164 387 1 SM
164 387 1 SM
1, Juni 2008
ABSTRAK
Udang merupakan komoditi andalan ekspor dari sektor perikanan Indonesia. Akan tetapi,
volume ekspor udang Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung menurun. Hal ini
terutama disebabkan karena semakin ketatnya persyaratan impor yang diberlakukan oleh negara-
negara maju, khususnya standar mutu dan sanitasi. Ekspor udang ke Uni Eropa merosot dan
dikenakan RAS (Rapid Alert System) karena dicurigai mengandung residu antibiotik dan bakteri
patogen. Ekspor udang ke Amerika Serikat, juga masih dikenakan automatic detention. Sementara
itu, pada tahun 2006 dan 2007 ekspor udang ke Jepang dan Cina juga ditolak karena dicurigai
mengandung residu antibiotik. Oleh karena itu, pengembangan sistem pembinaan mutu dan
sertifikasi secara terpadu dengan konsep from farm to table sangat diperlukan untuk meningkatkan
daya saing dan akses pasar dalam menghadapi era globalisasi. Dalam kaitan ini, pengembangan
industri udang budidaya ke depan sebaiknya tidak hanya berorientasi kepada upaya peningkatan
produksi, tetapi juga memperhatikan aspek mutu dan keamanan pangan (food safety) agar
produk yang dihasilkan layak dan aman untuk dikonsumsi serta memenuhi standar mutu yang
berlaku di pasar internasional.
PENDAHULUAN Di samping itu, dengan semakin meningkatnya
kekhawatiran masyarakat terhadap aspek mutu dan
Dalam era globalisasi, tuntutan konsumen keamanan pangan dari produk perikanan yang
terhadap standar mutu dan keamanan pangan diperdagangkan di pasar internasional akhir-akhir ini,
produk perikanan semakin meningkat. Oleh karena beberapa negara maju mulai menerapkan persyaratan
itu, walaupun permintaan dunia terhadap impor mutu yang lebih ketat terhadap udang yang diimpor
produk perikanan terus meningkat, jalan ke depan dari negara-negara berkembang (Putro, 2007c).
cukup sulit dan berliku. Tuntutan ini seiring dengan Bahkan beberapa negara maju seperti Uni Eropa (UE),
arah globalisasi perdagangan, yang terus mulai memberlakukan sistem traceability secara wajib
mengedepankan pentingnya aspek mutu dan (mandatory) bagi produk perikanan termasuk udang.
keamanan pangan, sehingga perbaikan sistem Hal ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali
pem binaan mutu sangat diperlukan untuk kepercayaan konsumen terhadap jaminan mutu dan
meningkatkan daya saing dan akses pasar (Putro, keamanan pangan bagi produk perikanan, yang dalam
2006; 2007a,b). Hal ini disebabkan karena produk beberapa tahun terakhir ini merosot dari 83% menjadi
perikanan merupakan bahan pangan yang sangat 64% (Putro, 2007c). Penerapan standar mutu dan
mudah busuk, sehingga menuntut cara penanganan sanitasi yang lebih ketat inilah yang mengakibatkan
dan pengolahan yang cepat dan tepat agar mutu merosotnya volume ekspor udang dari Indonesia.
dan kesegarannya tetap prima. Hasil penelitian Dampak negatif yang paling menonjol adalah
menunjukkan bahwa cara penanganan yang kurang menurunnya ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa,
baik, telah mengakibatkan terjadinya kontaminasi khususnya udang. Nilai ekspor produk perikanan
oleh bakteri penyakit dan kerusakan pascapanen Indonesia merosot dari sekitar 0,7 tahun 2001 menjadi
sekitar 25–30%. Hasil penelitian juga menunjukkan 0,3 milyar dollar pada tahun 2006. Volume ekspor
bahwa udang windu (P. monodon) yang baru saja udang Indonesia, merosot sekitar 64% sejak
dipanen dari tambak ternyata telah terkontaminasi diberlakukannya zero tolerance terhadap residu
oleh E. coli, Salmonella, dan Vibrio parahaemolyticus kloramfenikol dan nitrofuran pada pertengahan tahun
(Putro, 2007c). Masalah ini sering menjadi faktor 2001. Puluhan kontainer udang ditahan dan
penghambat dalam usaha industri udang nasional dan dimusnahkan di pelabuhan masuk di UE sehingga
diperkirakan menjadi penyebab utama terjadinya menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar
kasus penahanan dan penolakan terhadap ekspor serta mengakibatkan terjadinya kegalauan bagi
udang Indonesia di luar negeri (Putro, 2003). industri udang nasional (Putro, 2006).
*)
Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
1
S. Putro
Tabel 1. Perkembangan volume ekspor udang tahun 2000–2006 (dalam ton)
Sumber: Anon., 2007
Tabel 2. Perkembangan nilai ekspor udang tahun 2000–2006 (dalam US$ 000)
Sumber: Anon., 2007
Sebagian besar udang diekspor dalam bentuk dari Indonesia, ditahan atau ditolak di pelabuhan
beku (IQF dan block) baik dalam bentuk headless masuk karena dicurigai mengandung antibiotik
shell-on (HSO) atau peeled and de-veined (P & D). tersebut. Seperti diketahui bahwa pemeriksaan
Akan tetapi, ekspor produk-produk bernilai tambah terhadap residu antibiotik di Jepang selama ini hanya
seperti breaded shrimp, butterfly, dan tempura juga difokuskan pada tetrasiklin termasuk OTC (oxytetra-
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya cycline) dan CTC (chlor tetracycline). Bahkan terdapat
permintaan produk perikanan siap saji di pasar indikasi bahwa Jepang juga akan mengikuti jejak
internasional (Putro, 2004). Uni Eropa dan AS dalam menerapkan sistem
Dalam beberapa tahun terakhir ini, nilai ekspor traceability (Putro, 2006; 2007b).
udang di pasar dunia cenderung mengalami Diperkirakan Jepang masih tetap akan merupakan
penurunan. Hal ini terutama disebabkan oleh pasar yang prospektif bagi udang Indonesia
melemahnya harga rata-rata udang di pasar mengingat udang impor menyumbang sekitar 80% dari
internasional sebagai akibat dari lonjakan produksi, kebutuhan domestik di Jepang. Walaupun demikian,
terutama udang vannamae. Di samping itu, akhir-akhir persaingan yang semakin ketat perlu diwaspadai
ini banyak muncul berbagai hambatan perdagangan terutama dengan melonjaknya pasokan dari Vietnam,
seperti isu dumping, isu lingkungan, serta persyaratan Cina, dan Myanmar yang harganya lebih murah dan
mutu yang dikemas dalam berbagai macam aturan sangat kompetitif. Sementara itu, masih lesunya
seperti zero tolerance terhadap residu antibiotik, kondisi perekonomian Jepang menyebabkan
Bioterrorism Act, dan Traceability. konsumen beralih dari snob consumers menjadi
Volume ekspor udang Indonesia ke Jepang smart consumers, dan harga menjadi faktor penentu
meningkat dari 54.064 ton pada tahun 2000 menjadi utama. Meskipun masyarakat Jepang mempunyai
2
Squalen Vol. 3 No. 1, Juni 2008
kesadaran yang tinggi terhadap mutu dan menjadikan pertambakan, sampai industri pengolahan sejak awal
faktor kesegaran di atas segala-galanya, tetapi saat tahun 2003. Di samping itu, pemeriksaan terhadap
ini masalah harga menjadi pertimbangan utama. Untuk persyaratan mutu terus diperketat, dan hanya udang
mengantisipasi hal ini, peningkatan mutu dan efisiensi yang mutunya bagus serta bebas dari residu antibiotik
produksi perlu untuk mendapatkan perhatian dari yang di izinkan untuk diekspor. Langkah ini
semua stakeholders. memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hal
ini terlihat dari data yang menunjukkan peningkatan
Di lain pihak, konsumsi udang di Amerika Serikat
volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dari
(AS) meningkat hampir 143% selama 20 tahun terakhir
23.689 ton pada tahun 2003 menjadi 35.232 ton pada
ini. Total permintaan yang sedemikian besar ini
tahun 2006 (Putro, 2007c).
menjadikan AS sebagai pasar udang terbesar di dunia.
Volume ekspor udang dari Indonesia ke AS dari tahun Uni Eropa memberlakukan persyaratan mutu yang
2000 sampai 2002 tidak menunjukkan kenaikan, yaitu lebih ketat terhadap impor produk perikanan budidaya.
sekitar 16.500 ton. Kemudian meningkat menjadi Sesuai dengan EC Food Law No. EC/2002/178 dan
21.901 pada tahun 2003 dan 61.235 ton pada tahun EU Regulation No. 2377/90 tentang Regulation on
2006. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan ekspor Residue Control and Monitoring of Aquaculture
udang Indonesia ke Amerika Serikat tidak terlalu Products, maka semua negara eksportir produk
menonjol walaupun telah terbebas dari petisi anti perikanan budidaya diwajibkan untuk menyampaikan
dumping pada awal tahun 2002. Bahkan pangsa pasar laporan hasil monitoring residu obat-obatan dan
udang Indonesia justru merosot tajam dari 13,4% pada antibiotik kepada Directorate General of Health and
Januari–April 2007 menjadi 10,2% dibanding periode Consumer Protection (DG Sanco) secara rutin setiap
yang sama tahun 2006. Hal ini disebabkan karena tahun. Kelalaian terhadap kewajiban ini dapat
semakin ketatnya persyaratan impor udang ke AS, mengakibatkan dikenakannya export suspension atau
antara lain diberlakukannya Bioterrorism Act, COOL embargo terhadap semua produk perikanan budidaya.
(Country of Origin Labeling), dan pencabutan green Saat ini Komisi Eropa mengeluarkan peraturan baru
card apabila mutu udang ekspor tidak memenuhi yang mengharuskan semua bahan pangan impor
standar. Selain isu di atas, pada awal tahun 2003 termasuk udang dikenakan uji kandungan residu
pemerintah AS juga memberlakukan ketentuan antibiotik di setiap pelabuhan masuk. Bahkan Uni
Public Health Security and Bioterrorism Preparedness Eropa juga memberlakukan zero tolerance terhadap
and Response Act (Bioterrorism Act–PL 107–188). residu antibiotik furazolidon (Putro, 2006).
Dari ketentuan tersebut, kelompok industri makanan Di lain pihak, nampaknya Jepang akan terus
yang membuat, memproses, mengemas, dan memberlakukan sistem traceability dan pengetatan
menyimpan bahan makanan yang akan diekspor ke terhadap penggunaan antibiotik, di samping standar
AS diwajibkan untuk mendaftarkan perusahaannya mikrobiologi khususnya untuk komoditi udang siap
kepada US-Food and Drugs Administration (Putro, saji seperti terlihat pada Tabel 3.
2007b).
Situasi pasar udang diperburuk lagi dengan
Uni Eropa merupakan pasar udang terbesar ketiga munculnya larangan pemerintah Cina terhadap impor
setelah Amerika Serikat dan Jepang. Pasar Uni udang dari Indonesia pada awal tahun 2007. Larangan
Eropa sangat bergantung kepada pasokan dari impor tersebut disebabkan karena udang Indonesia
mancanegara, dan sekitar 70% dari total kebutuhan disinyalir mengandung residu obat-obatan terlarang
udang berasal dari impor. Pemasok udang terbesar khususnya kloramfenikol dan nitrofuran (Anon., 2007).
ke UE adalah Argentina, Cina, India, Indonesia, Kasus ini memperkeruh reputasi mutu udang ekspor
Bangladesh, Thailand, Ekuador, Malaysia, Brazil, Indonesia, mengingat bahwa Cina merupakan
Madagaskar, dan Vietnam. Ekspor udang Indonesia pengimpor hasil perikanan Indonesia terbesar kedua
ke Uni Eropa tahun 2000 mencapai 17.833 ton, di Asia setelah Jepang.
kemudian naik menjadi 20.056 ton pada tahun 2001.
Tetapi sejak diterapkan zero tolerance terhadap LANGKAH TINDAK LANJUT
residu antibiotik kloramfenikol dan nitrofuran oleh
Kom isi Eropa diikuti dengan pengetatan Diharapkan udang akan tetap menjadi primadona
pemberlakukan RAS (Rapid Alert System) pada akhir ekspor hasil perikanan dalam dasawarsa ke depan
tahun 2001, ekspor udang ke Uni Eropa pada tahun karena komoditas ini termasuk jenis yang paling
2002 merosot menjadi 16.140 ton. Untuk mengatasi banyak diminati oleh para konsumen di berbagai
masalah ini, pemerintah bersama seluruh stake- penjuru dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan
holders yang bergerak di bidang industri udang mempunyai potensi yang sangat besar dalam
berusaha keras untuk memperbaiki sistem pembinaan pengembangan industri udang nasional baik untuk
mutu terpadu mulai dari pabrik pakan, hatchery, tujuan ekspor maupun untuk memenuhi kebutuhan
3
S. Putro
Tabel 3. Peraturan mengenai residu antibiotik pada produk perikanan impor ke Jepang
gizi nasional. Walaupun permintaan dunia terhadap sistem pembinaan mutu menjadi faktor penentu dalam
impor produk perikanan terus meningkat dan potensi menghadapi era globalisasi perdagangan (Putro,
pengembangan ekspor sangat prospektif, jalan ke 2006).
depan cukup sulit dan berliku (Anon., 2007). Hal ini Kebijakan Uni Eropa dalam menerapkan zero
disebabkan karena pengembangan ekspor hasil tolerance terhadap residu antibiotik pada udang
perikanan dalam era globalisasi akan dihadapkan nampaknya akan berimbas kepada negara-negara
pada persyaratan mutu dan persaingan yang semakin maju lain khususnya Jepang dan Amerika Serikat
ketat. Bahkan reputasi mutu produk perikanan dalam memperketat pengawasan dan pemberlakuan
Indonesia di pasar internasional saat ini sedang standar residu antibiotik. Oleh karena itu, pemerintah
dipertaruhkan. Pada tanggal 3–14 September 2007, dan semua stakeholders terkait harus secara serius
tim inspeksi dari US-FDA (Food and Drugs memperbaiki sistem jaminan mutu dan sertifikasi
Administration) telah datang ke Indonesia untuk dengan konsep from farm/catch to table. Penerapan
melakukan verifikasi terhadap sistem jaminan mutu self-regulatory yang terukur dan sanksi berat bagi
produk perikanan khususnya udang, lalu disusul tim perusahaan yang melanggar ketentuan akan dinilai
FVO-Uni Eropa (Food and Veterinary Office) pada
sebagai upaya serius oleh pihak Komisi Eropa.
tanggal 21–30 November 2007. Hasil inspeksi tim
Kerjasama yang erat antara pemerintah dengan
US-FDA dan UE ini menjadi titik kritis bagi kelanjutan
asosiasi perlu terus digalakkan, mengingat akses
industri perikanan Indonesia di percaturan perdagangan
dunia. Hal ini seiring dengan arah globalisasi pasar dan mutu udang Indonesia di pasar Eropa saat
perdagangan yang mengedepankan pentingnya ini terpuruk. Di samping itu, peningkatan citra mutu
penanganan terhadap aspek mutu dan keamanan produk Indonesia perlu secara terus menerus
pangan (Anon., 2007). Oleh karena itu, peningkatan digaungkan dan dilaksanakan oleh semua pihak
4
Squalen Vol. 3 No. 1, Juni 2008
terkait. Hal ini mengingat bahwa persyaratan mutu udang hasil budidaya, monitoring mutu air yang masuk
dan sanitasi akan banyak dipakai sebagai hambatan dan keluar (inlet dan outlet), inspeksi terhadap farm
non tarif oleh negara-negara maju. hygiene, dan penanganan pascapanen.
Salah satu langkah penting yang perlu diadopsi b. Farm registration
oleh industri udang nasional adalah diterapkannya Semua kolam dan tambak udang harus terdaftar
sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control dan mempunyai izin pengoperasioan dari pihak yang
Point) dalam budidaya dan pengolahan produk-produk berwenang (Competent authority). Persyaratan pokok
perikanan khususnya udang. Hal ini mengingat bahwa yang harus dipenuhi antara lain tersedianya water
pengembangan budidaya udang intensif seringkali treatment ponds dan rancangan tata letak kolam yang
hanya mengutamakan peningkatan produksi dan disetujui pejabat berwenang (Ditjen Perikanan
menyampingkan aspek mutu dan keamanan pangan, Budidaya).
padahal produk udang budidaya sangat rentan
c. Farm inspection
terhadap kontaminasi bakteri-bakteri patogen seperti
Salmonella dan V. cholera maupun residu antibiotik/ Farm inspection diperlukan untuk meyakinkan
obat-obatan dan pestisida yang dapat membahayakan bahwa setiap farm benar-benar menerapkan standar
kesehatan konsumen (Putro, 2007b) seperti terlihat operasi dan sanitasi sesuai dengan Codex guidelines.
pada Tabel 4. Oleh karena itu, dimasukkannya konsep Contohnya yaitu untuk usaha budidaya yang lebih dari
HACCP dalam standar budidaya udang adalah 8 ha diwajibkan untuk m empunyai program
sebagai langkah preventif untuk mencegah residu manajemen usaha budidaya yang disyahkan oleh
instansi berwenang dan diinspeksi 2 sampai 4 kali/
obat-obatan dan kontaminasi berbagai senyawa kimia
tahun.
dalam produk udang budidaya, serta untuk mencegah
terjadinya kontaminasi mikrobiologi baik selama d. Feed quality control
udang dibudidayakan di kolam/tambak maupun di unit Untuk mencegah penggunaan pakan yang
pengolahan (Putro, 2007b; Sumner et al., 2004). mengandung antibiotik, baik sengaja maupun tidak,
Beberapa langkah pengendalian terhadap titik-titik maka diperlukan langkah-langkah preventif termasuk
rawan (critical points) yang perlu dicermati dalam pendaftaran formula pakan, sampling, dan analisa
budidaya udang antara lain: kandungan antibiotik pada pakan serta inspeksi dan
sertifikasi terhadap semua pabrik pakan.
a. Pengendalian di tingkat petambak/pembudidaya
e. Farm monitoring
Pengendalian di tingkat petambak/pembudidaya
udang meliputi pendaftaran kolam/tambak (Farm Langkah ini sangat diperlukan untuk memantau
registration), pengendalian penggunaan pakan/ kesesuaian manajemen usaha budidaya dengan
antibiotik, monitoring residu obat/antibiotik pada peraturan yang berlaku dan menentukan peringkat
Tabel 4. Beberapa Hazard yang terkait dengan budidaya udang
5
S. Putro