Anda di halaman 1dari 6

Squalen Vol. 3 No.

1, Juni 2008

PERAN MUTU DALAM MENUNJANG EKSPOR UDANG NASIONAL


Sumpeno Putro*)

ABSTRAK

Udang  merupakan  komoditi  andalan  ekspor  dari  sektor  perikanan  Indonesia.  Akan  tetapi,
volume  ekspor  udang  Indonesia  dalam  beberapa  tahun  terakhir  ini  cenderung  menurun.  Hal  ini
terutama  disebabkan  karena  semakin  ketatnya  persyaratan  impor  yang  diberlakukan  oleh  negara-
negara  maju,  khususnya  standar  mutu  dan  sanitasi.  Ekspor  udang  ke  Uni  Eropa  merosot  dan
dikenakan  RAS  (Rapid Alert System)  karena  dicurigai  mengandung  residu  antibiotik  dan  bakteri
patogen. Ekspor udang ke Amerika Serikat, juga masih dikenakan automatic detention. Sementara
itu,  pada  tahun  2006  dan  2007  ekspor  udang  ke  Jepang  dan  Cina  juga  ditolak  karena  dicurigai
mengandung  residu  antibiotik.  Oleh  karena  itu,  pengembangan  sistem  pembinaan  mutu  dan
sertifikasi secara terpadu dengan konsep from farm to table sangat diperlukan untuk meningkatkan
daya  saing  dan  akses  pasar  dalam  menghadapi  era  globalisasi.  Dalam  kaitan  ini,  pengembangan
industri  udang  budidaya  ke  depan  sebaiknya  tidak  hanya  berorientasi  kepada  upaya  peningkatan
produksi,  tetapi  juga  memperhatikan  aspek  mutu  dan  keamanan  pangan  (food safety)  agar
produk  yang  dihasilkan  layak  dan  aman  untuk  dikonsumsi  serta  memenuhi  standar  mutu  yang
berlaku  di  pasar  internasional.

KATA KUNCI: mutu, udang, ekspor

PENDAHULUAN Di samping itu, dengan semakin meningkatnya
kekhawatiran masyarakat terhadap aspek mutu dan
Dalam  era  globalisasi,  tuntutan  konsumen keamanan  pangan  dari  produk  perikanan  yang
terhadap  standar  mutu  dan  keamanan  pangan diperdagangkan di pasar internasional akhir-akhir ini,
produk perikanan semakin meningkat. Oleh karena beberapa negara maju mulai menerapkan persyaratan
itu,  walaupun    permintaan    dunia  terhadap  impor mutu yang lebih ketat terhadap udang yang diimpor
produk perikanan terus meningkat, jalan ke depan dari  negara-negara  berkembang  (Putro,  2007c).
cukup sulit dan berliku. Tuntutan ini seiring dengan Bahkan beberapa negara maju seperti Uni Eropa (UE),
arah  globalisasi  perdagangan,  yang  terus mulai memberlakukan sistem traceability secara wajib
mengedepankan  pentingnya  aspek  mutu  dan (mandatory) bagi produk perikanan termasuk udang.
keamanan  pangan,  sehingga  perbaikan  sistem Hal  ini  dimaksudkan  untuk  memulihkan  kembali
pem binaan  mutu  sangat   diperlukan  untuk kepercayaan konsumen terhadap jaminan mutu dan
meningkatkan daya saing dan akses pasar (Putro, keamanan pangan bagi produk perikanan, yang dalam
2006; 2007a,b). Hal ini disebabkan karena produk beberapa tahun terakhir ini merosot dari 83% menjadi
perikanan merupakan  bahan  pangan  yang  sangat 64% (Putro, 2007c). Penerapan standar mutu dan
mudah busuk, sehingga menuntut  cara penanganan sanitasi yang lebih ketat inilah yang mengakibatkan
dan  pengolahan  yang cepat dan tepat agar mutu merosotnya volume ekspor udang dari Indonesia.
dan  kesegarannya  tetap  prima.  Hasil  penelitian Dampak  negatif  yang  paling  menonjol  adalah
menunjukkan bahwa cara penanganan yang kurang menurunnya ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa,
baik,  telah  mengakibatkan  terjadinya kontaminasi khususnya  udang. Nilai ekspor  produk perikanan
oleh  bakteri  penyakit  dan  kerusakan  pascapanen Indonesia merosot dari sekitar 0,7 tahun 2001 menjadi
sekitar  25–30%.  Hasil  penelitian  juga  menunjukkan 0,3 milyar dollar pada tahun 2006. Volume ekspor
bahwa udang  windu  (P. monodon)  yang baru  saja udang  Indonesia,  merosot  sekitar  64%  sejak
dipanen dari tambak ternyata telah terkontaminasi diberlakukannya  zero tolerance  terhadap  residu
oleh E. coli,  Salmonella, dan  Vibrio parahaemolyticus kloramfenikol dan nitrofuran pada pertengahan tahun
(Putro,  2007c).  Masalah  ini  sering  menjadi  faktor 2001.  Puluhan  kontainer  udang  ditahan  dan
penghambat dalam usaha industri udang nasional dan dimusnahkan di pelabuhan masuk di UE sehingga
diperkirakan  menjadi  penyebab  utama  terjadinya menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar
kasus  penahanan  dan  penolakan  terhadap ekspor serta  mengakibatkan  terjadinya  kegalauan  bagi
udang Indonesia di luar negeri (Putro, 2003). industri udang nasional (Putro, 2006).

 *)
    Peneliti  pada Balai  Besar  Riset Pengolahan  Produk  dan  Bioteknologi  Kelautan dan  Perikanan

1
S. Putro

PERKEMBANGAN EKSPOR UDANG 60.235 ton pada tahun 2003, tetapi terus menurun


menjadi 48.623 ton pada tahun 2004 dan 46.051 ton
Udang merupakan komoditi andalan ekspor produk pada tahun 2005. Penurunan volume ekspor udang
perikanan Indonesia di samping ikan tuna. Saat ini ini nampaknya merupakan dampak dari pengetatan
udang menyumbang lebih  dari 62% dari total nilai terhadap standar mutu khususnya residu antibiotik
ekspor  produk  perikanan  Indonesia.  Pasar  utama pada udang impor oleh pemerintah Jepang. Sejak
ekspor  udang  Indonesia  adalah  Jepang  (52%), tahun 2004, pemerintah Jepang mengikuti  jejak  Uni
Amerika  Serikat  (18%),  dan  Eropa  (15%)  (Putro, Eropa  dengan menerapkan zero tolerance  terhadap
2004).  Perkembangan ekspor udang dalam beberapa residu kloramfenikol  dan nitrofuran pada udang impor.
tahun terakhir ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Akibatnya, beberapa kontainer udang yang diekspor

Tabel 1.  Perkembangan volume ekspor udang tahun 2000–2006 (dalam ton)

Negara tujua n 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Jepang 54.064 59.559 59.618 60.235 48.623 46.051 50.581

USA 16.216 16.153 16.837 21.901 46.966 50.698 61.235

Uni Eropa 17.833 20.056 16.140 23.689 26.317 27.179 35.232

Sumber:  Anon., 2007

Tabel 2.  Perkembangan nilai ekspor udang  tahun 2000–2006 (dalam US$ 000)

Ne gara tujua n 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Jepang 612.460 564.998 506.585 473.953 391.140 373.534 420.252


USA 170.187 144.295 137.082 156.910 279.385 327.819 418.556

Uni Eropa 120.818 122.509 121.871 127.417 132.745 159.292 196.430

Sumber:  Anon., 2007

Sebagian  besar  udang  diekspor  dalam  bentuk dari  Indonesia,  ditahan  atau  ditolak  di  pelabuhan
beku (IQF dan block) baik dalam bentuk headless masuk  karena  dicurigai  mengandung  antibiotik
shell-on (HSO) atau peeled and de-veined (P & D). tersebut.  Seperti  diketahui  bahwa  pemeriksaan
Akan tetapi, ekspor produk-produk bernilai tambah terhadap residu antibiotik di Jepang selama ini hanya
seperti breaded shrimp, butterfly, dan tempura juga difokuskan pada tetrasiklin termasuk OTC (oxytetra-
semakin  meningkat  seiring  dengan  meningkatnya cycline) dan CTC (chlor tetracycline). Bahkan terdapat
permintaan  produk  perikanan  siap  saji  di  pasar indikasi bahwa Jepang  juga  akan mengikuti  jejak
internasional (Putro, 2004). Uni    Eropa   dan   AS    dalam    menerapkan sistem
Dalam beberapa tahun terakhir ini, nilai ekspor traceability (Putro, 2006; 2007b).
udang  di  pasar  dunia  cenderung  mengalami Diperkirakan Jepang masih tetap akan merupakan
penurunan.  Hal  ini  terutama  disebabkan  oleh pasar  yang  prospektif    bagi  udang  Indonesia
melemahnya  harga  rata-rata  udang  di  pasar mengingat udang impor menyumbang sekitar 80% dari
internasional sebagai akibat dari lonjakan produksi, kebutuhan domestik di Jepang.  Walaupun demikian,
terutama udang vannamae. Di samping itu, akhir-akhir persaingan  yang  semakin  ketat  perlu  diwaspadai
ini banyak muncul berbagai hambatan perdagangan terutama dengan melonjaknya pasokan dari Vietnam,
seperti isu dumping, isu lingkungan, serta persyaratan Cina, dan Myanmar yang harganya lebih murah dan
mutu yang dikemas dalam berbagai macam aturan sangat  kompetitif.  Sementara  itu,  masih  lesunya
seperti  zero tolerance  terhadap  residu  antibiotik, kondisi  perekonomian  Jepang  menyebabkan
Bioterrorism Act, dan Traceability. konsumen beralih   dari  snob consumers  menjadi
Volume  ekspor  udang  Indonesia  ke  Jepang smart consumers, dan harga menjadi faktor penentu
meningkat dari 54.064 ton pada tahun 2000 menjadi utama. Meskipun masyarakat  Jepang mempunyai

2
Squalen Vol. 3 No. 1, Juni 2008

kesadaran yang tinggi terhadap mutu dan menjadikan pertambakan, sampai industri pengolahan sejak awal
faktor kesegaran di atas segala-galanya, tetapi saat tahun 2003. Di samping itu, pemeriksaan terhadap
ini masalah harga menjadi pertimbangan utama. Untuk persyaratan mutu terus diperketat, dan hanya udang
mengantisipasi hal ini, peningkatan mutu dan efisiensi yang mutunya bagus serta bebas dari residu antibiotik
produksi  perlu  untuk  mendapatkan  perhatian  dari yang  di izinkan  untuk  diekspor.   Langkah  ini
semua stakeholders. memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hal
ini terlihat dari data yang menunjukkan peningkatan
Di lain pihak, konsumsi udang di Amerika Serikat
volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dari
(AS) meningkat hampir 143% selama 20 tahun terakhir
23.689 ton pada tahun 2003 menjadi 35.232 ton pada
ini.  Total  permintaan  yang  sedemikian  besar  ini
tahun 2006 (Putro, 2007c).
menjadikan AS sebagai pasar udang terbesar di dunia.
Volume ekspor udang dari Indonesia ke AS dari tahun Uni Eropa memberlakukan persyaratan mutu yang
2000 sampai 2002  tidak menunjukkan kenaikan, yaitu lebih ketat terhadap impor produk perikanan budidaya.
sekitar  16.500  ton.  Kemudian  meningkat  menjadi Sesuai dengan EC Food Law No. EC/2002/178 dan
21.901 pada tahun 2003 dan 61.235 ton pada tahun EU Regulation No. 2377/90 tentang Regulation on
2006. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan ekspor Residue Control and Monitoring of Aquaculture
udang  Indonesia  ke Amerika  Serikat  tidak  terlalu Products,  maka  semua  negara  eksportir  produk
menonjol  walaupun  telah  terbebas  dari  petisi  anti perikanan budidaya diwajibkan  untuk menyampaikan
dumping pada awal tahun 2002.  Bahkan pangsa pasar laporan  hasil  monitoring  residu  obat-obatan  dan
udang Indonesia justru merosot tajam dari 13,4% pada antibiotik kepada Directorate General of Health and
Januari–April 2007 menjadi 10,2% dibanding periode Consumer Protection (DG Sanco) secara rutin setiap
yang sama tahun 2006. Hal ini disebabkan karena tahun.  Kelalaian  terhadap  kewajiban  ini  dapat
semakin ketatnya persyaratan impor udang ke AS, mengakibatkan dikenakannya export suspension atau
antara lain diberlakukannya Bioterrorism Act, COOL embargo terhadap semua produk perikanan budidaya.
(Country of Origin Labeling), dan pencabutan green Saat ini Komisi Eropa mengeluarkan peraturan baru
card  apabila  mutu  udang  ekspor  tidak  memenuhi yang  mengharuskan  semua  bahan  pangan  impor
standar.  Selain isu di  atas,  pada  awal  tahun 2003 termasuk  udang  dikenakan  uji  kandungan  residu
pemerintah  AS  juga  memberlakukan  ketentuan antibiotik  di setiap  pelabuhan  masuk. Bahkan  Uni
Public Health Security and Bioterrorism Preparedness Eropa juga memberlakukan zero tolerance terhadap
and Response Act (Bioterrorism Act–PL 107–188). residu antibiotik furazolidon (Putro, 2006).
Dari ketentuan tersebut, kelompok industri makanan Di  lain  pihak,  nampaknya  Jepang  akan  terus
yang  membuat,  memproses,  mengemas,  dan memberlakukan sistem traceability dan pengetatan
menyimpan bahan makanan yang akan diekspor ke terhadap penggunaan antibiotik, di samping standar
AS diwajibkan untuk mendaftarkan perusahaannya mikrobiologi khususnya untuk komoditi udang siap
kepada US-Food and Drugs Administration (Putro, saji seperti terlihat pada Tabel 3.
2007b).
Situasi  pasar  udang  diperburuk  lagi  dengan
Uni Eropa merupakan pasar udang terbesar ketiga munculnya  larangan pemerintah Cina terhadap impor
setelah  Amerika  Serikat  dan Jepang.  Pasar Uni udang dari Indonesia pada awal tahun 2007.  Larangan
Eropa  sangat  bergantung  kepada  pasokan  dari impor tersebut disebabkan karena udang Indonesia
mancanegara, dan sekitar 70% dari total kebutuhan disinyalir mengandung residu obat-obatan terlarang
udang berasal dari impor. Pemasok udang terbesar khususnya kloramfenikol dan nitrofuran (Anon., 2007).
ke  UE  adalah  Argentina,  Cina,  India,  Indonesia, Kasus ini memperkeruh reputasi mutu udang ekspor
Bangladesh,  Thailand,  Ekuador,  Malaysia,  Brazil, Indonesia,  mengingat  bahwa  Cina  merupakan
Madagaskar, dan Vietnam. Ekspor udang Indonesia pengimpor hasil perikanan Indonesia terbesar kedua
ke  Uni  Eropa  tahun  2000  mencapai  17.833  ton, di Asia setelah Jepang.
kemudian naik menjadi 20.056 ton pada tahun 2001.
Tetapi    sejak  diterapkan  zero tolerance    terhadap LANGKAH TINDAK LANJUT
residu  antibiotik  kloramfenikol  dan  nitrofuran  oleh
Kom isi  Eropa  diikuti  dengan  pengetatan Diharapkan udang akan tetap menjadi primadona
pemberlakukan RAS (Rapid Alert System) pada akhir ekspor hasil perikanan dalam dasawarsa ke depan
tahun 2001, ekspor udang ke Uni Eropa pada tahun karena  komoditas  ini  termasuk  jenis  yang  paling
2002  merosot  menjadi  16.140  ton.  Untuk  mengatasi banyak  diminati  oleh  para  konsumen  di  berbagai
masalah  ini,  pemerintah  bersama seluruh stake- penjuru dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan
holders  yang  bergerak  di  bidang  industri  udang mempunyai  potensi  yang  sangat  besar  dalam
berusaha keras untuk memperbaiki sistem pembinaan pengembangan industri udang nasional baik untuk
mutu  terpadu  mulai  dari  pabrik  pakan,  hatchery, tujuan ekspor maupun untuk memenuhi kebutuhan

3
S. Putro

Tabel 3.  Peraturan mengenai residu antibiotik pada produk perikanan impor ke Jepang

Ne ga ra a sa l Je nis produk Antibiotik ya ng dipe rsya ra tka n Je nis pe m e riksa a n

Indones ia Udang budidaya beku  Tetracyc line, oxytetrac ycline, Semua kargo harus 


termas uk  produk  chlortetracyc line, kloramfenik ol,  diperik sa
olahan bernilai tam bah dan nitrofuran
Filipina Udang budidaya beku  Semua antibiotik Semua kargo harus 
termas uk  produk  diperik sa
olahan bernilai tam bah
Thailand Udang budidaya beku  Semua antibiotik,                                
Semua kargo harus 
termas uk  produk  as am ox olonat diperik sa k ecuali 
olahan bernilai tam bah produk  dari 
perusahaan y ang 
sudah approved
Banglades h, India,  Udang budidaya beku Kloramfenikol, asam oxolonat, 10%  dari kargo yang 
dan Myanmar sulfam eraz ine, sulfadimidine diimpor

Vietnam Udang budidaya beku  Sulfamono-methoxine, Semua kargo harus 


termas uk  produk  sulfadim ethoxine, diperik sa
olahan bernilai tam bah sulfaquinoxaline

China Udang budidaya beku  Semua antibiotik, as am ox olonat,  Semua kargo harus 


termas uk  produk  sulfam eraz ine, sulfadimedine, diperik sa
olahan bernilai tam bah sulfam ono-methoxine,
sulfadim ethoxine,
sulfaquinoxaline,  dan 2 antibiotik  
quinolone  baru
Sumber:  Tookwinas & Keerativiriyaporn, (2004); Putro, (2007b)

gizi nasional. Walaupun permintaan dunia terhadap sistem pembinaan mutu menjadi faktor penentu dalam
impor produk perikanan terus meningkat dan potensi menghadapi  era  globalisasi  perdagangan  (Putro,
pengembangan ekspor sangat prospektif, jalan ke 2006).
depan cukup sulit dan berliku (Anon., 2007). Hal ini Kebijakan  Uni Eropa  dalam menerapkan zero
disebabkan  karena  pengembangan  ekspor  hasil tolerance  terhadap  residu  antibiotik  pada  udang
perikanan dalam  era globalisasi  akan  dihadapkan nampaknya akan berimbas kepada negara-negara
pada persyaratan mutu dan persaingan yang semakin maju lain khususnya Jepang dan Amerika  Serikat
ketat.    Bahkan   reputasi    mutu   produk perikanan dalam memperketat pengawasan dan pemberlakuan
Indonesia  di  pasar  internasional  saat  ini  sedang standar residu antibiotik. Oleh karena itu, pemerintah
dipertaruhkan.  Pada  tanggal  3–14  September 2007, dan semua stakeholders terkait harus secara serius
tim   inspeksi   dari   US-FDA    (Food and Drugs memperbaiki  sistem  jaminan  mutu  dan  sertifikasi
Administration)  telah  datang  ke  Indonesia  untuk dengan konsep from farm/catch to table.  Penerapan
melakukan verifikasi terhadap sistem jaminan mutu self-regulatory  yang terukur  dan  sanksi berat  bagi
produk perikanan khususnya udang, lalu disusul tim perusahaan yang melanggar ketentuan akan dinilai
FVO-Uni Eropa (Food and Veterinary Office)  pada
sebagai  upaya  serius  oleh  pihak  Komisi  Eropa.
tanggal 21–30 November 2007.  Hasil inspeksi tim
Kerjasama  yang  erat  antara  pemerintah  dengan
US-FDA dan UE ini menjadi titik kritis bagi kelanjutan
asosiasi  perlu  terus  digalakkan,  mengingat  akses
industri perikanan Indonesia di percaturan perdagangan
dunia.  Hal  ini  seiring  dengan  arah  globalisasi pasar dan mutu udang Indonesia di pasar Eropa saat
perdagangan  yang  mengedepankan  pentingnya ini terpuruk. Di samping itu, peningkatan citra mutu
penanganan terhadap  aspek  mutu  dan  keamanan produk  Indonesia  perlu  secara  terus  menerus
pangan (Anon., 2007). Oleh karena itu, peningkatan digaungkan  dan  dilaksanakan  oleh  semua  pihak

4
Squalen Vol. 3 No. 1, Juni 2008

terkait. Hal ini mengingat bahwa persyaratan mutu udang hasil budidaya, monitoring mutu air yang masuk
dan sanitasi akan banyak dipakai sebagai hambatan dan keluar (inlet dan outlet), inspeksi terhadap farm
non tarif oleh negara-negara maju. hygiene, dan penanganan pascapanen.
Salah satu langkah penting yang perlu diadopsi b. Farm registration
oleh industri udang nasional adalah diterapkannya Semua kolam dan tambak udang harus terdaftar
sistem  HACCP  (Hazard Analysis Critical Control dan mempunyai izin pengoperasioan dari pihak yang
Point) dalam budidaya dan pengolahan produk-produk berwenang (Competent authority). Persyaratan pokok
perikanan khususnya udang. Hal ini mengingat bahwa yang harus dipenuhi antara lain tersedianya water
pengembangan budidaya udang intensif seringkali treatment ponds dan rancangan tata letak kolam yang
hanya  mengutamakan  peningkatan  produksi  dan disetujui  pejabat  berwenang  (Ditjen  Perikanan
menyampingkan aspek mutu dan keamanan pangan, Budidaya).
padahal  produk  udang  budidaya  sangat  rentan
c. Farm inspection
terhadap kontaminasi bakteri-bakteri patogen seperti
Salmonella dan V. cholera maupun residu antibiotik/ Farm inspection  diperlukan  untuk  meyakinkan
obat-obatan dan pestisida yang dapat membahayakan bahwa setiap farm benar-benar menerapkan standar
kesehatan konsumen (Putro, 2007b) seperti terlihat operasi dan sanitasi sesuai dengan Codex guidelines.
pada Tabel 4. Oleh karena itu, dimasukkannya konsep Contohnya yaitu untuk usaha budidaya yang lebih dari
HACCP  dalam  standar  budidaya  udang  adalah 8  ha  diwajibkan  untuk  m empunyai  program
sebagai langkah preventif  untuk mencegah residu manajemen usaha  budidaya  yang  disyahkan oleh
instansi berwenang dan diinspeksi 2 sampai 4 kali/
obat-obatan dan kontaminasi berbagai senyawa kimia
tahun.
dalam produk udang budidaya, serta untuk mencegah
terjadinya  kontaminasi  mikrobiologi  baik  selama d. Feed quality control
udang dibudidayakan di kolam/tambak maupun di unit Untuk  mencegah  penggunaan  pakan  yang
pengolahan (Putro, 2007b; Sumner et al., 2004). mengandung antibiotik, baik sengaja maupun tidak,
Beberapa langkah pengendalian terhadap titik-titik maka diperlukan langkah-langkah preventif termasuk
rawan (critical points)  yang  perlu  dicermati  dalam pendaftaran formula pakan, sampling, dan analisa
budidaya udang antara lain: kandungan antibiotik pada pakan serta inspeksi dan
sertifikasi terhadap semua pabrik pakan.
a. Pengendalian di tingkat petambak/pembudidaya
e. Farm monitoring
Pengendalian di tingkat petambak/pembudidaya
udang  meliputi  pendaftaran  kolam/tambak (Farm Langkah ini sangat diperlukan untuk memantau
registration),  pengendalian  penggunaan  pakan/ kesesuaian  manajemen  usaha  budidaya  dengan
antibiotik,  monitoring residu  obat/antibiotik  pada peraturan yang berlaku dan menentukan peringkat

Tabel 4. Beberapa Hazard yang terkait dengan budidaya udang

Ka te gori Contoh Hazard

Hazard  biologis Bakteri patogen Salmonella, Shigella, E. coli, V. cholera,


V. parahaemolyticus, V. vulnificus,
Listeria monocytogenes,  dan lain-lain

Hazard  kimiawi Residu obat-obatan Horm on, pengatur tumbuh, antibiotik 


seperti kloramfenikol, nitrofuran, dan 
metabolitnya serta antibiotik yang tidak 
dilarang dan residunya tidak melebihi 
MRL (Maximum Residue Limit )
Residu pestisida Herbisida, fungisida, insektisida, dan lain-
lain
Hazard  fisika Pecahan kaca, kayu, 
logam, dan sebagainya
Sumber:  Tookwinas & Keerativiriyaporn, (2004); Putro, (2007b)

5
S. Putro

sanitasi dari setiap usaha budidaya (Farm sanitation jalan ke depan sangat sulit dan berliku. Hal ini terutama


rating) sesuai dengan Codex Code of Good Hygienic disebabkan karena persyaratan  mutu  dan sanitasi
Practices untuk produk perikanan budidaya. yang diberlakukan oleh negara-negara maju semakin
f. Raw materials control ketat. Persyaratan mutu ini sering dikemas dalam
suatu aturan yang nampak elegan, tetapi sebenarnya
Effektivitas dari penerapan sistem HACCP di farm merupakan  ham batan  terselubung  dalam
level  akan  tercermin  dari  kandungan  residu  obat- perdagangan. Oleh karena itu,  diperlukan program
obatan/antibiotik pada bahan baku yang dihasilkan. pembinaan mutu dan sertifikasi yang komprehensif
Untuk melihat efektivitas penerapan sistem HACCP dan  v isioner  mul ai  dari  hulu  sampai   hil ir.
ini diperlukan farm record dan hasil sampling terhadap Pengembangan  sistem  j aminan  mutu  yang
udang yang dibudidayakan 3 bulan sebelum dipanen, terakreditasi   dan  terukur  serta  kebijakan
terutama untuk melihat residu obat-obatan/antibiotik pengembangan pengolahan dan pemasaran, perlu
dalam  daging    udang  tersebut.  Bagi  udang  hasil dirumuskan  dalam  satu  paket  kebijakan  yang
budidaya yang tidak mengandung obat-obatan harus terintegrasi.  Paket  kebijakan  ini  harus  mendapat
diberikan sertifikat bebas antibiotik. Langkah ini sangat dukungan  dari  semua  instansi  terkait  sehingga
diperlukan untuk menjamin bahwa semua bahan baku mempunyai  bobot  politis  yang  tinggi.  Diharapkan,
yang masuk ke unit pengolah benar-benar bebas dari dengan  potensi  tambak  sekitar  1  juta  ha,  sudah
obat-obatan/antibiotik sekaligus untuk memfasilitasi sepantasnya apabila Indonesia menjadi produsen dan
penerapan sistem traceability dalam sistem budidaya eksportir udang nomor satu dunia dalam beberapa
udang yang baik. tahun mendatang ini.
g. Unit pengolah
Untuk  memastikan  bahwa  produk  akhir  yang DAFTAR PUSTAKA
dihasilkan dari setiap unit pengolah benar-benar bebas
Anonim. 2007.  Perkembangan  pasar  udang Asia.  Warta
dari residu obat-obatan/antibiotik terlarang,  memenuhi
Pasar Ikan, Edisi April 2007.  Direktorat  Jenderal
standar mutu dan higienis yang dipersyaratkan, maka
Pengolahan  dan  Pemasaran  Hasil  Laut  dan  Ikan.
diperlukan  monitoring  terhadap  penerapan  sistem
Departemen  Kelautan  dan  Perikanan.
pembinaan mutu di semua unit pengolah. Program
Putro, S.  2003. Penahanan dan Penolakan Ekspor Hasil
monitoring tersebut mencakup:
Perikanan di Uni Eropa  dalam “Perikanan  sebagai
(1) penerapan     sistem    sanitasi,      higienis sektor  andalan  nasional”.  Cholik,  F.,  Heruwati,  E.S.,
dan GMP (Good Manufacturing Practices) Jauzi,  A.  dan  Basuki,  P.I.  (eds.).  ISPIKANI  dan
sebagai   landasan   pokok   dari    program Departemen  Kelautan  dan  Perikanan.    Jakarta.
pembinaan mutu, Putro,  S.  2004.  Indonesian Shrimp Industry Outlook–
(2) penerapan  sistem   pembinaan  mutu yang 2004 and Beyond.  Global  Shrimp   Outlook   Con-
mengacu  kepada  sistem  HACCP dan/atau ference.  Los  Cabos,  Mexico.
ISO-22000, Putro, S. 2006. Industri Perikanan dalam Era Globalisasi.
Makalah  disajikan  dalam  Seminar  Nasional  dan
(3) sistem pembinaan mutu yang diterapkan oleh Diseminasi  Pengembangan  Hasil  Perikanan.
setiap  unit  pengolah  harus diverifikasi oleh Bandar  Lampung.
Competent Authority.
Putro,  S.  2007a.  Implikasi Pasar Global dan Codex
Bagi unit-unit pengolah yang telah menerapkan terhadap Industri Perikanan Budidaya.  Makalah
sistem pembinaan mutu yang baik diberikan Approval disaj ikan  dalam  Acara  Temu  Pakar.  Direktorat
Number dan dimasukkan dalam List of Approved Fish Jenderal  Perikanan  Budidaya.  Yogyakarta.
Processing Plants.  Sebagai  prasyarat  dan Putro, S. 2007b. Kiat Mendorong Ekspor Udang. Majalah
kel engkapan  dokumen  ekspor,  maka  set iap TROBOS.
pengapalan  harus  dilengkapi  dengan  Health Certifi- Putro,  S.  2007c.  Dampak Globalisasi Perdagangan
cate dan  Certificate of Analysis  yang  menyatakan terhadap Ekspor Hasil Perikanan Indonesia.  Orasi
bahwa  produk  tersebut  layak  dan  aman  untuk Pengukuhan  Profesor  Riset.  LIPI.  Departemen
konsumsi (Putro, 2007b). Kelautan  dan  Perikanan.
Sumner,  J.,  Ross,  T.  and   Ababouch,  L. 2004.  Appli-
PENUTUP cation of Risk Assessment in the Fish Industry. FAO
Fisheries  Technical  Paper.  442,  Rome,  Italy.
Dari  uraian  diatas  terlihat  bahwa  peluang Tookwinas, S. and Keerativiriyaporn, S. 2004. HACCP in
pengembangan ekspor udang sangat cerah, namun shrimp  farming.  Aquaculture Asia,  IX  (2).

Anda mungkin juga menyukai