Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi

autoimun kronis akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada

berbagai organ yang penyebabnya belum diketahui secara jelas, serta

manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis yang sangat beragam.

Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka

kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta

lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES (Tutuncu dan Kalunian,

2007)

B. Epidemiologi

Insiden tahunan LES di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000

penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per

100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki- laki antara 14 : 1.

Belum terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah

Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,

didapatkan 1,4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik

Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung

terdapat 291 pasien LES atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke

poliklinik reumatologi selama tahun 2010 (Danchenko et al, 2006)

C. Etiologi dan Patogenesis LES

Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan


jelas.Meskipun demikian terdapat banyak bukti yang mencakup pengaruh

faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun.Kerusakan

jaringan disebabkan oleh autoantibodi komplek imun dan limfosit T. Seperti

halnya penyakit autoimun yang lain, suseptibilitas LES tergantung oleh gen

yang multiple. Interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang

saling terkait akan menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh

penderita LES. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan

kambuhnya LES adalah stress fisik maupun mental, infeksi, paparan

ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan LES

adalah procainamine, hidralasin, quidine dan sulfasalasine. Pada LES ini sel

tubuh sendiri dikenali sebagai antigen (Almaollim, 2012)

Gambar 1. Patogenesis LES


Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi

dengan sel yang suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang

abnormal dengan segala akibatnya. Faktor genetik mempunyai peran penting,

di mana 10-20 % pasien penderita LES mempunyai kerabat penderita LES.

Adapun gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem

imun. Kaitan dengan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan

HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal

reaksi ikat komplemen telah terbukti. Gen-gen lain yang berperan adalah gen

yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin (Almaollim,

2012)

Ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.

Pada LES, cirinya adalah adanya gangguan sistem imun pada sel T dan sel B

serta pada interaksi antara kedua sel tersebut, hal ini akan menimbulkan

aktifasi sistem neuroendokrin . Di dalam tubuh sebenarnya terdapat

kelompok limfosit B yang memproduksi autoantibodi maupun sel T yang

bersifat sitotoksik terhadap diri sendiri (Almaollim, 2012).

Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan dikendalikan oleh sel

limfosit T supresor.Kegagalan mekanisme kendali mengakibatkan

terbentuknya autoantibodi yang kemudian membentuk kompleks imun atau

berkaitan dengan jaringan.Sel T sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara

langsung, sambil mengeluarkan mediator yang mengakibatkan reaksi

peradangan. Antibodi dan komplemen yang melapisi sel tersebut

mengakibatkan perusakan sel oleh sel fagosit dan sel Killer (Kusuma, 2007).
Bagian yang penting dalam pathogenesis ini adalah terganggunya

mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas

patologis pada individu yang resisten. Dalam keadaan normal,kompleks imun

dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru

tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks

merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat

dengan mudah dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan

larut sulit untuk dimusnahkan, karenanya dapat lebih lama berada dalam

sirkulasi (Almaollim, 2012).

Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu

penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.Meskipun

kompleks imun berada di sirkulasi dalam jangka waktu yang lama, biasanya

tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks tersebut

mengendap di jaringan. Terjadinya pengendapan kompleks imun

dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler

yang meninggi, antara lain disebabkan oleh pelepasan histamin. Kompleks

imun lebih mudah diendapkan pada tempat-tempat dengan tekanan darah

yang tinggi yang disertai turbulensi, misalnya dalam kapiler glomerulus,

bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan siliar mata.Akibat terjadinya

fiksasi komplemen pada organ tersebut.Peristiwa ini menyebabkan aktivasi

komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi

radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala

pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti


ginjal,sendi,pleura,pleksus koroideus,kulit dan sebagainya (Jacobsen et al,

1999).

D. Gejala Klinis LES

Penderita LES umumnya mengeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan

berat badan menurun.Pada penyakit yang sudah lanjut (berbulan - bulan

sampai tahunan) barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik

dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa

ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa (Bertias et al, 2012).

Sistem Organ Manifestasi Klinis Persentase


Sistemik Mudah lelah, lemah, demam, 95
penurunan berat badan
Muskulokutaneus Athralgia, mialgia, poliarthritis,
miopati 95
Hematologik Anemia, hemolisis, leukopenia, 85
trombositopenia,
Kutaneus Ruam malar, ruam discoid, ruam 80
kulit, photosensitif, dll
Neurologik Sindrom otak organik, psikosis, 60
kejang
Kardiopulmonar Pleuritis, perikarditis, miokarditis, 60
endokarditis
Renal Proteinuria, sindroma nefrotik, 50
gagal ginjal
Gastrointestinal Anoreksia, nausea, diare, vaskulitis 45
Trombosis Arterial (5%) dan venosa (10%) 15
Okuler Konjungtivitis 15
Kehamilan Abortus berulang, preeklamsia, 30
kematian janin dalam rahim

1. Kelelahan

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES

dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan

ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan
kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik

kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednisone (Bertias et al, 2012).

2. Penurunan berat badan

Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi pada

beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini

dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau yang diakibatkan

oleh gejala gastrointestinal (Carvera et al, 2003)

3. Demam

Demam sebagai gejala konstitusional sulit dibedakan dengan penyakit

lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40°C tanpa

adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES

biasanya tidak disertai menggigil (Carvera et al, 2003).

4. Manifestasi Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling

sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari 90%.Keluhan dapat

berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (athralgia) atau merupakan suatu

arthritis di mana tampak adanya inflamasi sendi.Keluhan ini sering

dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan

sendi yang banyak dan simetris. Pada LES, keterlibatan sendi pada

umumnya tidak akan menyebabkan deformitas (Carvera et al, 2003).

5. Manifestasi Kulit

Ruam kulit merupakan manifestasi LES yang telah lama dikenal. Lesi

mukokutaneus yang tampak sebagai bagian dari LES dapat berupa suatu
reaksi fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus

erythematosus (SCLE), lupus profundus/paniculitis, alopesia, lesi vaskuler

berupa eritema periungual, livedo retikularis, telangiektasia, fenomena

Raynaud’s dan lain-lain (Bertias et al, 2012).

6. Manifestasi Paru

Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa

radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi

pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.Pneumonitis

lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik.Pada

keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial.Apabila terjadi

keraguan untuk diagnosis dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas

bronkoalveolar. Pneumonitis lupus memberikan respon yang baik

terhadap pemberian kortikosteroid (Bertias et al, 2012).

7. Manifestasi Kardiologi

Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah

koroner dapat terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak

terkena adalah perikardium. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai

adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, silhouette sign pada foto

dada, ataupun melalui gambaran EKG dan ekokardiografi. Penyakit

jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan

bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung

kongestif. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan

komplikasi lain yang juga sering ditemukan (Carvera et al, 2003).


8. Manifestasi Renal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita, yang sebagian besar

terjadi setelah 5 tahun penderita LES. Wanita lebih sering menderita

kejadian ini (9:1) dibandingkan pria, puncak insidensi antara usia 20-30

tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak

sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik. Pemeriksaan

terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya infeksi serta

peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan

ginjal pada penderita LES (Lahita, 2000)

E. Kriteria Diagnosis

American rheumatism association (ARA) mengumumkan kriteria

untuk klasifikasi LES yang mengandung 14 item. Namun karena

sensitivitasnya sangat bervariasi (57,2-98%), maka dilakukan revisi ulang

pada tahun 1982, dengan kriteria revisi ini didapatkan sensitivitas sebesar

96% dan spesifisitasnya antara 78-87%. Kemudian the American College of

Rheumatology (ACR) melakukan revisi lagi tahun 1997.

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit LES, maka diagnosis

dini tidaklah mudah ditegakkan. LES pada tahap awal, seringkali

bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya arthritis rheumatoid,

glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis

dan pengenalan dini penyakit LES menjadi penting (Hochberg, 1997)


No Kriteria Difinisi
1. Ruam Malar Ruam berupa erithema terbatas,rata atau meninggi,
letaknya di daerah macular, biasanya tidak mengenai
lipat nasolabialis.
2. Ruam Discoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi
dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin
terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitifitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal
terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui
anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
4. Ulkus mulut Ulcerasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.
5. Arthritis Arthritis non erosive yang mengenai 2 sendi perifer
ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis a. Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh
dokter atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG
atau terdengarnya bunyi gesekan perikard
atau adanya efusi perikard.
7. Gangguan Renal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau >3+
atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan
8. Neurologi a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obat yang dapat menyebabkan atau
kelainan metabolik seperti uremia,
ketoasidosis, dan gangguan keseimbangan
elektrolit.

9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau


b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2x
Hematologi
pemeriksaan atau lebih atau
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3
tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
Gangguan
10. Imunologi a. Adanya sel LE atau
b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA
dengan titer abnormal atau
c. Anti Sm : adanya antibodi terhadap antigen
inti atau otot polos atau
d. Uji serologis untuk sifilis yang positif semu
selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat
oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau
uji fluoresensi absorbs antibodi treponema.
Antibodi
11. antinuclear Titer abnormal antinuclear antibodi yang diukur
dengan cara imuno fluoresensi atau cara lain yang
positif(ANA)
setara pada waktu yang sama dan dengan tidak
adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindroma
lupus karena obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis LES memiliki

sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%.Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis

bergantung pada pengamatan klinis.Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi

klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang

diperlukan.

Pemeriksaan penunjang minimal lain, yang diperlukan untuk

diagnosis dan monitoring:

1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).

2. Urin rutin dan mikroskopik

3. Kimia darah(Ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4. PT, APTT pada sindroma antifospolipid

5. Serologi ANA, anti –dsDNA, komplemen (C3, C4)

6. Foto polos thorax

F. Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik


Jenis dan dosis obat yan dapat dipakai pada LES
G. Aspek Anestesi dalam Lupus Eritematosus Sistemik

Penanganan anestesi pada pasien dengan Lupus Eritematosus

Sistemik akan sangat bergantung pada beratnya disfungsi organ yang ada.

Pengaruh abnormalitas sistemik yang terjadi pada Lupus Eritematosus

Sistemik dan pengaruhnya terhadap tindakan anestesi sangat jarang diteliti

ditambah dengan kurangnya bukti-bukti obyektif oleh karena bermacam

manifestasi klinis yang dimunculkan pada penderita Lupus Eritematosus

Sistemik sehingga terdapat kesulitan dalam menentukan sebuah prosedur

tetap pada tindakan anestesi pasien Lupus Eritematosus Sistemik.

Seorang ahli anestesi perlu untuk memahami berbagai macam

manifestasi klinis yang muncul pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik.

Pengenalan dan identifikasi terhadap segala kemungkinan kerusakan organ

adalah sebuah prioritas dalam pemeriksaaan preoperatif. Hal ini

memungkin bagi ahli anestesi untuk berkonsultasi deng an dokter spesialis

penyakit dalam terlebih dahulu.

Penilaian preoperatif pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik

harus dilakukan secara komprehensif. Anamnesis yang dalam,

pemeriksaan fisik menyeluruh, pemeriksaan laboratorium serta

pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan. Pemeriksaan

kadiovaskular meliputi auskultasi untuk mendeteksi adanya kebocoran

katup jantung serta pemeriksaan elektrokardiografi, chest radiography,

dan echocardiography dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya

perikarditis, endokarditis, myocarditis, congestive heart failure, dan lain-

lain. Bersamaan dengan pemeriksaan kardiovaskular, fungsi paru juga


harus diidentifikasi terlebih dahulu apakah terdapat masalah pada sistem

respiratorius. Fungsi ginjal dapat dideteksi pada pemeriksaan urinalisis,

CT scan renal, blood urea nitrogen level, kadar kreatinin darah, serta

albumin. Fungsi hepar juga diperiksa dengan melihat kadar SGOT, SGPT,

albumin dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaa fisik terlebih dahulu.

Pemeriksaan hemotologi juga tidak kalah penting, anemia,

trombositopenia, dan leukopenia dapat dideteksi terlebih dahulu.

Pemeriksaan intraopratif memerlukan pengawasan yang ketat.

Manifestasi yang bersifat sistemik dapat mengubah tindakan anestesi,

sebagai contoh jika terdapat kerusakan pada organ hepar dan ginjal maka

akan mempengaruhi metabolisme obat baik secara inhalasi maupun

intravena. Pengawasan ketat tersebut termasuk memasang lead

electrocardiogram oleh karena antisipasi kejadian tak diinginka selama

periode operasi seperti iskemik myokardium pada Lupus Eritematosus

Sistemik. Pemilihan teknik anestesipun harus dipertimbangkan karena

memikirkan interaksi obat anestesi dengan imonusupresan yang rutin

dikonsumsi, kemungkinan terjadinya stenosis subglotis, edema laring, dan

resiko trombosis. Pemberian antibiotik profialksis juga dapat diajurkan

unutk mengantisipasi adanya infeksi. Peletakan posisi pasien saat operasi

juga dipertimbangkan oleh karena kecurigaan akan adanya tulang

osteoporotik pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik.

Interaksi farmakologi antara obat anestesi dengan dengan obat

imunosupresan harus diperhatikan. Contoh, azathioprine, sebuah obat

imunosupresan antimetabolik mungkin memiliki interaksi dengan obat


muscle relaxant, dan dosis akan bertambah 37% pada penggunaan

bersama atracurium, 20% dengan vecuronium, dan 45% dengan

pancuroniumtelah diteliti pada suatu studi. Sedangkan untuk obat

pancuronium dan vecuronium akan berada id dalam tubuh lebih lama pada

pasien dengan gangguan klirens ginjal.

Proteksi jalan nafas wajib dilakukan pada setiap operasi yang

melibatkan anestesi. Pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik mungkin

memiliki faktor resiko terjadinya mucosal ulceration, cricoarytenoid,

arthritis, recurrent laryngeal nerve palsy atau temporomandibular joint

dysfunction yang akan mengakibatkan kesulitan pada intubasi pasien. Jika

memungkinan, maka hindari penggunaan intubasi pada pasien Lupus

Eritematosus Sistemik, namun jika harus menggunakan intubasi maka

digunakan fiber optik.

Pengawasan pasien Lupus Eritematosus Sistemik meliputi ECG,

noninvasive blood pressure, pulse oximetry. Hindari obat-obat yang

bersifat nefrotoksik dan pasang kateter urin untuk monitoring cairan.

Pemberian analgesic yang adekuat diperlukan saat operasi untuk

menghindari adrenal suppression.

Anda mungkin juga menyukai