak kepada kepentingan pemegang saham mayoritas.

Terkait dengan permasalahan hukum berkenaan dengan perlindungan terhadap

pemegang saham minoritas dapatlah kita merujuk kepada ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas disingkat (UUPT)

khususnya : 

- Kewenangan pemegang saham dalam mengajukan gugatan terhadap perseroan apabila

dirugikan sebagai akibat dari keputusan RUPS, Direksi dan/atau Dewan Komisaris

(Pasal 61 (1) UUPT)

- Kewenangan pemegang saham dalam meminta kepada Persero agar sahamnya dapat

dibeli kembali akibat tidak setujunya pemegang saham terhadap tindakan perseroan

tentang perubahan Anggaran Dasar, pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan

yang nilainya lebih dari 50 % dan penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau

pemisahan (Pasal 62 UUPT).

- Kewenangan pemegang saham untuk diselengarakannya RUPS, tanpa kewenangan

memutuskan diadakannya RUPS (Pasal 79 ayat (2) UUPT)

Langkah yang dapat dilakukan oleh para pemegang saham minoritas atas tindakan

yang dilakukan perseroan adalah meminta agar perseroan membeli saham-saham pemegang


saham minoritas tersebut dengan harga wajar (Pasal 62 UUPT) atau dalam hal pemegang

saham minoritas dapat membuktikan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan persero

terkait dengan tindakan tersebut atau dapat membuktikan adanya kerugian atas tindakan yang

dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar tersebut, pemegang saham minoritas dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan perseroan (Pasal 61

UUPT).

Pengertian Derivatif Action

Derivatif Action atau Gugatan Derivatif adalah suatu gugatan berdasarkan hak utama

(primary right) dari perseroan, tetapi dilaksanakan pemegang saham untuk dan atas nama

perseroan. Gugatan ini dapat diajukan oleh pemegang saham dalam hal terjadi kerugian serta

kegagalan dalam perseroan yang dilakukan oleh anggota Direksi.

Gugatan Derivatif juga di atur dalam Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yang menyebutkan bahwa atas nama

Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari

jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri

terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian

pada Perseroan.

Pengertian Appraisal Right

Appraisal Right adalah hak pemegang saham minoritas untuk membela

kepentingannya dalam rangka menilai harga saham. Hak ini dipergunakan oleh pemegang

saham pada saat meminta kepada perseroan agar sahamnya dinilai dan dibeli dengan harga

yang wajar, karena pemegang saham tersebut tidak menyetujui tindakan perseroan yang dapat

merugikannya atau merugikan perseroan itu sendiri. UUPT Pasal 62 ayat (1), Setiap
pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang

wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan

pemegang saham atau Perseroan, berupa :

a. perubahan anggaran dasar;

b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari

50% (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau

c. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan

Anda mungkin juga menyukai